http://public.kompasiana.com/2009/07/09/puas-memilih-jk/
Puas Memilih JK! Oleh puputpujilestari - 9 Juli 2009 - Dibaca 2091 Kali - Tak pernah sebelumnya saya merasa antusias ke TPS. Sampai tadi pagi saya membubuhkan contreng pada pasangan nomer tiga. Saya tahu dan sadar pilihan saya tidak akan menang. Analisis manapun akan menempatkan SBY pada posisi pertama. Tapi saya tidak mau menyesal hingga lima tahun ke depan ketika saya harus mendukung SBY sebagai presiden. Tanpa melakukan usaha untuk mengubah hal itu. Saya teringat iklan JK, versi dukungan Sujiwo Tedjo. Saya pernah berjumpa dan berbincang dengan seniman yang rela memotong rambutnya demi mendukung film CaPres yang diperankannya. Saya penggemar lagunya. Saya kenal idealismenya. Musiknya mengukuhkan diri sebagai seorang yang tak mudah terseret arus. Maka ketika dia memberi dukungan pada JK saya sepenuhnya yakin dia sudah menganalisis dan memiliki alasan untuk melakukannya. Sahabat saya, Muhajir, tiba-tiba juga menjadi antusias untuk mendukung JK. Dalam beberapa kesempatan kami berbincang tentang mengapa memilih JK. Muhajir gendeng, begitu saya memanggilnya. Gendeng ini jangan diartikan sebagai sesuatu negatif. Dari awal saya melihatnya melakukan pentas monolog Mutung di ospek, saya tahu dia orang “berbeda”. Saya bersahabat dengannya, membaca buku bersama, berdiskusi, makan bersama, hingga demo bersama. Berbeda, karena kami sama-sama percaya ruang kuliah bukan segalanya. Alam raya menyediakan ilmu tiada habisnya, itu yang membuatnya berbeda. Hajir juga bukan orang yang gampang mengambil keputusan. Dia memiliki pertimbangan. Saya tidak bertanya langsung mengapa dia mendukung JK, tapi saya tahu dia punya alasan. Demikian juga saya. Awalnya saya hanya takut melihat SBY memutuskan menggandeng Boediono, tokoh netral non parpol. Oh betapa, Demokrat berusaha mengantikan Golkar pada era orde baru. Menjadi satu-satunya partai yang menguasai puncak kepemimpinan. Sikap SBY yang selalu mencari garis aman tidak pernah menarik simpati saya. Zona aman seringkali melenakan, saya takut jika pada saatnya saya dipimpin oleh presiden yang tak mampu bergerak cepat. Saya ini korban sakit hati berulang kali atas beberapa sikap PNS. Pegawai yang digaji dari pajak yang saya bayar adalah cermin pemerintahan kita. Zona nyaman membuat mereka seenaknya bekerja. Saya berharap ada perubahan sikap kepemimpinan sehingga bisa mendorong elemen masyarakat bergairah untuk mengerjakan tugas sebaik-baiknya. Jadi jelas tidak mungkin saya memilih SBY jika itu harapan saya. Juga tidak mungkin bagi saya untuk memilih Megawati. Bukan karena gender, saya tidak masalah dipimpin presiden wanita. Tapi, saya kehilanagn hutan di Blora saat pemerintahan Mega. Polisi tak ada aksi hanya melihat pohon-pohon jati diusung oleh orang-orang beringasan. Saya ingat saya menangis saat melintasi hutan yang biasanya saya lewati ketika hendak ke sekolah tiba-tiba telanjang dan panas. Kondisi chaos dimana-mana ketika Mega menggantikan Gus Dur menjadi presiden. Saya belum pernah membaca jurnal tulisan Megawati. Bagi saya pemimpin harus bisa menulis sendiri. Bukan dituliskan orang lain. Dan Mega tidak memenuhi syarat untuk saya pilih. Bagi pendukung Mega, maaf jika saya terlewat bila Mega pernah menulis untuk umum. Baik, saya tidak mengenal JK juga awalnya. Awalnya saya berfikir kalau JK jadi presiden maka dijuallah semua. Seluruh progam akan dihitung ada keutungan materi. Jadi awalnya saya masih berfikir untuk golput. Owi, sahabat saya, adalah orang yang pertama kali tegas menyatakan dukungannya terhadap JK. Saya tanya alasannya. Mulailah saya tertarik, bukan pada JK, tapi tertarik mencari tahu siapa JK. JK, pemimpin kedua itu, ternyata menyimpan prestasinya. Kalau JK sombong pasti sudah dari dululah JK memamerkan ketegasannya dalam memimpin, menyelesaikan masalah, dan mendorong kemandirian warga. Saya sadar JK dibesarkan oleh Golkar partai yang menjadi momok atas luka orde baru. Tapi, JK juga sering bersebrangan dengan “orang lama” di Golkar, perubahan selalu harus disertai dengan rasa ketidaknyamanan. Jika JK sendiri berani menantang dan mengambil resiko mengapa saya tidak? Satu-satunya yang abadi di dunia ini adalah perubahan. Kita harus berani keluar dari zona nyaman, untuk berubah, menjadi lebih baik. Baik, saya akui, saya juga tidak yakin bahwa JK akan menjaga teguh janjinya jika terpilih. Tapi JK memberi harga diri bagi saya sebagai bangsa. Jika Pram mengatakan, orang yang tidak bekerja itu sama saja sudah mati, maka saya mendapatkan semangat yang sama ketika akhirnya memutuskan untuk memberikan suara pada JK. Kita butuh pemimpin yang berani mengajak mandiri, dengan bangga atas kemampuan sendiri. Saya sudah kecewa sejak malam sebelum saya berangkat ke TPS. Saya tahu JK tak akan menang. Karena rakyat Indonesia masih cendurung memilih kewibawaan pemimpin. Tubuh gagah, santun, sopan, kalem, dan nggak neko-neko adalah pilihan yang mendominasi pilihan masyarakat. Tapi saya tetap optimis melangkah. Setelah mandi, bahkan keramas, dan berbenah saya berangkat ke TPS. Saya teleon ibu saya, meminta suaranya diberikan pada JK. Tentu saya harus berbincang lama untuk menjawab pertanyaan ibu saya, mengapa? SMS dari Kia, sahabat saya, melakukan hal sama. Meminta saya memilih JK. Ya, dan saya memilihnya. Saya tidak merasa kalah, saya menang karena hari ini saya berangkat ke pesta rakyat dengan harapan akan ada perubahan. Jika saya memilih pasangan yang kalah bukan berarti saya kecewa. Ibu saya di seberang telepon bertanya, mengapa pilih orang yang kalah? Saya menjawab “JK adalah pilihan terbaik saat ini. Tapi kita harus mendukung SBY sebagai pemenang, jika memang menang. Pilihan lain itu juga bentuk dukungan pada SBY, supaya tidak menang mutlak kemudian sombong. Jangan sampai tumbuh bibit gigantisme penguasa baru,” kata saya. Jawaban ya, dari ibu saya, adalah kemenangan saya pula. Ibu saya orang yang cerdas karena itulah sebelum dan setelah memilih JK, beliau meminta alasan kepada saya. Saya tetap mengangkat topi untuk usaha bersama memenangkan JK. Pada JK, saya tetap mengaguminya. Tak ada yang sempurna, begitupun SBY dan masyarakat kita. Jika suara mayoritas condong kepada SBY maka saya akan tetap mendukungnya. Terimakasih Bangsa, Terimakasih Bangsa, Terimakasih JK!