Catatan Akhir Tahun

 Kita sudah mendekati penghujung 2008. Tahun yang ditandai dengan
turbulensi besar dalam perekonomian global.Dalam menutup 2008
ini,sedikit refleksi diperlukan untuk membawa kita lebih mensyukuri
apa yang kita capai tahun ini.

Masih sangat segar dalam ingatan kita betapa kekhawatiran dirasakan
memuncak pada bulan Oktober lalu di mana krisis finansial global sudah
mengarah pada disrupsi perekonomian secara luas.

Keadaan tersebut diperburuk oleh perkembangan yang sebetulnya bersifat
lokal, tetapi kebetulan terjadi bersamaan dengan krisis global, yaitu
kekeringan likuiditas yang sangat serius sehingga memunculkan
kekhawatiran yang besar terhadap keamanan sistem perbankan kita.

Sementara itu sebuah kecelakaan juga terjadi secara bersamaan, yaitu
ditutupnya Bank Indover oleh Otoritas Pengawasan Bank Belanda.
Sementara itu nilai tukar rupiah terhadap USD serta indeks harga saham
juga terjerembab ke tingkat yang mulai mengkhawatirkan.

Berbagai hal tersebut secara objektif memang pantas membuat banyak
pihak khawatir dengan apa yang terjadi sesudahnya. Oleh karena itu
kita sungguh bersyukur bahwa langkah yang diambil Bank Indonesia untuk
melonggarkan likuiditas bisa dilakukan dengan sangat cepat sehingga
dapat mengurangi kekhawatiran yang tidak perlu.

Demikian juga dengan langkah untuk meningkatkan penjaminan simpanan
sampai dengan Rp2 miliar merupakan langkah strategis yang patut
dihargai karena pada akhirnya masalah kepercayaan nasabah merupakan
hal yang sungguh tidak bisa ditawar-tawar lagi.Pengalaman krisis tahun
1997 mengajari banyak hal mengenai hal tersebut. Pada akhirnya, orang
harus pintar untuk tetap menjaga kepercayaan publik. Semacam
confidence game memang merupakan bagian dari penanganan krisis yang
harus dilakukan.

Perekonomian Domestik sebagai Motor

Mendekati penghujung 2008 ini, kita melihat apa yang terjadi di
Indonesia umumnya berada dalam kendali yang cukup kokoh. Pada saat
second round effect dari krisis subprime sudah semakin menemukan
bentuknya, kita melihat resesi yang sudah terjadi di Amerika Serikat
diikuti dengan Jerman, Italia, bahkan Jepang.

Di kawasan kita, Singapura mengalami pukulan yang cukup tajam. Begitu
juga dengan Malaysia. Kedua negara tersebut memiliki rasio ekspor
terhadap perekonomian (PDB) yang sangat besar. Di samping itu,
komposisi ekspor mereka juga berat pada produk elektronik yang
permintaannya bisa ditunda. Ini berakibat krisis yang terjadi secara
global tersebut serta-merta memukul sektor yang menjadi pilar penting
negara tersebut.

Sementara itu, dalam keadaan seperti itu, pandangan banyak pihak
berpaling ke negara-negara Asia, terutama Cina dan India, termasuk
Indonesia. Saya merupakan orang yang memiliki kedekatan yang sangat
tinggi terhadap dunia usaha di bidang perbankan, industri makanan, dan
keperluan rumah tangga (personal care and household care) serta
industri lain yang berkaitan dengan elektronik, tembakau, dan sebagainya.

Dari informasi yang terkumpul sampai saat ini, suatu anomali justru
terjadi. Berbagai perusahaan tersebut justru menunjukkan kinerja yang
sangat positif, bahkan bisa dikatakan memberikan hasil yang jauh lebih
baik dibandingkan dengan waktu-waktu sebelumnya.

Demikian juga dengan industri tekstil dan produk tekstil (TPT) yang
paling dikhawatirkan akan paling terkena dampak krisis global
tersebut. Meskipun berbagai kekhawatiran mengenai kelangsungan hidup
(serta kelangsungan tersedianya lapangan kerja) adalah "bisa diterima
akal", pada akhirnya semua hal tidaklah berlangsung secara linier.

