eh barusan ke sana lagi..
foto dihapus..

heran ka.. ndak pa pa ji sebenarnya toh dipake.. yg penting dikasih kredit..
foto jepretan siapa.
heran saya..
apa tersinggung sama pertanyaanku? :-?

On 8/27/07, Irayani Queencyputri <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
> ih fotonya ndak dikasih kredit..
> itu kan hasil jepretanku.. yang tulisannya ada di
> http://panyingkul.com/view.php?id=244&jenis=kabarkita :-"
> ngambil ga bilang2 hehehe..
>
> jadi ingat, saya juga punya nama daeng :P
> Dg Kebo :D akikahan di empang kampung Pulobangkeng Selatan :))
>
> On 8/27/07, rusle <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
> >
> >   kabar Panyingkul:
> > http://www.panyingkul.com/view.php?id=545&jenis=kabarkita
> >
> >   Senin, 27-08-2007  *Seribu "Daeng", Seribu Harapan*
> > *:: Panyingkul! ::*
> >
> >  Warga Makassar akrab dengan "Coto Makassar Asuhan Daeng Tunru"
> > sementara penggemar kuliner di Jakarta fasih menyebut "Konro Bakar Mamink
> > Daeng Tata". Kepada pengayuh becak, kita menawar harga, "Berapa sampai
> > pasar, Daeng?" Nun jauh di perantauan, tidak sedikit orang Bugis-Makassar
> > melestarikan sebutan "Daeng" untuk menegaskan identitas mereka. Bagi
> > masyarakat Bugis, panggilan "Daeng" terbatas untuk merujuk pada seseorang
> > yang dituakan. Tapi bagi masyarakat Makassar, Daeng juga adalah nama khusus
> > atau disebut *paddaengang*, cerminan harapan yang luhur. Seperti apakah
> > pengunaan nama daeng ini di tengah masyarakat Makassar? Berikut rangkuman
> > laporan sejumlah citizen reporter mengenai paddaengang.(*p!*)
> >
> > Di kalangan masyarakat Makassar, gelar daeng atau paddaengang disebut
> > sebagai *areng alusu'* (nama halus), yang penulisannya disandingkan
> > dengan nama resmi. Inti pemberian gelar ini adalah menyematkan harapan agar
> > si penyandang nama menempuh hidup sesuai makna paddaengangnya.
> >
> > Mari kita simak penuturan *Kamaruddin daeng Nuntung*, citizen reporter
> > yang sekarang bekerja di Banda Aceh. Ia bercerita bahwa di Kabupaten
> > Takalar, keluarga besarnya masih menjaga ketat tradisi paddaengang. Ia
> > mendapatkan gelar Daeng Nuntung ketika berusia 12 tahun, saat akan disunat.
> >
> > Nama Kamaruddin yang disandangnya diresmikan saat pelaksanaan aqiqah,
> > yang dalam bahasa Makassarnya disebut *a'caru caru*. Pada saat aqiqah
> > ini juga sudah diancang-ancang sebuah nama daeng untuknya dengan meminta
> > masukan dari nenek dan kakek di keluarga besar. Nama daeng biasanya
> > diusulkan dari nama nenek, kakek dan buyut baik dari garis ayah maupun ibu.
> >
> > Gelarannya sebagai Daeng Nuntung kemudian diresmikan saat ia dikhitan,
> > tepatnya sebulan sebelum masuk ke SMP di Galesong, Takalar. Tahapan *a'gau
> > gau* (khitanan) secara tradisional di tanah Galesong terdiri dari tiga,
> > yakni barazanji, penammatan Al Quran, dan sebuah tahapan yang disebut *
> > Atta'ba* di mana sumbangan dari pihak keluarga bagi yang anak dikhitan
> > disebutkan. Pada proses atta'ba inilah diumumkan tentang pemberian nama
> > "Daeng Nuntung" bagi Kamaruddin.
> >
> > Atta'ba yang dipandu seorang Imam itu mengumumkan: " *Anne alloa nia
> > ngaseng maki mae, para bija, purina, cikali, nenek , dato'na iya ngaseng
> > niaka di kamponga battumaki ri patta'bakanna i Kamarudding daeng Nuntung
> > *."
> >
> > Artinya: "Hari ini datanglah ke sini, keluarga, om, sepupu, nenek dan
> > kakek, semua yang ada di kampung datanglah ri pattabbakanna Kamaruddin daeng
> > Nuntung."
> >
> >
> > Kamaruddin meneruskan tradisi pemberian gelar daeng di keluarganya.
> > Ketiga anaknya bahkan telah mendapatkan paddaengangnya ketika diaqiqah,
> > masing-masing Intan daeng Ngintang, Khalid Adam daeng Ngalli dan Aisyah
> > Sofianita daeng Te'ne. Nama-nama tersebut diambil dari nama kakek dan nenek
> > di keluarga besar.
> >
> > "Saya tetap meneruskan tradisi paddaengang ini karena ingin mengingat
> > sejarah keluarga sekaligus juga menjadikan gelar itu sebagai bentangan
