Salam,
 
saya sepakat 100% dengan penjelasan Sdr. Rinto Jiang ini. Dalam kasus hubungan "pribumi" vs China, khususnya di Jawa, saya sepertinya lebih melihat bahwa hubungan memburuk seiring kedatangan kolonial Belanda. Sebelum itu, hubungan yang terjadi adalah hubungan dagang--ada juga dalam konteks Islam, yakni hubungan penyebaran keagamaan. Teknik adu domba (devide et empera) begitu terlihat dalam berbagai pemaparan sejarah, siapapun yang menulis, kecuali penulis bule yang terkesan bahwa hubungan itu memburuk karena kesalahan kedua etnis (Jawa dan China) yang diawali karena perbedaan agama (Islam vs Agama China). Saya lupa bukunya, tetapi sering saya mendapatkan penjelasan yang makna vulgarnya seperti itu. 
 
Dengan demikian, hubungan buruk "pribumi" dengan China bukan saja terjadi pada masa Orba, tetapi juga terjadi masa dulu. Tetapi, orang lupa, ketika masa-masa revolusi 45, etnis China juga membaurkan diri dengan seluruh suku bangsa yang ingin merdeka bareng-bareng. Saat itu hubungan berbagai etnis yang ada di Nusantara, termasuk China, sangat baik. Hubungan bubrah dan kembali ke titik minus saat tampilnya Orba. Dan, politik Orba memang aneh. Terlalu banyak kelompok dikorbankan, dimana satu sama lain saling menuduh sebagai pelaku intimidasi dan diskriminasi.

Sejatinya, kita sama-sama korban.
 
Jatuhnya Orba tak serta merta bisa membangun pluralisme. Karena pelajaran pluralisme tak bisa satu dua hari dikumandangkan. Dia adalah "never ending job", pekerjaan yang tiada henti. Pluralisme yang kita gadang-gadang sekarang, bisa jadi, hanya bisa dinikmati oleh generasi 25 tahun mendatang. Apalagi kalau pluralisme selama ini hanya diteriakkan di meja seminar, tidak dipraktekkan. Maka, akan lebih lama lagi.
 
Kita coba lirik Australia, yang katanya paham demokrasi. Apa mereka mau orang Aborigin yang justru sebagai "pribumi" tetapi hak-hak politik ekonominya tak pernah penuh? Memang tak ada larangan dlm UU Australia bahwa orang Aborigin dilarang jadi Perdana Menteri. Tapi, jangan sekali-kali kita tanyakan kemungkinan hak politik itu terjadi. Mereka akan tertawa.
 
Begitu sulit membagi hak-hak kepada manusia di luar suku bangsa (bukan saja agama). Apalagi kita yang buanyak suku. Sudah barang tentu, pekerjaan lebih berat. Ditambah lagi, jika kita hanya bisa bicara saja tanpa praktek, maka itu adalah kebusukan yang terpendam, yang sewaktu-waktu bisa menulari jiwa kita untuk menjadi busuk.
 
Saya agak riskan ketika membaca subyek diskusi ini : agama sarana pembauran. Apa pun kebenaran teori ini, tidak akan ada artinya jika tanpa praktek yang nyata. Orang mungkin lupa, orang Islam Jawa diusir oleh Islam Aceh. Ini bukan rekayasa, bukan ulah GAM, tapi murni masyarakat. Pernah mendengar berita demostrasi yang dilakukan beberapa warga China (Indonesia) terhadap pemimpin China saat KAA kemarin?
 
What will  you say now? Itu dulu. 
 
Luthfi
 
----- Original Message -----
Sent: Friday, April 29, 2005 10:15 AM
Subject: [budaya_tionghua] Beragama, haruskah? (Agama = sarana pembauran?)

Nana Sutrisna menulis :

Lihat saja ketika orang China merantau ke negeri kristen seperti Filipina, Australia, Kanada dan Amerika.Secara otomatis mereka cenderung menjadi kristen juga. Ketika merantau ke negeri Buddha seperti Thailand, tiba - tiba merekapun menjadi penganut Buddha yang setia juga. Namun ketika mereka mendatangi negeri muslim seperti Malaysia dan Indonesia justru mereka cenderung anti kepada agama mayoritas dua negara muslim tersebut. hanya sedikit sekali dikalangan mereka yang mau menerima islam itupun dengan resiko diusir dan dikucilkan oleh keluarga dan komunitasnya
 
Ketika mendatangi kristen mereka menjadi kristen, ketika mendatangi buddha merekapun jadi penganut buddha namun ketika mendatangi islam mereka enggan menjadi muslim.



Rinto Jiang :

Ini salah satu bentuk ketidakmengertian akan sejarah dan sifat2 migrasi orang Cina.

