Sebuah Catatan Tentang Manusia Kerdil di Tiongkok kuno (Erabaru.or.id) - Pada bab 480 dan 482 dalam "Catatan Taipingguang (sekitar 960-1279 Sesudah Masehi) disebutkan, pada wilayah barat laut lautan Xiuhai, ada sebuah negara bernama Heming. Orang-orang disana tingginya 3 inchi, namun dapat berjalan seribu mil sehari. Langkah mereka seperti terbang namun mereka sering ditelan oleh burung camar. Seperti manusia sekarang, diantara mereka terdapat orang baik dan orang jahat. Orang-orang baik itu pandai, lincah dan mampu beradaptasi. Supaya dapat melindungi diri dari bahaya burung camar, mereka sering memahat batangan kayu sehingga menyerupai bentuk tubuhnya, kadang-kadang jumlahnya mencapai ratusan dan menempatkannya disepanjang pesisir air di hutan belantara. Burung- burung camar menganggap kayu-kayu tersebut sebagai orang asli dan lalu menelannya, sehingga menyebabkan dia tersedak dan mati. Dengan demikian burung-burung camar itu terjebak ratusan bahkan ribuan kali, dan pada akhirnya; walaupun melihat orang Heming yang sebenarnya juga tidak berani menelan. Orang Heming kebanyakan menggali lubang dan membuat benteng kota pemukiman di sisi ngarai tengah gunung. Jarak antara pemukiman kurang lebih terpisah antara 30-50 langkah. Kota pemukiman semacam ini jumlahnya melebihi puluhan ribu. Pada musim semi dan musim panas, mereka makan rumput di jalan-jalan, pada saat musim gugur dan musim dingin, mereka makan akar rumput. Bila musim panas tiba mereka tidak mengenakan pakaian. Bila musim dingin tiba mereka mengenakan pakaian yang terbuat dari rumput. Mereka juga mengerti cara-cara menjaga kesehatan. Cerita lain. Li Zhangwu memiliki sebuah jenglot (manusia kering yang kecil, yang sudah diawetkan dengan lilin). Tingginya hanya tiga inci. Kepala, paha dan dadanya utuh tak cacat edikitpun. Alis dan matanya terlihat jelas. Dikatakan bahwa jenglot itu adalah seorang warga negara Jiaojiao, "negara orang kerdil" yang disebutkan dalam legenda China kuno. Pada Dinasti Wei (sekitar 386-534 Sesudah Masehi), di Heijan saat hujan badai, ada delapan sampai sembilan anak kecil terbawa hujan jatuh ke pekarangan rumah Wang Zichong. Tinggi mereka hanya enam inchi. Anak-anak tersebut mengatakan, rumah mereka disebelah tenggara laut, karena mengalami hujan badai, terhempas ke tempat ini. Dari pembicaraan mereka, terasa pengetahuan mereka cukup tinggi, hal-hal yang diutarakan sama seperti apa yang diungkapkan dalam buku sejarah. Manusia kerdil ini kini telah tiada, apakah mereka tersingkirkan secara berangsur-angsur karena tinggi badan mereka hanya beberapa inchi, yang mana tidak sesuai dengan kondisi kehidupan diatas bumi ini? --------- Belajar dari Tumpukan Batu (Erabaru.or.id) - Setelah tamat dari universitas tidak beberapa lama, aku ditugaskan di sebuah kota kecil kawasan hutan terpencil sebagai guru, gajinya sangat kecil. Sebenarnya aku mempunyai kelebihan yang tidak sedikit, keterampilan dasar mengajar cukup baik, dan mempunyai keahlian khusus menulis karangan. Kemudian, di satu sisi aku mengeluh pada takdir yang tidak adil, dan pada sisi lainnya merasa iri dengan orang-orang yang memiliki pekerjaan terhormat, menerima gaji yang tinggi. Jika demikian, bukan hanya sudah tidak bergairah terhadap pekerjaan, bahkan untuk menulis karangan juga sudah tidak berminat lagi. Seharian penuh, aku terus memperindah karangan, membayangkan bisa mempunyai kesempatan untuk memilih sebuah lingkungan kerja yang baik, dan juga menerima imbalan yang besar. Begitulah waktu dua tahun telah berlalu dengan cepat, pekerjaan yang kulakukan sendiri tidak keruan, dalam karang-mengarang juga tidak ada hasil apa-apa. Sementara itu, aku telah mencoba memadukan beberapa bagian yang kusukai sendiri, namun pada akhirnya tidak ada satu pun yang menerimaku. Lalu, muncullah tanpa sengaja sebuah masalah kecil yang sepele, tapi mampu mengubah nasib yang selama ini memang ingin kuubah. Pada hari itu, sekolah menyelenggarakan pekan olahraga, di kota kecil yang sangat kekurangan aktivitas kebudayaan ini, sudah pasti merupakan suatu hal yang besar, oleh karenanya, orang yang datang untuk melihat sangat banyak. Sekeliling lapangan olahraga yang tidak begitu luas dengan cepat telah membentuk lingkaran tembok manusia hingga angin tak bisa berembus. Aku datang terlambat, berdiri di balik tembok manusia, menjungkitkan kaki juga tidak bisa melihat suasana yang ramai di dalamnya. Pada saat demikian, seorang bocah lelaki pendek yang berada di samping telah menarik perhatianku. Hanya melihat dia sekali demi sekali memindahkan batu bata dari tempat yang tidak jauh, di balik tembok manusia yang tebal itu, dengan sabar membangun sebuah pijakan, setingkat demi setingkat, tak kurang dari setengah meter tingginya. Aku tidak tahu sudah berapa banyak waktu yang digunakannya untuk membangun "panggung" ini, dan juga tidak tahu sudah berapa banyak pertandingan seru yang terlewatkan, namun saat dia naik