dari jawaban pak king hian dan pak rinto
jiang
ada dua hal yang saya catat:
1. mereka adalah tionghoa peranakan
2. mereka (mungkin) secara tidak sadar
mengembangkan satu budaya yang diadopsi dari lokal dan budaya leluhur
mereka
tetapi apa yang menyebabkan mereka memilih nama
anaknya demikian? apakah ada satu gerakan atau anjuran di antara mereka sehingga
membuat kalangan keluarga muda tionghoa yang banyak dijawa timur dan di jawa
tengah untuk memilih nama itu? tentunya bukan karena konsep kebangsaan atau
konsep indonesia sendiri, karena mungkin pada waktu itu konsep indonesia sendiri
belum muncul.
untuk hanya mengatakan bahwa pemilihan
nama adalah pembagian tugas ibu dan ayah (maaf apakah ada studi yang
mendukung?) karena kurang berbahasa tiong hoa rasanya tidak tepat? mungkin saja
di komunitas tiong hoa di jawa tengah dan jawa timur mereka berbicara dengan
dialek hokkian tertentu, karena pada jaman itu mungkin belum ada penggunaan
dialek beijing sebagai standar untuk orang tionghoa (pada akhir abad
19)
mungkin juga budaya yang dipertahankan mereka
adalah budaya yang ditinggalkan sejak dari jaman dinasti tang, karena cenderung
menyebut diri sebagai tenglang (orang teng)
juga untuk menyebut mereka sebagai tionghoa
peranakan mungkin bisa jadi tidak tepat juga? dari catatan sejarah yang saya
baca banyak orang hokcia yang datang ke indonesia pada akhir abad 19 dan awal
abad 20 yang kawin dengan wanita jawa. studi ini sebetulnya bisa dilakukan
secara statistik dengan mendatangi ke kompleks kuburan orang hokcia dimana
banyak nama jawa yang menjadi isteri dari orang orang hok cia.(sebenarnya kuburan tionghoa bisa
menjadi sumber penelitian sejarah) juga.
karena itu untuk mengatakan komunitas tionghoa ini
peranakan seperti tidak tepat, karena yang datang belakangan pun juga peranakan,
(seperti digambarkan di atas di komunitas hok cia, begitu juga di komunitas
hakka di bangka ataupun di pulau lainnya, bahwa banyak yang persentasinya adalah peranakan. ini terjadi terutama jika mereka
merantau ke selatan ini dengan tidak membawa isteri, begitu mereka mengawini
perempuan yang dilahirkan di jawa atau pulau pulau lainnya ada kemungkinan besar
bahwa mereka mengawini wanita peranakan)
mungkin komunitas tionghoa di jawa timur dan jawa
tengah, mengingat bahwa waktu itu pusat kekuasaan di jawa berada di jawa tengah
(solo dan jogja) mempunyai orientasi budaya yang tidak langsung "melihat" ke
pusat kekuasaan.
sampai pada akhir tahun 1960'an banyak keluarga
tionghoa yang mampu dan berada di jawa tengah dan jawa timur (pesisir
seperti tegal pekalongan rembang lasem tuban dan solo jogja) yang
mempunyai gamelan jawa dan mereka menggunakan gamelan itu untuk pesta perkawinan
dan juga acara lainnya (termasuk wayang kulit)
hal ini agak berbeda dengan komunitas tionghoa di
jawa barat misalnya seperti jakarta, tangerang, sukabumi dan bandung, orientasi
mereka agaknya ke batavia (bagaimanapun juga mungkinbatavia masih kalah ramai
dibanding dengan kota solo dan jogja)
karena itu saya lebih melihat ini lebih sebagai
orientasi budaya (tentunya perlu didukung dengan studi) apakah misalnya
komunitas tionghoa di jawa barat melakukan hal yang sama atau
tidak?
atau mungkin saja ada anjuran dari orang yang
berpengaruh waktu itu untuk memakai nama melayu, tetapi kenapa hanya ke anak
perempuan?
salam hormat,
harry alim
.: Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :. .: Kunjungi website global : http://www.budaya-tionghoa.org :. .: Untuk bergabung : http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua :. .: Jaringan pertemanan Friendster : [EMAIL PROTECTED] :. Yahoo! Groups Links
|
- Re: [budaya_tionghua] Re : Apa yang mereka pikirkan dahulu? harry alim