Melawan Perdagangan Anak Melalui
Kesenian

 

 

Yogyakarta---
Sekitar seratus limapuluh anak berusia sekitar 8 hingga 17 tahun
menyuarakan
anti perdagangan anak melalui gambar, teater dan musik.  Mereka adalah
anak-anak yang tinggal di
Kabupaten Bantul, Yogyakarta,  antara
lain dari Desa Serayu, Karang Rejek, Dukuh, Talaban, Kanten dan
Termalang.  Menurut Ari Adhi Adhana, Panitia Temu Anak
Nasional, "Gambar dan lukisan ini dibuat ketika ada pelatihan  dilakukan
pada awal Desember ini. Anak-anak
tersebut dilatih untuk berkesenian antara lain menggambar, bermusik dan
berteater." Isi dari gambar dan lukisan tersebut menceritakan kekerasan
yang
dialami oleh anak ketika menjadi korban perdagangan dan ajakan untuk
masyarakat
dalam mencegah dan memberantas perdagangan manusia khususnya anak.  

 

Karya
yang telah dihasilkan oleh anak-anak tersebut merupakan bentuk nyata
dari
pendapat dan suara anak terhadap maraknya perdagangan manusia yang
terjadi di
Indonesia. Gambar dan lukisan anak-anak tersebut lalu dipamerkan dan
dilombakan  pada  kegiatan Temu Anak Nasional  yang bertemakan "Anak
Bersuara Menentang
Perdagangan Manusia" yang diselenggarakan pada tanggal 21 hingga 23
Desember
2008 di Desa Kebon Agung, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, Propinsi
Daerah
Istimewa Yogyakarta. Adhi menambahkan,  "Pelatihan
tersebut merupakan satu bagian integral dari kegiatan Temu Anak
Nasional." 

 

Menurut
Odi Shalahudin, Koordinator Temu Anak Nasional, "Diadakannya kegiatan
Temu Anak
Nasional  bertujuan untuk menggalang
partisipasi anak menentang perdagangan manusia." Dengan adanya  ruang
ekspresi dan aspirasi anak-anak
Indonesia dalam mensikapi kasus-kasus perdagangan anak diharapkan
pemerintah
dan masyarakat akan semakin sadar akan besarnya permasalahan perdagangan
anak
di Indonesia.   Kegiatan ini melibatkan sekitar 1500 anak dari
berbagai wilayah di Indonesia. Isi dari acaranya sendiri akan terdiri
terdiri dari berbagai workshop dengan  menggunakan pendekatan ekspresi
artistik
berupa gambar, tulisan, musik dan teater untuk mengungkapkan berbagai
pengalaman, pandangan, dan sikap untuk merespon persoalan perdagangan
anak.

 

Kegiatan
Temu Anak Nasional ini juga merupakan salah satu Kampanye Nasional
Indonesia
ACT dalam mempromosikan tanggal 12 Desember sebagai Hari Anti
Perdagangan
Manusia. Pemilihan tanggal 12 Desember 
sebagai Hari Anti Perdagangan Manusia,  karena pada 12 Desember 2000,
Palermo Protokol
dilahirkan. Palermo Protokol adalah sebuah instrument hukum
internasional yang
mengakui Perdagangan Manusia merupakan sebuah kejahatan sistematis dan
bersifat
internasional. Untuk itu diperlukan usaha-usaha sistematis dari berbagai
Negara
untuk melakukan langkah-langkah pencegahan dan pemberantasan perdagangan
manusia. Odi menjelaskan "Jika pemerintah metetapkan tanggal 12 Desember
sebagai Hari Anti Perdagangan Manusia, maka setiap tahunnya akan ada
momentum
tahunan di tingkat nasional untuk melakukan kampanye pencegahan dan
pemberantasan kejahatan perdagangan manusia di Indonesia." Kampanye
tahunan
untuk menentang perdagangan manusia ini pada akhirnya dapat semakin
memperbesar
kesadaran masyarakat terhadap persoalan perdagangan manusia. 

 

Usaha
untuk melakukan pencegahan dan pemberantasan perdagangan manusia perlu
melibatkan partisipasi anak. Hal tersebut menjadi penting karena anak
merupakan
salah satu kelompok yang rentan menjadi korban perdagangan manusia. Data
UNICEF
menyebutkan setiap tahun ada sekitar 1,2 juta anak di dunia menjadi
korban
perdagangan anak. Di Indonesia, sebanyak 100.000 anak menjadi
korban perdagangan anak setiap tahun. Dari jumlah tersebut, sekitar
40.000
hingga 70.000 di antaranya menjadi korban prostitusi. Anak-anak yang
terjebak
dalam lembah prostitusi itu tersebar di 75.106 lokasi di Indonesia. Ini
tidak
mengherankan, karena di dunia ada sekitar 3.000 organisasi perdagangan
anak,
yang setiap waktu bisa mengancam keselamatan.  

 

Emmy
Lucy Smith, Presidium Indonesia ACT, "Hasil penelitian Indonesia ACT di
Batam dan
Surabaya  dan  hasil pendampingan terdapat  150 anak yang menjadi korban
perdagangan
manusia  pada tahun 2005 hingga
pertengahan 2008 ini. Usia termuda anak yang diperdagangkan adalah 12
tahun."  Sebagian besar korban  tersebut adalah anak  perempuan dan
sebagian kecil anak laki-laki
dengan preferensi seksual transgender.    

 

Eksploitasi yang dialami anak yang menjadi korban
perdagangan meliputi eksploitasi seksual komersial (prostitusi &
pornografi) dan eksploitasi kerja (PRT, Baby Sitter, salon, pabrik).
Anak
menjadi semakin rentan menjadi korban karena ada faktor kemiskinan dan
tingkat pendidikan anak
korban sangat rendah. Sebagian besar (80%) daripada korban tersebut
tidak lulus SD, bahkan ada yang tidak sekolah sama
sekali. Oleh karena gentingnya persoalan
perdagangan manusia, khususnya perdagangan anak maka pemerintah sudah
seharusnya melakukan langkah-langkah sistematis menentang perdagangan
manusia.
Salah satunya adalah dengan menetapkan tanggal 12 Desember sebagai Hari
Anti
Perdagangan Manusia.

 

Ruth
Eveline, menyatakan Terre des Hommes Netherland (TDH-NL) mendukung penuh
upaya penanggulangan
perdagangan anak dalam bentuk kampanye, advokasi dan perlindungan korban
di
berbagai wilayah di Asia Tenggara, termasuk di Indonesia. Anak sebagai
kelompok
yang rentan perdagangan manusia, sepatutnya dilibatkan dan didengar
pendapatnya
karena hal ini menyangkut kehidupan mereka.

 

 

Tentang Indonesia ACT:

Indonesia
ACT kepanjangan dari Indonesia Against Child Trafficking merupakan
jaringan
nasional kampanye memerangi perdagangan anak di Indonesia yang
beranggotakan 16
LSM se-Indonesia tersebar di 12 kota (Medan, Batam, Jakarta, Indramayu,
Bandung, Semarang, Surakarta, Yogyakarta, Surabaya, Pontianak, Mataram
dan
Kupang)

 

Kontak person: 

Dewi Astuti

Advocacy Officer

Kantor Indonesia ACTs 

Jalan Kalibata Utara I No. 32

Jakarta Selatan - 12740

Telp/faks: 021-7997036, 
HP : 085710818003

Reply via email to