sekedar share berikut ini catatan saya ttg Pemutaran Film Dokumenter semalam
* Pemutaran Film Dokumenter, KickStart!2007 * KickStart!2007 adalah program beasiswa berupa pelatihan film dokumenter bagi kelompok peserta dari kalangan pemula pembuat film dokumenter di Makassar. Hasil pelatihan adalah film dokumenter pendek berdurasi 15 menit dalam satu seri dokumenter. Peserta KickStart!2007 membuat film di bawah bimbingan pembuat film dokumenter profesional, difasilitasi dengan bahan baku, kamera, komputer editing, dan dana produksi untuk riset dan shooting *(dikutip dari Leaflet Panitia). * Pada Rabu malam, tgl 11 Juli 2007 berlokasi di gedung MULO Makassar dari jam 19.00 – 21.30 WITA, berlangsung acara pemutaran filem dokumenter hasil karya 4 pembuat film dokumenter pemula dibawah program KickStart!2007, disponsori oleh In-docs, sebuah program Yayasan Masyarakat Mandiri Film Indonesia untuk membangkitkan film dokumenter Indonesia, Rumah Ide, yang giat memfasilitasi komunitas audio-visual di Makassar dan Ford Foundation. Empat judul film dokumenter yang terpilih menjadi peserta beasiswa KickStart!2007 dan diputar malam itu adalah sebagai berikut; * Tawuran Antar Mahasiswa * Sutradara: Edi Sumardi Kamerawan: Rio Ahmad Produser: Rhino Ariefiansyah * Sinopsis*: Naston dan Muh. Gazali adalah korban dan pelaku tawuran antar mahasiswa UNM Makassar. Naston, mantan mahasiswa Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) mengalami cacat permanen akibat sabetan parang di wajahnya. Saat ini ia menjadi seorang guru di SMPN35 Pulau Kodingareng. Muh. Gazali, mantan mahasiswa Fakultas Teknik (FT) yang terkena sanksi Drop Out karena dianggap sebagai provokator tawuran. Saat ini ia menjadi seorang pengangguran. Akibat tawuran pula dibangunlah tembok pembatas yang memisahkan antara FT dan FBS. * Uang Naik * Sutradara: Ulfiani Kamerawan: Muhammad Ishak Produser: Tonny Trimarsanto * Sinopsis*: Menikah bukanlah hal yang mudah, karena bermodalkan cinta tidaklah cukup! "Uang Naik" mengangkat kisah Rio, pemuda Makassar, yang gagal menikah dengan kekasihnya akibat tidak dapat memberiakn "Uang Naik" sesuai keinginan keluarga kekasihnya. * Paggoyang Caddia * Sutradara: Lusyanne Erhid Salla & Syamsir Kamerawan: Nila Karlina Produser: Rhino Ariefiansyah * Sinopsis*: Yusuf, *Si Paggoyang Caddi*, putus sekolah sejak kelas III SD, di usia 10 tahun. Ia telah menggeluti pekerjaan mengayuh becak selama 4 tahun dan kerap mengalami kekerasan baik di rumah maupun di jalanan. Namun sebagai anak-anak, selayaknya anak seusianya, ia tetap bermain di sela waktu bekerja. Ia juga memiliki mimpi, ingin jadi polisi atau tentara. * (Jangan) Ada Kusta di Antara Kita * Sutradara: M Aan Mansyur Kamerawan: Nurlina Produser: Tonny Trimarsanto * Sinopsis*: Penyakit kusta dalam pandangan masyarakat bukan sekedar penyakit medis biasa, tetapi juga dilihat sebagai penyakit aib dan kutukan. Hal itu menyebabkan penderita kusta sering mengalami sikap diskriminasi. Muhammad "Abanda" Nur, seorang anak dari keluarga penderita kusta berjuang melepaskan keluarganya dari situasi seperti itu dengan bermain bola. Setelah dua kali membawa Indonesia menjadi salah satu tim U-12 terbaik dunia, kini Abanda terus bermain bola dengan satu tujuan: membahagiakan keluarganya. * (dikutip dari Leaflet Panitia) * ============== Acara Pemutaran film dokumenter ini dipadati pengunjung, mungkin karena pembuat filemnya sendiri yang berasal dari kalangan mahasiswa/aktifis sehingga menarik minat rekan-rekannya untuk ikut menonton hasil karyanya. Selain itu, tema yang diangkat menjadi filem dokumenter juga merupakan realitas