Dear All,

Ikut nimbrung nih.

Sampai hari ini saya masih belum jelas apa fungsi dari PPh 21, PBB, dan PPN 
10%? 

Karena ke tiga pajak di atas adalah pajak yang sangat dekat dengan kehidupan 
kita sehari2 dan tidak mungkin tidak bersinggungan dengan ketiga pajak di atas.

Tetapi setelah bayar bertahun2, saya tidak pernah tahu apakah ada fungsi dari 
pembedaan pajak2 ini, bagaimana pengelolaannya dan pelaporannya ke rakyat 
sebagai stakeholder negara. Perusahaan yang go public aja harus terbuka dengan 
shareholder, negara juga mestinya demikian.

 HARI GINI NILEP PAJAK, APA KATA DUNIA?
(Kalau ada yang mau membuat spanduk ini dan dipasang di billboard2 di jakarta, 
saya mau deh ikutan nyumbang hehe, paling bagus kalau di sebelahnya spanduk 
"hari gini tidak bayar pajak, apa kata dunia")

Salam,

Hobby Chen 
Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT

-----Original Message-----
From: pras <prasety...@gmail.com>
Date: Fri, 16 Apr 2010 07:22:26 
To: <Bisnis_Center@yahoogroups.com>
Subject: BC @ OOT: Sketsa VI: Di Pengadilan Pajak Cincai-Cincai

Dear all,
Sekali2 kita ikuti juga masalah pajak; sekedar menambah wawasan.
Siapa tau nanti ada BCers sukses, ketemu masalah pajak.
Salam.

--------------------------------------------------

*Di Pengadilan Pajak Cincai-Cincai*


   *Menteri Keuangan Sri Mulyani, Rabu, 14 April ke media di Jakarta,
mengatakan telah memecat seluruh Satpam di Pengadilan Pajak. Depkeu memasang
CCTV baru. Sebelumnya seluruh staf untuk posisi Banding di Direktorat
Jenderal Pajak (DJP), dibebas-tugaskan. Sebagaimana Sketsa V, sebuah sidang
kasus pajak, tetap berjalan, kendati pihak terbanding; wakil DJP; wakil
negara; wakil rakyat tepatnya; tak hadir di ruangan sidang, persidangan
terus melenggang. Esensi kian lari, ibarat jauh panggang dari api: potensi
peneriman negara Rp 1.300 triliun dari indikasi Transfer Pricing (TP), pada
2009 tak terurus, pupus. Isu kulit di meng-gayus, remah di men-satpam malah
membuncah. Kekayaan dan kesejahteraan bangsa terlanjur menguap di tangan 48
hakim di Pengadilan Pajak (PP) di 17 majelis terindikasi korup; kusut akut.
Sudah lebih setahun PP hanya memiliki ketua hanya pejabat sementara. 13.000
perkara masih antri di sana. Ada apa?*

*PAGI *di kawasan parkir Depkeu, Jl. Dr. Wahidin Raya No. 1, Jakarta Pusat.
Matahari cerah, pagi bergairah. Awal Januari 2010. Sebuah SUV Toyota Land
Cruiser Cygnus, keluaran anyar, parkir. Supirnya seorang staf eselon empat
di Pangadilan Pajak (PP). Di hari itu ia menyetir Cygnus, di hari lain,
sosok mobil buildup-nya Mercedes Benz limited. Ganti-ganti. Masing-masing
mendekati Rp 2 miliar.

Sosok pengendara Cygnus itu karyawan Pengadilan Pajak (PP) “cemerlang”.
Bagaimana tak ‘kinclong’, gajinya sebagai karyawan eselon empat, setelah
remunirasi di Depkeu, paling top cuma Rp 8 juta saja sebulan. Angka itu di
bawah gaji Gayus Tambunan, kini dihebohkan. Mobil-mobil mewah bisa menjadi
mainan karyawan eselon empat PP.

*Wani tenan digawa nang?* kantor?

