Eddy Santosa - detik.com
 
 Den Haag - Banjir karena siklus lima tahunan? Ah, Gubernur Sutiyoso sedang
 jualan angin goreng. Kok warga Jakarta mau melahapnya begitu saja.
 
 "Yang terjadi kali ini adalah banjir siklus lima tahunan," (Sutiyoso,
 4/2/2007).
 
 Warga Jakarta, yang dirugikan harta, benda, kehidupan sosial dan psikisnya,
 kok diam saja? Coba periksa statistik sejarah, apa betul ada siklus lima
 tahunan banjir bandang menenggelamkan Jakarta? Sejak kapan?
 
 Menyimak pernyataan Sutiyoso dan tayangan tangis-derita warga Jakarta di
 NOS, VRT Belgia dan CNN, saya langsung meraih pena. Warga Jakarta, bicaralah
 dan ambillah sikap. Pernyataan ini kata ungkapan Belanda: gebakken lucht.
 Secara harfiah "angin goreng" alias omong kosong, atau menurut bahasa
 kampungnya Sutiyoso (Semarang): nggedebus.
 
 Mengapa Sutiyoso tidak secara ksatria mengatakan, "Maaf saudara-saudara,
 kami telah keliru membuat kebijakan tata kota, sehingga saudara menanggung
 derita dan kerugian tiada terkira?"
 
 Jawabnya simpel saja: kalau Sutiyoso jujur seperti itu dan pasang badan
 memikul tanggung jawabnya, maka itu sama saja harakiri. Padahal kabar burung
 mengatakan bahwa dia masih berambisi jadi presiden. Bisa wassalam dia.
 
 Tenggelamnya Jakarta itu lebih disebabkan oleh kombinasi moral hazzard,
 disintegritas dan inkompetensi pejabat DKI, dengan penanggungjawab akhir:
 gubernur, dari sejak sebelum Sutiyoso. Dan soal siklus lima tahunan itu
 Sutiyoso ada benarnya. Setiap ada pergantian gubernur, pelenyapan daerah
 hijau dan resapan air selalu terulang.
 
 Berapa kali sudah Perda tentang Tata Ruang dilanggar, ribuan hektar daerah
 hijau dan resapan air dikorbankan dan disulap menjadi beton-beton "penampung
 air"? Jika dibandingkan dengan masterplan tata ruang warisan Belanda, yang
 sudah ratusan tahun berpengalaman mengatur Jakarta, berapa besar sudah yang
 diacak-acak?
 
 Adalah lucu menangani kawasan ibukota yang begitu luas dan letaknya rendah
 dengan hanya meributkan Banjir Kanal Timur (BKT), seolah-olah ini
 satu-satunya jawaban mengatasi banjir. Simpul masalah utama adalah ketiadaan
 daerah resapan karena telah berubah jadi beton. Sehingga setiap hujan,
 Jakarta menjadi kolam beton terbesar di dunia, menenggelamkan semuanya.
 
 Sekiranya daerah resapan mencukupi, air akan cepat reda, merembes ke tanah.
 Baru kelebihannya akan mengalir di atas permukaan tanah, mencari
 kanal-kanal. Kanal-kanal itu, kalau dilihat di Belanda, fungsinya sekunder,
 sebagai saluran akhir dari luapan curah hujan. Sudah daerah resapan air
 tiada, kanal-kanal di Jakarta tidak dirawat pula. Ya, banjirlah.
 
 Sutiyoso rupanya tidak sendirian dalam jualan angin goreng. Menteri PU Djoko
 Kirmanto, mengutip Menristek, juga sami mawon dengan bungkus terkesan
 ilmiah, "...return period banjir kali ini 30 tahun," Aduh! Sudah begitu,
 bulan purnama disalahkan juga. "Bulan purnama menjadi salah satu penyebab."
 
 Karena bangsa Indonesia adalah bangsa beragama, maka kalau bulan purnama
 ikut menjadi penyebab, ya ini artinya juga kesalahan Tuhan. Enak nian
 pejabat Indonesia tinggal menyalahkan alam dan Tuhan. Lalu apa gunanya akal
 dan segala sumber daya yang sudah dikaruniakan? Apa pula gunanya ilmu yang
 disandang? Seharusnya semua fenomena alam itu dikenali, dikendalikan dan
 ditundukkan, dengan perencanaan dan pembangunan yang baik.
 
 Negeri Belanda itu letaknya rendah di muara Laut Utara dan sekitar 60%
 wilayahnya berada di bawah permukaan laut. "Negeri" ini bisa dihuni berkat
 tanggul-tanggul dan kanal-kanal. Bandara Schiphol itu berada -3m dapl. Tapi
 meskipun hujan badai mengamuk, air laut pasang, Schiphol tidak tenggelam.
 
 Kecelakaan pernah sekali terjadi di 1953. Tanggul Zeeland jebol,
 mengakibatkan separuh wilayah Belanda tenggelam, 1.836 orang tewas, ribuan
 lainnya mengungsi. Sebenarnya sejak 1920 DPU-nya Belanda sudah mendeteksi
 ada kelemahan di tanggul itu, namun kabinet saat itu lebih memprioritaskan
 pembangunan tanggul Botlek, Brielse Maas (1950) dan Braakman (1952). Ini
 menunjukkan, tanpa kendali manusia Belanda tiada.
 
 Lain cerita negeri orang, lain cerita kita. Ketika hari cerah, para pemimpin
 kita berpolah, melanglang buana bak raja diraja dari negeri dongeng. Uang
 dihamburkan, salah prioritas, keliru penggunaan. Siapa mengurusi kanal dan
 kali? Berapa kali dalam periode kali dikeruk? Siapa menjatuhkan sanksi kalau
 sampah dibuang sesuka hati?
 
 Kini? Gambar-gambar televisi internasional menjadi karikatur yang
 menyedihkan: Jakarta seperti kampung Indian di muara Amazone. Presiden,
 gubernur seolah tidak becus mengurus secuil Jakarta. Dan lagi-lagi kita
 menengadahkan tangan menerima uluran bantuan.
 
 Salah siapa? Masihkah menyalahkan bulan dan Tuhan ataukah ini semua
 akumulasi dari kebobrokan dan ketidakbecusan pejabat kita? (es/es)

Mit freundlichen  GrĂ¼ssen/Best Regards,

Fauziah Ahmad, 
Legal & Compliance Dept.
Millennium Penata Futures
(62411) - 876380 ext.18




 
---------------------------------
TV dinner still cooling?
Check out "Tonight's Picks" on Yahoo! TV.

Kirim email ke