menarik yang menjadi bagian dari keseharian mereka. Misalnya fenomena yang diangkat pada filem Tawuran Antar Mahasiswa, juga Uang Naik dan penderita Kusta yang cukup banyak di Makassar. Para sineas pemula ini menghabiskan waktu hanya seminggu untuk memotret dan mengambil gambar atas realitas yang cukup layak dijadikan perhatian masyarakat ini, dengan didahului oleh riset terbatas. Bandingkan dengan pembuat film dokumenter di luar negeri yang memerlukan waktu total empat tahun untuk menuntaskan satu filem dokumenter bermutu; dua tahun melakukan riset, dan dua tahun untuk pengambilan gambar. Realitas-realitas sosial yang menjadi bagian keseharian rakyat biasa Makassar ini yang dicoba diangkat oleh para 'sineas' amatir, sebahagian mungkin mengusung visi perubahan ke arah perbaikan, misalnya harapan yang muncul untuk mengeliminir 'tradisi' tawuran Mahasiswa yang agak ironis karena terjadi di universitas tempat calon pendidik menuntut ilmu. Dalam filem ini, Edi Sumardi mencoba menyampaikan pesan bahwa tidak akan pernah ada manfaat dan pemenang dalam tawuran ini, produk yang kemudian dihasilkan hanyalah ekses negatif/korban. Korban fisik berupa luka dan cacat permanen yang dialami Naston yang sampai terjadinya penyabetan parang oleh rekan sekampusnya, tidak pernah mengerti apa sebenarnya motif tawuran itu dan juga, korban terputusnya pendidikan Muh Gazali yang sebenarnya masih memendam keinginan untuk melanjutkan kuliahnya. Juga, adanya kegelisahan seorang pemuda bernama Rio dalam film "Uang Naik" yang gagal menikahi kekasihnya hanya karena sesuatu yang dianggapnya 'negotiable, uang naik, walau sebenarnya dari sorotan film tersebut, keluarganya terlihat masih dari golongan mampu. Rio akhirnya menangis sedih diakhir cerita, ketika seorang lelaki lain berani 'menawar' sesuai harga yang dipasang keluarga kekasihnya itu. Fenomena Uang Naik (atau makassar: Doe' panaik, bugis; doe' penre'), seharusnya bisa disorot juga dari sisi antropologi budaya sulsel sendiri yang sayang sekali tidak begitu diinformasikan secara detail dalam film ini karena keterbatasan riset dan waktu putar (15 menit), walaupun misi untuk menghapuskan tradisi Uang Naik ini masih jauh dari harapan, karena inheren nya tradisi ini secara turun temurun dalam masyarakat Sulsel. Dua film lainnya, (Jangan) Ada Kusta di Antara Kita dan Paggoyang Caddia, lebih merupakan potret buram dalam masyarakat kita sebagai buah kurangnya perhatian pemerintah (atau masyarakat). Film (Jangan) Ada Kusta di Antara Kita menyoroti perlakuan dan stigma yang diterima oleh penderita kusta, dalam hal ini diwakili oleh keluarga Abanda, dalam masyarakat. Berikut juga dengan kurangnya perhatian pemerintah akan nasib mereka sehingga membawa mereka untuk 'terpaksa' menempuh jalan kerasnya hidup, mengemis di jalanan dengan men'jaja'kan kusta nya untuk mendapatkan kompensasi belas kasihan dan duit. Lewat tutur ibunda Abanda, kita bisa menjadi 'saksi' betapa sulit menjadi seorang penderita kusta di tengah masyarakat yang merasa 'normal', apalagi ada stigma bahwa penyakit kusta itu adalah kutukan Tuhan atas perbuatan penderita yang kurang pantas (entah apa?). di filem ini lebih menyorot bagaimana 'perjuangan' penderita kusta ini untuk tetap bertahan hidup. Juga ada sosok Abanda, yang berusaha mewujudkan hidup yang lebih baik dengan bermain bola. Harapan ibunda Abanda, sederhana saja, supaya anaknya ini akan masih tetap 'care' dengan keluarganya sekiranya nanti sudah jadi 'orang'. Di film *Paggoyang Caddia*, sosok Yusuf cukup menarik dan mengundang senyum yang ironis karena dia mengungkapkan kesulitan hidupnya dengan