Sunda euy....

---------- Forwarded message ----------
From: mediacare <[EMAIL PROTECTED]>
Date: 25 Apr 2008 11:55
Subject: [mediacare] Orang Sunda paling suka daun muda
To: [EMAIL PROTECTED], creative circle <
[EMAIL PROTECTED]>, [EMAIL PROTECTED],
[EMAIL PROTECTED], mediacare <[EMAIL PROTECTED]>, media jabar
<[EMAIL PROTECTED]>, [EMAIL PROTECTED]

  
*Oleh Her Suganda
*

Makan bukan hanya merupakan upaya manusia untuk mempertahankan diri
agar bisa hidup terus. Dengan makan, makhluk hidup apa pun, apalagi
manusia, berusaha memenuhi kebutuhannya akan gizi. Tanpa makan,
apalagi juga tanpa minum, kehidupannya tidak akan berlangsung lama.

Akan tetapi, makan juga menunjukkan budaya suatu bangsa atau etnis.
Makanan pokok bangsa-bangsa Eropa, Amerika, dan Australia berbeda
dengan makanan pokok yang dikonsumsi bangsa-bangsa di Afrika, Timur
Tengah, dan Asia. Bahkan, dalam satu bangsa sekalipun bisa
berbeda-beda. Dulu di bangku sekolah, anak-anak sekolah dasar
mengetahui lewat buku-buku pelajaran bahwa orang Madura tidak memakan
nasi sebagai makanan pokok. Mereka memakan jagung. Orang Maluku dan
Papua memakan sagu.

Namun, seperti etnis lainnya di Nusantara, tradisi makan telah
mengalami perubahan, terutama setelah mengalami sukses "revolusi
hijau". Budidaya tanaman padi diperluas melalui intensifikasi maupun
ekstensifikasi sehingga kita mampu mencapai swasembada beras pada
tahun 1984.

Tanpa disadari, keberhasilan itu disusul dengan terjadinya perubahan
tradisi makan. Kini hanya sebagian kecil kelompok masyarakat yang
tidak menjadikan beras sebagai bahan makanan pokok mereka. Di Tatar
Sunda, tinggal masyarakat Kampung Cireundeu di Kota Cimahi yang
melanjutkan tradisi leluhurnya dengan menjadikan olahan singkong
sebagai bahan makanan pokok. Jumlah mereka hanya beberapa puluh keluarga.

Tradisi

Bahwa tradisi makan menunjukkan budaya masyarakatnya, tecermin dalam
cara makan orang yang egaliter. Tradisi makan masyarakat Sunda yang
tinggal di daerah pedesaan memperlihatkan budaya masyarakatnya yang
egaliter. Bentuk rumah dan pembagian ruangannya yang sederhana tidak
membutuhkan peralatan rumah tangga yang dianggap tidak perlu. Ruang
tengah dijadikan ruang keluarga, sekaligus menjadi ruang makan. Ruang
ini sering kali tidak dilengkapi dengan meja makan. Mereka makan
dengan cara lesehan di atas sehelai tikar yang dihamparkan.

Tradisi makan sebagai budaya suatu etnis bisa juga dilihat dari
rumah-rumah makan etnis di berbagai daerah. Jika kita memasuki rumah
makan padang, nasi yang dihidangkan sekadarnya saja. Yang paling
banyak justru lauk berbagai jenis masakan. Ada ayam pop, ayam goring,
daging rendang, goreng dendeng dan limpa, masakan otak, kukus daun
singkong atau pakis, dan lainnya. Kuahnya dibuat dengan santan kental.
Untuk cuci mulut, disediakan buah-buahan.

Rekan J Mathias Pandoe dari Padang menceritakan, dalam kehidupan
sehari-hari, orang Minang bisa menghabiskan separuh penghasilannya
untuk makan. Maksudnya, makan tidak asal kenyang, tetapi "ya itu
tadi" makanannya banyak mengandung gizi.

