Yang Tercecer Dari May '98 Commemoration 

May '98 commemoration yang baru lalu memang cukup luar biasa, bukan 
hanya pengunjung yang cukup banyak bahkan melebihi kapasitas ruang 
pertemuan di Duarte Inn (diperkirakan lebih dari 100 orang 
pengunjung) tetapi juga kehadiran seorang ibu tua yang telah berusia 
lebih dari 80 tahun (sekitar 86 tahun) bersama putri dan cucu laki-
lakinya. Ibu tua ini hanya duduk diam dibarisan depan dan luput dari 
perhatian orang-orang sampai bung Christianto Wibisono 
memperkenalkannya sebagai istri Siauw Giok Bie, adik Siauw Giok 
Tjhan. 

Pada umumnya orang banyak mengenal Siauw Giok Tjhan karena tokoh ini 
selain menjadi menteri pada jaman Bung Karno dan menjadi tokoh serta 
pendiri Baperki yang memperjuangkan konsep integrasi pada masyarakat 
Indonesia, juga Siauw Giok Tjhan adalah seorang tokoh yang menjadi 
korban politik kekerasan orde barunya Soeharto. Sebenarnya tokoh 
Siauw Giok Bie tidaklah kalah peranannya dibanding dengan Siauw Giok 
Tjhan. Pada era mempertahankan kemerdekaan yang baru saja 
diproklamirkan oleh pasangan proklamator Soekarno – Hatta, tokoh 
Siauw Giok Bie inilah yang pada waktu itu berjuang bahu membahu 
bersama Soetomo (lebih dikenal sebagai Bung Tomo) memimpin dan 
membangkitkan semangat masyarakat Indonesia di Surabaya untuk terus 
berjuang melawan tentara sekutu. Peristiwa heroic di Surabaya ini 
kemudian dikenang sebagai Hari Pahlawan yang kemudian diperingati 
setiap tanggal 10 November. Siauw Giok Bie adalah salah seorang 
pahlawan pejuang kemerdekaan Indonesia dari komunitas Tionghoa, 
walaupun secara resmi nama Siauw Giok Bie tidak tercatat dalam buku-
buku pelajaran sejarah seperti juga halnya para pahlawan dari etnis 
Tionghoa yang lain. Catatan sejarah perjuangan memang luput 
memperhatikan peranan para pahlawan komunitas Tionghoa selama ini. 

Bung Chris memperkenalkan keluarga Siauw ini dalam menjawab 
pernyataan salah seorang peserta diskusi tentang keekslusifan 
komunitas Tionghoa dan keengganannya berjuang bagi masyarakat. Lebih 
lanjut bung Chris dengan me-refer buku "Tionghoa dalam pusaran 
politik" hasil karya Benny G. Setiono (ketua INTI) yang tebalnya 
lebih dari 700 halaman menyebutkan betapa ada 4 orang etnis Tionghoa 
yang menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan 
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan 1 orang etnis Tionghoa menjadi 
anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Para anggota 
BPUPKI dan PPKI inilah yang kemudian dikenal sebagai Bapak Pendiri 
(founding fathers) Negara Kesatuan Republik Indonesia . Jadi 
sebenarnya komunitas Tionghoa adalah para pemegang saham Negara ini, 
sama peranannya dengan suku-suku lain di Indonesia dan merupakan 
bagian integral dan tak terpisahkan dari bangsa Indonesia . 

Terlebih dahulu sebelumnya Jonathan Goeij dalam slide presentation-
nya berbicara tentang perkosaan yang terjadi pada para wanita 
khususnya etnis Tionghoa. Tidak ada sebuah gambar perkosaanpun yang 
ditampilkan, hanya ada sebuah gambar seorang gadis dengan mulut 
terkatub terdiam tanpa bersuara sedikitpun. Diatas gambar itu ada 
kata-kata yang sebenarnya mengutip dari Miranda says yang biasanya 
diucapkan para polisi di Amerika pada waktu menangkap seorang 
tersangka. Kata-kata itu adalah "They Have The Right To Remain 
Silent" dengan kata The Right yang dicoret. Selanjutnya kata-kata 
itu menjadi "They Have To Remain Silent." Sebuah anekdot yang tepat 
sekali menggambarkan keadaan para korban perkosaan pada saat itu. 

