Sharing cerita yg menggugah.
Luar biasa.
salama'

drusle
http://daengrusle.com

::: People are enemies of what they don’t know - Imam Ali :::



-----Original Message-----
From: Sirikit Syah <sirikits...@yahoo.com>

Date: Tue, 17 Feb 2009 18:39:45 
To: Jurnalisme Damai<jurnali...@yahoogroups.com>; 
<ideas1stgenerat...@yahoogroups.com>; <media-ja...@yahoogroups.com>; 
<naratam...@yahoogroups.com>; <rctinews_alu...@yahoogroups.com>; 
<keluargaun...@yahoogroups.com>; <ekssurabayap...@yahoogroups.com>
Subject: [jurnalisme] sharing opini tentang amplop


Tulisan di bawah ini sudah dimuat di Surabaya Post Sabtu kemarin.
 
Rezeki yang halal akan terus memburu dan menemukanmu
 
“Bila seseorang datang pada saya menyodorkan uang Rp 935.750.200, yang katanya 
uang ’amplop’ yang pernah saya tolak, lalu diinvestasikan ke usahanya, kemudian 
berkembang, dan dinyatakan sebagai hak saya, apa yang harus saya lakukan?” 
tanya seorang wartawan, berkonsultasi pada saya.
 
Sungguh pertanyaan yang tidak mudah, dan kasus yang tidak lazim. Saya kemudian 
mewawancarainya beberapa kali (lewat email). Pertanyaan saya antara lain: 
“Apakah ketika membuat beritanya dulu, Anda obyektif, jujur, tanpa tendensi 
apapun? Atau, apakah Anda menulis berdasarkan 'pesanan' dengan harapan akan 
imbalan, namun kemudian segan dan memutuskan menolak amplopnya?”

Inilah jawaban wartawan sang wartawan:
 
