pornomoral, pornososial, pornoetika yang lebih banyak diexploitasi di
hadapan masyarakat kita mungkin lebih jahat dampaknya....


quote:
ketimbang adegan ciuman di bioskop atau hamparan tubuh yang rekah dan
terbuka di papan-papan iklan, saya (dan pasti bukan hanya saya; terima kasih
Enin Supriyanto) lebih terganggu, dan menganggap lebih porno, adegan seorang
bapak yang kebingungan menggendong mayat anaknya, dan tak tahu hendak
dimakamkan di mana. Adegan porno ini akhirnya hilang oleh upaya kaum jelata
yang patungan menolong Supriono, si bapak malang itu.


source:
*http://arsuka.wordpress.com*

*Negeri Porno**

Bahwa kaum agamawan adalah mereka yang paling peka bereaksi atas soal
pornografi dan pornoaksi, itu tampaknya berkait dengan fungsi sosial agama.
Agama, kita tahu, adalah teknologi sosial yang tumbuh untuk menjaga
kelangsungan hidup dan pemekaran potensi-potensi intrinsik manusia. Sebuah
teknologi untuk mendukung upaya pemanusiaan manusia.

Agama-agama tradisional, yang kadang disebut sebagai agama-agama Bumi, hadir
ketika kehidupan manusia masih belum begitu kompleks. Manusia masih hidup
dalam kelompok-kelompok kecil. Persoalan terbesar yang mereka hadapi adalah
kelangsungan hidup sehari-hari, dan itu sangat tergantung pada pengenalan
dan penguasaan lingkungan alam yang sering berubah tak terduga. Itu sebabnya
agama-agama tradisional sangat banyak dipenuhi oleh berbagai ritual alam:
ritual sungai, hutan, tanah dan samudera.

Ketika pengetahuan tentang lingkungan alam telah berkembang jauh dengan
tingkat kekukuhan yang bisa diandalkan, manusia jadi lebih punya banyak
waktu luang untuk berkembang biak dan menyusun masyarakat yang makin
kompleks. Agama-agama "baru" yang biasa juga disebut dengan agama-agam
Langit, hadir di tengah masyarakat yang kian kompleks ini. Agama-agama
Langit itu memberi cahaya di tengah masyarakat yang problem terbesarnya
bukan lagi lingkungan alam yang perilaku dan siklusnya sudah semakin banyak
dijangkau pengetahuan manusia. Problem terbesar mereka adalah kian kompleks
dan kian problematisnya hubungan antar manusia. Itu pula sebabnya maka
agama-agama Langit tampak banyak dipenuhi dengan hukum-hukum yang mengatur
hubungan antar-manusia: hukum jual beli, waris, perkawinan hingga tata
pemerintahan.

Tentu tak berarti bahwa agama-agama Bumi dengan perhatiannya yang sangat
besar pada lingkungan alam, tak memberi perhatian memadai pada tata
kehidupan masyarakat. Atau sebaliknya, perhatian yang sangat besar pada
penataan masyarakat yang diperlihatkan agama-agama Langit tak menyisakan
ruang pada pengelolaan hubungan manusia dengan lingkungan alam. Pergeseran
perhatian utama itu lebih menunjukkan pergeseran perkembangan dan
persoalan-persoalan penting masyarakat manusia. Dalam pergeseran itu, seutas
benang merah tetap menyambung keduanya: dorongan untuk mempertahankan dan
mengembangkan kehidupan.

Upaya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan itu terlihat sangat
jelas pada pengelolaan aspek paling dasar dari kehidupan biologis:
seksualitas dan reproduksi. Secara sangat menyederhanakan, dapat dikatakan
bahwa pada agama-agama tradisional yang lebih bertumpu pada persoalan
penjaminan kelangsungan hidup manusia, soal seksualitas terasa jauh lebih
longgar. Batasan-batasan yang didirikan bertumpu di sekitar tabu inses, yang
adalah penapis pencegah rontoknya mutu genetis manusia sekaligus pemisah
antara gerombolan hewani dan komunitas manusiawi. Tidak jarang
upacara-upacara yang erotik hadir di sana untuk merangsang kesuburan alam.

