ini tulisan lengkap ttg Bung Karno di Kompas, kebetulan saya ngumpulin tulisan om BZ ttg ini di blog ku http://noertika.wordpress.com/2007/05/07/bung-karno-vs-tiga-besar/ -- rusle' -- http://noertika.wordpress.com <http://noertika.wordpress.com/> Bung Karno Vs Tiga Besar (1)
Oleh Budiarto Shambazy http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0705/05/utama/3492019.htm <http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0705/05/utama/3492019.htm> ========================= Pada awal 1960-an minyak mencakup seperempat dari total ekspor RI. Industri ini didominasi multinational corporation atau MNC yang menanam modal 400 juta dollar AS dan diperkirakan melonjak ke satu miliar dollar AS tahun 1965. Caltex Amerika Serikat (AS) menguasai 85 persen ekspor, Stanvac (AS) 5 persen, dan Permina 10 persen. Tahun 1963 total ekspor RI 94 juta barrel per tahun atau 1,7 persen dari konsumsi dunia. Ekspor minyak dikuasai Shell (Belanda) yang per tahunnya 43 juta barrel―sementara Stanvac 10 juta barrel. Penerima terbesar adalah AS, Jepang, dan Australia. Sejak tahun 1951, Bung Karno (BK) membekukan konsesi bagi MNC dan memberlakukan UU Nomor 44 Tahun 1960. UU ini menegaskan, “Seluruh pengelolaan minyak dan gas alam dilakukan negara atau perusahaan negara.” Sejak merdeka, MNC berpegang pada “let alone agreement”. Cara ini menghindari nasionalisasi, namun juga mewajibkan MNC mempekerjakan tenaga lokal lebih banyak lagi. Pembekuan konsesi membuat MNC kelabakan karena laba menurun dan produksi terhambat. “Tiga Besar” (Stanvac, Caltex, dan Shell) meminta negosiasi ulang. BK menjawab, kalau MNC menolak UU No 44/1960, ia akan jual konsesi ke Jepang. Maret 1963 BK mengatakan, “Saya berikan Anda waktu beberapa hari untuk berpikir dan saya akan batalkan seluruh kontrak lama jika Tuan-tuan tak mau terima tuntutan saya.” Apa tuntutan BK? Ia minta Caltex menyuplai 53 persen dari kebutuhan domestik yang harus disuling Permina. Surplus produksi yang dihasilkan Tiga Besar harus dipasarkan ke luar negeri dan hasilnya diserahkan ke RI. Caltex wajib menyerahkan fasilitas distribusi dan pemasaran dalam negeri dan biaya prosesnya diambil dari laba ekspor. Caltex juga menyediakan valuta asing yang dibutuhkan untuk biaya pengeluaran dan investasi modal yang dibutuhkan Permina. Masih kurang, BK menuntut Caltex menyuplai kebutuhan minyak tanah dan BBM dalam negeri. Formula pembagian laba 60 persen untuk RI dalam mata uang asing dan 40 persen untuk Caltex dihitung dalam rupiah. Karuan saja Caltex panik dan minta bantuan Presiden John F Kennedy. Mereka menilai tuntutan BK tak masuk akal dan bisa membuat Caltex bangkrut. Tadinya Washington DC menganggap BK gertak sambal. Namun, waktu Presiden China Liu Shaoqi dan menteri Uni Soviet datang ke Jakarta membahas penjualan konsesi, mereka sadar BK tak main-main. Duta Besar AS di Jakarta Howard Jones pusing. “Jika Tiga Besar keluar, AS tak punya pilihan kecuali membatalkan bantuan ekonomi. Jangan mengancam, BK tak bisa ditekan,” lapor Jones ke Kennedy. Saat itu RI baru mau ikut program paket stabilisasi IMF yang ditawarkan Kennedy. Sehari setelah penandatanganan paket itu, BK menerbitkan “Regulasi 18″ yang isinya tuntutan resmi dia. BK tak mau paket stabilisasi dikaitkan dengan Regulasi 18. Kennedy ketar-ketir dan segera