Sharing, tulisan menarik dari Dewi Lestari mengenai twitter Luna Maya vs
wartawan infotainment


======


*Luna Bukan Kopaja
*
Oleh Dewi Lestari

http://dee-idea.blogspot.com/2009/12/luna-bukan-kopaja.html


Peluru ditembakkan ke udara. Asbak melayang. Dan sekarang, sebaris
sumpah serapah di Twitter.

Relasi media hiburan dengan komoditas tunggalnya—yakni para penghibur,
atau yang lebih sering disebut “artis”—adalah hubungan yang
berwarna-warni. Kadang-kadang keduanya menempel manis bagai semut yang
memeluk gula, tapi kadang-kadang keduanya saling sengit bagai kucing
dan anjing.

Dan kini, dalam mangkok besar industri hiburan, kita pun punya apa
yang disebut: infotainment—hadir dalam bentuk program teve yang laku
ditonton dan diproduksi dengan biaya tak besar. Berbeda dengan
sinetron yang menuntut puluhan kru serta puluhan pemain dengan honor
yang tak kecil, infotainment melenggang ringan dengan satu-dua kamera,
dua-tiga kru, dan segenggam mikrofon yang ditodongkan ke para artis
yang tak dibayar* untuk membuka ruang privat kehidupan mereka.
Simbiosa? Sudah pasti. Saling membutuhkan? Tidak setiap saat. Saling
menguntungkan? Belum tentu.

Berikut beberapa anggapan umum, yang saking mapannya bersarang di
benak masyarakat, sudah jarang kita pertanyakan atau cek kebenarannya,
antara lain:

1. “Media hiburan dan artis saling membutuhkan.”

Bagi saya, kalimat itu terdengar manis dan bijak tapi juga menjebak
dan menjerat. Menjebak hingga artis dipaksa untuk melonggarkan bahkan
merobohkan garis privasi di luar keinginannya, dan menjerat masyarakat
untuk terus mewajarkan tindakan-tindakan intimidatif infotainment
dengan alasan “itu kan risiko jadi orang terkenal.”

Agar karya saya menggaung di masyarakat luas, saya membutuhkan media
sebagai amplifier-nya, termasuk media hiburan (meski ada juga karya
yang jadi besar dan laris bahkan sebelum media sempat menyentuhnya).
Namun tidak semua jenis pemberitaan mendukung karya ataupun pamor
saya. Bahkan ada pemberitaan yang mengganggu hidup saya. Bukan “saling
membutuhkan” namanya jika saya menolak diliput dan malah terus
dikuntit, rumah saya ditongkrongi dan dimata-matai. Bukan “saling
membutuhkan” namanya jika kalimat saya diputar-balikkan untuk memenuhi
opini subjektif tertentu melalui gambar dan narasi yang lantas dibagi
ke jutaan pemirsa. Dalam situasi seperti itu, saya menolak keras
generalisasi bahwa artis selalu membutuhkan media hiburan.

Media dan seorang artis hanya layak disebut saling membutuhkan jika
memang keduanya sedang merasa ada kebutuhan, yang artinya:
situasional. Tidak terus-menerus dan berubah-ubah.

2. “Hubungan antara artis dan infotainment bersifat mutualisme.”

Mengatakan, atau mengharapkan, bahwa hubungan antara artis dan
infotainment selalu bersimbiosa mutualisme, menurut saya, adalah
pernyataan yang buta. Simbiosa yang terjadi di lapangan bisa beragam:

• Mutualisme : Saat si artis mengizinkan dengan sukarela untuk si
infotainment masuk ke dalam ruang privatnya, dari mulai meliput bisnis
sampingan, meliput ulang tahun anak, bahkan untuk membantu posisi
tawarnya dalam industri. Infotainment pun kadang sengaja dilibatkan
ketika si artis hendak memenangkan sebuah konflik. Dalam relasi ini,
kedua pihak sama-sama diuntungkan.

• Komensalisme : Dengan izin atau tanpa izin, disengaja atau tidak,
infotainment mewawancarai artis dan diladeni secara netral-netral
saja. Misalnya, untuk memberi komentar ringan, atau meminta
klarifikasi atas berita-berita remeh (baca: bukan skandal). Dalam
pengamatan saya, relasi macam inilah yang paling banyak terjadi; si
artis bisa berjalan lalu sambil berkata “Ah. Biasalah, infotainment,”
dan si reporter bisa permisi pergi dengan muka lurus tanpa harus
mengejar dan mencecar. Dalam jenis relasi ini, artis tidak merasa
diuntungkan, tapi juga tidak merasa dirugikan.

