fyi


---------- Forwarded message ----------
From: pry s <ruang_mel...@yahoo.com>
Date: Sun, Feb 1, 2009 at 3:04 AM
Subject: [*Apresiasi-Sastra*] AWAS, BAHAYA LATEN FACEBOOK BAGI OTAK ANDA!!
To: apresiasi-sas...@yahoogroups.com


  *AWAS, BAHAYA LATEN FACEBOOK BAGI OTAK ANDA!!*

Sebuah Curhat Otokritik


"SAAT KITA MEMBACA TERLALU LAMBAT ATAU TERLALU CEPAT, KITA TAK AKAN MENGERTI
APA-APA"*(Pascal)*

***

APA YANG BAKAL kamu lakukan ketika menghadapi teks di hadapan kamu ini
sekarang?

Apakah kamu betul-betul akan membacanya sampai habis dengan konsentrasi
penuh? Apa kamu sekedar membacanya cepat-cepat barang separagraf dua
paragraf, lalu menganggap kamu sudah paham isinya dan buru-buru
meninggalkannya untuk beralih ke laman lain, melanjutkan blogwalking, atau
sekedar menjawab pesan kawan anda di YM sebelah?

Atau kamu cuma sekedar takjub menaikturunkan scrool teks di samping,
menganggap esai ini tak menarik untuk dibaca karena pusing melihat tumpukan
huruf yang panjangnya ampun-ampun ini, trus geleng-geleng sendiri sambil
sambil berkata, "Busyeeh, ni anak nulis apaan seeh.. Puanjang beneeerrr"

***

Sekedar informasi, sudah dua tahun belakangan ini saya memang banyak
menghabiskan waktu online. Entah sekedar berseluncur ke berbagai laman,
mengunjungi berbagai tautan menarik, atau sekedar blogwalking-an. Dan
setelah semuanya itu saya lalui, pelan-pelan saya mulai merasakan ada yang
berubah dari diri saya sekarang.

Dan yang berubah dari diri saya itu adalah cara saya membaca dan
berkonsentrasi. Khususnya ketika saya sedang membaca teks informasi secara
online, konsentrasi saya bisa buyar loncat ke kanan mampir ke kiri. Sulit
rasanya untuk membaca dengan intens berbagai dokumen dan artikel sebuah
laman, ataupun sekedar postingan di blog ketika saya online.

Konsentrasi saya biasanya langsung buyar segera setelah membaca paragraf
ketiga dan keempat. Di paragraf-paragraf selanjutnya, minat baca saya juga
sudah luntur karena tergoda berbagai tautan dan gadget lainnya yang minta
di-klik juga. Paling-paling kalau memang tulisan itu penting dan menarik,
saya cukup menyimpannya ke hard disk komputer, yang belum tentu juga akan
saya baca lagi. Hehehe…

Apa boleh buat, kini setiap sedang online, saya mesti merelakan otak saya
melompat-lompat dari satu informasi ke informasi lainnya, dari satu tautan
ke tautan lainnya, dengan kemampuan konsentrasi yang kian hari saya rasakan
kian menurun. Dan parahnya, tuntutan pekerjaan saya sekarang juga membuat
saya mesti terjebak dengannya.

Dulu ketika belum begitu ketergantungan internet, saya sanggup menghabiskan
berpuluh-puluh halaman buku dengan cara baca yang intens dan terkonsentrasi.
Setelah habis satu buku, baru saya lanjutkan membaca buku lain dengan cara
dan konsentrasi yang sama. Dari situlah saya mendapatkan manfaat dan
kenikmatan membaca, saya mulai hobi mengkoleksi buku, hingga Ibu saya
sekarang selalu curiga buku apa lagi yang akan dibeli anaknya ini di gajian
bulan depan.

Konon, dari berbagai teknik membaca yang dulu pernah saya pelajari ketika
kuliah dulu, membaca adalah kegiatan yang membutuhkan teknik dan keahlian
tersendiri. Dengan begitu, kita bisa mendapatkan manfaat maksimal dari yang
kita baca. Makanya salah satu dosen saya bilang, membaca bukanlah kegiatan
yang bisa sambil lalu saja dilakukan.