Menurut koleganya di PP, rumah staf eselon empat itu, juga lebih dari empat.
“Sosok pemilik mobil mewah itu nyantai saja, karena mengelola dana taktis
dari wajib pajak berperkara,” ujar Sutikno, sebut saja begitu, staf di PP
itu.

Sutikno buka-bukaan kepada saya setelah lima Sketsa saya meluncur ke publik
online khususnya.
Jadi, setelah angka TP tambun-menambun tahun-menahun saya verifikasi
bercerabutan dari bangsa ini, amblas di PP - - tepatnya dominan “legal”
menguap - - kini cerita meng-gayus lain tersaji pula ke hadapan Anda.

Parah membuncah-buncah?

“Benar Mas!” kata Sutikno pula,”Reformasi birokrasi hanya ada di Direktorat
Jenderal Pajak dan Bea Cukai. Tetapi pengadilan pajak, tidak berlaku apa itu
reformasi.”

“Bahkan, sudah hal lazim, kalau staf direktorat pajak menghimbau ke wajib
pajak: kita teruskan saja urusan ke pengadilan pajak, di sana segalanya
lebih mudah baku atur.”

Secara adminsitratif PP berada di bawah Depkeu dan konten hukumnya berada di
bawah Mahkamah Agung (MA). Maka boleh dong, saya tulis PP memang tidak
diurus dengan baik oleh Menteri Keuangan, juga seakan alpa dikontrol MA.

Kekisruhan di PP bisa berawal sejak masuknya kasus. “Di sekretariat tata
usaha pengadilan pajak, kasus sudah diperebutkan. Kasus puluhan triliun,
diperebutkan oleh majelis hakim, bukan isu baru,” tutur Sutikno.

Cerita berlanjut.

Begitu peristiwa Gayus Tambunan di awal menghangat, suasana gerah gundah
menyesak-pengak di PP. Menurut Sutikno dan diamini oleh dua koleganya, mesin
penghancur kertas merek Secure di sekretariat PP bekerja keras. Bahkan
penghancur kertas lebih besar di lantai 5 Gedung Sutikno Slamet, Depkeu itu,
di mana PP bermarkas, bekerja lebih ekstra banyak melumat berbagai dokumen.
Dan anehnya hari ini Kamis, 15 April, pelumat kertas di lantai 5 itu sudah
pula dipindah.

Ibarat orang dikejar macan, kertas berita acara persidangan pun ikut
terbirit dihancurkan mesin penghancur kertas. “Dokumen mencurigakan dilebur.
Suasana memang menjadi tak kondusif,” ujar Sutikno.

Dua rekan Sutikno yang menjadi staf di PP menambahkan. “Pimpinan saya, ada
yang langsung membawa tas besar, saya duga uang yang pernah saya lihat di
sebuah lemari kecil,” ujar Andri Nuh, bukan nama sebenarnya, kolega Sutikno
di PP.

Bila sudah begitu, memang bolehlah siapapun bertanya, di PP telah
berkeliaran sosok makhluk berbadan manusia, tetapi sesungguhnya berperilaku
“drakula”? Drakula lakunya dalam memenangkan wajib pajak, kendati secara
akal sehat pengemplangan pajak terus-terusan di pelupuk mata terjadi.
Maka untuk mengetahui kedrakulaan itu; beginilah konten PP:

PP memiliki 48 hakim. Mereka dominan berasal dari pensiunan pegawai DJP.
Beberapa di antaranya pihak swasta berlatar pendididkan hukum, wakil dari
Pengurus Kadin Indonesia. Anda tentu mafhum, bahwa Kadin wadah para
pengusaha, keberpihakannya ke mana.

Ke-48 hakim itu berada dalam 17 majelis; 15 majelis mengadili pajak dan dua
majelis mengadili urusan bea cukai, kepabeanan. Sedangkan satu mejelis
terdiri dari satu hakim ketua dan dua hakim pendamping. Wewenang para hakim
ini, berada langsung di bawah Mahkamah Agung.