• Parasitisme : Ketika si artis tidak memberikan persetujuan,
kerelaan, atau keinginan untuk meladeni infotainment, tapi terus
didesak, dipaksa, bahkan diintimidasi. Dan kemudian berita tetap
ditayangkan dengan memakai perspektif satu pihak saja. Dalam
pengemasannya, beberapa infotainment bahkan sampai melakukan teknik
wawancara imajiner, pemalsuan suara, memutar balik kejadian
sebenarnya, dan cara-cara lain yang sudah menjurus ke arah fitnah.**
Dalam relasi ini, jelas yang diuntungkan hanyalah pihak infotainment,
sementara pihak artis dirugikan, bahkan dicurangi.

Terbius dalam rumusan ideal bahwa relasi artis-media hiburan harusnya
selalu saling menguntungkan terlepas fakta lapangannya seperti apa,
mengakibatkan kita—sebagai masyarakat—cenderung permisif. Dan, sebagai
artis, kita cenderung memilih diam.

3. “Kalau beritanya aib pasti artisnya menghindar, kalau berita baik
infotainment-nya dibaik-baikin.”

Lagi-lagi, buat saya itu adalah opini yang malas dan tak jeli. Tak
sedikit area yang disebut “baik-baik” oleh banyak orang, tapi bagi
beberapa artis tertentu merupakan ruang privat yang tidak ingin dibagi
ke infotainment, seperti kelahiran anak, acara pernikahan, dst. Dan
banyak juga konflik/isu berbau skandal yang secara sengaja justru
melibatkan infotainment atas undangan/persetujuan/kerelaan artisnya.
Jadi, fakta di lapangan lagi-lagi tidak mendukung opini umum tersebut.
Setiap artis punya preferensi dan garis batasnya masing-masing.

4. “Seorang figur publik wajib membuka dirinya terhadap publik karena
ia sudah jadi milik publik.”

Sewaktu kecil, saya tidak pernah bercita-cita jadi figur publik. Yang
saya ingat, saya ingin jadi penulis dan musisi profesional. Itu saja.
Saat saya berkarya, saya mempertanggungjawabkannya dengan cara-cara
yang sederhana: menjamin bahwa karya saya asli dan mencintainya
sepenuh hati.

Namun karya dan citra melangkah seiring sejalan ketika sudah masuk ke
dalam industri. Di sana, karya menjadi besar, citra pun ikut membesar,
dan saya yang manusia biasa kadang-kadang tenggelam oleh keduanya.
“Figur publik” akhirnya menjadi efek samping yang mengiringi profesi
artis, walaupun berkarya dan terkenal sebetulnya adalah dua hal yang
berbeda.

Sialnya, pengertian “figur publik” selalu ditempelkan dengan konotasi
“milik publik”. Kita amat sering terpeleset dengan menganggap keduanya
identik, padahal secara esensi keduanya berbeda. Dalil itulah yang
kemudian digunakan infotainment untuk menuntut artis buka mulut.
Sering sekali mereka mengatasnamakan “masyarakat” dengan mengatakan
“Masyarakat berhak untuk tahu!”

Bagi saya, yang menjadi milik publik adalah karya saya. Masyarakat
bisa membeli buku saya, CD album saya, mengundang saya untuk diskusi
buku dalam kapasitas saya sebagai penulis, atau mengundang saya
bernyanyi dalam kapasitas saya sebagai penyanyi. Namun saya punya hak
penuh atas kehidupan pribadi saya. Hidup saya bukan milik publik.
Adalah hak saya sepenuhnya untuk menentukan seberapa banyak potongan
kehidupan pribadi yang ingin saya bagi dan mana saja yang ingin saya
simpan.

Artis adalah manusia yang berkarya. Bukan telepon umum.

5. “Seorang artis harus selalu bertutur laku baik dan sopan.”

Ini barangkali anggapan umum yang paling naif tentang artis.
Pertama-tama, bukan hanya artis, seorang tukang becak pun dituntut
untuk bertutur laku baik dan sopan pada penumpangnya. Ketika sudah
hidup bermasyarakat, sikap baik dan sopan melancarkan interaksi kita
dengan satu sama lain. Namun kita juga manusia yang punya dua sisi.
Kita pun bisa marah dan kehilangan kendali. Lantas apa yang membedakan
Luna Maya dengan Mang Jeje—tukang becak langganan saya di Bandung?

