Siaran Pers JATAM, WALHI, HuMA, ICEL, KIARA, KAU, SPI - 18 Desember 2008

UU Minerba: Partai Berkuasa Langgengkan Rezim Keruk Cepat Jual Murah

Seperti ular berganti kulit, UU Minerba akan melanggengkan rejim keruk 
cepat dan jual murah masa Orde Baru hingga pemerintahan SBY. 
Undang-Undang ini dibungkus asas dan tujuan yang tampaknya lebih baik, 
manusiawi dan peduli terhadap lingkungan, dengan memuat asas seperti 
keadilan, partisipatif, transparansi, berkelanjutan dan berwawasan 
lingkungan. Tapi kenyataannya, pasal-pasalnya beresiko membahayakan 
keselamatan warga negara dan lingkungan sekitarnya.

UU Minerba disahkan dua hari lalu, diwarnai keluarnya 3 fraksi dari 
ruang Sidang Senayan, yang hanya memperkarakan pasal peralihan. Jelas 
pasal ini hasil kompromi partai-partai penguasa di Senayan, yang selama 
ini banyak mendapat manfaat dari sektor pertambangan. Pasal yang secara 
substansial kontradiktif satu sama lain dan dikhawatirkan tidak 
operasional pada akhirnya.

Celakanya, partai-partai penguasa Senayan sama sekali tak memperkarakan 
hal-hal mendasar. Pasal-pasal UU Minerba tidak menapak realita masalah 
pertambangan di Indonesia, yang telah berlangsung 4 dekade lebih. Jika 
dilihat cepat, ada beberapa hal krusial dalam UU Minerba.

Pertama. Tanpa tahapan kaji ulang dan renegosiasi Kontrak Karya (KK), 
Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B ) dan Kuasa 
Pertambangan (KP), UU Minerba tak akan operasional. Sebab, di lapang 
konsesi tambang yang diberikan semasa rejim orde baru, meningkat pesat 
di rejim Otoda, sudah sedemikian luas. Dan sebagian besar konsesi telah 
dikuasai pemegang KK dan PKP2B. Sementara, di UU ini keduanya tak boleh 
disentuh.

Kedua. Di lapang, pasal-pasal UU Minerba akan menambah carut marut dan 
memperparah konflik agraria. UU ini menguatkan ego sektoral, melalui 
lahirnya Wilayah Pertambangan. Padahal di lapang, daratan kepulauan 
sudah di kapling-kapling peruntukan dan perijinan industri ekstraktif 
lainnya, macam kawasan lindung, penebangan hutan, perkebunan kelapa 
sawit dan pertambangan. Adanya Wilayah Ijin Pertambangan Khusus (WIPK) 
pada tahap kegiatan produksi seluas 25.000 Ha, tampak lebih maju 
dibanding ketentuan perundang-undangan yang lama. Namun perusahaan 
tambang bisa saja memiliki luas konsesi yang sama dengan Undang-undang 
sebelumnya, jika memiliki beberapa IUPK dalam sebuah Wilayah
Pertambangan.

Ketiga. Kriminalisasi warga negara. Celaka bagi penduduk lokal, dalam 
penetapan wilayah pertambangan, ruang yang tersedia dalam UU Minerba 
paling jauh hanya diperhatikan, tapi tak memiliki kekuatan. Veto rakyat 
tak diakui, mereka hanya punya dua pilihan, ganti rugi sepihak atau 
memperkarakan ke pengadilan. Bahkan, mereka beresiko dipidana setahun 
dan denda 100 juta, jika menghambat kegiatan pertambangan. Ini lebih 
represif dibanding UU sebelumnya. Sementara konflik-konflik yang lahir 
dari penerapan UU sebelumnya tak disediakan ruang penyelesaian dalam UU 
Minerba.

Keempat. Kawasan-kawasan lindung dan hutan adat tersisa akan terancam. 
Sebab alih fungsi kawasan-kawasan ini bisa dilaksanakan setelah ada izin

dari pemerintah.

Kelima. UU Minerba bias darat. Ia tidak menempatkan urgensi menjaga dan 
melindungi perairan pesisir dan laut, baik sebagai ruang hidup 
masyarakat nelayan maupun untuk keberlanjutan lingkungan. Dalam banyak 
kasus, wilayah pesisir dan laut menjadi jamban limbah dan kegiatan 
pertambangan. Hak masyarakat nelayan atas kualitas perairan yang sehat 
diabaikan.

Keenam. UU ini menggunakan pendekatan administratif dalam proses 
perijinannya. Hal ini dipastikan tidak akan dapat efektif dalam 
penanganan dampak pencemaran maupun kerusakan lingkungan yang berdimensi

ekologis.. Ambil contoh, pencemaran pertambangan di perairan laut, dapat

meluas melampaui wilayah izin konsesi yang diberikan pemerintah.

Ketujuh. UU Minerba akan mempercepat perusakan prasarana dan sarana 
umum, dengan memperbolehkannya dimanfaatkan menjadi sarana pertambangan.

Kedelapan. UU Minerba kontradiktif dengan UU Lingkungan Hidup, yang 
mengakui legal standing organisasi lingkungan hidup mengajukan gugatan 
terhadap korporasi, mana kala terjadi perusakan lingkungan. 
Undang-undang ini menghadapkan rakyat ,di kawasan terisolir informasi 
dan keberdayaan hukum berhadapan dengan perusahaan tambang yang memiliki

modal menyewa ahli hukum dan konsultan, juga membayar iklan di media.

UU ini tak menapak bumi dan abai terhadap situasi terkini dalam negeri, 
tak hanya dalam kehancuran lingkungan akibat kegiatan pertambangan yang 
marak terjadi. Tapi juga makin menipisnya cadangan, tingginya angka 
produksi dan melayani kebutuhan asing serta konsumsi bahan mineral 
dalam negeri..

Partai-partai berkuasa di Senayan harus digugat keberadaannya, karena 
melanggengkan rejim keruk cepat jual murah bahan tambang Indonesia. Ini 
jelas bertentangan dengan asas dan tujuan yang ditetapkannya sendiri, 
dan bertentangan dengan UUD 1945, khususnya pasal 33. [ ]

Kontrak Media :
Berry Nahdian Forqan (Direktur Eksekutif WALHI) : 08125110979
Siti Maimunah (Kordinator JATAM): 0811920462
Asep Yunan Firdaus (Koordinator HuMA): 08158791019
Rino Subagio (Direktur Eksekutif ICEL): 08129508335
Riza Damanik (Sekjen KIARA) : 0818773515
Dani Setiawan (Koordinator KAU) : 08129671744
Henry Saragih (Koordinator SPI) : 08163144441

------------ --------- --------- --------- --------- --------- -
Informasi lain terkait dengan advokasi pertambangan mineral dan energi 
dapat dilihat di www.jatam.org
Dapatkan update informasi dari website kami dengan mendaftarkan alamat 
email anda sebagai anggota Info Kilat JATAM yang ada di bagian kiri 
dalam website kami.

============ ========= ========= =====
Luluk Uliyah
Sekretariat JATAM
email : lu...@jatam. <mailto:luluk%40jatam.org>  org
Jl. Mampang Prapatan II/30 Jakarta Selatan
Telp/Fax. 021- 794 1559
============ ========= ========= =====
 

Reply via email to