mantap banget alasannya sipz :) 2008/10/5 Muhammad Ruslailang <[EMAIL PROTECTED]>
> ini lah penjelasan resmi dati tokoh komunikasi media kita, Ade Armando, > yg turut membidani lahirnya RUU ini...mudah2an mencerahkan.. > > PDIP sudah menolak, demikian juga dengan Hizbut Tahrir, meski alasan > penolakannya berbeda alat teropong..:) > > ---------- Forwarded message ---------- > From: im_armando <[EMAIL PROTECTED]> > Date: Sun, Oct 5, 2008 at 8:54 AM > Subject: [jurnalisme] 10 Kekeliruan Wacana Anti RUU Pornografi > To: [EMAIL PROTECTED] > > > Seusai Ramadhan ini, DPR akan membicarakan kembali RUU Pornografi > yang kontroversial. Ada harapan,RUU ini bisa disahkan menjadi UU > sebelum akhir tahun. Kritik terhadap draft RUU yang beredar sudah > banyak terdengar. Sebagian kritik bahkan sampai pada tahap "Hanya > satu kata – Lawan!". Sembari mengakui bahwa RU tersebut masih > mengandung beberapa hal yang perlu diperebatkan, saya merasa salah > satu persoalan yang mendasari ketajaman kontroversi adalah adanya > kekeliruan mendasar dalam mempersepsikan dan menilai RUU ini. Saya > ingin berbagi pandangan tentang apa yang saya lihat sebagai 10 > kekeliruan mendasar dalam kritik terhadap RUU. Laporan lebih lengkap > tentang RUU Pornografi ini sendiri akan dimuat dalam Majalah Madina > edisi Oktober ini. > > Rangkaian kekeliruan cara pandang tersebut adalah: > > 1.RUU Pornografi ini bertentangan dengan hak asasi manusia karena > masuk ke ranah moral pribadi yang seharusnya tidak diintervensi > negara. > > Argumen ini memiliki kelemahan karena isu pornografi bukanlah > sekadar masalah moral. Di berbagai belahan dunia, perang terhadap > pornografi dilancarkan karena masalah-masalah sosial yang > ditimbulkannya. Pornografi diakui – bahkan oleh masyarakat akademik— > sebagai hal yang berkorelasi dengan berbagai masalah sosial. > Kebebasan yang dinikmati para pembuat media pornografis adalah > sesuatu yang baru berlangsung sekitar 30-40 tahun terakhir. > Sebelumnya untuk waktu yang lama, masyarakat demokratis di berbagai > belahan dunia memandang pornografi sebagai "anak haram" yang bukan > hanya mengganggu etika kaum beradab tapi juga dipercaya membawa > banyak masalah kemasyarakatan. > > Saat ini pun, industri pornografi yang tumbuh pesat dalam beberapa > dekade terakhir dipercaya mendorong perilaku seks bebas dan tidak > sehat yang pada gilirannya menyumbang beragam persoalan > kemasyarakatan: kehamilan remaja, penyebaran penyakit menular melalui > seks, kekerasan seksual, keruntuhan nilai-nilai keluarga, aborsi, > serta bahkan pedophilia dan pelecehan perempuan. Sebagian feminis > bahkan menyebut pornogafi sebagai "kejahatan terhadap perempuan". > > Karena rangkaian masalah ini, plus pertimbangan agama, tak ada negara > di dunia ini yang membebaskan penyebaran pornografi di wilayahnya. > Bentuk pengaturannya memang tak harus dalam format UU Pornografi, > namun dalam satu dan lain cara, negara-negara paling demokratis > sekali pun mengatur soal pornografi. > > Di sisi lain, argumen bahwa soal "moral" seharusnya tidak diatur > negara juga memiliki kelemahan mendasar. Deklarasi Univeral Hak-hak > Asas Manusia (ayat 29), misalnya, secara tegas menyatakan bahwa > pembatasan terhadap kebebasan berekspresi dapat dilakukan atas dasar, > antara lain, pertimbangan moral dalam masyarakat demokratis. Hal yang > sama tertuang dalam amandemen Pasal 28J UUD 1945. Dengan begitu, > kalaupun RUU ini menggunakan pendekatan moral pun sebenarnya tetap > konstitusional. > > 2.RUU ini memiliki agenda penegakan syariah. > > Tuduhan ini sulit diterima karena RUU ini jelas memberi pengakuan > hukum terhadap sejumlah bentuk pornografi. RUU ini menyatakan bahwa > yang dilarang sama sekali, hanyalah: adegan persenggamaan, > ketelanjangan, masturbasi, alat