Untuk MAK

Mak, tahukah kalau saya pernah dicap durhaka oleh seorang teman? Dia bertanya 
padaku, "Nay, kamu lebih suka Mamamu atau Bapakmu?", maka tanpa ragu saya jawab 
"Bapakku!". Maka dia membalasku dengan hadist yang mendahulukan Ibu tiga kali 
daripada Ayah. Jiwa mudaku berkata bahwa Ibu yang baik sebenarnya takkan pernah 
menggelari anaknya durahaka. Pun melakukan kebalikan dari hadist itu belum 
pasti durhaka.

Mungkin bagimu ketika kecilku, sayalah perempuan aneh yang disisipkan di 
keluarga ini. Lebih banyak berbicara dengan buku-buku daripada denganmu atau 
kakak perempuanku. Lebih suka diam daripada harus ramah sopan santun jika ada 
tamu. Keinginan kita jarang termengertikan satu sama lain. Gambar-gambar lucuku 
yang kupajang di dinding meja belajarku sebelum ke sekolah kutemukan menjelma 
abu telah kau bakar karena bagimu itu sampah. Sampai saat sekarang pun saya 
masih merasa, kau dan Ibumu (yang juga Nenekku) masih suka 
membanding-bandingkanku dengan sepupu perempuanku. Aku terkadang memaki Tuhan, 
mengapa bukan mereka yang teralamatkan ke rahimmu, mengapa harus aku yang 
tersesat di situ? Kau sering membelikan baju yang sering tak kupakai, kau 
memang sedih. Maaf, aku bukan diriku saat mamakai baju-baju itu, sebagaimana 
aku tak bisa angkuh berjalan jika yang jadi alas kakiku bukan sandal jepit. Dan 
sekarang, kau menambal baju-baju usangmu untuk dipakai
 keseharian. Aku hanya bisa pura-pura baik-baik saja melihatnya agar kau tetap 
tegar, sabar sebagaimana yang kukenal. Betapa aku membenci kau membelikanku 
baju-baju cantik sedang kau sendiri masih berakraban dengan daster usang. 
Betapa kau mengajarkanku kesederhanaan lalu tiba-tiba kau memaksaku bermewah... 
Aku benci keibuanmu!

Mak, aku tak ingin apa-apa. Aku hanya ingin mengatakan terimakasih atas 
kesabaranmu menjadi ibuku. Jika pernah bibirmu bungkam oleh candaan seorang 
tetangga kita yang beristri, yang mengolok-olok status jandamu, jangan 
pedulikan itu. Dia hanya tak tahu bagaimana beratnya di posisimu, tak 
terbayangkankah jika nasib serupa akan terjadi pada istrinya atau keluarga 
perempuannya kelak? Sesungguhnya kemuliaanmu tak berkurang karena itu. Kau 
mulia karena kau telah jadi Ibu, sebuah tugas suci yang saya pun tak tahu 
apakah akan sampai ke sana.

Semoga kau tak akan menemukan catatan ini melalui tanganku langsung. Betapa 
hubunganku denganmu begitu teramat romantisnya, melebihi romantisnya hubunganku 
dengan lawan jenis yang begitu saya suka dan saya yakin cinta maka dengan mudah 
saya akan katakan. Tapi tidak denganmu, betapa kau istimewa. Betapa kesulitan 
mengatakan hal ini yang akan memperindahnya. Seandainya layak, pikiran konyolku 
malah selalu berharap diam-diam "Mak, jadikan aku suamimu, walau suami bagi 
jiwamu!". Sebuah harapan yang hanya akan usang karena saya sadar suami bagi 
jiwamu hanyalah jiwa Bapakku seorang... =)



www.gadissurat.blogspot.com


Kirim email ke