Jauhkan Anak dari Tathoyyur!

Penyusun: Ummu Ziyad
Muroja’ah: Ust. Abu Mushlih Ari Wahyudi

DUK! Terdengar suara keras dari halaman. Ternyata si kecil   Fida’ terjatuh 
keras. Lalu sang ibu pun tergopoh-gopoh berlari dari   dalam. “Nah… nak… itu 
tandanya harus berhenti main. Ayo masuk rumah!” Lain lagi di rumah tetangga. 
Sang anak yang sudah berusia 11 tahun mendengar pembantu di dapur berkata, 
“Aduh… nasinya basah… siapa ya yang sakit di kampung?”
 Wahai ibu… kasihanilah anakmu dan keluarga  yang menjadi tanggung  jawabmu di 
rumah. Sungguh dengan terbiasa  melihat dan mendengar  kejadian semacam itu, 
maka akan mengendap dalam  benak mereka  perbuatan-perbuatan yang tidak lain 
merupakan tathoyyur.  Padahal  tidaklah tathoyyur itu melainkan termasuk 
kesyirikan. Apakah  kita  hendak mengajarkan kepada anak kesayangan kita dengan 
kesyirikan  yang  merusak fitrah tauhid kepada Allah? Wal’iyyadzubillah.
Tathoyyur
Tathoyyur atau thiyaroh secara bahasa diambil dari kata thair   (burung). Hal 
ini dikarenakan tathoyyur merupakan kebiasaan mengundi   nasib dengan 
menerbangkan burung; jika sang burung terbang ke kanan,   maka diartikan 
bernasib baik atau sebaliknya jika terbang ke kiri maka   berarti bernasib 
buruk. Dan tathoyur secara istilah diartikan menanggap   adanya kesialan karena 
adanya sesuatu (An Nihayah Ibnul Atsir 3/152, Al Qoulul Mufid Ibnu Utsaimin, 
2/77. Lihat majalah Al-Furqon, Gresik). Walaupun pada   asalnya anggapan sial 
ini dengan melihat burung namun ini hanya   keumuman saja. Adapun penyandaran 
suatu hal dengan menghubungkan suatu   kejadian untuk kejadian lain yang tidak 
ada memiliki hubungan sebab dan   hanya merupakan tahayul semata merupakan 
tathoyur. Misalnya, jika ada   yang bersin berarti ada yang membicarakan, jika 
ada cicak jatuh ke   badan berarti mendapat rezeki, jika ada makanan jatuh 
berarti ada yang   menginginkan dan kepercayaan- kepercayaan yang tidak ada 
dasarnya sama   sekali.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
أَلا إِنَّمَا طَائِرُهُمْ عِندَ اللّهُ وَلَـكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لاَ يَعْلَمُونَ
Artinya, “Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari 
Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (QS. Al A’raaf [7]:131)
Syaikh Abdurrahman berkata, “Ibnu Abbas rodhiyallahu ‘anhu   berkata, ‘Kesialan 
mereka, yaitu ‘Apa yang ditakdirkan kepada mereka.’   Dalam suatu riwayat, 
‘Kesialan mereka adalah di sisi Allah dan   dari-Nya.’ maksudnya kesialan 
mereka 
adalah dari Allah disebabkan   kekafiran dan keingkaran mereka terhadap 
ayat-Nya 
dan rasul-rasul- Nya.” (Fathul Majid).
Sedangkan firman Allah yang artinya,
“Kemalangan kamu adalah karena kamu sendiri. Apakah jika kamu   diberi 
peringatan (kamu bernasib malang)? Sebenarnya kamu adalah kaum   yang melampui 
batas.” (QS. Yaasiin [36]:19)
Ibnul Qoyyim rohimahullah menjelaskan bahwa bisa jadi   maksudnya adalah 
kemalangan itu berbalik menimpa dirimu sendiri.   Artinya, tathoyyur yang kamu 
lakukan akan berbalik menimpamu (Fathul Majid).
Syaikh Abdurrahman bin Hasan menjelaskan bahwa relevansi kedua ayat   dalam 
masalah tathoyyur adalah tathoyyur berasal dari perbuatan   orang-orang 
jahiliyah dan orang-orang musyrik. Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam juga 
telah menafikan adanya tathoyyur dalam sabdanya,
لاَ عَدْوَى وَلاَ طِيَرَةَ وَ لاَ هَامَةَ  صَفَرَ، زَادَ مُسلِمُ: وَلاَ نَوْءَ 
وَلاَ غُوْلَ
Artinya, “Tidak ada ‘adwa, tidak ada tathoyyur, tidak ada hamah   dan tidak ada 
shafar.” (HR. Bukhori dan Muslim). Imam Muslim   menambahkan dengan, “Tidak ada 
bintang dan tidak ada ghul (hantu).” (*)
(*) Penulis pada kesempatan ini hanya akan membahas penafian Rasulullah 
sholallahu ‘alaihi wasallam dengan adanya tathoyyur. Adapun pengertian 
istilah-istilah dalam hadits ini akan dibahas tersendiri dalam rubrik akidah, 
insya Allah.
