coba buka link:

http://www.panyingkul.com/view.php?id=499&jenis=kabarkita


 *:: kabarkita*     Jumat, 13-07-2007  Anak Muda Makassar Bikin Dokumenter
*:: M Ruslailang Noertika ::*


*Para penonton dan pembuat film dokumenter.
Foto: Istimewa.
*

KickStart!2007 adalah program pelatihan pembuatan film dokumenter bagi
pemula. Hasil pelatihan adalah film dokumenter pendek berdurasi 15 menit
dalam satu seri dokumenter. Ada empat karya yang dihasilkan, yakni Tawuran
Antar Mahasiswa (Sutradara: Edi Sumardi; Kamerawan: Rio Ahmad; dan Produser:
Rhino Ariefiansyah); Uang Naik (Sutradara: Ulfiani; Kamerawan: Muhammad
Ishak; Produser: Tonny Trimarsanto); Paggoyang Caddia (Sutradara: Lusyanne
Erhid Salla & Syamsir; Kamerawan: Nila Karlina; Produser: Rhino
Ariefiansyah); dan (Jangan) Ada Kusta di Antara Kita (Sutradara: M Aan
Mansyur; Kamerawan: Nurlina; Produser: Tonny Trimarsanto). Berikut laporan
citizen reporter *M Ruslailang Noertika* yang menyaksikan film-film
tersebut.(p*!*)
 Pada Rabu (11/7) malam lalu, gedung MULO Makassar, dipadati orang. Di
tempat, berlangsung pemutaran film dokumenter hasil karya 4 pembuat film
dokumenter karya anak-anak muda Makassar. Tapi mungkin para pembuat filmnya
sendiri memang sengaja mengundang rekan-rekan mereka. Tapi ini adalah
suasana yang langka, ketika anak-anak muda Makassar berkumpul mengapresiasi
karya seni rekan-rekannya sendiri.

Tema yang dipotret oleh film dokumenter tersebut adalah realitas sehari-hari
di sekitar warga Makassar. Misalnya tema perkelahian mahasiswa, uang naik
dalam pernikahan, hingga penderita kusta yang cukup banyak di Makassar. Para
sineas pemula ini menghabiskan waktu hanya seminggu untuk memotret dan
mengambil gambar , dengan didahului oleh riset terbatas. Bandingkan dengan
salah satu film dokumenter yang memerlukan waktu total empat tahun untuk
menuntaskan satu film dokumenter bermutu; dua tahun melakukan riset, dan dua
tahun untuk pengambilan gambar.

Realitas-realitas sosial yang menjadi bagian keseharian warga Makassar ini
yang dicoba diangkat oleh para 'sineas' amatir, sebagian mungkin mengusung
visi perubahan ke arah perbaikan, misalnya harapan yang muncul untuk
mengeliminir 'tradisi' tawuran mahasiswa yang agak ironis karena terjadi di
universitas tempat calon pendidik menuntut ilmu. Dalam film ini, Edi Sumardi
mencoba menyampaikan pesan bahwa tidak akan pernah ada manfaat dan pemenang
dalam tawuran ini, produk yang kemudian dihasilkan hanyalah ekses
negatif/korban. Korban fisik berupa luka dan cacat permanen yang dialami
Naston yang sampai terjadinya penyabetan parang oleh rekan sekampusnya,
tidak pernah mengerti apa sebenarnya motif tawuran itu dan juga, korban
terputusnya pendidikan Muh Gazali yang sebenarnya masih memendam keinginan
untuk melanjutkan kuliahnya.

Juga, adanya kegelisahan seorang pemuda bernama Rio dalam film "Uang Naik"
yang gagal menikahi kekasihnya hanya karena uang naik, walau sebenarnya dari
sorotan film tersebut, keluarganya terlihat masih dari golongan mampu. Rio
akhirnya menangis sedih diakhir cerita, ketika seorang lelaki lain berani
'menawar' sesuai harga yang dipasang keluarga kekasihnya itu. Fenomena uang
naik alias uang mahar ini, seharusnya bisa disorot juga dari sisi
antropologi budaya yang sayang sekali tidak begitu diinformasikan secara
detail dalam film karena keterbatasan riset dan durasi (15 menit). Upaya
menghapuskan tradisi uang naik ini masih jauh dari harapan, karena
inherennya tradisi ini secara turun temurun dalam masyarakat Sulsel.

Dua film lainnya, (Jangan) Ada Kusta di Antara Kita dan Paggoyang Caddia,
lebih merupakan potret buram dalam masyarakat kita akibat kurangnya
perhatian pemerintah (atau masyarakat). Film (Jangan) Ada Kusta di Antara
Kita menyoroti perlakuan dan stigma yang diterima oleh penderita kusta,
dalam hal ini diwakili oleh keluarga Abanda, dalam masyarakat. Berikut juga
dengan kurangnya perhatian pemerintah akan nasib mereka sehingga membawa
mereka untuk 'terpaksa' menempuh jalan kerasnya hidup, mengemis di jalanan
dengan menjajakan kusta nya untuk mendapatkan kompensasi belas kasihan dan
duit. Lewat tutur ibunda Abanda, kita bisa menjadi 'saksi' betapa sulit
menjadi seorang penderita kusta di tengah masyarakat yang merasa 'normal',
apalagi ada stigma bahwa penyakit kusta itu adalah kutukan Tuhan.

