Peranan Korban dalam Penuntasan Tragedi Mei 1998
Oleh Asri Oktavianty Wahono

Tragedi kerusuhan yang terjadi pada tanggal 13 sampai
15 Mei 1998 masih terekam jelas dalam ingatan kita
bersama. Suatu peristiwa besar yang sampai detik ini
menjadi salah satu peristiwa paling memalukan bagi
bangsa Indonesia. Salah satu penyebab terjadinya
tragedi ini adalah tingkat kemiskinan yang sangat
tinggi pada masyarakat Indonesia. Karena kemiskinan
ini, masyarakat menjadi mudah terprovokasi untuk
melakukan penjarahan. Selain itu, sistem yang rasis
dalam negara kita ini juga telah menciptakan pola
pikir rasis pula dalam kepala rakyat Indonesia. Adanya
kondisi yang seperti inilah, maka dengan mudah dapat
diciptakan kerusuhan bernuansa rasial seperti kasus
kerusuhan Mei 1998 tersebut. Kerusuhan Mei 1998
terjadi 5 tahun lalu, namun tidak ada tindak lanjut
yang cukup signifikan dalam penyelesaiannya. Hingga
kini, hasil penyelidikan dan rekomendasi TGPF
”dipetieskan”. Tarik ulur kepentingan dan
lempar-melempar tanggung jawab kerap terjadi dalam
penanganan kerusuhan rasial ini. Hal ini terlihat di
semua rezim yang telah dan sedang memerintah (dari
mulai kepemimpinan Habibie hingga Megawati) belum
pernah ada keinginan politik untuk membuka kasus ini,
apalagi untuk mengadili pihak yang seharusnya
bertanggung jawab dalam kasus ini. Padahal, sudah
seharusnya negara membawa dan menyelesaikan
permasalahan ini apalagi bila ingin disebut negara
yang sedang menuju suatu perubahan ke arah
yang lebih baik dan demokratis. Selain itu peristiwa
Mei 1998 merupakan salah satu pelanggaran yang
dilakukan oleh negara (state violence) karena
negara gagal melindungi warga negaranya dan terjadi
pembiaran terhadap pembunuhan, pemerkosaan dan
penjarahan yang dilakukan terhadap warga negaranya dan
di negaranya sendiri. Melihat kinerja pemerintah dalam
ketidakacuhannya terhadap kerusuhan Mei
1998, maka muncul desakan yang sangat kuat dari
keluarga korban dan beberapa Organisasi Non-pemerintah
(Ornop) agar pemerintah segera meninjaklanjuti hasil
TGPF, tidak hanya dari perspektif hukum belaka yang
saat ini tidak ada
yang memihak kepada korban namun juga dilihat dari
perspektif korban sesuai dengan Paris Principle.
Setelah didesak dan melalui proses yang cukup panjang,
maka pada tanggal 6 Maret 2003 Komnas HAM membentuk
Tim Penyelidikan Kerusuhan Mei 1998.
Pembentukan Tim Penyelidikan tersebut bertujuan untuk
melakukan penyelidikan terhadap dugaan terjadinya
pelanggaran HAM berat khususnya kejahatan terhadap
kemanusiaan pada kerusuhan tanggal 13-15 Mei 1998
Adanya Tim Penyelidik Kerusuhan Mei 1998 tersebut,
memberikan sedikit harapan kepada rakyat Indonesia,
khususnya para korban Tragedi Mei 1998. Namun, kita
tidak dapat sepenuhnya menyerahkan penuntasan kasus
ini kepada mereka. Kita semua tahu bahwa tidak ada
satu pun penyelesaian hukum yang dapat diselesaikan
hingga tuntas sejak dulu hingga kini, malahan
sebaliknya banyak kasus pelanggaran HAM dibiarkan
begitu saja tanpa ada follow up yang konkret dari
pemerintah. Adanya tindakan impunitas dari pemerintah
tercermin dari kebijakan di antaranya adalah dengan
menggangkat Sjafrie Sjamsoeddin menjadi Kepala Pusat
Penerangan Tentara Nasional Indonesia (Kapuspen TNI)
menggantikan Marsekal Muda Graito Usodo. Sementara
Sjafrie selaku mantan Panglima Daerah Militer
(pangdam) Jaya waktu kerusuhan Mei 1998 terjadi
merupakan salah satu orang yang diduga kuat terlibat
dalam kerusuhan Mei tersebut. Sjafrie merupakan
orang yang seharusnya dimintai pertanggungjawabannya
dan bukannya diberi posisi yang penting. Kenaikan
Sjafrie merupakan indikasi menguatnya pengaruh
militer terhadap pemerintahan Megawati. Dan lebih
buruk lagi adalah hal ini menandakan adanya konsensi
pemerintah dengan para pelanggar HAM berat.
Langkah yang diambil pemerintah merupakan langkah
kontra reformasi dan penghambat bagi penghapusan
impunitas bagi pelanggaran HAM. Hal ini dikarenakan
seorang pejabat yang diduga kuat terlibat dalam
pelanggaran HAM masih diberi kursi untuk berkuasa dan
diberi jabatan penting dalam TNI dan pemerintahan
serta bukannya dimintai pertanggungjawabannya. Selain
Safrie, dukungan mayoritas anggota DPR serta dukungan
penuh dari Megawati untuk kenaikan kedua kalinya
Sutiyoso menjadi Gubernur Jakarta mengindikasikan
tetap kuatnya pelaku-pelaku yang bermain dalam Orde
Baru untuk duduk dalam pemerintahan reformasi ini.
Sutiyoso yang pada waktu Kerusuhan Mei 1998 adalah
seorang Gubernur yang seharusnya bertanggung jawab
dengan keamanan kota yang dipimpinnya. Namun pada
waktu kerusuhan terjadi, Sutiyoso tidak mengambil
langkah-langkah keamanan yang perlu serta
mengkoordinasikan keamanan Jakarta dengan pihak
keamanan dalam hal ini pihak Kepolisian.
Pencalonan dan kemudian pengangkatan kembali Sutiyoso
menandakan bahwa pemerintah dan kalangan legislatif
makin lengket dengan militer dan para pelanggar HAM
dan menerapkan praktek impunitas dalam kasus-kasus
pelanggaran HAM. Pemerintahan seolah-olah telah
melupakan tragedi kemanusiaan serta teror yang dialami
masyarakat di Indonesia dalam kasus kerusuhan Mei 1998
dan segaligus menyatakan dengan jelas ketidakseriusan
pemerintah dalam menuntasan kasus pelanggaran HAM.
Kebijakan impunitas yang dilakukan oleh para elite
politik ini juga ditandai dengan pembuatan
perundang-undangan yang memungkinkan para pelanggar
HAM
lolos dari hukuman. Lemahnya UU Pengadilan HAM No 26
Tahun 2000 serta belum adanya UU perlindungan saksi
dan korban serta peraturan mengenai Restitusi,
Kompensasi, dan Rehabilitasi membuat kerja
pengunggapkan kasus pelanggaran HAM kian berat.
Kebijakan dan praktik impunitas ini dilakukan lewat
celah peraturan perundang-undangan yang terlihat
seakan-akan ingin menegakkan HAM, tetapi sesungguhnya
menutup kemungkinan bagi mereka yang melanggar HAM
untuk diadili.
Melihat begitu banyaknya kebijakan impunitas yang
dilakukan oleh pemerintah Indonesia, apabila tidak ada
tindakan aktif dan konsisten dari Komnas HAM
selaku lembaga yang seharusnya melindungi korban serta
pengunggap pelanggaran HAM itu sendiri, kasus
kerusuhan Mei 1998 inipun akan mengalami
nasib yang sama seperti kasus Trisakti Semanggi.