Sebuah pepatah bijak berkata: “Semakin tinggi pohon, semakin keras
angin menerpa.” Saya setuju. Tapi tidak berarti bahwa seseorang yang
dianggap bintang lantas di-dehumanisasi-kan. Menuntut seorang bintang
untuk selalu sempurna, bukan saja berarti penyangkalan atas
kemanusiawian, tapi juga mustahil bisa dipenuhi. Jadi, jika
kesempurnaan adalah kemustahilan, mengapa sebagian dari kita begitu
sulit berempati?

Seorang Luna Maya, yang sudah minta pengertian secara baik-baik, tapi
malah terus didesak hingga kamera membentur kepala anak yang sedang ia
gendong, lantas meledakkan emosinya di Twitter—sebegitu irasionalkah
tindakannya itu? Atau justru manusiawi? Apa yang kira-kira akan kita
lakukan jika kita menjadi Luna? Tetap bermanis-manis hanya karena
status artisnya, hanya karena konon ia “milik publik”? Sekali lagi,
seingat saya, Luna adalah model dan presenter. Bukan Kopaja. Apa hak
kita untuk mengklaim agar Luna bertutur laku sebagaimana keinginan
kita? Kita bisa menyimpan fotonya, menyimpan RBT lagu Luna di telepon
genggam kita, tapi kita tidak bisa mengontrol manusianya seperti kita
mengoperasikan AC dan remote-nya.

6. “Tanpa media, artis tidak akan jadi siapa-siapa.”

Ini barangkali sihir terkuat yang merasuk di kalangan artis. Kita
tahu, betapa besar peran media dalam perkembangan karier seorang
artis—entah itu karier musik, sinetron, film, model, dsb. Tapi, mari
kita lihat skala yang sesungguhnya: Media bukan cuma satu. Media
hiburan merupakan salah satu bagian, bukan keseluruhan. Infotainment
juga cuma sebagian dari media hiburan, bukan keseluruhan.

Infotainment memang powerful. Terbukti ada orang-orang yang disulap
dari bukan siapa-siapa dan tahu-tahu menjadi artis papan atas setelah
diekspos habis-habisan di infotainment. Dan ada juga artis yang
hidupnya ditelanjangi habis-habisan sampai harus menghilang
bertahun-tahun dari panggung hiburan.

Tapi, jangan kita balik logikanya. Saya tidak melihat infotainment dan
artis seperti logika ayam dan telur. Apalagi kalau infotainment
disebut sebagai “induk” dari eksistensi seorang artis. Infotainment
adalah fenomena yang muncul tahun ’90-an, sementara saya tumbuh besar
menyaksikan artis-artis yang mampu eksis berdasarkan bakat dan
karyanya jauh sebelum ada infotainment. Dan jangan kita lupa, tanpa
artis, infotainment hanya corong kosong tanpa isi. Corong itu boleh
nyaring. Tapi kalau tidak ada yang disuarakan, ia pun senyap dan
hampa.


Bangun Dari Ilusi

Sayangnya, selama ini dari kalangan artis sendiri lebih banyak memilih
diam atau bersungut-sungut di belakang. Padahal pihak artislah yang
paling banyak dirugikan. Entah karena terlena, merasa bakal sia-sia
saja, atau kita masih dihantui image infotainment yang terasa begitu
besar dan berkuasa hingga kita percaya buta bahwa jatuh-bangun karier
kita ditentukan mereka. Dan sama seperti semua manusia, tidak ada
artis yang ingin kehilangan rezekinya atau dihukum di layar kaca
dengan pemberitaan negatif.

Jika ada pepatah bijak yang bisa berguna, maka inilah dia: “Rezeki
diatur oleh Tuhan. Bukan oleh infotainment.”

Saya tidak mengajak siapa pun untuk memusuhi infotainment. Permusuhan
bukanlah tujuan saya menulis sebegini panjang lebar. Tapi kiranya para
artis bisa melihat relasinya dengan media hiburan secara proporsional.

Mari kita bangun dari ilusi bahwa cuma ada satu tangan besar yang
menentukan mati-hidupnya karier kita. Keberhasilan seorang artis
ditentukan oleh banyak faktor, frekuensi pemunculannya di infotainment
hanyalah satu faktor, bukan segalanya.