mengirimkan utusan khusus, Wilson Wyatt, ke Tokyo, “mencegat” BK yang berada di Jepang. Lewat negosiasi alot, BK dan Wyatt menyepakati sistem “kontrak karya” yang disahkan DPR, 25 September 1963. Intinya, RI memiliki kedaulatan atas kekayaan migas sampai ke tempat penjualan (point of sale). MNC cuma kontraktor: Stanvac untuk Permina, Caltex untuk Pertamin, dan Shell untuk Permigan. Jangka waktu dan area konsesi dibatasi dibandingkan dengan kontrak-kontrak lama. MNC menyerahkan 25 persen area eksplorasi setelah 5 tahun dan 25 persen lainnya setelah 10 tahun. Pembagian laba tetap 60:40, MNC wajib menyediakan kebutuhan untuk pasar domestik dengan harga tetap dan menjual aset distribusi-pemasaran setelah jangka waktu tertentu. MNC mau menerima karena yang penting batal kehilangan konsesi. Kennedy dan Kongres langsung menyetujui paket stabilisasi IMF, yang oleh BK diselaraskan dengan Rencana Pembangunan Nasional (RPN) Ketiga yang berlaku delapan tahun (1961). Tahap pertama RPN mencapai swasembada sandang-pangan, tahap kedua memulai industrialisasi. Jangan-jangan RPN jauh lebih baik dibandingkan dengan Repelita. Bandingkan kontrak karya dengan profit-sharing agreement (PSA) ala Orde Baru yang justru antinasionalisasi. PSA seolah menempatkan RI sebagai pemilik, MNC kontraktor. Namun, pada praktiknya MNC yang mengontrol ladang yang mendatangkan laba berlipat ganda―mirip kolonialisme. PSA pernikahan ideal antara kontrak bagi hasil yang seolah menempatkan RI jadi majikan dan sistem kontrak berbasis konsesi/lisensi yang profit oriented. RI seakan pegang kendali, padahal MNC-lah yang punya kedaulatan. “Klausul stabilisasi” PSA mengatakan UU RI tak berlaku bagi setiap kegiatan MNC dan tak bisa jadi rujukan jika sengketa terjadi―yang berlaku hukum internasional yang tak kenal kepentingan nasional. “Cerita sukses” PSA ini yang dipakai MNC untuk menguras minyak Irak. Ironisnya BK malah dikagumi presiden yang bukan orang sini: Evo Morales. Populasi 100 juta, 70 persen di desa dan lebih dari 50 persen GNP berasal dari pertanian―dari industri 15 persen. Utang luar negeri 2,5 miliar dollar AS walau inflasi membengkak akibat PRRI/Permesta, Konfrontasi, dan pembebasan Irian Barat. Tingkat melék huruf naik dari 10 ke 50 persen (1960). Sukses BK lainnya yang sering disebut orang luar negeri adalah membenahi pendidikan karena kualitas kurikulum membuat generasi muda siap bersaing di tingkat internasional. Nah, ada pertanyaan? =====tulisan ke dua - 11 Mei 2007 Bung Karno Vs Tiga Besar (2) Oleh Budiarto Shambazy http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0705/12/utama/3499392.htm =========================== Bung Karno percaya hubungan pribadi antarpemimpin berpengaruh pada pergaulan internasional. Ia pelopor Konferensi Asia-Afrika 1955 dan merasa jadi duta Gerakan Nonblok menghadapi Presiden AS Dwight Eisenhower (1953-1961), Sekjen PKUS Nikita Khrushchev (1953-1964), dan Ketua PKC Mao Zedong (1945-1976). Setahun setelah KAA, ia diundang Eisenhower ke AS, September 1956. Setelah itu bertemu Mao di Beijing serta Khrushchev di Moskwa. Bung Karno (BK) marah ditelantarkan 10 menit sebelum diterima Eisenhower. Hubungan mereka buruk karena Eisenhower mendukung pemberontakan PRRI/Permesta dan memerintahkan CIA membunuh BK. Hubungan pribadi BK dengan Mao atau