Saya pun mulai belajar bagaimana caranya membaca yang baik. Ternyata ada
berbagai macam teknik membaca yang masing-masing punya tujuan tersendiri.

Misal saja membaca *scanning*, yaitu teknik membaca dengan utuh mulai dari
kata, kalimat, paragraf, hingga ke seluruh karangan, hinga kita bisa paham
inti paragraf dan maksud dari sebuah karangan itu ditulis. Scanning itulah
yang dulu saya gunakan ketika hendak membaca sesuatu yang saya anggap
penting dan perlu.

Kalaupun kita hendak membaca dengan cepat demi tujuan tertentu saja, teknik
yang bisa kita gunakan adalah *skimming*. Teknik *skimming* inilah yang
biasa saya gunakan setiap berkunjung ke toko buku yang tak memungkinkan saya
berlama-lama di sana. Dalam kata lain, skimming adalah teknik membaca yang
tak benar-benar membaca, tapi hanya SEKEDAR MELIHAT-LIHAT.

Tapi kini saya sadar, bahwa setiap sedang online, saya tak pernah lagi
membaca *scanning*. Justru yang selalu saya lakukan hanyalah membaca *
skimming*, alias MELIHAT-LIHAT SAJA.

*Dan, Wow, tunggu dulu, stop dulu Pry, ujar saya dalam hati*.

Saya juga belum tahu apakah kawan-kawan juga tengah merasakan hal yang sama.
Bahkan ketika kawan-kawan membaca esai saya hingga ke paragraf 14 ini,
apakah kawan-kawan benar-benar membaca atau sekedar melihat-lihat saja
sekarang?

**Beberapa hari yang lalu saya sempat membuat eksperimen kecil-kecilan lewat
kecanggihan posting note di akun Facebook saya.  Sebuah note yang berjudul
YANG MUDA AYO GOLPUT, yang sengaja saya buat sedemikian provokatif sehingga
seakan-akan mengajak pembacanya untuk Golput.

Bukan tanpa maksud bahwa saya memberi judul note tersebut sedemikian
provokatif, sehingga seakan-akan memang hendak mengajak kawan-kawan yang
saya tag ke note tersebut untuk Golput. Padahal jika betul-betul dibaca,
isinya bakal sangat berbeda dengan judulnya.

Dan bisa ditebak, ada beberapa kawan yang saya kasih tag ke note tersebut
tampak tidak betul-betul mencerna kandungan isinya. Hal ini terbukti pada
kasus komentar Dekha Ariansyah yang dipostingnya kurang dari satu menit saja
setelah note lebih dari 3000 karakter tersebut saya publish.

Dekha dengan polosnya menyatakan setuju dengan judul esai saya tersebut yang
memang terkesan menganjurkan untuk Golput. "Setuju aja seh gua.. dari
sekarang emang gua maunya golput...."ujar Dekha. Tapi tak lama setelah Dekha
berkomentar, ia meralatnya dengan mengatakan "gak taunya salah pengertian
nih."

Korban berikutnya juga terjadi pada Mbah Kuntet Dilaga dan Kemuning
Larasattie yang kebetulan esok harinya bertemu muka dengan saya langsung di
Acara HUT ApSas. Mbah Kuntet yang sebelumnya telah membaca note tersebut,
dengan polosnya bilang.. "Wah.. parah nih Pry posting notenya kemaren, yang
soal ngajak Golput itu lho.." ujar Mbah Kuntet.

Mbah Kuntet lalu melanjutkan komentarnya dengan berkata bahwa Golput yang
saya maksud di note tersebut adalah cerminan warga Indonesia yang tidak
bertanggung jawab. Makanya jangan mbah sepakat bahwa di Pemilu mendatang
justru baiknya kita jangan Golput. Kemuning yang duduk di sampingnya lalu
mengiyakan.