> > harapan dan doa bagi anak-anak saya," tutur Kamaruddin.
> >
> > Beberapa paddaengang yang populer digunakan dapat dilihat pada tabel di
> > bawah ini.
> >
> >
> >
> > *
> > *
> >
> >
> >
> > *
> > *
> >
> >
> > *Sempat Malu*
> > Sementara itu citizen reporter *Syaifullah daeng Bella* dari Kabupaten
> > Gowa mengaku mulai tertarik menelusuri tradisi paddaengang di keluarganya
> > ketika beranjak remaja. Ia menanyakan tradisi paddaengang ini kepada salah
> > seorang neneknya.
> >
> > "Katanya jaman dulu pemberian gelar daeng diberikan setelah sang bayi
> > lahir. Biasanya yang paling berhak memberi nama daeng tersebut adalah kakek
> > atau nenek langsung dari si bayi. Biiasanya juga nama daeng-nya akan lebih
> > populer dari nama aslinya, dalam artian keluarga maupun orang-orang terdekat
> > akan hanya memanggil nama daeng-nya saja tanpa menyebut nama aslinya. namun
> > di jaman sekarang pemberian gelar daeng tersebut diberikan kepada anak yang
> > sudah beranjak remaja, sebagian besar hanya formalitas saja dan tidak
> > terlalu melekat seperti kebiasaan orang jaman dahulu."
> >
> > Tentang acara khusus untuk pemberian nama daeng, di keluarga Syaifullah
> > pada dasarnya tidak memerlukan ritual khusus selain diumumkan pada saat sang
> > bayi diaqiqah. Yang menarik karena ia mengamati anak muda Makassar zaman
> > sekarang meski masih banyak yang punya nama daeng pemberian kakek dan nenek,
> > tapi sayangnya terlalu sedikit dari mereka yang mau memakai atau sekedar
> > menuliskan nama daengnya.
> >
> > "Kebanyakan anak muda sekarang menganggap pemakaian nama daeng sudah
> > terlalu "jadul" (jaman dulu –istilah ketinggalan jaman –ed), kampungan dan
> > tidak intelek. Apalagi bila melihat kenyataan jaman sekarang, nama daeng
> > diasosiasikan dengan masyarakat kelas bawah seperti tukang becak, tukang
> > batu, dan lain-lain. Saya sendiri mendapat nama daeng Bella (artinya jauh)
> > dari nenek saya, nama ini diambil dari nama bapak beliau yang mati digorok
> > pemberontak tahun 50-an. Kata nenek saya, beliau ini orangnya tegas, kukuh
> > dalam pendiriannya dan suka menolong yang lemah dan beliau berharap saya
> > bisa memiliki sifat yang sama," tutur Syaifullah.
> >
> > Banggakah ia dengan nama daengnya itu? Syaifullah mengaku ia cukup
> > bangga dengan nama ini, "Tapi sayangnya nama ini terdengar agak feminin,
> > sehingga kemudian saya tidak pernah menuliskannya lagi karena malu. Sampai
> > sekarang nenek saya masih sering memanggil saya dengan nama Daeng Bella.
> > Sementara nenek memberi gelar istri saya yang orang Jawa, Daeng Pajja karena
> > kulitnya yang hitam manis. Pemberian nama daeng untuk istri saya ini tanpa
> > acara ritual khusus."
> >
> > *Egaliter vs Bangga*
> > Lain lagi dengan *Zohra Andi Baso Karaeng Intang* yang lahir di tengah
> > keluarga bangsawan di kabupaten Pangkep. Ia bercerita bahwa di tengah
> > keluarga dan sahabat dekatnya ia memang dipanggil "Karaeng Intang". Intang
> > adalah gelar daeng yang disematkan kepada aktivis gerakan perempuan ini.
> > Sekarang ia merasa jengah dengan panggilan itu.
> >
> > "Zaman sudah berubah. Di keluarga besar kami sudah ditradisikan menyebut
> > Tante, Om, Kakek, Nenek, Kakak dan bukannya melestarikan panggilan yang
> > sangat hirarkis itu. Dahulu, pemberlakuannya di kalangan bangsawan sangat
> > ketat. Salah panggil bisa dianggap tidak tahu adat. Anak laki-laki
> > mendapatkan gelar daeng saat ia disunat, sementara anak perempuan menyandang
> > gelar daengnya saat haid pertama. Tapi ada juga anak-anak yang telah
> > mendapatkan gelarnya sejak bayi. Nama daeng ini diambil dari nama leluhur
> > kami. Tapi sekarang saya lebih nyaman dengan panggilan yang mencerminkan
> > kesetaraan, sikap egaliter," tutur Zohra.
> >
> > Repot menghapal gelaran daeng setiap anggota keluarga dan sanak famili
> > dirasakan citizen reporter *Yusrianti daeng Lantiq*, yang besar di
> > tengah keluarga bangsawan Jeneponto. "Orang tua saya sangat menjaga tata