Majelis juga dilengkapi panitera pengganti sebanyak dua orang (eselon tiga)
dan pembantu panitera pengganti (PPP) sebanyak empat orang (eselon empat).
Di bawah para PPP inilah berderet para pelaksana; mereka umumnya baru
berkerja satu dua tahun sebagai tamatan Sekolah Tinggi Akutansi Negara
(STAN).

Ke-17 majelis itulah bersidang di sepuluh ruangan sidang berukuran ¾
lapangan basket; Sembilan ruang sidang di lantai sembilan dan dua ruang
berada di lantai sepuluh. Untuk yang di lantai sepuluh, pengadilan, umumnya,
bagi urusan bea cukai.

Perubahan mencolok lain di Pengadilan Pajak (PP), sebelum dan sesudah kasus
Gayus:
Sebelum saya menulis Sketsa satu, pintu-pintu ruang sidang tertutup. Kendati
UU menabalkan bahwa pengadilan pajak terbnuka untuk umum, namun terlihat
jelas, memang ditutup. Keadaan eksklusif itu diciptakan PP. Menurut mereka
wajib pajak kerahasiaan juga layak di lindungi.

Akan tetapi hakim PP maupun wajib pajak lupa. Begitu seseorang atau
perusahaan berani maju banding ke pengadilan pajak, seketika itu pula, ia
berani berjibaku ke ranah publik, membuka diri bagi publik. “Seharusnya
demikian, jika tak mau dibuka datanya ke publik, bayar dong pajak dengan
benar,” tutur Sutikno.

“Sebelumnya wajib pajak gampang menemui panitera pengganti. Begitu ada kasus
Gayus, tidak mudah lagi, bahkan di pintu dipasang tulisan, bukan karyawan
dilarang masuk,” ujar Sutikno.
“Bukan suatu yang aneh jika hakim di persidangan malah memarahi atau
merendahkan staf dari Ditjen Pajak.”

Sebagaimana saya simak di pengadilan kasus PT Toyota Manufacturing Motor
Indonesia (TMMI), seperti saya tulis di Sketsa terdahulu, hakim terlihat
menegur pihak DJP, bahkan ketika wajib pajak sebagai pemohon banding
menyerahkan saja keputusan ke hakim - - hakim ketuanya pengurus Kadin
Indonesia - - staf DJP melongo dibuatnya.

Padahal indikasi transfer pricing (TP) perusahaan itu triliunan.

Indikasi kejahatan melalui ketidakwajaran itu meyembilu belulang. Bayangkan
selama ini kelompok usaha perusahaan melimpah ruah kemudahan berusaha;
hamparan pasar besar, menikmati keuntungan tambun di rentang panjang, namun
terindikasi terus mengemplang.


*KETIKA?* di tol Cipularang dalam perjalanan ke Bandung pada 12 April di
saat saya hendak menjadi pembicara untuk urusan Jurnalisme Radio 2.0 dalam
seminar diadakan oleh eBI dan ITB, Bandung, di kilometer 73, sebuah Toyota
Kijang SGX, di kecepatan lebih 100 km di depan saya, tampak tak dapat
menghindari sebuah truk kontainer mendadak mengambil jalur kanan. Toyota
Kijang itu menabrak bagian belakang. Truk mempercepat lari. Bagian kiri
Kijang terseret. Semua atap terkopek, bagian belakang remuk bagaikan sehelai
kertas diremuk.

Untung saja tidak ada penumpang di bagian kiri. Jika saja ada anak atau
isteri sosok pria korban yang menyetir, pastilah remuk redam bergedibam.
Supir sosok pria setengah baya, saya perhatikan masih bisa bergerak dengan
kepala berdarah-darah.