ke atas pijakan yang dibangunnya, ia mengarah kepadaku sambil tersenyum berseri-seri. Kegirangan dan rasa bangga atas keberhasilan itu, tampak demikian jelas di wajahnya. Sekilas, hatiku terguncang sejenak, masalah yang demikian sederhananya: "jika ingin melintasi tembok manusia yang padat untuk dapat melihat pertandingan yang seru, cukup ganjalkan saja batu bata yang agak banyak di bawah kaki." Sejak saat itu, dengan penuh semangat aku mulai bekerja dengan sungguh-sungguh, selangkah demi selangkah. Dan dalam waktu yang singkat, aku telah menjadi juru didik terkenal. Berbagai jenis susunan bahan pelajaran terbit terus-menerus, dan berbagai macam kehormatan yang membuat orang iri berturut-turut jatuh ke tanganku. Di waktu luang, aku tidak berhenti menulis karangan, berbagai macam karya sastra kerap kali dimuat di surat kabar, menjadi orang yang secara khusus menyumbangkan karangan ke banyak penerbitan. Kini, aku telah bertugas di sekolah menengah kejuruan dan dimutasi ke tempat yang kusukai sendiri. Sebenarnya, seseorang yang memiliki cita-cita asal saja tidak takut susah, secara diam-diam "mengganjal batu bata yang agak banyak di bawah kaki sendiri", maka pasti bisa melihat pemandangan yang ingin dilihat sendiri, memetik buah hasil kesuksesan itu yang digantungkan ke tempat yang tinggi. --------- Hukuman tanpa Kekerasan (Erabaru.or.id) - Dr. Arun Gandhi adalah cucu tokoh kemerdekaan India Mahatma Gandhi dan pendiri Lembaga M.K. Gandhi untuk tanpa Kekerasan. Suatu hari ia memberikan ceramah di Universitas Puerto Rico, Brasil dan bercerita bagaimana memberikan contoh menghukum anak tanpa melakukan kekerasan yang dapat diterapkan di sebuah keluarga. Berikut ceritanya: Waktu itu saya masih berusia 16 tahun dan tinggal bersama orang tua di sebuah lembaga yang didirikan oleh kakek saya, di tengah-tengah kebun tebu, 18 mil di luar kota Durban, Afrika Selatan. Kami tinggal jauh di pedalaman dan tidak memiliki tetangga. Tak heran bila saya dan dua saudara perempuan saya sangat senang bila ada kesempatan bisa pergi ke kota untuk mengunjungi teman-teman, berbelanja atau menonton bioskop. Suatu hari, ayah meminta saya untuk mengantarkan beliau ke kota guna menghadiri konferensi sehari penuh. Dan, saya sangat gembira dengan kesempatan itu. Ibu memberikan daftar belanjaan yang diperlukan begitu mengetahui saya akan ke kota. Selain itu, ayah juga meminta saya untuk mengerjakan beberapa hal lama yang tertunda, seperti memperbaiki mobil di bengkel. Pagi itu, setiba di tempat konferensi, ayah berpesan, "Ayah tunggu kau di sini jam 5 sore. Lalu kita akan pulang ke rumah bersama- sama." Segera saja saya menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan oleh ayah. Kemudian, saya pergi ke bioskop. Wah, saya benar-benar terpikat dengan permainan John Mayne sehingga lupa akan waktu. Begitu melihat jam sudah menunjukkan pukul 17:30, langsung saya berlari menunju bengkel mobil dan terburu-buru menjemput ayah yang sudah menunggu saya. Saat itu sudah hampir pukul 18:00. Dengan gelisah ayah bertanya, "Kenapa kau terlambat?" Saya sangat malu untuk mengakui terlalu asyik menonton film John Mayne sehingga saya menjawab, "Tadi, mobilnya belum siap sehingga saya harus menunggu." Padahal, ternyata tanpa sepengetahuan saya, ayah telah menelepon bengkel mobil itu. Dan, kini ayah tahu kalau saya berbohong. Lalu ayah berkata, "Ada sesuatu yang salah dalam membesarkan kau sehingga kau tidak memiliki keberanian untuk menceritakan kebenaran pada ayah. Untuk menghukum kesalahan ini, ayah akan pulang ke rumah dengan berjalan kaki. Pikirkan baik-baik." Lalu dengan tetap mengenakan pakaian dan sepatunya, ayah mulai berjalan kaki pulang ke rumah sepanjang 18 mil. Padahal hari sudah gelap, sedangkan jalanan tidak rata. Saya tidak bisa meninggalkan ayah, maka selama lima setengah jam, saya mengendarai mobil pelan- pelan di belakang beliau, melihat penderitaan yang dialami oleh ayah hanya karena kebohongan yang bodoh yang saya lakukan. Sejak itu saya tidak pernah berbohong lagi. Sering kali saya berpikir mengenai kejadian itu dan merasa heran. Seandainya ayah menghukum saya sebagaimana kita menghukum anak-anak kita dengan amarah atau pukulan, maka apakah saya akan mendapatkan sebuah pelajaran mengenai prinsip tanpa kekerasan? Saya kira tidak. Saya mungkin justru akan menderita atas hukuman itu dan melakukan hal yang sama lagi. Tetapi, hanya dengan satu tindakan tanpa kekerasan yang sangat luar biasa dari seorang ayah, sehingga saya merasa kejadian itu baru saja terjadi kemarin. Itulah kekuatan tanpa kekerasan. sumber : http://www.erabaru.or.id .: Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :. .: Kunjungi website global : http://www.budaya-tionghoa.org :. .: Untuk bergabung : http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua :. .: Jaringan pertemanan Friendster : [EMAIL PROTECTED] :. Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/