> > krama panggilan daeng di tengah keluarga kami. Tapi bagi anak-anak muda, ini
> > merepotkan sekali. Bila bergaul dengan sepupu yang lain, rasanya ada jarak
> > untuk mengingat nama daeng, nama asli, nama kecil. Bila salah sebut, kami
> > dicap tidak sopan," tuturnya.
> >
> > Tapi setelah beranjak dewasa dan kemudian merantau ke Jakarta, Yusrianti
> > kemudian "back to basic" dalam soal panggilan daeng ini. Ia menyebut gelaran
> > daengnya setiap kali memperkenalkan namanya. Meski sulit bagi lidah orang
> > luar Makassar melafal nama Lantiq yang artinya penyambung, pemersatu, atau
> > lebih kerennya lagi "fasilitator". Bagi rekan-rekannya yang sulit mengingat
> > nama daengnya itu, ia tidak keberatan dipanggilan "Daeng Yus".
> >
> > "Dulu saya berpikir, penggunaan paddaengang ini bikin susah saja dan
> > erat kaitannya dengan identitas kelas di dalam masyarakat Makassar. Kalangan
> > bangsawan sangat mengagungkan gelaran seperti ini, termasuk keluarga saya.
> > Nama paddaengang pertama saya adalah Daeng Sunggu, tapi saya protes dan
> > merasa kurang cocok, apalagi ada juga tetangga bernama Daeng Sunggu yang
> > perangainya kurang disuka warga lain. Saya ogah menggunakan nama itu.
> > Sewaktu kuliah juga saya enggan menggunakan nama daeng saya, kesannya kuno…
> > Tapi sekarang, saya malah bangga memperkenalkan diri sebagai Daeng Lantiq..
> > kedengarannya unik, dan ciri khas Makassarnya kuat. Bagi yang sulit
> > mengucapkannya, saya bahkan mengusulkan memanggil saya DELLA, singkatan
> > Daeng Lantiq, lebih gaya lagi kan?"
> >
> > Di luar Sulsel, banyak orang Bugis-Makassar yang juga memelihara nama
> > paddaengang atau bahkan menyematkan gelar "daeng" di depan nama mereka
> > sebagai identitas. Menurut citizen reporter *Ismail S. Wekke * di Kuala
> > Lumpur, kata "daeng" sangat populer digunakan baik di Pekanbaru, Singapura
> > dan Malaysia.
> >
> > "Saya bertemu Daeng Ayyub di Pekanbaru pada awal bulan Mei. Kemudian ada
> > yang pakai nama Daeng Mappisammeng di Malaysia yang baru-baru ini diwisuda
> > di Universiti Kebanggsaan Malaysia (UKM) dan saudara kita di Malaysia yang
> > berketurunan Bugis sangat gembira jika dipanggil dengan gelaran daeng-nya.
> > Saya kenal Daeng Gassing di kawasan Bandar Baru Bangi, Kuala Lumpur. Di
> > Singapura, beberapa orang Bugis yang saya temui selalu memperkenalkan nama
> > paddaengannya kalau dia sudah tahu saya ini orang Bugis."
> >
> > Katanya, di tanah rantau di negeri jiran ini, sesama orang Bugis (semua
> > orang yang dari tanah Sulawesi Selatan disebut Bugis walaupun suku Makassar)
> > lebih senang saling memanggil dengan nama paddaengang atau menyapa dengan
> > kata "daeng" di depan nama masing-masing.
> >
> > Karena gelar daeng ini diambil dari bahasa Makassar, tentu ada catatan
> > khusus agar berhati-hati menggunakannya di daerah lain. Ambil contoh Daeng
> > Maling. Dalam bahasa Makassar, Maling artinya "orang yang peduli". Tapi
> > harus lihat-lihat situasi juga menyerukan nama ini di daerah lain. Bila
> > meneriakkan nama ini di Jakarta, bisa-bisa *barabe kena gebuk …* (p*!*)
> >
> >
> > *Topik Gelar Daeng atau Paddaengang ini telah didiskusikan selama bulan
> > Agustus di mailing list [EMAIL PROTECTED]
> > Bagi Anda yang berminat bergabung silakan mengirim email kosong ke [EMAIL 
> > PROTECTED]
> >
> >
> > *Tabel disusun oleh Nesia Andriana berdasarkan bahan dari mailing
> >
> >  
> >
>
>
>
> --
> Peace, Love and Smile :)
> Rara
> -=[God bless you!]=-
> --
> BLOG FOR LIFE: Sebuah Ucapan Terima Kasih
> http://www.i-rara.com/2007/08/10/blog-for-life-sebuah-ucapan-terima-kasih/
>
> On Store, 'Teen World : Ortu Kenapa Sih?' - Juni 2006, Penerbit Cinta
> http://preview-teenworld.blogspot.com/




-- 
Peace, Love and Smile :)
Rara
-=[God bless you!]=-
--
BLOG FOR LIFE: Sebuah Ucapan Terima Kasih
http://www.i-rara.com/2007/08/10/blog-for-life-sebuah-ucapan-terima-kasih/

On Store, 'Teen World : Ortu Kenapa Sih?' - Juni 2006, Penerbit Cinta
http://preview-teenworld.blogspot.com/

Reply via email to