Kompas, Rabu, 10 Agustus 2005

Orang Miskin Bukan Angka Statistik!

Oleh: IMAM CAHYONO

Poor people are not helpless, they can and do act in order to change their situations. They have the potential to be agents of social transformation (Cecilia Loreto Mariz).

Jika mau jujur, tidak seorang pun ingin hidup miskin atau menjadi miskin. Secara jujur, Indonesia harus malu menyandang predikat negara berkembang terbelakang. Tetapi, apa boleh buat, negara ini benar-benar melarat, rakyatnya hidup sekarat.

Fakta kemiskinan telah menjadi bagian bangsa. Hampir tiap hari kita disodori kenyataan betapa kemiskinan kian merajalela. Kemiskinan tak lagi menjadi monopoli kota-kota besar metropolitan, tetapi telah merongrong ke seluruh pelosok. Untuk sekadar mempertahankan hidup saja, bukan pekerjaan gampang.

Kemiskinan selain mendorong berkembangnya aneka penyakit kronis, seperti busung lapar, demam berdarah, atau polio, juga memaksa orang miskin melakukan jalan pintas, dengan kriminalitas, menjual diri, atau menjual bayi kandungnya, demi uang.

Yang paling menderita akibat kemiskinan adalah kaum miskin. Selain menjadi korban keganasan hidup, kaum miskin juga menjadi kambing hitam persepsi masyarakat (blaming the victim). Orang miskin acap dilihat sebagai sebab, bukan akibat ketidakadilan.

Pendekatan mikro

Ironisnya, selama ini fakta kemiskinan senantiasa dipandang, ditelaah, dan dicerna dalam perspektif makro. Dengan pendekatan ini, para ilmuwan sosial, ekonom, politikus, dan perencana pembangunan menggunakan data statistik untuk mencari solusi jitu, seperti menghitung Gross National Product (GNP) dan naik-turunnya angka kelahiran serta kematian.

Dengan perspektif itu, kemiskinan dan orang miskin disulap menjadi angka-angka bisu dari pandangan orang luar (outsider). Kemiskinan sebagai masalah dan persoalan orang miskin sendiri, jarang dieksplorasi.

Sulit dimungkiri, kemiskinan sebagai problem yang multidimensional. Kendati akarnya adalah struktur kelas sosial dan relasinya dengan dunia internasional serta kondisi ekonomi politik dalam negeri suatu negara, kemiskinan merupakan persoalan individu dan personal.

Perjuangan memberantas kemiskinan tidak cukup hanya dengan mengandalkan level makro sosial ekonomi politik melalui berbagai keputusan pemerintah. Kemiskinan juga harus diperangi pada level mikro sosial, yakni individu, keluarga, dan organisasi masyarakat.

Perspektif mikro menekankan kemiskinan sebagai pengalaman pergulatan hidup keseharian (struggle for daily life). Pendekatan pada level mikro menitikberatkan pada pandangan orang miskin sendiri, bagaimana kemiskinan dialami, dirasakan, dan dihadapi dalam hidup keseharian serta bagaimana mereka berjuang (human struggle) melepaskan diri dari jerat kemiskinan.

Bagaimanapun, pandangan orang miskin tidak selalu sama, sering amat berbeda dengan para pakar. Mereka memiliki pandangan sendiri, menafsirkan realitas yang mereka hadapi dengan kaca mata sendiri. Mereka melihat kemiskinan dalam bangunan konstruksi sosialnya sendiri. Sebab, manusia pada dasarnya memiliki dialektika untuk membentuk realitas sosial hidupnya (Berger and Luckmann, 1966).

Jadi, sejatinya orang miskin bukan sosok tanpa daya dan harapan. Mereka senantiasa berjuang untuk bertahan dan mengubah hidupnya. Mereka bukan sosok lemah tanpa kekuatan meski ditindas struktur sosial.

Berbagai tindak kriminal yang mereka lakukan sebenarnya adalah kreativitas upaya struggle for survival, berjuang untuk tetap hidup dan melanjutkan hidup. Padahal, mereka memiliki potensi sebagai agen transformasi sosial (Mariz, 1994).

Strategi kebudayaan

Dalam konteks ini, peran kebudayaan amat penting, namun sering diabaikan. Dibandingkan dengan perubahan ekonomi dan teknologi, transformasi budaya senantiasa berjalan lambat sehingga lolos dari perhatian pakar ekonomi dan politisi. Para pengambil keputusan (policy maker) selalu terpancang pada kebijakan makro sehingga mengabaikan pentingnya pendekatan mikro.

Dalam memerangi kemiskinan, peran budaya amat penting guna memotivasi dan menawarkan kondisi simbolik yang mendukung perubahan sosial. Pentingnya faktor budaya tidak berarti menempatkan kemiskinan sebagai masalah budaya seperti argumen penganut teori modernisasi yang menyalahkan tradisi di negara-negara dunia ketiga.

Relasi agama dengan materi dalam pergulatan hidup keseharian (struggle for survival) tidak berarti mengadopsi pendekatan fungsional atau mereduksi agama pada fungsi ekonomi belaka. Manusia pada dasarnya makhluk simbolik sehingga untuk bertahan hidup dan melawan kemiskinan tak cukup dengan ekonomi atau fisik, tetapi juga budaya. Ini membutuhkan tidak hanya artifak atau materi budaya, tetapi juga motivasi dan makna (meaning). Sebagai sumber makna, peran agama amat fundamental dalam kehidupan sehari-hari. Pengaruh agama dalam melawan kemiskinan juga melibatkan dimensi lain, seperti simbolik, motivasi, kognitif, dan normatif.

Dalam memerangi kemiskinan pada level individu, agama memainkan peran penting sebagai spirit untuk berjuang dan bertahan hidup melawan kemiskinan. Makna semacam ini hanya ditangkap dan dimengerti oleh orang miskin sendiri. Memahami makna praktik keagamaan dan kepercayaan amat fundamental, yakni bagaimana makna agama ditangkap sebagai spirit dalam hidup keseharian. Dalam spirit agama, kemiskinan merupakan korban ketidakadilan dan dosa sosial yang harus dilawan.

Pengalaman negara-negara di Amerika Latin, seperti di Brazil dengan gerakan Pantecostal dan Christian Base Communities (CEB), amat patut dicontoh. Mereka berhasil menggunakan metode ini, memanfaatkan agama sebagai pendekatan alternatif dalam melawan kemiskinan. Indonesia tidak perlu malu belajar. Selain berupaya mengentaskan orang miskin dari belenggu kemiskinan, strategi ini juga berupaya menempatkan orang miskin sebagai subyek hidup, bukan obyek. Orang miskin bukan deretan bisu angka statistik.

IMAM CAHYONO Peneliti Al Maun Institute, Jakarta

__________________________________________________
Do You Yahoo!?
Tired of spam? Yahoo! Mail has the best spam protection around
http://mail.yahoo.com

.: Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :.

.: Kunjungi website global : http://www.budaya-tionghoa.org :.

.: Untuk bergabung : http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua :.

.: Jaringan pertemanan Friendster : [EMAIL PROTECTED] :.




YAHOO! GROUPS LINKS




Reply via email to