vital dan kekerasan seksual. > Pornografi yang tidak termasuk dalam lima kategori itu akan diatur > oleh peraturan lebih lanjut. > > Dengan kata lain, RUU ini sebenarnya justru mengikuti logika > pengaturan distribusi pornografi yang diterapkan di banyak negara > Barat. Mengingat ajaran Islam menolak semua bentuk pornografi, bila > memang ada agenda Syariah, RUU ini seharusnya mengharamkan semua > bentuk pornografi tanpa kecuali. > > Dengan RUU ini, justru majalah pria dewasa seperti Popular, FHM, ME, > Playboy (Indonesia) akan memperoleh kepastian hukum. Mereka diizinkan > ada, tapi pendistribusiannya akan diatur melalui peraturan lebih > lanjut. > > Memang benar bahwa kelompok-kelompok yang pertama berinsiatif > melahirkan RUU ini, sejak 1999, adalah kelompok-kelompok Islam. > Begitu juga dalam prosesnya, dukungan terhadap RUU ini di dalam > maupun di luar parlemen, lazimnya datang dari komunitas muslim. Dalam > perkembangan terakhir, bahkan pembelahannya nampak jelas: Konnferensi > Waligereja Indonesia dan Persatuan Gereja Indonesia meminta agar RUU > tidak disahkan; Majelis Ulama Indonesia mendukung RUU. > > Namun kalau dilihat isi RUU, agak sulit untuk menemukan nuansa > syariah di dalamnya. Ini yang menyebabkan Hizbut Tahrir Indonesia > secara terbuka mengeluarkan kritik terhadap RUU yang dianggap mereka > sebagai membuka jalan bagi sebagian pornografi. Bagaimanapun, HTI > juga secara terbuka menyatakan dukungan atas pengesahannya dengan > alasan "lebih baik tetap ada aturan daripada tidak ada sama sekali". > > 3.RUU ini merupakan bentuk kriminalisasi perempuan. > > Tuduhan ini sering diulang-ulang sebagian feminis Indonesia. Tapi, > sulit untuk menerima tuduhan ini mengingat justru yang berpotensi > terkena ancaman pidana adalah kaum lelaki. RUU ini mengancam dengan > keras mereka yang mendanai, membuat, menawarkan, menjual, menyebarkan > dan memiliki pornografi. Mengingat industri pornografi adalah > industri yang dibuat dan ditujukan kepada (terutama) pria, yang > paling terancam tentu saja adalah kaum pria. > > RUU ini memang juga mengancam para model yang terlibat dalam > pembuatan pornografi. Namun ditambahkan di situ bahwa hanya mereka > yang menjadi model dengan kesadaran sendiri yang akan dikenakan > hukuman. Dengan begitu, RUU ini akan melindungi para perempuan yang > misalnya menjadi "model" porno karena ditipu, dipaksa, atau yang > gambarnya diambil melalui rekaman tersembunyi (hidden camera). > > Para pejuang hak perempuan juga lazim berargumen bahwa RUU ini > membahayakan kaum perempuan karena banyak model yang terjun ke dalam > bisnis pornografi karena alasan keterhimpitan ekonomi. Sayangnya, > kalau dilihat muatan pornografi yang berkembang di Indonesia, argumen > itu nampak tidak berdasar. Para model pornografi itu tidak bisa > disamakan dengan para pekerja seks komersial kelas bawah yang > tertindas. Para model itu mengeruk keuntungan finansial yang besar > dan sulit untuk membayangkan mereka melakukannya karena keterhimpitan > dalam struktur gender yang timpang. > > 4.Definisi pornografi dalam RUU sangat tidak jelas. > > Secara ringkas, definisi pornografi di dalam RUU ini adalah: ""materi > seksualitas melalui media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka > umum, yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar > nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat". > > Para pengeritik RUU menganggap, definisi ini kabur karena > penerapannya melibatkan tafsiran subjektiif mengenai apa yang > dimaksudkan dengan "membangkitkan hasrat seksual" dan "melanggar > nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat". Karena kelemahan itu, para > pengeritik menganggap RUU sebaiknya ditunda atau dibatalkan > pengesahannya. > > Kritik