Sudah sejak lama saya bertanya urusan kualitas dan keselamatan mobil-mobil
beredar di pasar Indonesia. Bisa Anda bayangkan, jika industrinya
terindikasi mengemplang pajak tambun melalui TP, melalui transaki tak wajar,
seperti yang sudah saya tuliskan di Sketsa sebelumnya, pasar besar di
Indonesia ini seakan manut sak karep industri: Kualitas barang layak
dipertanyakan; komponen besi bak kerupuk.

Urusan menjadi alang kepalang. Dan ini, tentu, bukan dominant di domain
otomotif saja. Hampir di semua industri, termasuk consumer good,
pengemplangan pajak, tahun-menahun, tambun-menambun terjadi, khusus di
transfer pricing.

Sosok Amin Appa, pembaca Sketsa V, di Abu Dhabi, Persatuan Emirat Arab,
berkomentar. Ia menuliskan perihal industri *consumer good*:

*Selama ini rakyat banyak ditipu oleh pemilik pabrik industri besar karena
subsidi dan proteksi. Contoh kecil gandum bahan baku mie instant yang banyak
di konsumsi rakyat Indonesia. Biji gandumnya dimpor dari AS atau Australia,
pemerintah mensubsidi biji gandum impor sekitar US $ 50 dollar per ton - -
perusahaan importir biji gandum didominasi kelompok satu konglomerat.

Untuk memenuhi kebutuhan pabrik gandum di Indonesia, biji gandum olahan di
Indonesia, bukannya disebarkan memenuhi kebutuhan rakyat banyak, tapi hanya
beberapa persen saja dilempar ke pasar untuk kebutuhan kue roti rakyat.
Dominan gandum tersebut dimasukkan langsung ke pabrik olahan; bagi
kepentingan pembuatan mie instant atau biskuit - - pemiliknya juga
konglomerat pengimpor biji gandum.

Akibatnya harga gandum tetap mahal.

Setelah produk jadi tersebut siap santap, produk jadinya bukan bukan
dipasarkan murni ke dalam negeri, tetapi sebagian besar malah diekspor.
Akibatnya yang timbul:

1. Harga gandum, terigu di Indonesia lebih mahal karena sebagian besar
dijadikan bahan baku produk-produk jadi seperti mie instan.

2. Hasil ekspor produk-produk jadi seperti mei instan, pembukaan LC -nya
banyak dilakukan di negara tetangga sehingga uang dari hasil penjualan
disimpan dan didepositokan di sana, maka yang menikmati kesejahteraan adalah
negara tetangga bukan rakyat Indonesia

3. Untuk menjamin kesinambungan produksi, berkolusilah pejabat dengan
pengusaha, izin impor biji gandum hanya diberikan kepada beberapa perusahaan
dalam satu atap dan untuk mencegah harga gandum dalam negeri jadi murah
proteksi dilakukan, pajak impor tinggi.

Saya pernah sempat geleng-geleng kepala ketika bertemu dengan salah seorang
sales menager pabrik gandum Persatuan Emirat Arab (PEA) di Dubai
International Trade Fair. Sempat sosok itu bercerita bahwa impor gandumnya
terhambat masuk di Indonesia karena di kenai UU dumping.

Ketika itu saya bertanya dalam hati mengapa pemerintah RI tidak menginginkan
jika produk gandum lain dari luar negeri masuk ke pasaran Indonesia?

Padalah jika hal itu membuka pasar, membuat murahnya harga gandum lokal.
Tapi kebijakan, malah sebaliknya mensubsidi impor biji gandum untuk memenuhi
kebutuhan pabrik gandum di dalam negeri yang nota bene sebagian besar
produknya di ekspor.

Jika gandum di PEA atau di Oman, Qatar, masuk ke pasaran Indonesia melalui
pelabuhan Tanjung Priok dan Surabaya, jika tanpa dikenai pajak impor akan
jauh lebih murah harganya produksi pabrik Bogosari.