Penyeledikan kasus tersebut akhirnya berhenti karena
adanya pansus DPR yang mengatakan tidak ada
pelanggaran HAM di dalamnya. Karena itu peran seluruh
masyarakat Indonesia, khususnya para korban Tragedi
Mei 1998 untuk terus memperjuangkan penuntasan kasus
tersebut sangat diperlukan. Dorongan melalui
organisasi-organisasi korban yang didirikan terbukti
cukup efektif sampai terbentuknya Komite Penyelidik
Kerusuhan Mei 1998 tersebut. Para korban juga tidak
seharusnya menjadi terpecah hanya karena persoalan
eksistensi bahwa kelompok mereka yang paling besar
menderita kerugian dibandingkan dengan kelompok
lainnya. Sudah saatnya korban bersatu. Kerusuhan Mei
1998, walaupun merupakan kerusuhan yang bernuansa
rasial, tetapi tidak berarti menafikan kelompok
lainnya yang juga telah menderita kerugian baik
materiil maupun immateril. Inilah saatnya bagi para
korban khususnya dan seluruh masyarakat Indonesia
pada umumnya untuk bersatu dalam mendorong penuntasan
tragedi Mei 1998. Disamping juga untuk mendorong
penyelesaian kasus pelanggaran HAM serta kejahatan
terhadap kemanusiaan yang lainnya yang banyak sekali
terjadi di Indonesia.
Kontrol terhadap proses penyelesaian kasus Mei 1998
serta penuntasan kasus pelanggaran HAM berat lainnya
adalah dengan mendirikan organisasi-organisasi
kemasyarakatan. Organisasi-organisasi kemasyarakatan
yang didirikan ini diharapkan secara konsisten
melakukan pendidikan politik bagi masyarakat Indonesia
dan juga pertemuan-pertemuan tatap muka dengan anggota
Komnas HAM serta instansi pemerintah terkait untuk
mendorong mereka segera menuntaskan semua pelanggaran
HAM berat yang pernah terjadi di Indonesia.

