Orang tua, pada umumnya, seharusnya sudah matang dan cukup dewasa. Anak, terutama yang belum dewasa, dianggap masih belum matang dalam pikiran, kurang mengerti akar tradisi, budaya dan keyakinannya. Jadi menurut saya, adalah cukup lumrah apabila orang tua berusaha membimbing dan mengarahkan anak-anaknya dan mewariskan akar tradisi, budaya dan keyakinannya, sampai si anak sudah cukup dewasa untuk menfilter mana yang akan diterima dan mana yang ditolak. Kadang-kadang orang tua jadi cenderung memaksakan apalagi dalam situasi si anak masih belum dewasa tetapi sudah mulai memprotes dan menolak tradisi, budaya atau keyakinan yang diajarkan orang tua.

Tapi kalau anak sudah dewasa, dia sudah "lepas dan bebas", tidak bisa lagi "diatur-atur" seperti anak kecil. Sebagai sesama orang dewasa, maka hubungan antara anak dan orang tua menjadi seperti hubungan "teman". Sebagai sesama teman, setiap orang itu berbeda-beda, tidak perlu saling memaksakan kehendak, melainkan harus saling bertoleransi. Kuncinya memang toleransi. Dan toleransi ini bersifat timbal balik. Pada tahap ini, orang tua tidak boleh lagi mendiktekan anaknya. Si anak pun tidak pantas meng-kritik apa yang menjadi tradisi, budaya dan keyakinan orang tua. Fair and Square. Bila terjadi perbedaan keyakinan dan budaya antara anak dan orang tua, janganlah saling mengkritik lagi, karena masing-masing sudah dewasa.

Sampai di sini mungkin kita sebagai orang tua mungkin akan berusaha menghibur diri, kita telah berusaha menanamkan akar tradisi, budaya dan keyakinan pada anak-anak kita, tetapi pada akhirnya yang diterima cuma sedikit saja. Beruntung anak-anak tidak memaksa kita untuk mengikuti keyakinan dia. Tapi, orang tua yang menghadapi situasi seperti ini pasti sangatlah sedih, karena pasti kelak anak-anak dia akan meneruskan tradisi, budaya dan keyakinan si anak kepada generasi berikutnya dan semua itu adalah tradisi, budaya dan keyakinan yang baru (bukan lagi punyanya orang tua tersebut). Sedih, karena selama 20-an tahun membimbing dan mengarahkan anak, tetapi kalah oleh pengaruh pihak luar (guru, teman, dan masyarakat) hanya dalam waktu beberapa tahun saja ..........   : (  .  Salah siapa sudah tidak penting lagi. Putusnya suatu tradisi, budaya atau keyakinan adalah kesedihan yang sangat mendalam.

Ini adalah renungan buat kita semua di sini, baik sebagai orang tua maupun sebagai generasi muda.

Salam,
Suryadi



"RM Danardono HADINOTO" <[EMAIL PROTECTED]>

05/04/2005 07:01 PM

Please respond to
budaya_tionghua@yahoogroups.com

To
budaya_tionghua@yahoogroups.com
cc
Subject
[budaya_tionghua] Re: Salam sejahtera







Kalau kita menengok kebelakang, terutama ditahun 50an, maka kita
rasakan toleransi yang sangat dalam. Antar agama, antar suku, antar
budaya.

Kita dapat simpulkan, bahwa toleransi ini adalah bagian dari budaya
kita, yang memang saling menghormati. Diawal 50an, semua ritual
kelenteng, kejawen, ataupun kepercayaan apapun merupakan bagian dari
kehidupan se-hari hari.

Menjelang tahun tahun kemudian, 70an, 80an sampai kini, yang
namanya "keyakinan" makin mengental. Cukup kita kenang kembali, mulai
kapankah, istilah "fundamentalisme" muncul. Setiap agama makin
mengental keyakinannya, dan mulai mendesak keyakinan lainnya. Dakwah
mendakwah.

Agama, yang diamalkan secara mulia, selalu membuahkan dharma yang
mulia. Namun, bila yang namanya "keyakinan" mulai di-tonjol
tonjolkan, di-adu adu, maka timbullah tragedi yang bangsa kita alami.
Sampit, Poso, Maluku, Bondowoso...

Pada dasarnya, setiap pemeluk lalu berusaha mengamalkan agamanya se-
"murni murni"nya, sambil (mungkin tak sadar) menampik dasar existensi
agama lain.

Yang tadinya OK OK saja, kalau ikut orang tua bakar hio, sekarang
mengumpat. Anak Jawa yang tadinya OK orang tua menjalankan ritual
kejawen, kini mengatakan itu takhyul. Dsb.

Tak usah kita ber-lebih lebihan lahh.

salam

danardono




--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "hadi_pranoto2001"
<[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
>
> Selama nilai2 tersebut masih sesuai dengan apa yakini
> sesuatu yang kita warisi dan di warisi belum tentu juga baik.
> haruskah berpijak pada sesuatu yang bertolak belakang dengan apa
yang
> kita yakini? kalau ya berarti ada pemaksaan kehendak disini bahwa
> budaya asal selalu baik. dan yang perlu saudara-saudara sadari
adalah
> "KEYAKINAN" adalah hak "INDIVIDU".
> kuncinya adalah "TOLERANSI"





.: Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :.

.: Kunjungi website global : http://www.budaya-tionghoa.org :.

.: Untuk bergabung : http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua :.

.: Jaringan pertemanan Friendster : [EMAIL PROTECTED] :.
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
   http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
   [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
   http://docs.yahoo.com/info/terms/









Disclaimer:
This email may contain privileged and/or confidential information intended only for the use of the addressee. If you are not the addressee, or the person responsible for delivering it to the addressee, you may not use, copy or deliver this to anyone else. If you receive this email by mistake, please immediately notify us.

Opinions contained herein may be the personal opinion of the sender and do not necessarily represent the views of the G K Goh Group. If you are in any doubt as to whether the opinions are officially endorsed by the G K Goh Group, please contact our Compliance Dept at (+65) 6225 1228 for clarification.


.: Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :.

.: Kunjungi website global : http://www.budaya-tionghoa.org :.

.: Untuk bergabung : http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua :.

.: Jaringan pertemanan Friendster : [EMAIL PROTECTED] :.




Yahoo! Groups Links

Kirim email ke