Leluhur orang Cina itu sebenarnya bangsa yang sangat sekular, tidak peduli dengan tetek bengek agama yang mengikat. Yang penting bagi mereka adalah menyatu dan hidup harmonis dengan alam supaya kehidupan mereka dapat menjadi lebih baik. Tahukah kita bahwa agama Buddha, agama Kristen, agama Islam itu lebih dulu sampai ke Cina daripada Indonesia? Tahukah kita bahwa orang Cina juga punya andil dalam menyebarkan Islam di Indonesia? Jadi pernyataan "mendatangi kristen mereka jadi kristen, mendatangi buddha mereka jadi buddha" itu adalah pernyataan yang tidak dapat saya terima sejalan dengan pengertian saya akan sejarah keagamaan di Cina dan cara pandang orang Cina terhadap masalah keagamaan.

Buddhisme itu telah mulai masuk ke Cina sejak zaman Dinasti Han (abad ke-2) dan mencapai puncaknya pada zaman Dinasti Tang (abad ke-8). Waktu itu di Indonesia juga ada kerajaan Sriwijaya yang beragama Buddha. Kristen Nestorian masuk ke Cina pada abad ke-7, juga Yudaisme yang dibawa orang Yahudi juga masuk bersamaan pada waktu itu. Islam kemudian masuk melalui 2 jalur yaitu jalur laut, lewat orang Arab dan jalur sutra lewat orang Persia, ini terjadi pada abad 8. Suku Hui itu adalah hasil asimilasi orang Han (Cina) dengan orang Persia yang kemudian secara turun temurun memeluk agama Islam. Cheng Ho itu suku Hui.

Koq kelihatannya orang Cina itu selalu diidentikkan dengan Buddhisme, ini salah kaprah dari orang yang tidak mengerti pandangan religius orang Cina. Orang Cina itu banyak yang tidak beragama sebenarnya, mereka hanya menganut kepercayaan tradisional yang mengambil intisari dari ajaran agama yang merupakan mayoritas di Cina sana. Mereka mengambil filsafat hidup Konfusianisme, konsep ritual Taoisme dan konsep kehidupan setelah mati dari Buddhisme. Jadi orang Cina itu sebenarnya bukan orang beragama, kalaupun mau dipaksakan beragama, maka mereka itu abangan menurut istilah kita. Untuk yang ingin mendalami ajaran agama, biasanya mereka baru menjalani kehidupan beragama mereka di kuil2 dan vihara2.

Cara2 hidup religius seperti ini tentu saja terbawa sampai ke daerah perantauan. Di Filipina, Cina2 yang totok masih tetap menganut ini kepercayaan. Di Malaysia, Singapura juga, di Thailand juga serupa. Di Indonesia, karena kebijakan Orba terhadap kepercayaan dan kebudayaan Tionghoa menyebabkan banyak orang Cina harus memilih satu agama Buddha, Kristen dan Islam guna mengikuti kebijakan pemerintah bahwa semua orang harus beragama supaya tidak dituduh jadi komunis. Padahal apa itu kaitan komunis dan tidak beragama? Orang PKI dulu banyak yang muslim koq. Saya juga pernah lihat itu kuil Cina di India, orang2 Cina di India tidak pernah jadi Hindu koq.

Untuk yang masih salah kaprah membandingkan keadaan "istimewa" di Indonesia dan menjadikannya sebagai satu patokan untuk mendiskusikan bagaimana pandangan orang Cina terhadap Islam, saya ingin memberitahu bahwa dalam sejarah Tiongkok yang 5000 tahun itu, pernah ada bentrokan antara orang Cina vs Kristen,  Taoisme vs Buddhisme namun tidak pernah ada itu bentrokan antara Cina dan Islam. Islam dari dulu hidup tenang dan damai di Cina. Kalau saja orang Cina begitu anti akan muslim, Cheng Ho tak kan mungkin jadi laksamana di istana Ming dan tidak mungkin akan menjejakkan kakinya di separuh belahan dunia.

Saya yakin, kalau saja Indonesia tidak pernah dijajah Belanda yang melakukan politik apartheid Eropa-Cina-Pribumi yang kebetulan juga berbeda dalam agama (Kristen-Kepercayaan-Islam), mungkin keadaannya akan lain sekarang. Tidak akan ada jurang kecurigaan yang berlebihan antara ras/agama di Indonesia.


Rinto Jiang


.: Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :.

.: Kunjungi website global : http://www.budaya-tionghoa.org :.

.: Untuk bergabung : http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua :.

.: Jaringan pertemanan Friendster : [EMAIL PROTECTED] :.




.: Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :.

.: Kunjungi website global : http://www.budaya-tionghoa.org :.

.: Untuk bergabung : http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua :.

.: Jaringan pertemanan Friendster : [EMAIL PROTECTED] :.




Yahoo! Groups Links

Kirim email ke