Penulis adalah pekerja kemanusiaan pada Solidaritas
Nusa Bangsa (SNB).

Sinar Harapan
Senin, 19 Mei 2003
http://www.sinarharapan.co.id/berita/0305/19/opi02.html

--
5 Tahun Tragedi Mei
Menanti Jawaban yang Tak Kunjung Datang

JAKARTA — Guratan luka bakar hampir di seluruh bagian
tubuh Iwan masih terlihat jelas dan nyata. Warga Tanah
Tinggi, Jakarta Pusat itu merupakan satu dari
sekelumit kecil korban yang lolos dari kematian ketika
tragedi berdarah yang merenggut ribuan jiwa di
sejumlah tempat di wilayah Jakarta, Mei 1998.
Ketika ditemui di Mall Klender, Jakarta Timur Rabu
(14/5) dalam acara peringatan 5 tahun tragedi berdarah
itu, kepada SH ia mengakui masih terngiang- ngiang
hingga kini satu pertanyaan, yakni siapa sebenarnya
yang harus bertanggung jawab dalam peristiwa itu.
Ketidakseriusan pemerintah di tiga rezim, mulai dari
Habibie, Gus Dur hingga Megawati untuk mengusut tuntas
kasus tersebut, pun terus menjadi pertanyaan besar
dalam dirinya. ”Apakah pemerintah tidak mampu
menjangkau terlalu jauh
aktor-aktor dibalik peristiwa itu?”. ”Kalau ditanya
malu. Siapa yang nggak malu hidup dengan kondisi tubuh
seperti ini. Yang saya mau pemerintah serius dan saya
siap menjadi saksi hidup pembantaian itu,” tutur Iwan,
yang harus mengalami cacat di kedua belah tangan,
kaki, wajah, kuping akibat ulah sekelompok lelaki
berpakaian preman dengan tubuh kekar dan gaya rambut
ala anggota TNI membakarnya hidup-hidup di Jalan Gatot
Subroto, di depan STM Poncol, Tanah Tinggi, Jakarta
Pusat.
Untung baginya seorang haji bernama Harun, menemukan
dirinya dalam keadaan sekarat. Ia pun dilarikan oleh
Pak Haji itu ke RS Islam Cempaka Putih. Iwan pun
menceritakan upayanya yang sudah berkali-kali ia
mendatangi Komnas HAM, yang katanya sebagai wadah dan
aspirator kaum-kaum tertindas untuk mengadukan
penderitaannya. Akan tetapi, Iwan justru mendapatkan
kekecewaan. Hanya ”angin surga” yang ia peroleh dari
pengaduannya. ”Catat alamat dan nama doang,” keluhnya
kepada SH.
Keluhan getir pun datang dari seorang ibu. Suaranya
terdengar getir. Meski sempat tersendat untuk
menceritakan peristiwa yang memilukan tersebut,
Ruminah menegaskan, satu-satunya keinginan adalah
adanya kejelasan dari pemerintah soal peristiwa itu.
”Kalau anak saya masih hidup, tentu dia sudah bisa
bantu keluarga bekerja. Sakit hati saya, Pak. Hamil
selama sembilan bulan, tapi dia terpanggang gitu
saja tanpa ada yang tanggung jawab. Orang yang
ketabrak sepeda saja ada yang tanggung jawab,” ujar
Ruminah di depan Wakil Ketua Komnas HAM Solahuddin
Wahid, Senin (12/5) lalu, saat memperingati lima tahun
tragedi Mei. Gunawan, anaknya yang baru berusia 12
tahun, pelajar kelas enam SD 04 Pagi Klender, Jakarta
Timur bersama dengan enam atau tujuh rekannya hanya
iseng saja melihat apa yang terjadi di Yogya Plaza
saat 13 Mei 1998. Suasana ramai ditandakan dengan
banyaknya orang di seputar plaza tersebut. Dan, ada
sekelompok orang yang memaksa orang-orang di sekitar
untuk masuk ke tempat tersebut.
Ia pun mencari Gunawan ke dalam plaza. Namun, yang
dicarinya tak ditemukan. Suasana gaduh membuatnya
keluar melewati kerumunan massa yang tak jelas lagi
bertujuan apa. Ia pun menceritakan apa yang
dilihatnya. ”Mereka masuk saja karena disuruh
orang-orang itu. Tadinya saya masih melihat mereka.
Tapi begitu saya semakin masuk, ada sekelompok orang