Bahaya Mempercayai Tathoyyur
Ketahuilah wahai Ibu, sesungguhnya tathoyyur adalah perbuatan yang   dapat 
merusak tauhid karena ia termasuk kesyirikan. Terdapat riwayat   dari Ibnu 
Mas’ud rodhiallahu ‘anhu secara marfu’,
الطِّيَرَةُ شِرْكٌ، الطِّيَرَةُ شِرْكٌ، وماَ مِنَّا إلاَّ، وَلَكِنَّ اللّهض 
يُذْهِبُهُ بِالتَّوَكُّلِ
“Tathoyyur adalah kesyirikan, tathoyyur adalah kesyirikan, dan   tidak ada 
seorang pun dari kita kecuali (telah terjadi dalam dirinya   sesuatu dari hal 
itu), akan tetapi Allah menghilangannya dengan   tawakal.” (HR. Abu Daud dan 
Tirmidzi dan ia menyatakan shahih dan menjadikan perkataan terakhir adalah dari 
perkataan Ibnu Mas’ud. Lihat Fathul Majid)
Syaikh Abdurahman bin Hasan menjelaskan bahwa thiyarah termasuk   kesyirikan 
yang menghalangi kesempurnaan tauhid karena ia berasal dari   godaan rasa takut 
dan bisikan yang berasal dari setan (Fathul Majid).
Wahai ibu… kesyirikan merupakan dosa yang tidak akan diampuni oleh   Allah 
hingga sang pelaku bertaubat atas kesalahannya. Lalu bagaimana   lagi jika 
kesyirikan yang kita lakukan diikuti oleh anak cucu kita. Itu   berarti kita 
menanggung dosa-dosa mereka (karena telah mengikuti   bertathoyyur) dengan 
tidak 
mengurangi dosa mereka sedikitpun. Na’udzubillah mindzalik. Rasulullah 
shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa   melakukan amal keburukan 
maka baginya dosa dan dosa orang-orang yang   mengikutinya tanpa mengurangi 
dosa 
mereka sedikitpun.” (HR. Muslim)
Keyakinan Adanya Tathoyyur
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Sebaliknya   manusia 
adalah jiwa yang lemah yang juga memiliki musuh-musuh yang akan   selalu 
membisikan was-was dari arah depan, belakang, samping kiri dan   kanan. 
Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Dari Mu’awiyah bin Al Hakam bahwasannya ia berkata kepada   Rasulullah 
shollallahu ‘alaihi wasallam, ‘Di antara kami ada   orang-orang yang 
bertathoyyur.’ Beliau menjawab, ‘Itu adalah sesuatu   yang akan kalian temukan 
dalam diri kalian, akan tetapi janganlah   engkau jadikan ia sebagai penghalang 
bagimu’.” (HR. Muslim)
Syaikh Abdurrahman bin Hasan berkata ketika mengomentari hadits ini, “Dengan   
ini Beliau mengabarkan bahwa rasa sial dan nasib malang yang  ditimbukan  dari 
sikap tathoyyur ini hanya pada diri dan keyakinannya,  bukan pada  sesuatu yang 
di-tathoyyurkan. Maka prasangka, rasa takut dan   kemusyrikannya itulah yang 
membuatnya ber-tathoyyur dan menghalangi   dirinya, bukan apa yang dilihat dan 
didengarnya.”