ungkapan yang spontan dan tanpa beban. Logat makassar yang sangat kental menjadi hiburan tersendiri buat penonton. Harapan hidup nya diungkapkan dengan datar-datar saja, tanpa ada reaksi emosional. Dalam sesi tanya jawab dengan penonton, umumnya para penonton mempersoalkan motif dan konteks dari masing-masing filem. Misalnya untuk film Tawuran Antar Mahasiswa, beberapa penanya yang mungkin berlatar belakang UNM merasa sangat keberatan karena film ini dianggap bisa memperburuk citra UNM di mata masyarakat. Bahkan ada yang mencurigai bahwa film ini membawa misi konspirasi dari pihak tertenut untuk memprovokasi dan mengambil keuntungan dari fenomena ini, hal mana ditolak dengan tegas oleh sutradaranya yang juga mahasiswa UNM, Edi Sumardi. Beberapa penanya juga mempersoalkan mengapa hanya UNM yang disorot, padahal pelaku tawuran juga ada di Univeristas lain, misalnya Unhas, UMI, dan Universitas 45. Namun tak sedikit yang mengungkapkan dukungannya akan film ini, dan mengharapkan bahwa film ini akan mampu membuka mata betapa seriusnya akibat yang ditimbulkan oleh tawuran ini. Apalagi di akhir film itu juga diungkapkan oleh pelaku tawuran bahwa apa yang telah mereka alami hendaknya menjadi pelajaran berharga buat yang lain, terutama adik-adik generasi sesudahnya agar menghentikan tradisi kekonyolan itu. Menanggapi film Uang Naik, ada penanya yang mempersoalkan konteks alur ceritanya, yang kelihatannya lebih menjadi ajang Curahan Hati (Curhat) si pelaku sehingga menganggap bahwa judul Uang Naik ini tidak terlalu merepresentasikan film itu, lebih pas dengan judul Kasih Tak Sampai. Juga ada yang mempersoalkan begitu 'vulgar'nya nominal duit diperbincangkan dalam film ini, hal mana masih dianggap tabu untuk diungkapkan di masyakarak Sulsel. Satu hal lagi yang mungkin membingungkan, betapa si pemuda merasa tidak mampu mendapatkan duit Rp 35 juta untuk melamar kekasihnya, padahal yang tersorot dalam kesehariannya, ia tergolong cukup kaya, memiliki mobil keluaran terbaru dan berasal dari keluarga militer perwira menengah, dengan rumah yang tergolong mewah. Buat mata masyarakat, nominal Rp 35 juta cukup mudah dikumpulkan oleh keluarga seperti itu. Film (Jangan) Ada Kusta di Antara juga mendapat apresiasi cukup banyak dari penonton. Diantaranya mengkritisi keberpihakan film ini, apakah bermaksud menegasikan atau memarginalkan para penderita kusta karena judulnya berkonotasi provokatif untuk melarang adanya penderita kusta berada di antara 'kita'. Juga ada yang mempersoalkan bahasa Indonesia yang terlihat 'dipaksakan' sehingga kesan kikuk pelakunya dalam bertutur mengurangi pesan yang ingin disampaikan yang mungkin akan lebih baik jika ditampilkan dalam bahasa ibu pelakunya, bahasa makassar. Secara umum, pemutaran filem dokumenter ini cukup memuaskan terlebih karena fenomena yang diangkat dalam konteks filemnya cukup akrab dalam kehidupan masyarakat Sulsel. Hal teknis yang mungkin agak mengganggu adalah sound system yang kurang bagus sehingga banyak dialog dalam filem itu tidak tertangkap dengan baik oleh para penonton. Harapan semuanya tentunya bahwa ajang ini bisa menjadi stimulus kreasi para mahasiswa, akademisi, penggiat sosial, komunitas audio visual atau masyarakat umumnya untuk berlomba-lomba menciptakan film dokumenter yang memotret realitas sosial masyarakat, khususnya yang luput dari perhatian para pengambil kebijakan. Source: 1. Leaflet Panitia Pemutaran Film Dokumenter, KickStart!2007 -- ------------------------- rusle http://noertika.wordpress.com Puntondo's Special Session: http://noertika.wordpress.com/2007/07/09/puntondos-special-session-2/