Jadi untuk apa uang rakyat dihambur-hamburkan mensubsidi impor biji gandum
jika kita bisa memperoleh gandum dari luar negeri lebih murah dibanding
produksi dalam negeri? Apakah tidak lebih bermanfaat kalau subsidi tersebut
dicabut dan dialihkan mesubsidi pendidikan atau kesehatan rakyat? *

Di Sketsa V, Amin Appa, telah pula mengingatkan betapa harga mobil di
Indonesia, dua kali lipat harganya dibandingkan dengan di Abu Dhabi, PEA.




*BEGITULAH* sidang pembaca!

Kamis pagi, 15 April 2010, saya mengkonfirmasi kepada seorang staf DJP
bagian transfer pricing, apakah di kelompok usaha terigu dan produk jadi,
juga ada indikasi pengemplangan pajak melalui transfer pricing? Sosok itu
mengamini.

Maka, jika semua perusahaan besar menikmati pasar dan segenap kemudahan
subsidi dari negeri ini, masih mengatakan di Indonesia high cost economy?
Yang membuat cost itu high, adalah diri mereka sendiri, dominan pula menjual
produksi ke perusahaan afiliasi dengan harga separuh harga pasar. Itu
artinya separuh keuntungan disembunyikan dulu, barang dagangan masuk ke
pasaran bebas dengan harga riil pasar.

Di negeri inilah saya verifikasi, bahwa prinsip ekonomi itu secara taat
kaedah dilakukan para pengusaha: modal sekecil-kecilnya, untung
setambun-tambunnya, jika nol modal, bahkan dimodali bangsa dan rakyat ini,
kemudian hisap lagi darahnya dari mengakali pajak.

Undang-Undang pun kompromis, penggelapan pajak boleh diselesaikan di luar
pengadilan. Sebagaimana sudah saya ulang-ulang tulis di Sketsa terdahulu.

Di Bandung di saat Seminar Inovasi Radio 2.0, pada 13 April 2010, di mana
penemuan aplikasi RISE sebagai konten otomasi radio, telah memungkinkan
jurnalisme radio 2.0, di mana perilaku User Create Content (UCC), ke depan
alan enajam naik.

Maka di Aula Barat, ITB itu, saya pun menyampaikan ke peserta seminar yang
umumnya kalangan radio dari seluruh Indonesia, ihwal komunitas warga
Indonesia di Houston dan Amerika Serikat umumnya, mengajak melakukan seminar
melalui aplikasi web di Webinar.

Mereka ingin tahu urusan penggelapan pajak, urusan transaksi kewajaran,
urusan transfer pricing (TP) menambun. Seminar online dengan saya sebagai
pembicara dari Indonesia, peserta kalangan warga Indonesia di AS; merupakan
bentuk implimentasi UCC itu. Maka jurnalisme blog atau web 2.0, di dalam
rangkaian Sketsa soal pajak ini, menjadi santapan Anda.

Maka ketika seorang pemrakarsa dari Houston, AS, menelpon saya, untuk
membincangkan teknis kegiatan yang akan dilakukan, SMS ke mobile phone saya
masuk, mengabarkan Pengadilan Pajak dipanggil oleh komisi XI DPR pada Kamis,
15 April 2010, pukul 22.00.

Saya menghubungi Achsanul Qosasi. anggota DPR Ko,isdi XI, yang secara jujur
mengatakan berterimakasih telah membukakan TP di saat ia hadir di Presstalk,
QTV, talkshow indie yang saya pandu. “Selama ini kami tak paham bahwa
transfer pricing itu luar biasa besar,” ujarnya pula, “Berarti uang pajak
selama ini, dominan hanya dari publik, bukan dari perusahaan besar-besar
itu?”

Sayangnya, ketika saya hendak menghidangkan tulisan ini ke hadapan Anda,
saya mendapatkan kabar, pertemuan Komisi XI DPR yang mebawahi keuangan,
perbankan, dengan PP ditunda.
Bagi saya, ada atau tiada pertemuan itu, kewajiban citizen reporter membuka
kenyataan ini kepada publik sebagaimana adanya menjadi premis utama.***

Iwan Piliang,blog- presstalk. com

Kirim email ke