Kisah ini seperti menceritakan diriku sendiri, cuma tokohnya Andrew Elliot berasal dari universitas ternama di dunia, sedangkan aku hanya dari universitas ternama bermerk lokal. Kisah dalam "The Class" bagiku bukan sebuah novel, aku mengalaminya dalam beberapa detail.
Temanku sudah ada yang bermain-main di Istana negara dan dekat dengan Susilo Bambang Yudoyono, sedangkan aku lebih setia pada gagasan lamaku di jalanan, yakni "kekuasaan harus dilawan!". Ada yang sudah masuk di ranah politik dan menjadi politisi. Mereka membuat keputusan, peraturan dan kebijakan politik yang sama sekali tak pernah kusetujui. Aku menjadi lawan imajiner dan realistis pada teman-teman lamaku.
Mereka aktif di parpol dan sibuk dengan kampanye, tapi aku lebih suka menjadi golputer dan menyebut mereka sebagai demagog.
Mereka aktif di KPU dan Panwaslu, lalu kukatakan kalian mengawasi politikus yang akan mengendalikanmu dengan telunjuknya.
Reuni dengan mereka, sama sekali aku tak suka. Memang aku minder dengan mereka yang tubuhnya mulai harum dan wangi. Wangi yang tak pernah kucium di jalanan saat demonstrasi. Wangi dan keharuman khas para politikus dan birokrat. Setelah mereka reuni dan melakukan kongres alumni, aku mengirim pesan dalam group kami itu dengan kalimat-kalimat resistensi.
Aku juga seorang Mr. Nobody, tapi aku benar-benar berusaha untuk bersyukur untuk segala hal yang dianugrahkan-Nya padaku. Aku selalu bangun tidur jam 04.00 dini hari dan masih selalu kusempatkan menyapukan embun ke wajahku. Aku bersyukur bahwa pagi ini aku terbangun dan merasakan sejuknya embun. Kesyukuran yang tiada tara keindahan-Nya, merasakan kesenyapan-Nya dan mengalami keheningan-Nya, yang Ia titipkan di titik-titik embun.
Hanya aku
satu-satunya di dunia yang masih selalu melakukan ritual menyapukan embun ke wajah setiap jam 04.00 dinihari. Tuhan tahu itu dan baru sekarang kuberitakan kepada dunia, setelah puluhan tahun kujalani.
Ostaf Al Mustafa
Alumnus Ilmu Komunikasi Fisipol
Universitas Hasanuddin
Thu May 21, 2009 3:24 am (PDT)
Andrew Elliot merasa minder berat, karena walaupun sudah lebih dari 25
tahun lulus dari univerversitas bergengsi Harvard, tetapi kenyataannya
tetap saja belum bisa memiliki apapun juga yang bisa ia banggakan. Hal
inilah yang membuat dia jadi takut setengah mati untuk menghadiri pesta
reuni teman-teman sekelasnya.
Betapa tidak, matan teman sekamarnya saja sudah menjadi calon menteri
luar negeri, yang satunya jadi dekan, bahkan seorang lagi yang
dahulunya dicemohkan dan diremehkan telah mencapai puncak prestari
sebagai pemain pianis yang kesohor. Hal inilah yang membuat ia merasa
gagal total dan minder berat untuk menghadiri acara pesta reuni
tersebut. Bahkan kalau ia jujur, ia merasa iri melihat kesuksesan dari
teman-teman sekelasnya.
Hal tersebut diatas inilah yang diceritakan dalam Novel -The Class-
hasil karya dari Erich Segal. Walaupun demikian di akhir cerita,
akhirnya ia mengetahui bahwa apa yang ia lihat diluarnya tidaklah
sebaik dan seindah seperti yang diduga oleh kebanyakan orang. Ternyata
mereka juga memiliki riwayat yang tragis maupun kegagalan-kegagalan
lainnya yang tidak terlihat oleh orang luar. Masalahnya yang kita lihat
hanya mobil mewah maupun gedungnya saja yang mentereng maupun karier
jabatannya.
Misalnya dalam kehidupan sang pemain pianis; kehidupannya tidaklah
semanis seperti kariernya. Ia kecanduan obat-obatan, bahkan akhirnya
salah satu tangannya mengalami disfungsi motoris sehingga tidak bisa ia
kendalikan lagi. Sedangkan temannya yang menjadi politikus di gedung
putih tidak mampu mempertahankan perkawinannya sehingga akhirnya ia
bunuh diri.
Tidak bisa dipungkiri bahwa secara langsung atau tidak langsung, kita
sendiri sering mengajukan pertanyaan: Kenapa ia lebih sukses di dalam
kehidupannya daripada saya? Bahkan seringkali pula kita disindir agar
mau melihat keatas "Lihat tuh tetangga kita; mereka sudah punya mobil
BMW, sedang Loe masih tetap azah naik angkot! Apakah kagak malu!"
Disamping itu hampir setiap jam kita di jejali dengan film-film
sinetron dimana kehidupan glamour dan mewah sudah merupakan thema utama
dari film-film tersebut. Kesuksesan manusia sekarang ini hanya diukur
melalui harta atau jabatan yang mereka miliki. Dimana Loe kere dan
tidak memiliki jabatan berarti Loe ini Mr Nobody!
Memang sudah merupakan fakta nyata, bahwa pada saat kita terpuruk,
secara langsung atau tidak langsung akan timbul pertanyaan: "Kenapa
hidup Gw jadi begini? Dimana letak kesalahan Gw? Kenapa Tuhan lebih
memberkati orang kapir dan para koruptor daripada Gw? Sehingga
boro-boro bisa beli Nasi Goreng udah bisa makan siang Nasi GOCENG (lim
ribu) azah udah bagus!
Beda dengan Prabowo Subianto dimana konon nilai harga kudanya saja
sudah mencapai tiga miliar per ekor. Ia memiliki 84 ekor kuda silahkan
hitung sendiri, baru nilai harga kudanya saja sudah berapa? (sumber
Kompas) Sedang Gw terkadang untuk biaya angkot tiga ribu saja kagak
punya.
Pertama perlu diketahui walaupun kita bisa mengetahui, bahwa harta
kekayaan dari Prabowo itu Rp 1,7 triliun, hal ini tetap tidak akan bisa
merubah nasib kita. Uang Prabowo bukanlah uang saya, nasib dia bukanlah
nasib saya. Maka dari itu saya selalu berusaha untuk mensyukuri dengan
apa yang saya miliki dan dapatkan.
Berkat dan anugerah yang paling indah yang saya dapatkan setiap hari
ialah dimana saya masih diberi kesempatan untuk dapat menikmati
matahari dipagi hari. Berapa juta orang di dunia ini yang setiap
harinya berdoa dan mengharapkan agar mereka masih bisa diberikan
kesempatan untuk hidup satu hari lebih lama lagi, karena mereka berada
dalam keadaan sekarat! Percayalah berkat ini ada jauh lebih indah dan
tidak bisa dinilai dengan uang maupun jabatan sehebat dan setinggi
apapun juga.
Mang Ucup
Email: mang.ucup<at>
gmail.com
Homepage: www.mangucup. org
Facebook