semacam ini tidak berdasar karena definisi soal pornografi > yang lazim berlaku di seluruh dunia – kurang lebih – seperti yang > dirumuskan dalam RUU itu. Ensiklopedi Encarta 2008, misalnya menulis > pornografi adalah film, majalah, tulisan, fotografi dan materi > lainnya yang eksplisit secara seksual dan bertujuan untuk > membangkitkan hasrat seksual. English Learner's Dictionary (1986- > 2008) mendefinisikan pornografi sebagai literatur, gambar film, dan > sebagainya yang tidak sopan (indecent) secara seksual. > > Di banyak negara, pengaturan soal pornografi memang lazim berada > dalam wilayah multi-tafsir ini. Karena itu, pembatasan tentang > pornografi bisa berbeda-beda dari tahun ke tahun dan di berbagai > daerah dengan budaya berbeda. Sebagai contoh, pada tahun 1960an, akan > sulit ditemukan film AS yang menampilkan adegan wanita bertelanjang > dada, sementara pada abad 21 ini, bagian semacam itu lazim tersaji di > filmfilm yang diperuntukkan pada penonton 17 tahun ke atas. Itu > terjadi karena batasan "tidak pantas" memang terus berubah. > > Soal ketidakpastian definisi ini juga sebenarnya lazim ditemukan di > berbagai UU lain. Dalam KUHP saja misalnya, definisi > tegas "mencemarkan nama baik" atau "melanggar kesusilaan" tidak > ditemukan. Yang menentukan, pada akhirnya, adalah sidang pengadilan. > Ini lazim berlaku dalam hukum mengingat ada kepercayaan pada > kemampuan akal sehat manusia untuk mendefinisikannya sesuai dengan > konteks ruang dan waktu. > > 5.RUU ini mengancam kebhinekaan > > Cara pandang keliru ini nampaknya bisa terjadi karena salah baca. > Dalam draft RUU yang dikeluarkan pada 2006, memang ada pasal-pasal > yang dapat ditafsirkan sebagai tidak menghargai keberagaman budaya. > Misalnya saja, aturan yang memerintahkan masyarakat untuk tidak > mengenakan pakaian yang memperlihatkan bagian tubuh yang sensual > seperti payudara, paha, pusar, baik secara keseluruhan ataupun > sebagian. > > Ini memang bermasalah karena itu mengkriminalkan berbagai cara > berpakaian yang lazim di berbagai daerah. Tak usah di wilayah yang > dihuni masyarakat non-muslim; di wilayah mayoritas muslim pun, > seperti Jawa Barat, kebaya dengan dada rendah adalah lazim. Hanya > saja, pasal-pasal itu seharusnya sudah tidak lagi menjadi masalah > karena sudah dicoret dari RUU yang baru. > > Begitu juga dengan kesenian tradisional yang lazim menampilkan gerak > tubuh yang sensual, seperti jaipongan. Dalam RUU yang baru, tak ada > satupun pasal yang menyebabkan kesenian semacam itu akan dilarang. > RUU ini bahkan menambahkan klausul yang menyatakan bahwa pelarangan > terhadap pornografi kelas berat (misalnya mengandung ketelanjangan) > akan dianulir kalau itu memiliki nilai seni-budaya. > > 6.RUU ini akan mengatur cara berpakaian. > > Sebagian pengeritik menakut-nakuti masyarakat bahwa bila RUU ini > disahkan, perempuan tak boleh lagi mengenakan rok mini atau celana > pendek di luar rumah. Ini peringatan yang menyesatkan. Tak satupun > ada pasal dalam RUU ini yang berbicara soal cara berpakaian > masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. > > 7.RUU ini berpotensi mendorong lahirnya aksi-aksi anarkis masyarakat. > > Para pengecam menuduh bahwa RUU ini akan membuka peluang bagi tindak > anarkisme masyarakat, mengingat adanya pasal 21 yang > berbunyi: "Masyarakat dapat berperan serta dalam melakukan pencegahan > terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi." > > Tuduhan ini agak mencari-cari, karena dalam pasal berikutnya, RUU > menyatakan bahwa "peran serta" masyarakat itu hanya terbatas pada: > melaporkan pelanggaran UU, menggugat ke pengadilan, melakukan > sosialisasi peraturan, dan melakukan pembinaan terhadap masyarakat. > Dengan kata lain, justru RUU ini memberi