Alih-alih membalas komentarnya, saya malah diam saja dan cengengesan sambil
berkata dalam hati: HAHAHAHAHA... kena kau kawan!! Maka dengan ini saya
berani mengatakan bahwa baik Mbah Kuntet maupun Kemuning tidak betul-betul
membaca note saya tersebut. Nggak heran makanya kalau kemudian mereka juga
nggak memahami apa yang hendak saya sampaikan di note tersebut.

Untuk itu patut rasanya bila saya mengucapkan selamat buat kawan-kawan yang
telah berhasil mencapai paragraf ini dengan intensitas dan pemahaman yang
baik. Tapi saya belum berani mengatakan bahwa kawan-kawan mampu membaca note
ini sampai habis sekarang. Sebab note ini masih belum hendak selesai sampai
di sini saja.

Dan buat yang merasa sudah lelah membaca note ini secara online, saya
menganjurkan untuk mengcopy paste note ini ke halaman word document kamu
untuk diprint atau dibaca nanti denga konsentrasi dan intensitas yang penuh.


Sebab di paragraf-paragraf selanjutnya, saya akan mengajak kawan-kawan masuk
ke pembahasan pokok yang lebih serius nan sok filosofis teoritis mengenai
bahaya laten internet bagi otak kita.

Jadi, siap-siaplah berkonsentrasi mulai sekarang. Hehehehe…

*Banjir Nuh Abad 21*
Konon, ketika Patih Gajah Mada masih menguasai Nusantara dengan
Majapahitnya, alat penyampai informasi jarak jauh paling canggih saat itu
adalah kentongan dan asap. Selebihnya, hanya kurir-kurir setia itu yang
mendaki gunung turuni lembah untuk menyampaikan pesan kerajaan ke berbagai
orang di berbagai wilayah, itupun membutuhkan perjalanan berhari-hari bahkan
sampai berbulan-bulan baru pesannya bisa sampai.

Informasi dan pesan komunikasi jarak jauh masih menjadi `barang' mewah saat
itu. Sebuah pesan dan kabar berita yang baru yang datang dari tempat lain,
adalah peristiwa luar biasa yang sangat jarang terjadi. Kalaupun mereka mau
tahu informasi terbaru apa saat ini, biasanya mereka sendiri yang harus
mencarinya, baik di tempat-tempat pertemuan warga, di pasar, alun-alun,
ataupun di pelabuhan yang ramai.

Tapi manusia pintar. Mereka menciptakan teknologi komunikasi untuk mengatasi
jarak ruang dan waktu secara geografis. Manusia pelan-pelan mulai menguasai
jarak tersebut dengan memampatkannya. Jarak yang harusnya ditempuh
berbulan-bulan untuk menyampaikan sebuah informasi , kini dalam waktu
sekejap saja dapat sampai secepat mungkin ke sebanyak mungkin orang lewat
telegraf, telepon, radio dan televisi.

Pemampatan ruang-waktu inilah yang membuat dunia serasa makin sempit saja
seiring tingginya kebutuhan masyarakat akan berbagai informasi. Pemampatan
ruang-waktu ini jugalah yang nyatanya tak hanya memampatkan jarak dunia
secara geografis, tapi juga dengan telak membuat manusianya centang perenang
tenggelam dalam cepatnya arus informasi itu sendiri yang datang dan pergi
bertubi-tubi.

Lihat saja keseharian kita sekarang, kawan. Setiap pagi, saat kita buka
koran terbaru, di situ akan tercetak belasan, puluhan, bahkan ratusan
informasi terkini tentang bermacam-macam peristiwa dari segala penjuru dunia
saling berdesak-desakan. Juga saat kita buka kotak pesan surel kita kita,
setiap harinya akan ada belasan, puluhan, bahkan ratusan informasi
berdesak-desakan yang secara bersamaan pula minta diperhatikan.

Esok harinya, semuanya itu telah menghilang dan dengan cepat digantikan
dengan informasi yang lebih baru lagi, dan begitu terus tanpa kita tahu
kapan semuanya berakhir. Dan hebatnya lagi, semua terjadi tanpa perlu kita
bepergian kemana-mana untuk mencari informasi, justru informasi itu
sendirilah yang datang sendiri pada kita.