Berikut beberapa hal sederhana yang sekiranya bisa seorang artis
lakukan untuk perimbangan berita:

1. Ungkapkanlah sisi cerita kita. Menulis di blog/situs pribadi, atau
lakukan wawancara dengan media cetak yang bersahabat untuk menulis
sisi cerita kita. Jangan kecil hati jika cerita kita kalah jumlah
pembacanya dengan pemirsa teve yang jutaan. Adanya sebuah sumber
cerita langsung dari yang bersangkutan jauh lebih berarti ketimbang
bungkam sama sekali.

2. Jika memungkinkan, bawalah alat perekam/kamera saat infotainment
meliput kita. Semua artis yang pernah berurusan dengan infotainment
tentunya tahu betapa banyak kejadian asli yang terdiskon ketika muncul
di layar teve, belum lagi narasi yang merajut potongan adegan agar
muat di kerangka opini tertentu saja. Lalu kemanakah rekaman dari sisi
kita itu kita tayangkan? YouTube. Promosinya? Believe me, with a tweet
or two, we can have thousands of viewers before we know it. Maybe even
more if it got spread. Kalau tidak mau repot sampai menayangkan pun
tidak masalah, dengan membawa perekam tandingan saja sudah cukup
mengubah percaturan psikologis saat kita sedang diliput. Catatan: Reza
pernah merekam balik juru kamera infotainment yang menguntitnya. Dan
ketika dia bertanya: “Buat apa Mas Reza pakai kamera segala?” Reza
menjawab, “Ya sama kayak kamu, ngambil gambar tanpa izin.” Hasilnya?
Yang bersangkutan pun akhirnya gerah sendiri dan kabur ke toilet pria.
And yes. Reza followed him all the way there.

3. Tegas berkata ‘tidak’ dan berikan batas dari awal. Tidak jarang,
artis diundang ke satu acara atau dikontrak oleh pihak yang memang
secara resmi mengundang infotainment. Kita bisa mensyaratkan sejak
awal pada pihak penyelenggara bahwa wawancara hanya sebatas materi
yang mendukung acara dan tidak melenceng ke hal-hal pribadi, dan untuk
itu kita bisa meminta panitia untuk ikut menggawangi jalannya
wawancara. Tegas bilang ‘tidak’ atau diam ketika pertanyaan mulai
melenceng. And when things start to get out of hand, just do what
every Miss Universe is known best at: smile and wave.


Penderitaan Sebagai Candu

Di luar dari itu semua, sebagian besar masyarakat pun punya problem
adiksinya sendiri. Infotainment telah memanjakan tendensi manusiawi
kita untuk merasakan kepuasan saat melihat ada orang lain yang tidak
lebih baik, bahkan lebih menderita, ketimbang kita. Schadenfreude.
Apalagi kalau orang-orang itu adalah kaum yang kita anggap super, yang
punya segalanya. Kita semua menyimpan tendensi itu, sadar atau tak
sadar, sama halnya kita punya potensi untuk membunuh dan merusak.
Namun kita punya pilihan untuk tidak melakukannya, tidak
memeliharanya.

Kita bisa menjadi penonton yang lebih mawas dan melek. Tontonan
infotainment seharusnya ditujukan untuk menghibur dan memberi
informasi. Ketika sudah menjadi ajang penghakiman, berarti ada yang
tidak beres. Ada yang melenceng.

Sebagai penonton yang memilih tidak suka, saya sarankan untuk bersuara
dengan konstruktif, entah lewat jaringan sosial di internet atau apa
pun sesuai kapasitas kita. Dengan menyuarakan sikap, mudah-mudahan
pihak produser infotainment maupun teve sudi instrospeksi dan membuat
konten programnya lebih bermutu dan berimbang.

Cara paling sederhana? Matikan teve. Atau ganti saluran.


Berempati Tidak Perlu Polisi

It takes one to know one. Sampai kita mengalami apa rasanya dicecar
dan dikepung kamera, kita tidak bisa sepenuhnya mengerti apa yang
membuat Parto menembakkan pistol ke udara, apa yang membuat Sarah
Azhari melempar asbak, dan apa yang membuat Luna Maya mengumpat di
Twitter-nya. Di lain sisi, sampai kita tahu apa rasanya berpeluh dan
bersusah payah mengejar sekalimat-dua kalimat demi mengejar setoran
berita, kita pun tidak bisa sepenuhnya memahami mengapa mereka, para
wartawan infotainment yang awalnya bisa sangat manis dan sopan,
tahu-tahu bisa berubah seperti preman tak tahu aturan.

