Kompas, Senin, 13 Juni 2005

Di Manakah Rasa Kemanusiaan Kita Warga Jakarta?

BARU sepekan lalu rasa kemanusiaan kita diguncang oleh kenyataan pahit yang dihadapi pemulung miskin, Supriono (38), yang kebingungan mengubur jenazah anaknya, kini rasa kemanusiaan itu kembali digedor oleh kenyataan serupa. Seorang nenek berusia 61 tahun ditemukan meninggal di rumahnya karena kelaparan ditinggal oleh anaknya yang sedang mencari uang untuk melunasi utangnya.

HARI Jumat (10/6) malam Mardiah (61), warga Gang Baru I RT 01 RW 12, Kelurahan Cakung Timur, Cakung, Jakarta Timur, ditemukan meninggal di dalam rumahnya yang berukuran 3 x 5 meter yang pengap dan kusam. Saat ditemukan kondisi mayatnya sudah berbau sehingga diperkirakan ia sudah meninggal dua atau tiga hari sebelumnya.

Yang membuat hati kita bergetar, Mardiah diduga kuat meninggal karena kelaparan akibat ditinggal pergi begitu saja oleh M Sidik (39), anaknya yang selama ini tinggal bersamanya.

Kenapa hal itu bisa terjadi? Apakah warga sekitar tidak ada yang tahu bahwa Mardiah ditinggalkan anaknya dalam keadaan tidak ada makanan di rumah? Apakah Sidik juga tidak menitipkan orangtuanya kepada tetangga-tetangganya? Atau, apakah warga sekitar sama sekali tidak peduli kepada keluarga lain yang tengah menderita?

Sejumlah warga yang ditemui hari Minggu kemarin menyatakan, selama ini sebenarnya sudah banyak bantuan diberikan untuk keluarga itu. Namun, mereka sungguh tidak menyangka bahwa Mardiah ditinggal sendiri di rumahnya.

Menurut mereka, Sidik memang sering pergi meninggalkan rumah, tetapi kadang dia pulang pada malam hari. Selama dia pergi pintu rumah selalu dikunci dari luar. Sidik beralasan, ibunya itu sudah pikun.

Mereka juga tahu bahwa Mardiah sering ditinggal tanpa makanan dan minuman di rumah. Jika membutuhkan bantuan dari warga, biasanya Mardiah duduk-duduk di sofa tua dekat kaca jendela nako rumahnya. Tangannya dijulurkan ke luar untuk minta makan dan minum. Dan warga pun selalu rela membantunya.

Sejak sebulan lalu listrik di rumah itu diputus karena Sidik tak mampu membayar rekeningnya. Dua minggu kemudian aliran air PDAM juga diputus.

Tetangga yang kasihan melihat rumah itu selalu gelap kemudian mengalirkan listrik untuk sebuah lampu 10 watt.

Rupanya pemutusan aliran listrik tersebut mengguncang hati Sidik yang masih bujangan itu. Ia merasa malu karena warga tahu kondisi ekonominya. Ia pun marah-marah kepada ibunya yang menerima bantuan listrik.

Sejak itu Sidik makin sering tidak pulang. Baru kemudian terungkap bahwa Sidik terjerat utang kepada rentenir. Sebelum Lebaran lalu ia meminjam uang Rp 1,5 juta kepada seorang rentenir untuk berdagang pakaian. Namun, usahanya tak berhasil sehingga utangnya makin beranak pinak. Terakhir, tagihannya mencapai Rp 3,6 juta, seperti tertulis dalam surat sang rentenir yang ditemukan warga.

Sepekan lalu warga sempat mencari Sidik karena mendapati Mardiah terjatuh di dalam rumahnya. Namun, Sidik, yang ditemui di tempatnya mengajar bermain rebana di sebuah masjid, tidak langsung pulang. Sidik memang berjanji akan segera pulang, tetapi warga kemudian tidak pernah tahu apakah Sidik benar pulang atau tidak.

Mereka juga tidak lagi begitu memerhatikan apakah Mardiah ada atau tidak di rumah. Sebab, mereka menduga Mardiah dibawa Sidik ke rumah anaknya yang lain di Tangerang.

Kematian Mardiah baru terungkap Jumat malam ketika warga mencium bau bangkai. Setelah dicari-cari, sumber bau tersebut ternyata berasal dari rumah Sidik yang baru dibeli satu tahun lalu.

Sidik sendiri baru pulang Sabtu lalu setelah berhasil dihubungi salah seorang warga. Ia langsung ditangkap polisi karena sangkaan kelalaian yang mengakibatkan kematian orang lain.

PERISTIWA tragis yang dialami Supriono dan kematian mengenaskan Mardiah barangkali hanyalah sedikit dari cerita-cerita duka yang dialami warga miskin yang tinggal di Jakarta dan sekitarnya.

