---------- Forwarded message ----------
From: nurwasis <[EMAIL PROTECTED]>
Date: 2008/10/10
Subject: [CikarangBaru] Saatnya Indonesia Nyalip di Tikungan....Oleh Dahlan
Iskan
To: [EMAIL PROTECTED]


   *Saatnya Indonesia Nyalip di Tikungan
*Oleh Dahlan Iskan

Tepat sekali langkah pemerintah Indonesia menghentikan perdagangan saham di
Bursa Efek Indonesia kemarin. Terlambat sedikit, kita bisa lebih kacau.
Inilah saatnya kita mendahulukan nasib bangsa sendiri. Kita tahu, perusahaan
asing lagi perlu uang untuk menutup lubang mereka yang dalam di negeri
masing-masing. Karena itu, mereka perlu uang cepat. Salah satu caranya
adalah menjual apa saja yang dimiliki, termasuk yang di Indonesia. Dan, yang
paling cepat bisa dijual adalah saham di bursa.

Saking banyaknya pihak yang mau menjual saham itulah yang mengakibatkan
harga saham jatuh 10 persen kemarin. Mereka berani menjual murah, menjual
rugi, asal bisa segera mendapat uang cash. Sebenarnya sekaranglah saatnya
membeli kembali saham Indosat, Telkomsel, atau apa pun, tapi kita belum
cukup kaya untuk melakukan itu.

Penutupan sementara bursa itu juga penting untuk mengamankan
perusahaan-perusahaan nasional kita. Yakni, perusahaan yang terlibat utang
besar di luar negeri yang jaminannya berupa saham. Misalnya, Bumi Resources
dan enam perusahaan milik Bakrie Group lainnya. Termasuk kebun sawitnya yang
besar. Kalau harga sahamnya terus merosot, nilai jaminan utangnya langsung
tidak cukup. Dalam keadaan seperti ini sangat mungkin terjadi hostile take
over! Sangat bisa terjadi, tiba-tiba saja tambang batu baranya yang begitu
besar disita dan menjadi milik asing. Demikian juga perkebunan sawitnya.

Karena itu, bursa tidak perlu cepat-cepat dibuka kembali. Apalagi, kalau itu
hanya karena tekanan asing. Harus dihitung benar untung ruginya bagi
kepentingan nasional. Memang Bumi Resources adalah milik Bakrie, tapi batu
baranya dari bumi Indonesia (Kaltim). Kita juga berkepentingan mengusahakan
Bakrie agar tetap jaya -antara lain agar bisa menuntaskan kasus Lapindo di
Sidoarjo. Apalagi, Bakrie pernah jadi contoh perusahaan yang hancur oleh
banyaknya utang saat krisis moneter 1997 yang tiba-tiba mampu bangkit
menjadi orang terkaya di Indonesia. Jangan sampai kini menjadi korban
hostile take over asing akibat tidak mampu membayar utang! Nilai saham
Bakrie kini memang tinggal 20 persennya. Sangat mudah bagi asing untuk
mengambil secara hostile!

Kini negara yang paling mempertuhankan pasar bebas pun hanya berpikir
menyelamatkan negara masing-masing. Apalagi, negara yang masih miskin
seperti kita. Saya cukup bangga atas ketegasan dan kecepatan pemerintah
mengambil langkah ini. Penduduk kita cukup besar untuk bisa menjadi pasar
kita sendiri. Kita masih bisa menanam jagung!

Sampai kemarin memang baru Rusia dan Indonesia yang mengambil langkah
menghentikan perdagangan saham. Islandia (Iceland) sudah lebih dulu membuat
keputusan mem-peg mata uangnya ke dolar karena terjun bebas. Kemarin sore
WIB, Inggris membuat keputusan yang lebih konsepsional daripada Amerika.
Delapan bank raksasa direkapitalisasi Rp 700 triliun dengan syarat-syarat
tertentu. Misalnya, harus menjaga kelangsungan fungsi utama bank, termasuk
memberi pinjaman kepada pengusaha yang bergerak di sektor riil. Di dalamnya
termasuk bank-bank kelas dunia, seperti HSBC, RBS, dan Standard Chartered.
Inggris yang dulu pelopor swastanisasi, kini di arah sebaliknya.

"Ini jalan keluar yang tujuannya memulihkan kepercayaan, sekaligus
memperkukuh sistem perbankan," ujar Perdana Menteri Gordon Brown.

Menurut Brown, dalam mengatasi kesulitan yang begitu serius, jalan keluarnya
memang harus komprehensif. Juga harus kreatif dan tidak sekadar dogmatis.
Menaikkan suku bunga seperti yang dilakukan Bank Indonesia, menurut saya,
termasuk yang hanya dogmatis dan kurang kreatif. Yakni, satu dogma bahwa
untuk menahan orang agar tidak ramai-ramai menukarkan uang ke dolar haruslah
memberi rangsangan kepada pemegang rupiah. Ya, menaikkan suku bunga tadi.
Tapi, dampak yang lain sangat berat. Untung naiknya hanya kecil (25 basis
poin).

Kita punya batu bara bermiliar ton dan hasil bumi lain. Ini yang harus
diamankan lewat kebijaksanaan nasional. Mestinya, masih lebih baik nasib
kita yang memiliki hasil bumi tersebut daripada negara yang hanya punya
kertas saham atau commercial paper dengan nilai yang hancur saat ini.

Kita memang tidak punya cadangan saham di mana-mana. Karena itu, jangan pula
yang masih kita punya itu hilang. Saatnya nasionalisme dipertahankan. Sambil
lihat-lihat perkembangan dunia. Kalau kita pintar, kita bisa menyalip di
tikungan!(*)

* http://jawapos.com/





-- 
www.daengbattala.com
update :
"Buat Para Ayah yang Menyimpan Resah Dengan Senyum Merekah"

www.daenggammara.com

Kirim email ke