batasan yang tegas terhadap > kelompok-kelompok yang senang main hakim sendiri bahwa dalam alam > demokratis, peran serta itu tak boleh ditafsirkan semena-mena. > > 8.RUU ini tidak perlu karena sudah ada perangkat hukum yang lain > untuk mengerem pornografi. > > Para pengeritik lazim menganggap RUU ini sebagai tak diperlukan > karena sudah ada KUHP yang bila ditegakkan akan bisa digunakan untuk > mengatur pornografi. > Argumen ini lemah karena sejumlah hal. Pertama, KUHP melarang > penyebaran hal-hal yang melanggar kesusilaan yang definisinya jauh > lebih luas daripada pornografi. KUHP pun menyamaratakan semua bentuk > pornografi. Selama sesuatu dianggap "melanggar kesusilaan", benda itu > menjadi barang haram yang harus dienyahkan dari Indonesia. Dengan > demikian, KUHP justru tidak membedakan antara sebuah novel yang di > dalamnya mengandung muatan seks beberapa halaman dengan film porno > yang selama dua jam menghadirkan adegan seks. Dua-duanya dianggap > melanggar KUHP. > > RUU ini, sebaliknya, membedakan kedua ragam pornografi itu. Media > yang menyajikan adegan pornografis kelas berat memang dilarang, tapi > yang menyajikan muatan pornografis ringan akan diatur > pendistribusiannya. > > Lebih jauh lagi, sebagai produk di masa awal kemerdekaan, KUHP memang > nampak ketinggalan jaman. Terhadap mereka yang membuat dan > menyebarkan hal-hal yang melanggar kesusilaan, KUHP hanya memberi > ancaman pidana penjara maksimal 18 bulan dan denda maksimal empat > ribu lima ratus rupiah! KUHP juga tidak membedakan perlakuan terhadap > pornografi biasa dan pornografi anak. > > 9.RUU Pornografi tidak perlu, yang diperlukan adalah mendidik > masyarakat. > > Para pengecam menganggap bahwa sebuah pornografi tidak diperlukan > karena untuk mencegah efek negatif pornografi yang lebih penting > adalah memperkuat kemampuan masyarakat untuk menolak dan menseleksi > sendiri pornografi. Jadi yang diperlukan adalah pendidikan melek > media dan bukan Undang-undang. > > Argumen ini lemah karena bahkan para pendukung mekanisme pasar bebas > pun, lazim mempercayai arti penting aturan. Bila pornografi memang > dipercaya mengandung muatan yang negatif (misalnya mendorong perilaku > seks bebas, melecehkan perempuan, mendorong kekerasan seks, dan > sebagainya), maka negara lazim diberi kewenangan untuk melindungi > masyarakat dengan antara lain mengeluarkan peraturan perundangan yang > ketat. > > Di Amerika Serikat, sebagai contoh sebuah negara yang demokratis, > terdapat aturan yang ketat terhadap pornografi yang dianggap masuk > dalam kategori cabul (obscene). Di sana pun, masyarakat tak diberi > kewenangan untuk menentukan sendiri apakah mereka mau atau tidak mau > menonton film cabul, karena begitu sebuah materi pornografis > dianggap `cabul', itu akan langsung dianggap melanggar hukum. > Pendidikan untuk meningkatkan daya kritis masyarakat tetap penting. > Namun membayangkan itu akan cukup untuk mencegah efek negatif > pornografi, sementara gencaran rangsangan pornografi berlangsung > secara bebas di tengah masyarakat, mugnkin adalah harapan > berlebihan. > > 10.RUU ini mengancam para seniman. > > Tuduhan bahwa RUU ini akan mengekang kebebasan para seniman juga > mencerminkan kemiskinan informasi para pengecam tersebut. RUU ini > justru memberi penghormatan khusus pada wilayah kesenian dan > kebudayaan, dengan memasukkan pasal yang menyatakan bahwa pasal- > pasal pelarangan pornografi akan dikecualikan pada karya-karya yang > diangap memiliki nilai seni dan budaya > > ade armando > > > > > -- > salama' > > daengrusle > http://daengrusle.com > > "Which is it, of the favors of your Lord, that ye deny?" > (QS. Ar-Rahmaan) > > -- aRuL |student|blogger|worker|trainer|consultant| [EMAIL PROTECTED] http://asruldinazis.com