Kini kita pun bisa mengucapkan selamat datang pada banjir Nuh Abad 21.
Sebuah banjir informasi dimana kita tak hanya akan mengidap obesitas
informasi, tapi juga dibuat mabuk oleh kecepatan informasi itu sendiri.
Inilah zaman dimana pola kehidupan sosial kita telah mencapai apa yang
disebut Jean Baudrillard sebagai pola implosi (implosion), yakni meledaknya
informasi ke arah manusia (sebagai pusat) yang berdiam diri di tempatnya
masing-masing. Sebuah banjir, bahkan boom informasi meledak tepat di jantung
peradaban manusia abad ini.

Yasraf Amir Piliang melukiskan fenomena ini demikian, "di dalam boom
informasi itu, tidak berarti bahwa semua informasi itu berguna dan dapat
meningkatkan kualitas hidup. Kecepatan informasi kadang-kadang tidak
sebanding dengan kemampuan manusia daslam menyerapnya. Informasi datang
begitu cepat dan begitu raksasa, sehingga kadang-kadang terlalu cepat dan
besar untuk dapat diserap oleh pikiran manusia." (2004;65)

*Bahaya Laten Internet Bagi Otak*
Pada 1970, Pemerintah Amerika Serikat mencanangkan tahun tersebut sebagai
tahun dimulainya Dekade Membaca. Membuat Gedung Putih ikut sibuk
mengalokasikan sejumlah Dana Federal untuk mendukung berbagai usaha yang
dapat mengenalkan warganya mengenal seni membaca sejak dini.

Berbagai klub membaca dan kursus membaca pun jadi marak. Sekolah-sekolah dan
fakultas juga mulai mengadakan pelatihan membaca bagi anak didiknya. Bahwa
yang tengah dilakukan Amerika saat itu adalah mengoptimalkan kemampuan
membaca dengan baik, dan dengannya pengetahuan mereka bakal terbentuk dengan
baik pula.

Tapi kini semuanya mulai berubah. Seiring meningkatnya konsumsi kaum muda
Amerika akan internet, mereka mulai mengkhawatirkan tumbuh-suburnya
benih-benih anti-intelektualisme sebagai akibat dari perkembangan teknologi
internet yang pesat belakangan ini.

Apa pasal? Rupa-rupanya, mereka menyadari bahwa ada yang tengah berubah dari
cara mereka membaca secara tradisional dalam bentuk cetakan, dengan membaca
ketika sedang online di internet.

Adalah *Nicholas Carr* dalam sebuah artikelnya yang mengaku mulai kehilangan
kemampuannya membaca dengan fokus. Carr yang menengarai hal tersebut akibat
kebiasaannya berseluncur ke berbagai laman, loncat dari satu halaman ke
halaman lainnya, berpindah dari satu tautan ke tautan berikutnya. Dan setiap
Carr mulai membaca sebuah artikel secara online ia mengaku demikian, "Now my
concentration often starts to drift after two or three pages. I get fidgety,
lose the thread, begin looking for something else to do."

Dan Carr tidak sendiri. Simak juga pengakuan *Bruce Friedman*, seorang
patologis dari University of Michigan Medical School yang juga pengelola
blog tentang penggunaan komputer di bidang kesehatan.

"I now have almost totally lost the ability to read and absorb a longish
article on the web or in print . . . I can't read War and Peace anymore.
I've lost the ability to do that. Even a blog post of more than three or
four paragraphs is too much to absorb. I skim it," terang Friedman yang
dikutip juga oleh Carr.

Tak sampai di situ, simak juga penelitian tentang online habits yang digelar
University College London beberapa waktu lalu. Mereka meneliti tentang
kebiasaan pengunjung dua laman populer yang menyediakan akses infomasi
tentang artikel, e-books, dan sumber informasi tertulis lainnya.

Dan hasilnya bisa ditebak, kebanyakan pengunjung laman tersebut hanya
melihat-lihat, membaca tak lebih dari dua halaman artikel atau buku, untuk
selanjutnya pindah lagi ke sumber lain. Mereka mungkin bakal menyimpan file
artikel tersebut, tapi itu bukan jaminan juga mereka benar-benar membacanya.