Khusus untuk industri TPT ini, Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan
Indonesia (API) Benny Soetrisno mengatakan bahwa banyak prinsipal yang
memindahkan ordernya dari China ke Indonesia. Perpindahan ini terjadi
karena upah tenaga kerja yang jauh meningkat di China.

Pernyataan ini didukung pula oleh cerita yang saya peroleh dari Alain
Piere Mignon, Ketua Kamar Dagang Prancis di Indonesia yang menyuplai
teknologi untuk industri TPT. Ternyata sampai hari ini masih terjadi
pemesanan mesin baru untuk industri garmen karena adanya order yang
datang ke perusahaan mereka.

Beberapa investor Korea membuka pabrik baru di Sukabumi, sedangkan
pesanan mesin baru tersebut datang dari pengusaha di Ungaran.
Sementara itu, informasi dari daerah menyebutkan bahwa untuk produk
perkebunan seperti karet dan kelapa sawit, penyesuaian dengan harga
yang ada sekarang ini telah terjadi sehingga memungkinkan mereka
bergerak lagi.

Petani karet mulai menoreh getah setelah harga karet per kilo naik
menjadi Rp8.000. Adapun di bidang pertambangan masih banyak pula
berbagai berita positif yang masuk. Bahkan Bumi Resources yang
sahamnya hancur-hancuran sebetulnya merupakan perusahaan yang tetap
bisa menangguk untung besar.Harga rata-rata produksi mereka mencapai
USD75 per ton, sedangkan biaya produksinya hanya sekitar USD30 per ton.

Dengan berbagai informasi tersebut, perekonomian Indonesia sampai
dengan penghujung tahun 2008 masih bisa dikatakan cukup aman. Saya
bahkan merasa yakin bahwa PDB kita di kuartal IV 2008 ini masih
memungkinkan untuk menghasilkan PDB sepanjang 2008 untuk tumbuh
sedikit di atas 6%. Ini berarti kuartal IV menghasilkan pertumbuhan
ekonomi di atas 5,5%.

Sektor Pertanian yang Menjadi Penyelamat

Pada waktu krisis 1997, saya senantiasa memperhatikan persawahan kita
sebelum mendarat di Cengkareng. Jika warnanya hijau, saya merasa
tenang bahwa sektor pertanian kita tidaklah dilanda kekeringan yang
menghancurkan perekonomian di akar rumput.Dewasa ini ternyata keadaan
yang sama juga berlangsung. Tahun 2008 ternyata terjadi swasembada beras.

Bahkan juga jagung dan kedelai yang mengalami kenaikan produksi yang
cukup tinggi. Perkembangan tersebut memungkinkan mayoritas penduduk
Indonesia memiliki ketersediaan pangan yang mencukupi. Bahkan bukan
tidak mungkin produksi yang ada, beserta kenaikan harga gabah yang
dilakukan pemerintah, memungkinkan mereka memiliki daya beli untuk
dibelanjakan pada produk-produk yang lain.

Ini berarti sektor pertanian memungkinkan terciptanya pertumbuhan
perekonomian domestik yang cukup besar. Dengan perkembangan tersebut,
tidaklah mengherankan bahwa berbagai produk industri yang saya
ceritakan di atas memiliki pertumbuhan yang tetap tinggi, bahkan
hingga akhir tahun 2008 ini. Untuk 2009, kita sangat mengharapkan suku
bunga mulai turun kembali secara perlahan-lahan.

Penurunan suku bunga tersebut, yang disertai ketersediaan kredit yang
lebih besar, akan memungkinkan industri automotif dan properti
bergerak kembali. Pada akhirnya memang diperlukan suatu kepercayaan
yang besar bahwa apa yang terjadi di Indonesia mungkin bisa dikatakan
terlepas dari sumber krisis di Amerika Serikat. Bagi yang
optimistis,siapa tahu tahun-tahun krisis ini justru menjadi turning
point Indonesia untuk menjadi negara yang lebih patut diperhitungkan
di perekonomian global. (*)

Cyrillus Harinowo Hadiwerdoyo
Rektor ABFII Perbanas

Kirim email ke