--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "ulysee" <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
--------------------cut--------------
> Biar fair ya JB, kau tantang padaku :"kau susuri daerah glodok, tanah
> abang, jati negara, mangga dua, kawasan sudirman, dsbnya.
> Berinteraksilah dengan Tionghoa2 yang kau lihat di sana dan jika kau
> tidak keberatan kawan, tuliskanlah dengan sejujurnya kesan kau dari
> interaksi tersebut."
>
> Kau juga jawab donk tantangan si rene: " sedang di milis ini bisa di
> ambil sampling yg lebih luas dari Tionghoa2 Indo yg ber domisili di
> Jkt/Semarang/Medan/USA/Europe/Aust/HK/Taiwan...... dll.dll.dll.
> Apakah dari interaksi pak Bisu di milis selama ini ditemukan Tionghoa2
> spt yg anda uraikan di atas????"
>
> Berhubung tempat sampling lu udah di depan mata, sedangkan gue kudu
> keliling Jakarta Kota dulu (asiiikkk sekalian belanja, sapa mau
> ikuuuttt, heheh) gue persilakan lu gelar hasil pengamatan lu duluan.
> Heheheheh.
 
KT:
Ha ha Kelihatannya JBKT tidak berani menjawab tantangan anda.
Biar saya yg menjawab tantangan ini saja:

Namanya juga Jeritan Bisu Kaum Tersisih. Mari kita coba pahami kejiwaan seorang kaum tersisih.

Sebagai kaum tersisih (walaupun tidak semuanya, kita ambil contoh di depan mata kita yaitu JB), tentunya sangat sulit untuk menerima kenyataan di depan mata dan sinis terhadap kemapanan yang ada, anti terhadap keberhasilan yang diraih melalui kerja keras oleh orang orang tertentu dan cenderung anti kemakmuran. Yang tersisih adalah yang terpinggirkan, tidak mampu masuk ke suatu lingkungan tertentu karena keterbatasannya dan tidak sanggup berjuang untuk itu, akibatnya hanyalah bisa menjerit bisu tanpa bisa terdengar oleh kebanyakan orang apalagi pemerintah.

Hanya sedikit sekali dari kaum tersisih yang memiliki mental pantang menyerah untuk berjuang memperbaiki nasih dan sanggup keluar dari kunkungan “rasa tersisih dan lingkungan kaum tersisih” tersebut. Umumnya yang bisa keluar dari lingkaran tersebut adalah yang bisa muncul sebagai manusia yg luar biasa, yang tidak menyerah terhadap keadaan dan pantang berteriak dan menjerit dalam keputusasaan. Alih-alih berteriak, mengecam ataupun mengeneralisasir suatu masyarakat dengan pandangan negatifnya serta mencari peluang untuk memprovokasi kebencian melalui bahasanya, maka kaum tersisih yang berhasil bangkit tersebut akan memanfaatkan waktu sebaik mungkin untuk berjuang bagi hidupnya demi masa depannya, karena mereka menyadari menjerit meminta perhatian tanpa tindakan utk memperbaiki nasib adalah percuma, lama lama hanyalah akan tinggal jeritan bisu yg akhirnya semakin tersisihkan dan tertinggalkan. Stress dengan keadaan tersisihkan dan melampiaskan ke satu tempat tertentu tidaklah akan bisa menjawab permasalahannya, kecuali dalam perasaan putus asa tersebut bisa bangkit menjadi yang tidak tersisihkan.

Mari kita melihat pernyataan Jeritan Bisu Kaum Tersisih:

kau susuri daerah glodok, tanah
abang, jati negara, mangga dua, kawasan sudirman, dsbnya.
Berinteraksilah dengan Tionghoa2 yang kau lihat di sana dan jika kau
tidak keberatan kawan, tuliskanlah dengan sejujurnya kesan kau dari
interaksi tersebut.
> Kesan aku yang dominan tetaplah petantang petenteng,
mentang-mentang, kurang santun, tidak tahu diri, kasar, taunya duit
mulu, hedon, lebih emosional ketimbang pakai nalar, dsbnya. Intinya:
lebih banyak yang negatif ketimbang yang positif.

