Pada PUNG* ULENG



Bagaimana
kabar 'anak-anak didikmu' di sawah? Kuharap jika musim 'lulus' tiba,
saat mereka kompakan untuk merunduk, memohon untuk segera dipanen.
Seperti bunyi pepatah yang pertamakali di perkenalkan kepada telingaku
oleh suaramu, "Sepertilah padi, semakin merunduk semakin berisi.
Semakin berilmu seseorang maka dia akan semakin menghargai orang lain
dan tak merasa diri hebat!"

Saat itu, saya betul-betul ingin
seperti padi, pintar namun tak angkuh. Hal itu menjadi salah satu
penyemangatku untuk terus belajar, terus memper'isi' otak agar bisa
selalu menghargai orang lain.




Sekarang..,
saya sedang duduk lemas, kecapean menunggu seseorang datang untuk
didapatkan tanda tangannya. Hanya tanda tangan aslilah yang menjamin
status kemahasiswaanku 6 bulan ke depan. Dalam hatiku aku menggerutu,
orang berilmu kok menjadi jual mahal begitu. Untung-untung kalau dia
hadir membuka dan menutup mata kuliah. Demennya di luar, sepertinya
birahinya akan proyek tinggi daripada memenuhi kewajibannya mendidik
kami. Jelas, karena yang pertama itu lebih menjanjikan materi baginya.

Maka
kita bisa dengan mudah membedakan mereka, antara yang selalu pagi-pagi
datang dengan motor bebek/vespa bahkan hanya mengandalkan pete-pete**
dengan yang selalu mengulur waktu karena mobil mewah dengan supercepat
akan membawanya lari ke tujuan, bahkan ada yang mengaku di depan kelas
dia telat karena menonton gosip di televisi dulu. Saya sering
dipermalukan oleh dosen-dosen sederhana itu, merekalah yang selalu
datang lebih cepat daripada mahasiswanya. Sedangkan dosen-dosen
'mewah', cela-celaku padanya lebih kuingat daripada teori-teori yang
mereka paparkan di depan kelas, termasuk 'kuda besi' mereka yang
melampaui jatah area parkir membuat saya, salah satu pejalan kaki
jengkel. Hampir kami tak punya tempat untuk melangkah...

Jadi
ingat seorang guruku waktu SD, yang memutuskan untuk pensiun dini
karena lebih memilih untuk mengembangkan bisnisnya. Beberapa kali
jadwal mengajarnya terbengkalai hingga akhirnya keputusan berat itu
harus dijalani. Akhirnya saya sadar, guru SDku ini jauh lebih
bertanggungjawab daripada dosen yang bukan hanya membuatku harus
mengantri dengan mahasiswa lain untuk bertemu dengannya saja, tapi juga
dengan waktu.

Perbandingan
antara yang hanya 'S.Pd.' dan yang sudah memborong S1, S2, bahkan S3.
Guru Besar, titel mewah yang dia dapatkan ternyata tak menjamin
profesionalismenya, lalu mengapa dia masih harus disapa dengan 'Prof.'?

Otakku
berdemo. Bukankah kami (mahasiswa) yang menggaji mereka? Jadi, segera
boikot upah mengajar dari SPP kami untuk dia. Alihkan kepada pengajar
yang lebih berdedikasi, mereka pasti senang. "Ku 'drop-out' kau jadi
dosen!"




Saya ingin kembali menjadi murid SD
lagi, dan mendebatimu akan pepatah itu. "Pak Guru..., saya berubah
pikiran. Saya tak mau seperti padi yang merunduk karena berisi lagi!"

Lebih
baik jadi padi yang kosong, menari bergembira ria dengan angin karena
saya tahu besok aku akan menjadi sampah organik yang terurai secara
sehat dan alami. Tak ingin menjadi padi yang gemuk karena pupuk kimia,
yang jika dikonsumsi sedikit-banyak akan merusak yang mengkonsumsinya.




NB
: "Pak Guru..., akhirnya saya tahu. Pintar itu sebetulnya merupakan
amanah agar kita bisa menunjukkan jalan bagi orang yang 'kurang'
pintar. Bukan berfungsi sebagai sarana penyombongan terhadap mereka.
Betul begitu kan, Pak?"








-
M. Uleng T, BA adalah Kepala Sekolahku pas SD, beliau beberapa tahun
lalu sudah pensiun, pekerjaannya sekarang adalah bertani, bahkan beliau
sudah bertani sebelum berprofesi menjadi guru.
*    Pung : Panggilan kepada yang lebih tua dalam Masyarakat Bugis
** Pete-pete : Angkot (Makassar)

www.gadissurat.blogspot.com



      Yahoo! Mail Kini Lebih Cepat dan Lebih Bersih. Rasakan bedanya sekarang! 
http://id.mail.yahoo.com

Reply via email to