http://www.angkasa-online.com/12/10/kisah/kisah1b.htm Menaklukan Carstensz Demi Ayah
Pada hari yang sama, hampir saja sebuah Lockheed Neptune milik AL Belanda ditembak jatuh oleh dua Hawker Hunter AU Belanda/Foto: vlucht door detijd Sebenarnya, dipergokinya diriku oleh 15 orang penduduk bersenjata yang di luar dugaan muncul di depanku, lebih merupakan penyelamatan daripada ancaman. Orang-orang itu ramah-tamah, suka membantu, dan suka menerima tamu. Gambaran yang diberikan Romo Pastur Jos tentang orang Papua kuingat kembali, ketika di depanku orang-orang itu terlibat diskusi yang ramai. Dengan sisa kekuatan yang masih kumiliki, kedua telapak tanganku tetap kuletakkan di kudukku sebagai tanda menyerah. Akhirnya, seorang yang lebih tua mendekat secara hati-hati untuk memeriksa barang bawaanku. Penasihatku seorang Papua di Timika, telah menitipkan sepucuk surat yang sederhana bagi orang yang dituakan di desa. "Orang baik", begitulah kira-kira isi surat tersebut karena salah seorang penduduk bersenjata yang lebih tua tampak tersenyum dengan ramah. Yang lainnya mengubah arah acungan senjata dari diriku. Salah seorang penduduk menguasai sedikit bahasa Melayu dan menjadi juru bahasa. Kuceritakan bahwa aku sedang mencari jenazah ayahku yang telah jatuh dengan pesawat di pegunungan Carstensz. Ia meneruskannya kepada pimpinannya, dan kembali kepadaku sambil berkata: "Pemimpin kami bilang bahwa kedatangan Anda disambut baik di desa ini dan bahwa Anda boleh menginap di sini." Orang-orang yang suka menerima tamu. Romo Pastur Jos benar. Jarang saya mendapat teman-teman begitu cepat seperti di desa ini. Orang-orang Papua memberikan segala macam perhatian. Dari dalam gubuk-gubuk yang mirip cendawan raksasa dan tersebar di bukit-bukit, mereka memberi senyum penuh persahabatan, setelah pemimpinnya memberitahukan bahwa aku orang baik. Aku mengalami kejutan ketika foto reruntuhan X-11 yang kuperlihatkan untuk menjelaskan tujuan ekspedisi yang tidak biasa ini, membangkitkan ingatan beberapa penduduk. Pemimpin desa menunjuk ke arah pegunungan yang tampak menjulang ke langit di kejauhan. Dua hari lamanya aku menjadi tamu orang-orang Papua yang riang gembira. Kekuatanku sudah pulih kembali untuk meneruskan perjalanan. Beberapa penduduk yang ramah-tamah bahkan mengiringi diriku selama beberapa hari. Perlahan-lahan hutan belantara diganti oleh batu-batu karang yang tajam. Pemandangan di sekelilingku didominasi oleh arakan awan tipis dan panjang yang lewat di atasku dan ditiup oleh angin kencang dingin seperti es. Aku tidak dapat mengandalkan kompas lagi karena adanya endapan lapisan-lapisan logam di pegunungan itu. Aku terpaksa berlindung di bawah batu-batu yang menjorok selama berjam-jam sambil menunggu terangnya kembali penglihatan. Tujuan akhir dari perjalananku tercapai 16 hari setelah berangkat dari Timika. Tampaknya seperti pemandangan di bulan yang menyeramkan, dikelilingi oleh dinding-dinding gunung raksasa yang menjulang tinggi dan menyeramkan. Di salah satu sisi pada ketinggian 4.100 meter tergeletak ekor Dakota yang berwarna kelabu dan dihiasi tanda kebangsaan AU Kerajaan Belanda merah-putih-biru yang menyala, diapit oleh nomor registrasi X-11. Itulah adegan yang selama bertahun-tahun menghantuiku. Aku berkemah selama dua hari di antara horor sisa-sisa sedih X-11 yang hancur lebur. Di areal yang luas, kutemukan puing-puing terdiri dari sobekan aluminium yang dulunya merupakan badan pesawat, motor-motor pesawat yang hancur dengan baling-baling yang bengkok, sebuah sepatu, sebuah boneka, dan beberapa buah kaos kaki. Sama sekali tidak ada jasad para kru dan penumpang yang semula ingin kuberikan penghormatan terakhir di dalam kesunyian di pegunungan yang dahsyat ini. Apa yang telah terjadi dengan jasad mereka? Aku dengar dari para pekerja tambang tembaga, tidak jauh dari reruntuhan pesawat, sekelompok mahasiswa Indonesia tahun 1981 telah mendahuluiku. Mungkin mereka dapat menjawab pertanyaanku. Melalui kawan-kawan Indonesia di Bandung, aku bertemu dengan tiga orang. Mereka menceritakan bahwa proyek pendakian gunung universitasnya menugaskan mereka untuk mendaki pegunungan Carstensz pada 1981, ketika secara kebetulan mereka menemukan reruntuhan pesawat. "Tabrakannya begitu hebat," kata salah seorang mahasiswa sambil menggigil sehingga reruntuhannya benar-benar tersebar di mana-mana. Mereka berkemah selama kurang lebih sebulan dan setiap hari melakukan pencarian di sekitarnya. "Kami menemukan sepucuk Uzi, kereta bayi, beberapa potong pakaian dan sebuah buku catatan," kata si mahasiswa. Buku