Khrushchev hanyalah basa-basi. Mao malah sering mengundang Ketua Umum PKI DN Aidit ke Beijing, Khrushchev lebih tertarik menumpahkan senjata untuk TNI. Setelah PRRI/Permesta, hubungan BK-Presiden John F Kennedy (1961-1963) amat akrab. Waktu di Washington DC tahun 1961, BK merasa cocok dengan JFK―beda dengan Eisenhower yang dianggap contoh ideal “the ugly America”. JFK menghadiahi BK sebuah heli Sikorsky. Mereka bergosip tentang sex bomb seperti Gina Lollobrigida walau JFK sempat tersinggung saat BK menawari Jacqueline Kennedy berkunjung sendirian ke RI. Tiga Besar enggan kehilangan RI karena nilai strategisnya sama dengan Indochina. Asumsi JFK, kehadiran pangkalan komunis di Jawa-Sumatera melemahkan kekuatan pakta militer SEATO (Southeast Asia Treaty Organization). RI yang pro-Soviet atau China akan mengisolir Australia-Selandia Baru dari pengawasan Barat. Soviet dan China mengincar RI lewat strategi “Lompat Katak”: lebih mudah mengomuniskan Daratan Asia Tenggara jika RI ada di bawah pengaruh satelit mereka. Siapa pun yang menguasai RI mengontrol Samudra India dan Pasifik. RI ibarat kolam renang besar dengan air susu yang digemari tua-muda. Hubungan China-Soviet terganggu setelah Khrushchev menyepakati peaceful coexitence dengan AS. Mao tersinggung kepada BK yang mengusir warga stateless China tahun 1959-1960. Sebagian dari senjata Soviet yang komitmennya akan mencapai lebih dari semiliar dollar AS merupakan sejumlah rudal darat-ke-darat yang bernama Kuba. Peralatan militer dari Soviet itulah yang digunakan TNI untuk menyerbu ke Semenanjung Malaysia saat puncak Konfrontasi tahun 1964. China tak mau kalah. Mao berjanji mengalihkan teknologi senjata nuklir jika China diizinkan melakukan uji coba senjata nuklir di bawah laut di wilayah perairan sekitar Irian Barat atau di sekitar Pulau Mentawai. Giliran JFK yang tak mau ketinggalan langkah. Lewat program Atom for Peace, ia meminjamkan 2,3 kg uranium untuk pengembangan reaktor nuklir milik ITB di Bandung. Pada tahun 1965 reaktor yang bertujuan damai itu sudah operasional sampai 25 persen. JFK bermaksud BK boleh mengembangkan teknologi nuklir untuk tujuan perdamaian. Reaktor itu secara rutin diperiksa IAEA, tetapi BK ditengarai mempunyai agenda tersembunyi ingin menjadikan RI going nuclear alias menjadi negara bersenjata nuklir. Sejak 1964, BK rajin menyuplai berbagai jenis senjata ke sejumlah negara Afrika yang memerangi rezim-rezim antek bekas negara-negara penjajah. Di daerah Kemayoran ada Jalan Patrice Lumumba, PM Kongo yang juga pejuang antikolonialisme Belgia yang dikudeta rekannya sendiri tahun 1960. BK mengundang latihan serdadu yang datang dari Korea Utara, Vietcong (Vietnam Utara), maupun Laos yang beruntung mendapatkan keahlian tempur dari TNI. Pilot-pilot dari Kamboja dan Burma berlatih menerbangkan pesawat tempur buatan Soviet, MiG-17, di sini. Tahun 1965 RI menyuplai berbagai jenis MiG dan kapal-kapal perang untuk Pakistan yang ketika itu terlibat perang melawan India. BK memilih Pakistan karena ia berencana merekrut negeri Islam itu untuk bergabung ke poros Jakarta-Hanoi-Beijing-Pyongyang. Nah, satu-satunya pemimpin Barat yang prihatin menyaksikan BK dan selalu mengulurkan tangan adalah JFK. Ia beberapa kali menekan Inggris untuk mengalah dari BK, terutama dalam soal rencana