Info menarik seputar penggunaan obat puyer. salama'
drusle http://daengrusle.com ::: People are enemies of what they don’t know - Imam Ali ::: -----Original Message----- From: "ghozan_gmail" <ghozan10032...@gmail.com> Date: Tue, 17 Feb 2009 17:13:53 To: <jurnali...@yahoogroups.com> Subject: [jurnalisme] Dr. Ian : Mengapa Puyer..??? Say No To Puyer http://puyer.wordpress.com http://www.petitiononline.com/puyeng12/petition.html ----- Original Message ----- From: "najwa safina" <kireihanas...@xxxxxxxxxxxxxxxx To: <se...@yahoogroups.com> Sent: Tuesday, February 17, 2009 3:49 PM Subject: [sehat] Mengapa Puyer? > Ketika saya lulus menjadi seorang dokter, terus terang saya bagaikan orang > buta yang baru pernah melihat merasa senang kegirangan karena status > dokter > yang saya sandang, tetapi masih meraba raba juga karena belum tahu apa > yang > harus saya lakukan. > > Menangani pasien pertama kalinya (sebagai seorang dokter tentunya) > merupakan > suatu kebanggaan tersendiri. Pasien datang, mendengarkan keluhannya, > memeriksa, dan memberikan obat. > Puas? Tentu saja puas rasanya. Pasien puas, karena keluhan berkurang > bahkan > menghilang. Dan bulan berikutnya pasien ada keluhan mereka kembali kepada > saya karena merasa cocok dengan obat yang saya berikan. > > Sebagai catatan ketika saya bilang pasien, termasuk orang tua pasien untuk > pasien saya yang tergolong anak anak. Anggap saja saya sedang membicarakan > pasien anak anak. > > Tapi apakah saya sudah menangani pasien tersebut dengan baik? Tentu saja > TIDAK jawabannya. > Mengurangi keluhan pasien bukan berarti menyembuhkan, bahkan tanpa > disadari > bisa membahayakan pasien. > > Ada satu titik balik dimana saya menyadari terdapat kesalahan dalam > penanganan pasien saya selama ini, dan di kemudian hari saya bertemu > dengan > komunitas yang membuat saya semakin belajar dan belajar setiap harinya. > > Sebelumnya puyer menjadi andalan saya, pasien (orang tua pasien) puas, > waktu > yang dibutuhkan untuk menangani pasien jauh lebih singkat. Cukup berkata: > oh > ini batuk pilek, obatnya cukup minum, 3 hari tidak sembuh balik kembali. > Rutinitas yang saya lakukan selama sekitar 6 bulan pertama saya menjadi > dokter. > > Sampai suatu saat saya menemukan suatu kejadian yang begitu menampar saya. > Datanglah seorang pasien berumur 5 bulan, datang dengan keluhan mencret > mencret. Seperti biasa, meresepkan puyer sepertinya sudah ada cetakan > tersendiri di otak saya. Lalu saya berikan resep puyer yang kurang lebih > fungsinya menghentikan kerja usus, sehingga keluhan mencret mencret > berkurang. > Apa yang terjadi. Apakah puyer yang saya berikan menjadi solusi atas kasus > pasien saya? Ternyata tidak. Pasien saya tidak mencret lagi, tetapi jatuh > ke > dalam kondisi dehidrasi sedang. Karena apa? Sudah merasa yakin dengan > puyer > yang saya berikan, sehingga lupa dengan tata laksana diare akut yang > seharusnya, pemberian larutan rehidrasi oral. > > Sejak saat itu saya menyesal, bukan hanya menyesali perbuatan saya yang > melupakan guideline, tetapi penyesalan itu dilanjutkan dengan penyesalan > dengan entah berapa resep puyer yang saya berikan. > > Terkadang saya merasa, Tuhan sangat baik terhadap saya. Masih menuntun > saya, > meskipun dengan tamparan, ke jalan yang seharusnya. > > Ketika saya masih merasa tidak ada yang salah dengan puyer, tapi di > komunitas itu memperdebatkan penggunaan puyer. Lalu saya bertanya pada > diri > saya sendiri. Saya yang salah atau mereka yang menentang puyer yang tidak > mengerti. > > Lalu pertanyaan pertanyaan yang mengalir di komunitas itu membuat saya > lebih > membuka mata saya, memanfaatkan teknologi canggih untuk memperbaharui > keilmuan saya. Dan ternyata sebenarnya itu bukan ilmu baru, hanya saja > saya > yang terlalu malas dan bodoh untuk mengamalkan pelajaran saya yang > semestinya. > > Mengapa saya harus memberikan puyer? Saya tidak hidup di daerah yang > terpencil. Dimana akses untuk obat obatan dosis anak mungkin sulit sekali. > Dan kalaupun membutuhkan obat hanya satu jenis saja, tapi rasanya > parasetamol sirup bisa diusahakan, hanya kalau terdesak baru menggunakan > parasetamol tablet yang dihancurkan (note hanya parasetamol tablet) > > Ya... saya telah bermain main dengan 3 hal. Puyer, polifarmasi, dan > pengobatan yang tidak rasional. > > Lalu kemanakah ilmu farmakologi saya. Menguapkah seiring dengan kenaikan > tingkat saya. Lupakah saya bahwa setiap obat dikemas sedemikan rupa sesuai > dengan cara penggunaannya. Lupakah