bawa
jerigen dan dituangkan ke lantai. Lalu rolling door di
tutup. Waktu saya sudah keluar lagi, saya lihat banyak
anak yang jatuh dan terpanggang,” papar
Ruminah. Masih terngiang jerit anak-anak itu yang
berteriak minta tolong. Dua hari kemudian ketika
anaknya ditemukan, hanya kepiluan sajalah yang ia
rasakan. Lima tahun setelah tragedi itu berlalu, yang
terjadi kini, tragedi itu diperingati sebagai seremoni
kepiluan. ”Kami tetap ingin kejelasan dari
pemerintah. Sampai sekarang masih jadi tanda tanya
besar,” ujarnya.
Layaknya Iwan dan Ruminah, Ibu Kartijah tak berbeda
kepiluan dan keinginannya. Juwanto putranya hangus dan
hilang tanpa bekas di Plaza Yogya yang kini dikenal
dengan nama Mall Klender. Peringatan yang diadakan
setiap tahun dengan menabur bunga di atas pusara
kuburan massal korban pembakaran Plaza Yogya di Pondok
Ranggon; meskipun sebenarnya ia tidak tahu di mana
jasad putranya di kebumikan, sudah tidak begitu
berarti lagi baginya. Yang utama diinginkan adalah
keseriusan pemerintah mengusut tuntas kasus
itu. ”Air mata ini akan keluar dengan bahagia kalau
kasus ini selesai ditangani pemerintah. Biarlah anak
saya tenang di tempatnya,” ujarnya menengadah ke arah
langit, seolah mencari jawaban di sana Di puncak acara
peringatan Tragedi Mei ’98, pada Kamis (15/5) Wapres
Hamzah Haz dan Menkop Ali Marwan Hanan pun
menyempatkan diri hadir. ”Di tengah kebahagiaan malam
ini, kita masih tetap dalam suasana keprihatinan dan
penyesalan tak ternilai, yang telah merusak
sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara, akibat
kerusuhan Mei 1998,” ujar Hamzah.
Sebagai wakil pemerintah, Wapres pun menyatakan
keprihatinan dan penyesalan atas terjadinya peristiwa
itu. Seperti 4 tahun belakangan, Presiden, Ketua
MPR/DPR dan pejabat negara lainnya juga turut
menghadiri peringatan serupa. Berbagai talk-show tak
juga ketinggalan di gelar. Hasilnya? Masih juga
mengambang karena penyelidikan baru dilakukan oleh
Komnas HAM melalui KPP HAM Mei. Bahkan, pemerintah
belum punya satu definisi jelas atas apa yang
terjadi. Keluhan Iwan, Ruminah dan Kardijah, serta
ribuan keluarga korban peristiwa itu adalah bukti
nyata bagaimana tragedi, yang dikategorikan sebagai
kerusuhan massal yang bersifat horisontal akibat
krisis ekonomi, oleh pemerintah yang berkuasa saat
itu. Begitu halnya dengan peristiwa penembakan
empat mahasiswa Universitas Trisakti yang mendahului
tragedi itu pun, sampai saat ini juga belum
menunjukkan titik terang bagi terungkapnya para pelaku
dan aktor intelektual dibaliknya. Seharusnya sikap
optimistis keluarga korban ini menjadi motivasi bagi
pemerintah, bukan hanya Komnas HAM untuk mendukung
upaya pengungkapan sejelasnya Tragedi Mei.
(fel/emy/rik)

Sinar Harapan
Sabtu, 17 Mei 2003

http://www.sinarharapan.co.id./berita/0305/17/nas06.html




                
__________________________________ 
Do you Yahoo!? 
Yahoo! Small Business - Try our new Resources site
http://smallbusiness.yahoo.com/resources/


.: Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :.

.: Kunjungi website global : http://www.budaya-tionghoa.org :.

.: Untuk bergabung : http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua :.

.: Jaringan pertemanan Friendster : [EMAIL PROTECTED] :. 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Reply via email to