Inggris mendirikan pangkalan militer di Singapura. JFK berkali-kali “menginjak kaki” Belanda dalam perundingan mengenai Irian Barat. Bekas penjajah ini sejak 1945 jadi “tukang nébéng” yang tak rela meninggalkan RI yang kaya raya. Dua bekas jajahan Inggris, Malaysia dan Singapura, sejak dulu mau ambil untung dari RI. Seperti kata pepatah, “Rumput tetangga lebih hijau daripada rumput sendiri”. Setelah JFK tewas, Presiden Lyndon Johnson (1963-1969) melonggarkan komitmen. Ia mengurangi keterlibatan karena berbagai alasan, terutama sukarnya menghindari risiko RI jadi komunis. Ilmuwan Guy Paker dan Henry Brands dan mantan Kepala Stasiun CIA di Jakarta Hugh Tovar membantah AS mendalangi peristiwa G30S. Walau senang PKI ditumpas, mereka kaget Orde Baru membantai ratusan ribu korban tak bersalah. Bulu kuduk media massa AS merinding melihat amok massa itu. Partai komunis, sosialis, dan liberal di AS idem ditto. BK memikul beban berat mengatur bangsa yang perangainya unmanageable ini. Andai ia yakin pada demokrasi dan keberagaman, dua ciri utama kedua bangsa, nasib dia bisa berbeda. Telah terbukti AS sekutu demokratis yang terbaik, bahkan dalam menghadapi musuh-musuh dalam selimut yang masih berkeliaran. Pelajaran terpenting: tak perlu tiap sebentar histeris meneriakkan slogan anti-Amerika. =====tulisan ketiga Bung Karno Vs Tiga Besar (3) Budiaro Shambazy Saat membacakan Proklamasi, usia Bung Karno (BK) 44 tahun, lebih tua setahun dari Mohamad Hatta. Orang yang dituakan BK tinggal sedikit, misalnya Haji Agus Salim (61), Ki Hajar Dewantara (56), atau Tan Malaka (48). Panglima Besar Jenderal Sudirman 15 tahun lebih muda, Wakil Panglima Besar Kolonel AH Nasution 17 tahun di bawahnya. Ketika menulis Indonesia Menggugat, BK baru 27 tahun―Pak Nas masih remaja. Perbedaan usia BK yang berkuasa selama 20 tahun dengan pemimpin parpol/TNI makin tahun makin kentara. Dalam bahasa Belanda ia diledek sebagai ouwe heer alias Pak Tua. BK kesepian waktu Bung Hatta mundur dari jabatan wapres tahun 1956. Ia sibuk dengan “Konsepsi”, habis-habisan menjaga demokrasi parlementer, dirundung pemberontakan, mau dibunuh, sampai memaklumatkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Ia tokoh sentral yang belum tertandingi siapa pun. BK praktis jadi pemerintah yang tak berhenti gelisah barang sedetik pun. Ia makin jarang berkunjung ke daerah, tetapi sering ke luar negeri untuk kunjungan kerja maupun pribadi. Ia mengenakan seragam lengkap dengan deretan tanda jasa di dada untuk mengingatkan TNI ia-lah sang pangti. Dalam waktu 20 tahun ia menerima 26 gelar doktor kehormatan. Buku-buku yang dilahapnya berserakan di kamar tidur, toilet, ruang tamu, atau di meja makan. BK memiliki semuanya, kecuali uang. Anda pasti tak percaya sebagian duit membangun rumah di Jalan Sriwijaya, Jakarta Selatan, berasal dari utang. Semua orang datang tak henti meminta bertemu dia. Jam tidur dia hanya 3-4 jam sehari dan itu pun sering terganggu karena ia “turba” (turun ke bawah) melihat kehidupan rakyat tanpa pengawal dengan VW Kodok warna hijau kesayangannya. Mungkin idealnya BK mengakhiri karier politiknya saat memasuki usia 60 tahun. Mungkin Pak Amien Rais benar saat menyarankan usia capres pada pilpres tahun 2009 maksimal 60 tahun. Tetapi, siapa pula yang bisa mengatur napas politik BK? Dalam