Mereka menderita di tengah gemerlapnya Ibu Kota. Mereka mengalami kesendirian di tengah hiruk-pikuk dan keramaian Jakarta.

Dalam beberapa kesempatan Sartono Mukadis, psikolog, menyatakan keprihatinannya atas kurangnya kepedulian warga Jakarta terhadap sesamanya. Banyak orang tahu ada sesamanya yang menderita, tetapi tidak tergerak untuk membantu. Kalaupun ada, bantuan itu sangat minim dan sering hanya terbatas pada lingkungan sekitarnya.

Padahal di Jakarta ini sebenarnya juga masih sangat banyak warga lain yang begitu mudah tersentuh perasaannya ketika mendengar atau membaca cerita kemiskinan dan penderitaan orang lain itu.

Dalam kasus Supriyono, misalnya, bantuan sudah banyak mengalir ketika nasibnya yang terpaksa menggendong jenazah anaknya dimuat di berbagai media.

Artinya, di Jakarta ini sebenarnya masih sangat banyak dermawan yang baik hati, tetapi sering tidak mengerti ke mana harus menyalurkan bantuannya.

Persoalannya, lembaga-lembaga yang sering berhadapan dengan orang miskin itu sering kali hanya terpaku pada tugas dan pekerjaannya. Tak ada upaya sedikit bersimpati kepada mereka yang bernasib kurang beruntung.

Dalam bahasa sosiolog Paulus Wirutomo, banyak dari kita yang puas bekerja secara minimal. Banyak dari kita yang berpikir, pokoknya tugas dan pekerjaan saya sudah saya lakukan dengan baik, selesai.

Itu terlihat, misalnya, dalam pelayanan terhadap Supriyono. Sejumlah pedagang dan calon penumpang yang mendapati Supriyono menggendong jenazah anaknya untuk naik kereta rel listrik di Stasiun Tebet, umpamanya, sudah menganggap selesai ketika menyerahkan Supriyono kepada polisi.

Selanjutnya, polisi juga menganggap selesai setelah menyerahkan jenazah tersebut ke Instalasi Pemulasaraan Jenazah Rumah Sakit Umum Pusat Cipto Mangunkusumo. Begitu pula dengan para petugas di RSCM yang menganggap selesai pekerjaannya ketika Supriyono dengan permintaan sendiri membawa pulang jenazah anaknya.

Sejumlah orang yang biasa berada di sekitar kamar jenazah RSCM yang tahu bahwa Supriyono terpaksa menggendong kembali jenazah anaknya itu pun merasa cukup dengan mengumpulkan uang bantuan.

Padahal, bisa saja mereka menghubungi lembaga-lembaga yang peduli pada soal-soal kemanusiaan itu untuk mendapatkan bantuan sehingga Supriyono tidak perlu harus menggendong jenazah anaknya tanpa arah yang jelas.

Dalam kasus kematian Mardiah, warga sekitar memang tidak bisa dibilang tidak peduli. Mereka sudah banyak membantu Mardiah. Juga membantu Sidik yang menjadi tulang punggung keluarga.

Satu hal yang mungkin kurang terpikirkan adalah tidak dilibatkannya institusi birokrasi dalam menangani keluarga miskin itu. Bantuan makanan dan minuman atau aliran listrik memang sangat diperlukan Mardiah yang sering ditinggal pergi Sidik.

Namun, bantuan karitatif seperti itu tentu saja tidak cukup. Sebab, yang diperlukan Sidik adalah sebuah pekerjaan untuk bisa menghidupi keluarga.

Kalau secara pribadi-pribadi warga tidak bisa menyediakan pekerjaan untuk Sidik, setidaknya kondisi keluarga miskin itu bisa dilaporkan ke tingkat birokrasi, apakah RT, RW, kelurahan, kecamatan, atau, tingkat ke atas lagi.

Kondisi seperti itu bisa juga disampaikan ke lembaga-lembaga lain yang banyak menaruh perhatian pada soal-soal kemiskinan, seperti media massa dan lembaga swadaya masyarakat.

PEMERINTAH sendiri sebenarnya menyediakan berbagai bantuan untuk orang miskin, seperti JPK Gakin, dan dana kompensasi subsidi BBM. Namun, dalam pelaksanaannya memang hal itu tidak selalu bisa menjangkau semua keluarga miskin.

Oleh karena itu, diperlukan peran aktif warga untuk menginformasikan kondisi sesamanya supaya mereka yang benar-benar miskin itu terjangkau pelayanan yang disediakan.... (ester Lince Napitupulu)


Discover Yahoo!
Get on-the-go sports scores, stock quotes, news & more. Check it out!

.: Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :.

.: Kunjungi website global : http://www.budaya-tionghoa.org :.

.: Untuk bergabung : http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua :.

.: Jaringan pertemanan Friendster : [EMAIL PROTECTED] :.




Yahoo! Groups Links

Kirim email ke