Hal ini jelas karena Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menjadikan satu   tanda 
apapun yang menunjukkan adanya kesialan atau menjadi sebab bagi   sesuatu yang 
dikhawatirkan manusia. Ini adalah termasuk kasih sayang   dari Allah Subhanahu 
wa Ta’ala karena jika ada tanda-tanda semacam itu,   tentu manusia tidak akan 
tenang dalam menjalankan aktifias di dunia.   Maka jika muncul rasa was-was 
dalam hati seseorang karena mendengar   atau melihat sesuatu yang itu merupakan 
tathoyyur, maka hendaklah ia   mengucapkan,
اللّهُمَّ لاَ يَأْتِي بِااْحَسَنَاتِ إلاَّ أَنْتَ وَلاَ يَدْفَعُ السَّيِّآتِ 
إلاَّ أنْتَ وَلاَ حَوْلَ وَ لاَ قُوَّةَ إلاَّ بشكَ
“Ya Allah, tidak ada yang mendatangkan kebaikan kecuali Engkau,   dan tidak ada 
yang menolak keburukan kecuali Engkau, dan tidak ada daya   dan kekuatan 
kecuali 
dengan pertolongan Engkau.” (HR. Abu Daud dengan sanad shahih)
Adapula riwayat hadits dari Ibnu ‘Amr, “Barangsiapa yang   mengurungkan 
hajatnya 
karena tathoyyur, maka ia benar-benar telah   berbuat kemusyrikan. Mereka 
berkata, ‘Lalu apa yang dapat menghapus   itu?’ Ia berkata, ‘Hendaknya orang 
itu 
berkata,
اللًّهُمَّ لاَ خَيْرَ إلاَّ خَيْرُكَ وَلاَ طَيْرَ إلاَّ طَيْرُكَ
‘Ya Allah, tidak ada kebaikan kecuali kebaikan-Mu dan tidak ada   kesialan 
kecuali kesialan dari engkau dan tidak ada Ilah yang haq   selain Engkau.’” 
(HR.Ahmad)
Jauhkan Anak dari Tathoyyur
Terkadang memang terjadi pada diri sang ibu atau anggota keluarga   lain yang 
mengeluarkan kalimat atau perbuatan yang pada hakekatnya   adalah tathoyyur 
baik 
disadari atau tidak. Maka kini ketika menyadari   bahwa itu adalah kalimat 
tathoyyur, hendaknya anggota keluarga saling   mengingatkan dan menggantinya 
dengan kalimat yang mengarahkan anak   untuk kecintaannya pada dinul Islam. Hal 
ini dikarenakan anak sangat   mudah menyerap hal-hal yang didengar atau 
dilihatnya dan akan terus   membekas sampai sang anak dewasa (dengan tanpa 
menyadari itu adalah   sebuah kesalahan atau kebaikan). Penulis memberikan 
beberapa contoh   yang mungkin biasa terjadi dalam kehidupan sehari-hari.
Ketika anak jatuh atau terluka, maka tidak dikatakan, “Itu tandanya kamu begini 
dan begitu. Tidak usah diteruskan, dll.” Tetapi karena ia kesakitan dan 
menangis 
maka doakanlah ia semacam doa, “La ba’sa thohurun insya Allah.” Dengan demikian 
anak terbiasa mendengar doa tersebut dan sang ibu menjalankan salah satu sunnah 
Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam.
Termasuk kesalahan dalam mendidik adalah ketika mereka terluka   kemudian yang 
disalahkan adalah benda-benda di sekitarnya semisal, “Batunya nakal ya”. Ini 
hanya akan mengajarkan anak selalu mencari-cari kesalahan pada yang lain tanpa 
melihat kesalahan dirinya sendiri.
Contoh lainnya, ketika ada yang bersin, tidak dikatakan, “Wah ada yang 
ngomongin 
tuh” atau perkataan-perkataan yang tidak berdasar lainnya. Tetapi jika yang 
bersin mengucapkan “Alhamdulillah”, maka jawablah dengan “Yarhamukallah” yang 
kemudian akan dijawab kembali oleh yang bersin dengan bacaan, “Yahdikumullah wa 
yushlih baalakum”.
Bacaan-bacaan ini adalah termasuk sunnah Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam yang 
perlu dibiasakan pada diri anak. Dalam hal pendidikan pada anak   yang banyak 
memerlukan pembiasaan, perlu adanya kerjasama dari anggota   keluarga untuk 
saling mendukung dalam mendidik anak. Pembiasaan pada   anak juga terpengaruh 
dari kebiasaan yang ada pada orang tua dan   keluarga. (Lihat kitab Hisnul 
Muslim karya Sa’id bin Wahf al Qothoni -sudah diterjemahkan- untuk mengetahui 
do’a-do’a menurut sunnah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam yang dapat 
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari) .
Sungguh manis apa yang bisa kita tanamkan kepada sang anak ketika kecil jika 
mengikuti sunnah Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam.   Insya Allah buahnya akan 
kita rasakan baik dalam waktu yang relatif   dekat atau ketika sang anak telah 
besar nantinya. Ini juga menunjukkan   betapa Nabi kita shollallahu ‘alaihi 
wasallam telah mengajarkan segala hal yang baik untuk umatnya. Segala puji bagi 
Allah yang telah mengutus Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wasallam kepada 
kita.

Maraji’:
        1. Majalah Al Furqon edisi 5 tahun III.
        2. Fathul Majid (terjemahan edisi revisi). Syaikh Abdurrahman bin Hasan 
alu 
Syaikh. Cetakan kelima. 2004.
        3. Kitab Tauhid (terjemahan) . Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Darul 
Haq.

Kirim email ke