saya dengan interaksi obat. Dua obat > yang > dicampur saja risiko interaksi obat cukup berat, apalagi tiga atau empat > macam obat. Mungkin saya tidak lupa dengan interaksi obat, tetapi saya > tidak > paham betul dengan interaksi obat. > > Lalu dimana ilmu klinis saya. Apa iya setiap pasien dengan keluhannya, > yang > diterapi adalah keluhannya bukan diagnosis atau penyakit itu sendiri. > > Apa iya saya harus memberikan puyer hanya karena pasien saya (orang tua > pasien) merasa hanya puyer yang manjur untuk keluhan anaknya. > Apa iya saya harus memberikan puyer hanya untuk mempersingkat waktu > kunjungan dibanding saya harus menjelaskan panjang lebar mengenai > diagnosis > penyakitnya. > Apa iya demi semua kenyamanan orang tua, maka anak kecil harus menerima > risiko yang ditimbulkan oleh puyer. > Apa iya memberikan puyer supaya harga obat yang harus ditebus bisa lebih > murah? Lalu bagaimana dengan risiko penyakit yang ditimbulkan dari puyer, > apa bisa tergantikan dengan harga obat yang murah. > > Saya tidak bisa membayangkan ketika parasetamol berinteraksi dengan > diazepam > atau berinteraksi dengan luminal, akan menghasilkan metabolit yang justru > membahayakan hati anak tersebut yang nota bene belum berfungsi dengan > baik. > Baru parasetamol saja, belum obat obatan yang lainnya. > > Saya belajar dan belajar lagi. Sekali lagi Tuhan sayang sekali kepada > saya. > Masih diberikannya kesempatan saya untuk memperbaiki diri saya. > > Mengapa harus puyer? Jikalau keluhan yang disebabkan oleh virus sembuh > sendiri dan tidak membutuhkan terapi apapun. Mengapa harus puyer, jika > parasetamol sangat terjangkau dan dapat didapatkan di puskesmas dengan > gratis. Kalaupun tidak ada dosis yang sesuai, mengapa tidak sertakan > pemberian pipet atau spuit tanpa jarum untuk membantu pemberian obat. Atau > parasetamol tablet pediatrik pun bisa digunakan. > Apa tidak tahu bahwa anak batuk tidak boleh diberi obat batuk? > Apa tidak tahu bahwa diare tidak boleh diberi obat diare? > Apa tidak tahu bahwa muntah tidak boleh diberi obat muntah? > Lalu apa gunanya diagnosis? Terapi sesuai dengan diagnosis bukan "a pill > for > an ill". Obat obatan simtomatik yang terkandung di puyer, tidak > menyelesaikan permasalahan, justru menimbun penyakit diam diam, efeknya > tidak hari ini tapi di masa depan. > > Mengapa harus puyer, jikalau saya yang tidak paham mengenai farmakodinamis > dan farmakokinetik obat ini tidak berpikir secara higinis. Bersihkah > mortar > tempat membuat puyer, dapat menjamin tidak tercampur dengan bahan bahan > lain > atau tidak? > > Mengapa harus puyer, jikalau saya yang harus menguasai keluhan umum, harus > membabi buta dengan memberikan puyer pada setiap keluhan pasien tetapi > tidak > mengindahkan kaidah "good manufacturing practice", dan apakah saya bisa > menjamin bahwa campuran itu homogen dan pembagian dosisnya sudah sesuai > ditiap-tiap bungkus puyer itu. > > Apa saya bisa menjamin semuanya. Menjamin bebas dari interaksi obat, > menjamin kebersihannya, menjamin bahwa obat itu fungsinya tidak berubah > ketika bentuknya tidak sesuai dengan yang seharusnya? > > Apa disekitar saya begitu terbatasnya sehingga saya tidak bisa memberikan > obat yang berbentuk sirup? > > Apa saya tidak bisa meyakinkan kepada pasien bahwa, yang diterapi adalah > penyakit/diagnosis bukan keluhannya? > > Apakah dektsrometorfan, luminal, efedrin, diazepam, kodein, ambroksol, > bromheksin, papaverin, teofilin, antibiotik, dan beberapa jenis obat > lainnya > yang sering diresepkan pada puyer anak sebegitu mendesaknya untuk > diberikan > kepada anak sehingga melupakan kaidah pengobatan yang seharusnya? > Apakah itu menjadi nilai ekonomis? > > Jika puyer membantu, maka mengapa tidak ada standar dalam pembuatan puyer? > Apakah setiap dokter sama seperti rumah makan memiliki resep tersendiri > dalam pemberian obatnya? Lalu apa bedanya ilmu yang dipelajari? Apa > gunanya > Guideline, apa gunanya text book? > > Sampai saat ini saya tetap berkata tidak kepada puyer untuk menghindari > diri > dari kesalahan-kesalahan yang pernah saya lakukan sebelumnya, Karena > menjadi > dokter adalah amanah yang cukup berat. Memegang janji antara saya dengan > Tuhan saya Allah SWT. Jika saya tidak menggunakan puyer semata mata saya > takut dengan sang Khalik. Takut tidak menjalankan amanah dengan sebaik > baiknya. > > > > > > > > -- > najwa's lovely aunty: ordinary doctor ordinary person ordinary dreamer [Non-text portions of this message have been removed]