Subur

Tatar Sunda adalah daerah yang subur. Curah hujannya tinggi. Dengan
demikian, seperti salah satu lagu Koes Plus dan "Kolam Susu", tongkat
saja jika ditancapkan di daerah ini bisa jadi tanaman. Di Tatar Sunda,
berbagai jenis tumbuhan bisa subur.

Namun, bagaimana hubungan antara tingkat kesuburan suatu daerah dan
tradisi makan penduduknya, agaknya merupakan sesuatu yang menarik
untuk dikaji sebagai kekayaan local genius masyarakat setempat.

Buktinya, walau hidup bertetangga, tradisi masyarakat Sunda dalam
memanfaatkan tumbuhan di sekitarnya berbeda dengan masyarakat Jawa
Tengah. Di daerah yang terakhir ini, berbagai daun-daunan dan tanaman
lain yang berkhasiat obat dijadikan jamu. Baik yang dijajakan dengan
cara digendong maupun dengan cara diproses lebih dulu, seperti
diproduksi industri-industri jamu.

Tradisi itu tidak dijumpai di lingkungan masyarakat Sunda. Berbagai
jenis tumbuhan dan biji-bijian yang diperoleh dari kebun, ladang,
bahkan dari pematang sawah atau hutan langsung dimakan. Sebagian besar
di antaranya terdiri dari daun-daunan yang disebut lalap. "Orang Sunda
paling suka daun muda," begitu pernah dikemukakan Guru Besar Biologi
Institut Teknologi Bandung Prof Unus Suriawiria (alm) yang banyak
meneliti khasiat berbagai jenis tumbuhan lalap yang dikonsumsi
masyarakat Sunda.

Sebagian besar tumbuhan itu merupakan tumbuhan liar yang bisa dijumpai
di sembarang tempat. Bahkan terdapat tumbuhan yang dijadikan pembatas
pagar, seperti tumbuhan bluntas. Dengan demikian, jika membutuhkan
lalap, siapa pun bisa dengan mudah memetiknya.

Bluntas bukan hanya satu-satunya jenis tumbuhan pembatas pagar yang
bisa dijadikan lalap. Masih terdapat tidak kurang dari enam jenis
tumbuhan pembatas pagar lainnya yang dijadikan lalap, seperti
mangkokan, kastuba, puring, katuk, kedondong cina, dan petai cina. Di
luar itu, jenis tumbuhan yang bisa dijadikan lalap-lalapan ternyata
sangat banyak jumlahnya.

Dalam penelitian yang dilakukan Prof Unus Suriawiria, pada tahun 1986
ditemukan 70 jenis tanaman lalap yang bisa disantap langsung. Jumlah
itu masih belum seberapa karena pada tahun 1993 ditemukan 24 jenis
lagi sehingga jumlahnya mencapai 94 jenis. Sampai tahun 2000, ia
mencatat tidak kurang dari 200 jenis tanaman yang bisa dijadikan lalap.

Yang menarik, dari berbagai jenis tumbuhan itu, tidak kurang dari 60
jenis di antaranya dimanfaatkan berupa bagian pucuk atau daun muda.
Dengan demikian, ke mana pun melangkah, tumbuhan yang bisa dijadikan
lalap berada di sekitarnya.

Penelitian

Kecuali Prof Unus Suriawiria, penelitian terhadap lalap masyarakat
Sunda masih jarang dilakukan. Penelitian selama ini lebih banyak
dilakukan terhadap tanaman obat. Tanaman lalap hanya disinggung
sepintas saja, sebagaimana ditulis Dr A Seno-Sastroamidjojo dalam Obat
Asli Indonesia (1962). Mungkin karena jenis tanaman ini lebih tinggi
nilai ekonominya.