Sementara itu, pada agama-agama yang datang belakangan, perhatian telah
meningkat lebih jauh ketimbang urusan tabu inses saja. Dorongan erotik yang
di masyarakat-masyarakat tradisional tampak dilepaskan dengan bebas,
pelan-pelan dikendalikan dan disublimasi. Pengertian bahwa perilaku
seksualitas yang tak terkontrol dapat membawa bencana sebagaimana halnya
pelanggaran tabu inses, kemudian tumbuh meluas.

Dalam banyak sejarah, persoalan seksualitas dan reproduksi manusia ini,
terutama ketika lingkungan alam dan sosial tak medukung, memang bisa
menghadirkan berbagai malapetaka. Populasi yang bertambah yang tidak
dibarengi dengan perluasan ruang penopang kehidupan dan aktualisasi diri,
sangat sering mengakibatkan kekerasan dan pertumpahan darah. Gejala ini
sesugguhnya sangat universal, terlihat bahkan dari kehidupan mamalia kecil
hingga ke khazanah sastra manusia. Dalam salah satu wiracarita terbesar di
dunia, dua buah keluarga yang berasal dari kakek yang sama, akhirnya saling
tumpas bagai hewan buas dalam sebuah ruang sosial politik yang tak dapat
dibagi. Satu generasi hilang, dan tatanan masyarakat yang begitu susah payah
dibangun dan menjadi obsesi besar agama-agama, akhirnya hancur berantakan.
Semua ini disebabkan, demikian kesimpulan sejumlah kaum moralis, oleh
perilaku seksual yang tak dikendalikan. Karena itulah, perilaku seksual,
termasuk pornografi dan pornoaksi (neologisme ganjil yang di kamus Webster
tak tercantum), harus dikontrol seketat mungkin.

Tetapi benarkah pertumpahan darah dalam keluarga disebabkan oleh sepak
terjang seksual, yang mestinya disublimasi? Benarkah adegan ciuman di
bioskop bisa menganggu publik bahkan mengguncang tatanan masyarakat yang
memang penting bagi perkembangan kehidupan manusia itu?

Buat saya, hancurnya keluarga manusia, disebabkan oleh kengototan
memperebutkan ruang yang tak dapat dibagi, dan ketidakmampuan mengembangkan
ruang baru yang bisa tumbuh tanpa batas. Kelompok-kelompok manusia yang
sanggup hijrah dan bermigrasi menuju sebuah ruang baru, baik itu ruang
geografis, ruang sosial atau ruang literer; mereka inilah kelompok yang bisa
berkembang dan memperkaya peradaban.

Adapun tentang upaya pengontrolan pornografi dan pornoaksi, semua ini tampak
sebagai penjelmaan dari sebuah niat besar dan mulia tapi dengan dasar-dasar
epistemologis yang goyah. Pornografi dan pornoaksi adalah kambing hitam, dan
upaya untuk mengudang-undangkannya kelak mungkin akan dikenang sebagai salah
satu upaya legal paling keliru dalam sejarah. Yang pasti, ketimbang adegan
ciuman di bioskop atau hamparan tubuh yang rekah dan terbuka di papan-papan
iklan, saya (dan pasti bukan hanya saya; terima kasih Enin Supriyanto) lebih
terganggu, dan menganggap lebih porno, adegan seorang bapak yang kebingungan
menggendong mayat anaknya, dan tak tahu hendak dimakamkan di mana. Adegan
porno ini akhirnya hilang oleh upaya kaum jelata yang patungan menolong
Supriono, si bapak malang itu.

Alangkah banyak memang adegan porno di sekitar kita. Anak-anak ingusan yang
mestinya bermain di halaman sekolah tetapi terpaksa ngasong di fly-over;
tubuh-tubuh cacat yang menyeret dirinya di lantai gerbong kereta yang jorok;
pedagang kaki lima dan mahasiswa yang tunggang langgang dihajar aparat;
gelandangan yang setengah telanjang mengais tong sampah; semua ini adalah
pemandangan porno yang menunjukkan bahwa ada yang sungguh-sungguh tak beres
dalam masyarakat kita. Aspirasi religius kita untuk mendukung pemekaran
potensi intrinsik manusia, mendorong pemanusiaan manusia, selalu ditantang
oleh adegan-adegan itu.

Nirwan Ahmad Arsuka

*Dimuat di Majalah Azzikra, edisi Agustus 2005





 


-- 
salama' rusle http://daengrusle.com "Which is it, of the favors of your
Lord, that ye deny?" (QS. Ar-Rahmaan)

Kirim email ke