Menyusul tragedy Mei, para anggota Tim Relawan mengungkapkan fakta 
adanya ratusan kasus-kasus perkosaan ataupun sexual-abuse yang 
menimpa para wanita pada saat kejadian kerusuhan ataupun sesudahnya. 
Para pejabat dan terutama sekali para aparat keamanan dengan gigih 
membantah adanya kasus-kasus perkosaan yang terjadi pada saat itu. 
Bahkan Panglima ABRI Wiranto pada waktu itu melalui Menteri 
Penerangan menyatakan bahwa sebuah tim gabungan LSM dari Taiwan yang 
menemuinya menyimpulkan tidak adanya perkosaan dan 
betapa "pemerintah anda telah dikibuli." Pernyataan Wiranto ini 
kemudian dikutip oleh berbagai media masa dan dipakai sebagai 
argument untuk membantah adanya kasus perkosaan. Keesokan harinya 
para anggota LSM Taiwan itu mengirim surat bantahan keharian Kompas, 
pada bantahannya LSM Taiwan ini justru mengatakan keyakinan mereka 
akan adanya kasus-kasus perkosaan, terlebih lagi bahkan mereka 
mengatakan tidak pernah menemui Wiranto. Suatu hal yang menyedihkan 
sekali betapa pejabat tertinggi dibidang pertahanan dan keamanan di 
Indonesia dengan seenaknya memelintir pernyataan pihak lain. 

Diungkap juga adanya foto-foto perkosaan yang beredar di Internet 
yang kemudian ternyata foto-foto itu diambil dari situs-situs porno. 
Berkenaan hal ini ada beberapa kemungkinan yang terjadi. Pertama, 
foto-foto itu diedarkan oleh orang-orang berselera rendah yang 
memanfaatkan kasus pemerkosaan ini untuk menyalurkan nafsu selera 
rendahnya. Kedua, foto-foto itu diedarkan oleh orang-orang yang 
bersimpati pada para korban dan kesal oleh bantahan tidak masuk akal 
yang dikemukakan para pejabat. Ketiga, foto-foto itu dengan sengaja 
diedarkan oleh pihak-pihak yang sejak semula membantah adanya 
perkosaan untuk kemudian dibongkar sendiri sebagai bukti tidak 
adanya perkosaan. 

Slide berikutnya adalah Ita Martadinata yang ditemukan mati terbunuh 
dirumahnya sendiri, Ita adalah seorang aktivis yang memberikan 
konseling pada para wanita korban perkosaan. Kematian Ita justru 
terjadi beberapa saat sebelum Ita bersama para korban perkosaan yang 
didampinginya pergi keluar negeri untuk memberikan kesaksiannya. 
Menyusul kemudian para aktivis yang mendampingi korban-korban 
perkosaan ataupun yang menyelidiki peristiwa perkosaan menerima 
ancaman kematian. (Sumber: Associated Pers 10 Oktober 1998) 

Setelah adanya fakta-fakta tak terbantah, pemerintah Indonesia untuk 
pertama kalinya pada bulan Desember 1998 mengakui secara resmi 
adanya perkosaan masal yang menimpa para wanita pada kerusuhan Mei. 
Tetapi pada pengakuannya pemerintahan Habibie mereduksi kasus-kasus 
perkosaan yang umumnya ditujukan pada wanita etnis Tionghoa ini 
hanya menjadi 52 kasus dari sebelumnya 66 kasus pada laporan TGPF 
ataupun 168 kasus pada laporan TRK. Juga Menteri Sekretaris Negara 
Akbar Tanjung membantah adanya kasus pemerkosaan masal yang 
sistematis. (Sumber: Associated Pers 21 Desember 1998) Suatu 
pengakuan yang setengah hati sebenarnya. 

Pada bulan Maret 1999, Mrs. Radhika Coomaraswamy seorang special 
rapporteur yang dikirim khusus oleh Komisi HAM PBB untuk menyelidiki 
kasus-kasus kekerasan terhadap wanita dalam laporannya mengungkapkan 
betapa dia berhasil menemui dan mewancarai 85 orang korban kekerasan 
seksual, termasuk didalamnya 52 orang korban perkosaan. Diantara 
para korban itu tidak ada seorangpun yang mengajukan gugatan. 
Menurut special rapporteur ini para korban menerima ancaman 
pembunuhan bila mengajukan gugatan, bahkan para korban ini menerima 
foto-foto perkosaan dirinya sendiri disertai ancaman foto-foto itu 
akan disebarkan bila para wanita korban kekerasan seksual itu berani 
berbicara. Mrs. Coomaraswamy tidak berhasil mengungkapkan berapa 
sebenarnya kasus perkosaan yang terjadi, yang sebenarnya jauh lebih 
banyak dari yang selama ini berhasil dicatat (Sumber: AFP 24 Maret 
1999). 

-Tim redaksi Indonesia Media.

Indonesia Media Online
Mid June 2005

http://www.indonesiamedia.com/2005/06/mid/local/tercecer.htm





.: Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :.

.: Kunjungi website global : http://www.budaya-tionghoa.org :.

.: Untuk bergabung : http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua :.

.: Jaringan pertemanan Friendster : [EMAIL PROTECTED] :. 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Reply via email to