periode 1960-1965 itulah BK justru menjalani tahun-tahun yang paling menentukan masa depan politiknya. Jumlah penduduk Indonesia sekitar 100 juta. Kehidupan ekonomi memprihatinkan, antara lain karena pemberontakan PRRI/Permesta, politik konfrontasi terhadap Malaysia, dan perang merebut Irian Barat dari tangan Belanda. Rencana Pembangunan Nasional tahap ketiga yang bertujuan Indonesia tinggal landas masuk tahap industrialisasi tak berjalan meski BK memimpin Kabinet Kerja I sampai IV (1959-1964). Di saat yang sama BK menjalankan politik luar negeri yang ambisius dengan menyelenggarakan Asian Games (1962), Ganefo (1963), dan membentuk Conefo (1965). Lebih dari itu, BK direcoki lawan-lawan politiknya di luar maupun dalam negeri. Ia masih jadi sasaran pembunuhan, sering digosipkan mau dikudeta lalu diasingkan ke China, dirumorkan sakit keras, bahkan mau kabur ke luar negeri. Pada saat yang sama kepemimpinan BK makin tak kenal ampun, termasuk memenjarakan rekan-rekan seperjuangan sendiri. Lima tahun sejak 1960 ia makin sering mengangkat sekaligus memecat orang, termasuk mereka yang tergabung dalam “Kabinet 100 Menteri”. BK disanjung-sanjung dengan gelar-gelar kosong, seperti “Penyambung Lidah Rakyat”, “Presiden Seumur Hidup”, atau “Pemimpin Besar Revolusi”. Ia memaksa orang menari “lenso”, menangkap Koes Bersaudara yang memainkan musik ngak-ngik-ngok ala The Beatles, atau dipuja-puji lewat lagu Oentoek Paduka Jang Mulia yang dinyanyikan Lilis Suryani. Ia terperangkap ke dalam slogan-slogan karangan dia sendiri, seperti “Manipol-Usdek”, “Tahun Vivere Peri Koloso”, atau “Panca Azimat Revolusi”. Ia terlalu sering mengelu-elukan Menpangad Letjen Achmad Yani atau Ketua Umum PKI DN Aidit jadi “putra mahkota” pengganti resmi. Kekuatan Tiga Besar dalam negeri yang dihadapi BK terangkum lewat Nasakom yang menurut dia merupakan “jiwaku”. BK menegaskan yang menghalangi Nasakom akan disingkirkan karena masuk kategori “kepala batu”. BK menjaga jarak dengan PNI untuk unjuk diri sebagai “bapak” penaung semua aliran. Makin tahun ia makin memanjakan PKI dan membiarkan mereka berkali-kali mengganggu kalangan beragama, misalnya lewat isu land reform atau kampanye anti-Tuhan. Meski sering bertikai secara terbuka, BK tak beda prinsip dengan kelompok nasionalis lainnya, TNI. Mereka sejalan dalam menghadapi pemberontakan PRRI/Permesta, perang pembebasan Irian Barat, dan politik konfrontasi. Namun, pertentangan BK-Pak Nas sejak 1950-an jadi faktor dominan yang ikut memengaruhi pecahnya G30S tahun 1965. Pangti ouwe heer yang berumur 64 tahun berhadapan dengan sesepuh TNI AD yang baru berusia 46 tahun pas tahun 1965. Kedua-duanya sama-sama berjuang dari bawah dan selama jadi pejabat publik menerapkan pola hidup sederhana. Pak Nas pembawa panji Orde Baru yang setengah hati, BK kalah dan terkurung sampai meninggal dunia. BK sering mengatakan, “Revolusi akan memakan anaknya sendiri”. Pada detik-detik terakhir ia bisa saja melancarkan serangan balik, tetapi untuk apa kalau cuma memecah belah bangsanya sendiri? Tahun 1965 itulah akhir dari “Drama Indonesia Jilid Pertama”. Mereka yang memujanya mungkin lebih banyak daripada yang membencinya, tetapi tak ada yang tak setuju bahwa BK jadi bintang utamanya. Bagaimana dengan “Drama Indonesia Jilid Kedua”? Tunggu tanggal mainnya.