Rahasia dan perincian tentang jenis-jenis tanaman lalap justru lebih
banyak ditulis oleh orang-orang Belanda sebelum kemerdekaan. Pada
tahun 1931, Dr JJ Osche dan Dr RC Backhuizen van den Brink menulis
berbagai jenis tanaman yang dapat digunakan sebagai lalap dalam buku
Indische Groenten yang diterbitkan Archipel Drukkerij di Buitenzorg
(Bogor). Bahkan, betapa pentingnya tanaman lalap, terbukti buku itu
kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris berjudul Vegetable of
Dutch East Indies yang diterbitkan penerbit A Asher & Co, BV di Amsterdam.

Buku lainnya yang menyinggung tanaman lalap dan manfaatnya sebagai
sumber makanan maupun obat ditulis Dr K Heyne dalam De nuttige planten
van N.I. (1927) dan Atlas van Indische geneeskrachtige planten yang
ditulis Ny J Kloppenburg-Versteegh pada tahun 1933.

Lalap

Lalap menjadi hidangan yang disajikan di atas meja makan rumah-rumah
makan Sunda mulai berkembang menjelang akhir tahun 2000. Entah karena
adanya kecenderungan kesadaran perlunya †kembali ke alam†atau orang
mengalami kejenuhan dengan formalitas yang membelenggu aktivitas
kesehariannya, rumah makan Sunda ikut terdongkrak. Rumah makan Sunda
itu tidak hanya terdapat di Bandung, tetapi menyebar ke daerah lain,
seperti Jakarta, dan bahkan sampai ke Batam.

Agar menimbulkan kesan kuat dengan lingkungan masyarakat Sunda,
tempat-tempat yang dijadikan rumah makan tersebut biasanya berusaha
mengadopsi tradisi dan nuansa masyarakat Sunda di daerah pedesaan.
Bangunannya berupa saung (gubuk) berbentuk sederhana, terbuat dari
bahan-bahan lokal seperti bambu dengan atap daun alang-alang yang
dilapisi jerami agar tidak bocor pada saat hujan. Tempat makan hanya
tersedia meja makan sehingga pengunjung hanya duduk lesehan.
Sekeliling rumah makan tersebut biasanya dilengkapi dengan kolam ikan.

Menu utama biasanya ikan mas atau gurami yang diolah dengan berbagai
bumbu, dalam bentuk pepes, goreng, atau hasil olahan lainnya. Tambahan
menu lainnya yang tidak pernah ketinggalan, antara lain, goreng ikan
asin jambal, goreng atau pepes ayam, oncom, sayur asem, dan tentu saja
lalap-lalapan. Jika di lingkungan etnis lain jenis lalap seperti
jengkol dan petai banyak dihindari, di lingkungan masyarakat Sunda
justru sebaliknya. Jengkol dan petai justru merupakan penambah selera
makan.

Pasangan lalap biasanya disandingkan dengan sambal. Sejoli ini ada
yang disebut sambal terasi karena salah satu bahan yang digunakan
terasi bakar. Ada pula yang disebut sambal dadak karena dibuat
mendadak. Dinamakan sambal hejo karena menggunakan cabai hijau. Sambal
goang yang banyak dikonsumsi petani di daerah pantai utara, terbuat
dari cabe rawit dan garam secukupnya. Karena menggunakan bahan oncom,
sambal tersebut dinamakan sambal oncom. Namun, dari semua sambal
tersebut, bahan baku utamanya tetap cabai karena baru bisa dikatakan
sambal jika rasanya pedas.

(Her Suganda, Wartawan, tinggal di Bandung)


http://kompas.com/kompascetak.php/read/xml/2008/04/25/01154583/<http://kompas.com/kompascetak.php/read/xml/2008/04/25/01154583/orang.sunda.paling.suka.daun.muda>orang.sunda.paling.suka.daun.muda





-- 
Rgds,


Kamaruddin Azis
http://daengnuntung.com
ph: +62813-6062-5711

Kirim email ke