Saya tidak berpendapat bahwa yang ditulis Luna di Twitter-nya itu
manis dan terpuji. Ia memang mengumpat dan memaki. Tapi dengan
mengetahui sebab yang melatari aksi Luna, segalanya sangatlah
sederhana. Kita manusia. Kita menangis. Kita tertawa. Kita marah. Kita
khilaf. Sesuatu yang bisa diselesaikan dengan satu musyawarah di kedai
kopi. Tanpa perlu mengadu ke polisi. Tanpa perlu UU ITE. Jadi, untuk
apa membunuh nyamuk dengan bom atom?


Menghindari Bumerang Dengan Nurani

Mengadukan Luna hingga ke polisi, dan di sisi lain TIDAK memberikan
berita berimbang tentang MENGAPA Luna sampai bersumpah serapah di
Twitter, dan bukannya MINTA MAAF karena nyaris membuat seorang anak
cedera, menurut saya adalah langkah yang tidak strategis bahkan
berbahaya. Infotainment jelas bukan figur bercitra innocent yang
mengundang simpati. Saat ini, infotainment tengah diuji. Artis pun
sedang diuji. Dan masyarakat menyoroti. Pembelaan terhadap Luna terus
mengalir.

Ironisnya, kamera pun terus berputar. Semakin panjang dan heboh
masalah ini, kembali infotainment diuntungkan. Sensasi adalah uang.
Jadi, jika keuntungan finansial sudah di kantong, tidakkah kehormatan
juga layak dikantongi? Andai saja pihak infotainment sudi menelan
ludahnya lalu melucuti label-label “pers”, “artis”, dst, kembali
menjadi individu, kembali menjadi manusia biasa, ia justru bisa
memperoleh respek. Namun jalur yang dipilihnya kini justru berpotensi
menjadi bumerang. Pers hiburan memang besar. Tapi masyarakat jauh
lebih besar.

Kasus ini bukan saja memancing reaksi dari masyarakat yang selama ini
jengah bahkan muak dengan kualitas tayangan infotainment, tapi juga
mengundang potensi ‘pengadilan rakyat’ yang berbasis nurani umum,
seperti halnya kasus Prita vs RS. Omni. Tapi jika tujuan akhir pihak
infotainment yang dinaungi PWI tersebut ternyata hanyalah sensasi
(baca: rating)? Maka biarlah kecerdasan dan nurani rakyat yang
akhirnya menilai sendiri.

Suara saya ini mungkin tidak punya arti. Setelah kasus ini berlalu,
mungkin tetap tidak terjadi perubahan apa-apa dalam praktek
infotainment, pada kegandrungan masyarakat luas akan kehidupan pribadi
para artis, maupun pada sikap kebanyakan artis yang masih cenderung
permisif dan bermain aman ketika berhadapan dengan kuasa kamera
infotainment. Saya menghargai pilihan setiap orang. Bersimbiosa
mutualisme dengan infotainment bukanlah hal yang salah. Bekerja bagi
industri infotainment pun bukan hal yang salah—baik itu sebagai kru
maupun presenter. Menjadi artis yang memilih untuk menutup diri dari
infotainment pun bukan hal yang salah. Ini memang bukan masalah benar
atau salah, melainkan preferensi. Dan ketika kita menghargai pilihan
masing-masing, batas privasi masing-masing, niscaya tidak perlu lagi
ada peluru menembak ke udara atau caci maki di jagat maya.

Hukum, dan praktek hukum di lapangan, tidak selalu berbasiskan nurani,
melainkan permainan kelihaian di dalam kotak sistem. Jadi bukannya
tidak mungkin pihak infotainment/PWI akan menjadi pemenang di jalur
hukum. Jujur, saya tidak terlalu menganggapnya penting. Nurani tidak
bisa dikelabui. Dan, sekali nurani terusik, masyarakat—Anda dan
saya—tak akan pernah lupa.


* Ada kalanya artis dibayar. Berita-berita ringan lucu yang tahu-tahu
memunculkan kemasan odol, obat penurun panas, suplemen, dsb, itu?
Berita demikian namanya “insertion”. Dan artis yang berpartisipasi
mendapat imbalan dari produsen yang bekerja sama dengan infotainment.

** Semua contoh metode memutar balik fakta tersebut sudah pernah saya
alami langsung. Detailnya bisa dibaca di sini dan di sono.

Kirim email ke