Film ini lebih menyorot bagaimana 'perjuangan' penderita kusta untuk tetap
bertahan hidup. Juga ada sosok Abanda, yang berusaha mewujudkan hidup yang
lebih baik dengan bermain bola. Harapan ibunda Abanda, sederhana saja,
supaya anaknya ini akan masih tetap 'care' dengan keluarganya sekiranya
nanti sudah jadi 'orang'.

Di film Paggoyang Caddia, sosok Yusuf cukup menarik dan mengundang senyum
yang ironis karena dia mengungkapkan kesulitan hidupnya dengan ungkapan yang
spontan dan tanpa beban. Logat Makassar yang sangat kental menjadi hiburan
tersendiri buat penonton. Harapan hidup nya diungkapkan dengan datar-datar
saja, tanpa ada reaksi emosional.

Dalam sesi tanya jawab usai pemutaran film, banyak penonton mempersoalkan
motif dan konteks dari masing-masing film. Misalnya untuk Tawuran Antar
Mahasiswa, beberapa penanya yang mungkin berlatar belakang UNM merasa sangat
keberatan karena film ini dianggap bisa memperburuk citra kampus mereka.
Bahkan ada yang mencurigai bahwa film ini membawa misi konspirasi dari pihak
tertentu untuk memprovokasi, hal yang ditolak dengan tegas oleh sutradaranya
yang juga mahasiswa UNM, Edi Sumardi. Beberapa penanya juga mempersoalkan
mengapa hanya UNM yang disorot, padahal pelaku tawuran juga ada di
nniveristas lain, misalnya Unhas, UMI, dan Universitas 45. Namun tak sedikit
yang mengungkapkan dukungannya akan film ini, dan mengharapkan bahwa film
ini akan mampu membuka mata betapa seriusnya akibat yang ditimbulkan oleh
tawuran ini. Apalagi di akhir film itu juga diungkapkan oleh pelaku tawuran
bahwa apa yang telah mereka alami hendaknya menjadi pelajaran berharga buat
yang lain, terutama adik-adik generasi sesudahnya agar menghentikan tradisi
kekonyolan itu.

Menanggapi film Uang Naik, ada penanya yang mempersoalkan konteks alur
ceritanya, yang kelihatannya lebih menjadi ajang curhat si pelaku sehingga
menganggap judul ini tidak terlalu merepresentasikan isi film itu. Mungkin
lebih pas dengan judul Kasih Tak Sampai. Juga ada yang mempersoalkan begitu
'vulgar'nya nominal duit diperbincangkan dalam film ini, hal mana masih
dianggap tabu untuk diungkapkan di masyakarak Sulsel. Satu hal lagi yang
mungkin membingungkan, betapa si pemuda merasa tidak mampu mendapatkan duit
Rp 35 juta untuk melamar kekasihnya, padahal yang tersorot dalam
kesehariannya, ia tergolong cukup kaya, memiliki mobil keluaran terbaru dan
berasal dari keluarga militer perwira menengah, dengan rumah yang tergolong
mewah. Buat mata masyarakat, nominal Rp 35 juta cukup mudah dikumpulkan oleh
keluarga seperti itu.

Film (Jangan) Ada Kusta di Antara juga mendapat apresiasi cukup banyak dari
penonton. Di antaranya mengkritisi keberpihakan film ini, apakah bermaksud
menegasikan atau memarginalkan para penderita kusta karena judulnya
berkonotasi provokatif untuk melarang adanya penderita kusta berada di
antara 'kita'. Juga ada yang mempersoalkan bahasa Indonesia yang terlihat
'dipaksakan' sehingga kesan kikuk pelakunya dalam bertutur mengurangi pesan
yang ingin disampaikan yang mungkin akan lebih baik jika ditampilkan dalam
bahasa ibu pelakunya, bahasa makassar.

Secara umum, pemutaran filem dokumenter ini cukup memuaskan terlebih karena
fenomena yang diangkat dalam konteks filemnya cukup akrab dalam kehidupan
masyarakat Sulsel. Hal teknis yang mungkin agak mengganggu adalah sound
system yang kurang bagus sehingga banyak dialog dalam filem itu tidak
tertangkap dengan baik oleh para penonton. Harapan semuanya tentunya bahwa
ajang ini bisa menjadi stimulus kreasi para mahasiswa, akademisi, penggiat
sosial, komunitas audio visual atau masyarakat umumnya untuk berlomba-lomba
menciptakan film dokumenter yang memotret realitas sosial masyarakat.(p*!*)

*Citizen reporter M Ruslailang Noertika dapat dihubungi melalui email
[EMAIL PROTECTED]




--
-------------------------
rusle
http://noertika.wordpress.com

Makassar di Panyingkul!:
http://noertika.wordpress.com/2007/07/13/launching-buku-panyingkul/

Kirim email ke