Carr kemudian juga mengutip keresahan Maryanne Wolf, seorang psikolog dari
Tufts University. Gaya membaca online yang mengedepankan etos kesegeraan dan
keefisiensian, menurut Wolf, dikhawatirkan dapat melemahkan kemampuan
seseorang untuk membaca dengan seksama.

Sebab menurutnya, membaca bukanlah kemampuan alamiah manusia. Kita mesti
melatih otak kita untuk menerjemahkan simbol karakter dan huruf yang kita
lihat ke dalam bahasa yang kita pahami. Untuk itu, media dan teknologi yang
kita gunakan ketika membaca, memainkan peran penting dalam membentuk pola
sirkuit syaraf dalam otak kita.

Dari sini ingatan saya pun beralih pada teori komunikasi yang saya pelajari
dalam kelas matakuliah Filsafat Komunikasi semasa kuliah dulu. Bahwa media
komunikasi tak sekedar alat untuk menyampaikan pesan komunikasi, tapi juga
secara kreatif akan membentuk konstruksi realitas tertentu dalam benak
manusia yang menerima dan memaknai pesan tersebut. Tak heran bila karakter
media juga dipandang mampu membentuk proses berpikir seseorang.

Asumsi inilah yang kemudian bisa kita lekatkan pada internet sebagai media
komunikasi massa online yang punya karakter khas dan berbeda dengan media
komunikasi lainnya. Bahwa jelas sekarang, ditengah-tengah pujian, pemujaan
dan ketergantungan banyak orang akan internet, ternyata ia menyimpan bahaya
latennya sendiri. Internet –dengan segala banjir Nuh, kecepatan dan obesitas
informasinya– lambat laun niscaya melemahkan konsentrasi otak kita.

Dari sini baru muncul pertanyaan, adakah kita menyadari hal tersebut?
Perlukah saya ulangi lagi pernyataan Pascal 30 tahun silam di sini yang
berkata, "Saat kita membaca terlalu cepat atau terlalu lambat, kita tidak
akan mengerti apa-apa."

*Kata Siapa Facebook & Google Tak Membuat Kita Bodoh?*
Sebelum menutup esai ini, saya ingin mengucapkan selamat bagi anda
kawan-kawan pembaca sekalian yang dengan betahnya (hehehehe...) mengikuti
pembahasan saya dan sampai pada bagian ini. Apalagi bila kawan-kawan mampu
membaca esai ini sambil online dengan intensitas yang terjaga dengan baik
dan mampu memahami konsep-konsep kunci yang telah saya uraikan di atas.

Kalian tahu, kawan.. kemungkinan besar di masa depan akan sangat jarang ada
pembaca yang mampu menghabiskan berhalaman-halaman tulisan secara online
seperti yang sedang anda lakukan sekarang. Jadi bolehlah saya sebut anda ini
adalah spesies pembaca yang langka dan semakin sedikit jumlahnya. Soalnya,
saya sendiri belum tentu bisa lho membaca online panjang seperti kalian.
Hehehehe..

Sejak awal saya memang sudah curiga bahwa akan ada banyak pembaca lain –yang
entah di belahan bagian mana sekarang– yang sudah menyerah di paragraf
ketiga ketika membaca esai ini.

(Atau bisa saja anda dengan curangnya melewati saja paragraf-paragraf di
atas, dan langsung menuju ke bagian ini karena judulnya yang membuat
perhatian anda berhenti, lalu mulai lagi membacanya)

Kalaupun dibaca, kemungkinan besar kebanyakan dari mereka bakal
meninggalkannya setelah paragraf ketiga esai ini, untuk lanjut berseluncur
lagi ke laman-laman lain, berkunjung ke berbagai tautan menarik, atau
sekedar blogwalking-an sambil meneruskan chatting di YM sebelah.

