Dari:

http://ninasusilo.kompasiana.com/2008/09/17/kontrak-karyawan-diklat-perbudakan-gaya-baru/


*Kontrak Karyawan Diklat, Perbudakan Gaya Baru?
*

IDUL Fitri 1429 H sebentar lagi. Namun, nyaris tak tampak kemungkinan Amelda
Arniana dan Andreas untuk menyiapkan kue-kue Lebaran. Apalagi, untuk berbagi
rezeki dengan saudara-saudara yang lebih muda.

Amel (20) dan Andreas (21) baru diberhentikan setelah dua tahun menjadi
peserta pendidikan dan pelatihan di restoran makanan cepat saji di Surabaya.
Tidak jelas alasannya. Surat pemberhentian tidak ada, apalagi pesangon.
Pimpinan tempatnya kerja hanya meminta mereka tidak datang lagi ke tempat
bekerja.

Amel masih ingat betul, 5 Agustus 2006, setamat dari Jurusan Komputer
Sekolah Menengah Kejuruan Antartika di Sidoarjo, dia menandatangani kontrak
untuk menjadi peserta diklat di gerai restoran cepat saji di pusat
perbelanjaan Golden City Mal Surabaya. Upahnya disebut uang saku dengan
besar sama dengan UMK Surabaya.

Saat itu, sekitar 50 orang melakukan hal serupa. Peserta diklat pada
bulan-bulan selanjutnya dipindahkan ke beberapa gerai restoran cepat saji
yang ada di Surabaya. Tanpa pelatihan memadai, semua peserta bekerja seperti
karyawan restoran lain. Menyiapkan makanan, membersihkan dapur, mengepel
lantai, sampai melayani konsumen. Jam kerjanya pun sama, yaitu 40 jam
seminggu selama enam hari kerja.

Ketika Kompas mengunjungi gerai restoran itu di Royal Plaza Surabaya pekan
lalu, masih ada peserta berstatus diklat yang sudah bekerja selama hampir
dua tahun. Sulit membedakan peserta diklat dengan karyawan tetap. Sebab,
seragam hitam berikut celemek hitam beraksen ritsluiting merah yang
dikenakan serupa dengan karyawan lain. Demikian pula papan nama mungil yang
tercantum di dada sebelah
kanan.

Namun, hak seorang karyawan tidak diberikan kepada Amel maupun Andreas. Amel
yang menyokong kehidupan ibu dan ayahnya yang baru terserang stroke hanya
mendapat upah tanpa uang makan atau transpor.  Tunjangan hari raya tidak
pernah dinikmati. Kartu bukti ikut serta Jaminan Sosial Tenaga Kerja
(Jamsostek) juga tidak pernah diperoleh.

Menurut Amel, sekitar separuh dari peserta diklat yang masuk pada 5 Agustus
2006 diberhentikan tanpa alasan jelas. Hampir semua sudah kembali ke
kampungnya di kota/kabupaten lain di Jatim.

Modus baru

Demikian pula Andreas yang diberhentikan bersama seorang temannya, Diah,
pada 5 September 2008. Diah segera pulang ke kampung asalnya ke Lamongan.
Mereka yang tidak diberhentikan, tidak juga menjadi karyawan. Mereka hanya
disodorkan perpanjangan kontrak sebagai peserta diklat sampai 2010.

Sekretaris Wilayah Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) Jawa
Timur Jamaludin mengatakan, itu adalah modus baru sistem kontrak dan pekerja
lepas (outsourcing). "Sampai saat ini Dinas Tenaga Kerja Surabaya
menyebutkan setidaknya  tiga perusahaan menggunakan modus itu dengan korban
ratusan karyawan. Saya yakin kasus serupa masih banyak. Itu hanya puncak
gunung es. Sebab, dari pemantauan ABM (Aliansi Buruh Menggugat) Jatim, modus
ini terjadi di Mojokerto, Pasuruan, dan Sidoarjo," katanya.

Kendati demikian, pihak perusahaan membantah melanggar aturan
ketenagakerjaan. Sebab, perusahaan memiliki izin untuk menyelenggarakan
pendidikan dan pelatihan dari Dinas Tenaga Kerja Surabaya seperti
disampaikan Area Manager PT Fastfood Indonesia Cabang Surabaya Wahyudi.

Kepala Dinas Tenaga Kerja Surabaya Ahmad Syafi'i menegaskan, pelatihan untuk
meningkatkan keterampilan karyawan, bukan untuk orang luar. Karenanya,
selama pelatihan karyawan tetap menerima hak-haknya
secara penuh. Setelah pelatihan, ada sertifikat untuk peserta pelatihan,
bukan PHK. "Kalau memang ada izinnya, pelaksanaan diklat bisa dicek. Harus
ada instruktur dan kurikulumnya. Kalau tidak benar, bisa dicabut izinnya,"
tutur Syafi'i.

Kepala Bidang Pembinaan dan Pengembangan Disnaker Surabaya Fristianto
Rahardjo membenarkan PT Fastfood sudah mendaftarkan pelatihan berjenis aneka
kejuruan untuk gerai di Jalan Kol Wahab Siamin dan di Jalan Bubutan Surabaya
pada tahun 2007. Setiap tahun, dibuat perpanjangan izin lembaga pelatihan
swasta setelah pengawas menilai pelaksanaan diklat.

Izin bisa dicabut

Namun, penyelenggaraan diklat sudah dimulai sejak 2006. Syafi'i pun
menegaskan tidak akan segan memberi sanksi kepada perusahaan yang melanggar
aturan. Bahkan, pertengahan Agustus, Syafi'i pernah
mengatakan disnaker bisa mencabut izin usaha perusahaan tersebut.

Pengajar Ilmu Hukum Universitas Airlangga, Herlambang Perdana, menilai, itu
imbas Undang-Undang Nomor 13/2003 yang lemah dan membolehkan adanya sistem
kontrak dan outsourcing. Aturan itu lebih
menitikberatkan pada fleksibilitas pasar kerja (labour market flexibility).
Akibatnya, banyak hak buruh yang berkurang bahkan hilang seperti tunjangan,
jaminan sosial, serta kelayakan dan keamanan bekerja.

"Politik mendesain supaya buruh gampang direkrut dan gampang dipecat. Inilah
legalized modern slavery, perbudakan modern yang dilegalkan. Jelas aturan
itu bertentangan dengan konstitusi kita yang berasas kekeluargaan dan
kebersamaan atau ekonomi kerakyatan," kata Herlambang.

Melindungi rakyat dari ancaman perbudakan itu, lanjut Herlambang, jelas
tugas negara melalui pemerintah, yakni pengawas ketenagakerjaan. Namun,
pengawas kerap berdalih tidak ada sanksi atau beralasan aturan lemah.
Seharusnya, pengawas bisa memperingatkan perusahaan yang melanggar hak asasi
warga.

ATG
-- 
www.daengbattala.com
www.daenggammara.com

Kirim email ke