Kawasan Glodok & mangga dua adalah kawasan perdagangan, dimana saya melihat banyak sekali pedagang kecil ataupun menengah sedang menjajakan dagangannya yg tdk terbatas kepada pedagang tionghoa saja. Saya melihat kegesitan pedagang dalam melayani pengunjung, sama sekali tidak terlihat orang tionghoa yg petantang petenteng, mentang-mentang, karena yg kulihat adalah mereka sibuk bekerja mencari uang untuk menghidupi keluarga mereka, bila mereka tetap santai dan tidak gesit ditengah persaingan yang begitu ketat di sana, hasilnya mereka harus semakin pusing memikirkan biaya hidup yg semakin meningkat. Kerja saja dan dapat uang belum tentu cukup utk menghidupi keluarga mereka, apalagi mau petantang petenteng spt itu. Yg kulihat adalah pakaian mereka tdk lah mewah, soal kurang santun, itu relative, tentunya pedagang glodok bicaranya juga terkadang kencang dan cepat, customer service nya juga kurang dibanding yg berkantor di daerah sudirman dalam ruangan nyaman ber AC, namanya juga daerah glodokan dan grosiran.

Dalam himpitan biaya hidup yang semakin tinggi, tentu saja mereka “taunya duit melulu” dalam berdagang, sesuatu yang normal dalam persaingan yg ketat di situ. Hukum pasar, normal, dan akan tampak negative dan tidak normal di mata kaum tersisih --> dan itu balik lagi kepada kejiwaan seorang jeritan bisu krn sudah tak ada yg bisa dilakukan lagi selain menjerit lebih emosional ketimbang pakai nalar.

Saya berjalan lagi ke daerah Sudirman dengan memakai jeans butut dan kaos oblong yg kusam serta sandal jepit seadanya. Masuk ke Plaza Indonesia, dan saya bisa memahami perasaan seorang kaum tersisih. Saya hanya bisa melihat dari luar toko (boutique) barang barang yg umum digunakan spt tas, baju, jas, sepatu tetapi dengan harga selangit karena barang ber merk tersebut keluaran paris, London, Tokyo, Itali yg bagi saya juga tdk sanggup membeli barang tersebut. Ibaratnya spt anak jalanan yang hanya bisa mengintip kedalam pajangan barang makanan sehari hari di supermarket tanpa berani masuk ke dalam.

Saya bisa paham pikiran kaum tersisih yang anti hedonisme, muak melihat kaum “berduit” yang petantang petenteng bicara melalui handphone sambil berjalan lalu lalang, mentang mentang berduit tetapi berlalu begitu saja di depan mata kaum tersisih, kurang santun karena melirik kearah “kamipun” tidak mau, tidak tahu diri karena mendiami tanah air yang juga dimiliki mereka, kasar karena tidak sensitive terhadap keberadaan mereka (kaum tersisih), taunya duit melulu krn mereka sanggup menggunakan duit mereka untuk membeli barang mereka di depan kaum tersisih, dan akhirnya kaum tersisih lebih emosional ketimbang pakai nalar dalam memaki mereka, dan akhirnya keluarlah:

GENERALISASIR spt itu bhw Cina adalah spt begitu, padahal mereka yang hidup mapan ataupun sederhana bukanlah milik orang Tionghoa semata, tetapi terdiri dari berbagai suku bangsa termasuk orang asing yg berada di sini (bule, arab, jepang, korea dll). Tetapi sekali lagi, JB dengan gaya orde baru sebagai hasil didikan orde baru, lagi lagi CINA yang dijadikan sasaran empuk, generalisasi dan stereotype spt itu harus dilekatkan kedalam diri Cina, supaya kalau ada kerusuhan, sangat gampang sekali diarahkan untuk membantai mereka kembali, dijadikan kambing hitam politik kegagalan pihak tertentu.

 Apakah saya salah? JBKT silahkan menjerit padaku tetapi dengan memakai nalar, tanpa nalar hanyalah membuat anda semakin tersishkan  ………

Ulysee:

> Bung moderator, disini boleh nantang ngga? Apa harus pindah ke tempat
> gulat di sebelah?
> (ijin dulu, takut guan dao melayang, kepala bisa turun ketanah
> ini....heheheh)

Godain saja: Ulysee mulai main nantang ini, untung modie sini ngak sensi jadi anda ngak dituntut nih. Sekedar nantang saja mah mustinya ngak bermasalah 'kali ya.

 


Start your day with Yahoo! - make it your home page

.: Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :.

.: Kunjungi website global : http://www.budaya-tionghoa.org :.

.: Untuk bergabung : http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua :.

.: Jaringan pertemanan Friendster : [EMAIL PROTECTED] :.




SPONSORED LINKS
Indonesian languages Indonesian language learn Indonesian
Dari


YAHOO! GROUPS LINKS




Kirim email ke