catatan yang mereka temukan disimpan di universitas, ternyata milik ayahku. Para mahasiswa telah mengumpulkan jasad-jasadnya dengan seksama, dimasukan ke dalam sebuah peti dan dikebumikan dengan khidmat di bawah tumpukkan batu. Aku mendapat sebuah foto dari kuburan itu. Setelah hampir 30 tahun, akhirnya aku mengetahui nasib yang dialami mendiang ayahku. Dalam bulan Januari 1991, 14 bulan sesudah perjalananku yang penuh bahaya, AU Kerajaan Belanda dibawah tekanan untuk melakukan sesuatu mengenai X-11. Pihaknya mengizinkan ekspedisi yang terdiri dari lima orang untuk mengevakuasi jasad-jasadnya. Aku mendapat izin untuk ikut serta. Kami diangkut dengan helikopter ke lokasi. Setelah mendirikan perkemahan, kami melakukan pemeriksaan yang seksama. Di bawah tumpukan batu seperti yang diperlihatkan oleh foto para mahasiswa, kami memang menemukan peti berisi jasad-jasad para kru dan penumpang. Bagiku merupakan saat yang sangat mengharukan dan memuaskan. Tugasku telah terlaksana. Ayah akhirnya akan pulang. Tanggal 19 Februari, jasad-jasad para korban diangkut ke negeri Belanda. Tanggal 22 Maret dimakamkan dengan penghormatan militer di Taman Kehormatan di Loenen. Tinggi di pegunungan Carstensz, kini tinggal sejumlah reruntuhan dan prasasti yang menyebutkan nama para korban. Prasasti dibuat oleh anggota-anggota ekspedisi, yang mengenang bencana 29 tahun sebelumnya. Harian Kompas tanggal 18 April 1981 memberitakan: "Pendakian Salju Khatulistiwa. Tim Mapala UI menemukan es Jayawijaya menyusut 200 m. Sisa pesawat DC-3 Belanda ditemukan." Mengenai sisa pesawat selanjutnya diberitakan: "Reruntuhan DC-3.Tim pendakian ekspedisi telah melacak rute selatan Pegunungan Carstensz dan berhasil menemukan reruntuhan pesawat terbang DC-3 (maksudnya C-47-red) Dakota milik Belanda. Tim ini juga berhasil mendaki lagi puncak tertinggi Carstensz Pyramide ( 4.884 m), dengan menyertakan dua pendaki wanita, Karina Arifin dan Ita Budi. Kelly dari TVRI Jakarta dibantu Arianto, berhasil merekam peristiwa penelitian, pendakian, dan penemuan reruntuhan pesawat dengan kamera 16 mm. Diharapkan hasil rekaman nanti menambah keterangan tentang hasil yang telah diperoleh Mapala UI. Para korban kecelakaan X-11 Kru pesawat: Lettu/Pnb. L.N. Bieger Serka/Pnb. J.W.A. Brochard Pelda/Tek. R.H.F. Rudolph Serma/Hub. J. Akkerman Prada Wamil/Tek. D. De Klerk Penumpang: Istri Perwira AL dan bayinya Tawanan Para Indonesia Dari survei rute selama dua hari, akhirnya tim melalui rute selatan berhasil mendapati rute sebenarnya ke arah reruntuhan pesawat. "Waktu survei dua hari, pendakian yang benar hanya empat jam. Badan pesawat mulai pintu tengah sampai ekor boleh dikata utuh, lainnya berantakan," kata Arianto. Diterangkan juga, pesawat menabrak dinding padas, lalu pecah, dan sisa badan pesawat terjerembab di atas teras batu ditutupi lumut. Berhasil ditemukan beberapa tulang pinggul, tangan, serta sisa tempurung kepala manusia. Selain jaket penyelamat, gear box, dynamo wiper, helio-gram, mirror, segulung film positif 8 mm, dan beberapa temuan lainnya. "Pesawatnya berwarna hijau loreng, masih kelihatan gambar bendera Belanda. Memang Atase Militer Kedubes Belanda, Brigjen J. Linzell, juga mengatakan hal yang sama. Mereka pernah memotret reruntuhan itu, kami pun banyak mendapat informasi darinya," ujar Arianto lagi. Harian yang sama dalam edisi 27 April 1981 menurunkan tulisan yang menceritakan bahwa reruntuhan pesawat C-47 Dakota ditemukan pertama kali oleh Norman Edwin pada tanggal 3 April 1981, pukul 10:30 WIT. "Setengah badan pesawat itu masih utuh, rupanya menabrak dinding selatan Carstensz lalu ambruk di teras," tutur Kelly Saputro, juru kamera TVRI Jakarta yang mengikuti ekspedisi Mapala UI. "Bagian depannya mungkin hancur dan terlontar ke tempat lain." Pesawat Dakota itu milik Belanda, mendapat kecelakaan setelah melanggar dinding gunung tinggi saat terbang dari Merauke ke Biak pada masa konfrontasi Indonesia-Belanda tahun 1963. "Memang penemuan ini yang pertama kali, sedangkan pesawat udara yang ditemukan beberapa tim pendaki sebelumnya milik Amerika," kata Kelly sambil menerangkan lagi, "Tahun 1944 ada pesawat Dakota kargo milik AU AS jatuh di komplek pegunungan Jayawijaya. Tak lama kemudian, Komisi Korban Perang AS sempat mendatangi dan membawa beberapa sisa tubuh korban untuk dimakamkan di negaranya.(R.J. Salatun ) Avignam Jagat Samagram Fauziah Ahmad ____________________________________________________________________________________ Do you Yahoo!? Everyone is raving about the all-new Yahoo! Mail beta. http://new.mail.yahoo.com