Sekitar 25 tahun yang lalu, saya reporter lapangan, setiap hari melewati sebuah 
sungai kotor di Jakarta Barat. Setiap hari saya melihat seorang pemulung 
memungut sampah-sampah plastik, kardus, dan botol. Saya terusik untuk mencari 
tahu, itu sampah mau diapakannya. Suatu waktu saya mampir ke gubuknya, dan saya 
takjub. Semua sampah itu diolahnya dengan mesin buatannya sendiri. Sampah 
plastik dijadikan biji plastik, kardus dijadikan bubur kertas, dan botol 
dilumatkan jadi serbuk kaca. 
Pemulung ini bercerita, ide itu ia dapatkan ketika menonton TVRI. Hasil 
produksinya diterima sebuah pabrik di Pulogadung. Sebagai reporter, saya 
tertarik lalu mewawancarainya, mengikutinya mulai dari memulung sampah, 
mengolahnya, sampai pengiriman ke Pulogadung. Pemulung ini bercita-cita, 
tabungan dari hasil jualan produksinya, akan dibelikannya mesin yang lebih 
’benar’ dan menyewa gudang untuk pabrik ’beneran’. Nah, saya kemudian menulis 
kisahnya yang hidup dari sampah.
Rupanya, seorang direktur Bapindo membaca reportase itu. Saya dihubungi 
sekretarisnya, dimintai alamat si pemulung, karena Bapindo akan membantu dengan 
KMKP (Kredit Modal Kerja Permanen). Enam bulan kemudian, si pemulung, masih 
dengan tampilan yang sederhana, mengunjungi saya di kantor. Ia mengucapkan 
terima kasih ada bank yang membantu mewujudkan mimpinya. Lalu ia menyerahkan 
sebuah amplop tebal. Katanya, itu ungkapan terima kasih atas bantuan saya. Saya 
menolaknya. Saya bilang padanya: ”Pak, saya menulis tentang bapak karena saya 
merasa terusik melihat bapak setiap pagi ngacak-ngacak sungai. Saya nggak minta 
bayaran. Kalau bapak dibantu bank, Alhamdulillah, berarti bapak dapat 
kesempatan untuk maju. Maaf pak, saya tidak mau terima.” 
Dia menatap saya sambil menangis. Lalu katanya, ”Pak, saya akan simpan uang 
ini, dan saya jadikan modal ikutan dalam perusahaan saya. Teserah bapak mau 
terima atau tidak,  nama bapak ada dalam daftar pemegang saham perusahaan saya. 
Saya tahu bapak ikhlas menolong saya, tapi saya tidak mau melupakan jasa bapak. 
Kalau bapak tidak membuat berita tentang saya, mungkin saya masih ada di sungai 
itu saban pagi.” Ia menyalami saya, dan pergi. Saya tidak tahu berapa isi 
amplop itu. 
Lalu semuanya berlalu, tahun berjalan, saya sudah lupa. Beberapa bulan lalu, 
pagi-pagi, saya ditelepon seorang laki-laki: ”Masih ingat saya, pak?” Lalu ia 
terus bicara dan sampailah pada inti pembicaraan pagi itu, ”Pak, uang bapak 
masih saya simpan.” Dan ia pun menjelaskan bagaimana uang itu ”bekerja” di 
perusahaannya. Sekarang jumlahnya hampir Rp 1 M. Nah, apakah saya boleh 
menerima uang itu?
Sungguh unik persoalan ini. Setelah berinteraksi, akhirnya saya tahu saya dan 
wartawan bersangkutan pernah bekerja di institusi yang sama, yaitu RCTI, kami 
seusia, dan saya sangat mengenalnya. Namun tulisan itu dibuatnya sebelum dia 
bekerja di RCTI. Kisah ini nyata dan bukan karangan. 
Setelah mempelajari kasusnya, mengecek berbagai definisi ’amplop’ di berbagai 
kode etik, dan merenung berdasarkan nalar dan hati nurani, saya memutuskan: 
”Uang tu hak Anda, terimalah.” Eh, bukannya bergembira, wartawan itu tidak 
berani menerimanya. Alasannya, dia tak mau menjilat ludahnya sendiri (dulu 
menolak kok sekarang menerima), dan Ustadznya mengatakan itu uang haram.
Saya kira, keputusan akhir memang di tangan dia. Apakah dia merasa nyaman 
menerima atau tidak menerimanya, sepenuhnya hak dia. Namun saya ingin 
menjelaskan mengapa uang yang hampir Rp 1 M itu saya anggap sebagai haknya? 
Uang itu lolos dari semua rambu kode etik tentang amplop wartawan: wartawan 
menulis tanpa tendensi, bukan suap, bukan sogokan, dan tidak mempengaruhi 
liputan. Paling banter, ini bisa disebut uang gratifikasi, dan gratifikasi 
tidak dilarang –setidaknya belum diatur- dalam kode etik jurnalistik. 
Lebih dari itu, ini kasus yang diawali 25 tahun yang lalu. Hati nurani dan akal 
budi saya mengatakan, seseorang tak dapat lari dari rezekinya. Sang wartawan 
telah menghindari rezekinya 25 tahun yang lalu, namun rezeki itu masih menjadi 
haknya, dan memburunya hingga sekarang. Seseorang yang berniat baik (wartawan) 
bertemu dengan seorang lain yang sama baiknya (pemulung yang menjadi 
pengusaha). Berapa banyak pengusaha besar yang ingat jasa wartawan 25 tahun 
lalu, kemudian memberikan haknya sesuai janjinya (menjadikan ’amplop’ sebagai 
saham)? Allah menjanjikan, orang baik akan dipertemukan dengan orang baik, dan 
rezeki yang halal tak dapat dihindari.
Itulah sekelumit kisah tentang amplop wartawan. Sementara itu, dunia pers 
Indonesia saat ini sedang diguncang oleh skandal harian Sinar Indonesia Baru di 
Medan. Koran ini ditengarai memprovokasi massa selama tiga tahun belakangan ini 
dalam hal Propinsi Tapanuli. Dalam kasus tewasnya Ketua DPRD Sumut, awak 
redaksinya termasuk tersangka karena menerima uang jutaan rupiah dari dalang 
Protap, dan turut menyebarkannya pada pendemo. 
Ini tentu masih perlu dibuktikan kebenarannya. Namun itulah dunia pers, ada 
yang betul-betul membela rakyat, ada yang membela kepentingan golongan 
tertentu; ada yang menolak amplop, ada yang menerima amplop. Semoga kita semua 
belajar dari kisah akhir pekan ini.


Sirikit Syah, Februari 2009


      

[Non-text portions of this message have been removed]


Kirim email ke