Ya kawan-kawan, inilah paradoksnya banjir Nuh Abad 21 kita sekarang. Bahwa
semakin banyak dari kita yang membutuhkan informasi lewat internet, semakin
banyak pula informasi tak berguna datang menghampiri kita. Dan kalaupun
memang penting, tetap saja kita bakal kesulitan konsentrasi membacanya.

Saya berani bilang bahwa yang tengah saya sampaikan di sini bukan sekedar
celotehan pinggiran, kawan. Karena baru kemarin malam note Facebook saya
tentang Golput yang tadi itu dikasih komentar oleh *Putri Sarinande* yang
mengatakan bahwa note 3000 karakter saya tersebut terlalu panjang buat
dibaca olehnya. *Putri juga menyarankan saya untuk bisa memahami efisiensi
kata*.

HAHAHAHA.. Kawan tercinta saya yang satu ini rupanya memang belum tahu kalau
saya ini sudah 'terlalu khatam' membaca Buku Bahasa Indonesia Jurnalistik
karangan Rosihan Anwar tentang ekonomi kata, kebernasan dan kecergasan
seorang wartawan dalam menulis berita singkat.

Tapi sayang sekali.. bukan efisiensi kata yang dan kesingkatan isi tulisan
yang sedang kita bicarakan di sini kawan. Saya di sini sedang
mengkhawatirkan ancaman tumpulnya otak generasi muda online kita sekarang
yang maunya ingin buru-buru, mengejar kekinian dan hanyut dalam kesegeraan
pemahaman ketika sedang online.

Fenomena ini juga yang tampaknya luput dibaca oleh *Saut Situmorang* dan *Hudan
Hidayat* ketika menjawab pertanyaan saya soal kecenderungan pembaca online
dalam diskusi Sastra Cyber di HUT ApSas di Cikini kemarin.

Saut sendiri dalam diskusi tersebut mengatakan bahwa kesulitan kita saat
membaca online merupakan persoalan individu pembacanya dan bukanlah fenomena
umum yang tengah dihadapi generasi muda internet kita sekarang.

Padahal bahaya laten internet bagi otak manusia sedang membayang, menghantu,
dan mengancam masa depan budaya literasi generasi kita mulai dari sekarang.

Sekali lagi saya berani bilang bahwa yang tengah saya sampaikan di sini
bukan sekedar celotehan pinggiran, kawan. Karena baru kemarin siang saya
ketemu dengan orang yang untuk mencari tanggal di kalender saja mesti
melihat di Google dulu.

Mbah Google bagi kawan saya ini, mungkin bukan lagi dimaknai sekedar program
mesin pencari laman yang dikembangkan oleh Larry Page dan Sergey Brin ketika
mereka masih mahasiswa di Universitas Stanford sepuluh tahun yang lalu.

Nama Google sendiri sejatinya merupakan plesetan dari `googol' yang merujuk
pada angka 1 yang diikuti oleh seratus nol. Tak heran bila Google baginya,
mungkin saja juga sudah ditarik maknanya ke wilayah teologi, menjadi mbah
sakti yang pintarnya melebihi otak manusia biasa, menjadi sumber pengetahuan
dan kebenaran, bahkan Google sebagai Tuhan Digitalnya hari ini.

Kalaulah benar gurauan Page dan Brin bahwa mereka tengah menyiapkan Google,
menjadi sebuah mesin intelegensia buatan bernama H.A.L yang bisa ditanamkan
di otak manusia, mungkin saja kawan saya itu bakal jadi salah satu orang
yang mencobanya. Dan sudah pasti dia bakal lebih pintar dari saya, karena
otaknya terhubung langsung dengan internet. Canggih khan kawan saya itu?!
Hehehehe…

Atau anda pun berminat mencobanya? Mari kita tunggu kabar terbaru dari
tempat `Tuhan' baru kita itu bersemayam di Googleplex sana.

Salam hangat dari Baranangsiang
Prys
http://prys.ilovebogor.com/



 



-- 
www.daengbattala.com
update :
"Berdamai Dengan Ketidaksempurnaan: Sebuah Kisah Tentang Rasa Marah"
www.daenggammara.com

Kirim email ke