ini dari milis sebelah, bisa buat perenungan kita bersama
----- Original Message -----
Sent: Tuesday, August 23, 2005 1:01 PM
Subject: [Men's Health Indonesia] Health Yes Corruption No !

Ini ada kisah bagus supaya body kita ga numbuh
dagingnya dari uang hasil korupsi


Kisah Seorang Pemeriksa Pajak Melawan Korupsi

Sebagai pegawai Departemen Keuangan, saya tidak
gelisah dan tidak kalang kabut akibat prinsip hidup
korupsi. Ketika misalnya, tim Inspektorat Jenderal
datang, BPKP datang, BPK datang, teman-teman di kantor
gelisah dan belingsatan, kami tenang saja. Jadi
sebenarnya hidup tanpa korupsi itu menyenangkan
sekali. Hidup tidak korupsi itu sebenarnya lebih
menyenangkan. Meski orang melihat kita sepertinya
sengsara, tapi sebetulnya lebih menyenangkan. Keadaan
itu paling tidak yang saya rasakan langsung.

Saya AS (maaf, belum minta ijin untuk menulis namanya
secara lengkap-alf.), lahir di Jawa Timur tahun 1970,
sampai dengan SMA di  Mojokerto, kemudian kuliah di
Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN)  dan selesai
pada 1992. Pada 17 Oktober 1992 saya menikah dan
kemudian  saya ditugaskan di Medan.

Saya ketika itu mungkin termasuk generasi pertama yang
mencoba  menghilangkan dan melawan arus korupsi yang
sudah sangat lazim. Waktu  itu pertentangan memang
sangat keras. Saya punya prinsip satu saja,  karena
takut pada Allah, jangan sampai ada rezeki haram
menjadi  daging dalam diri dan keturunan. Itu saja
yang selalu ada dalam
hati  saya.

Kalau ingat prinsip itu, saya selalu menegaskan lagi
untuk mengambil  arak yang jelas an tidak menikmati
sedikitpun harta yang haram.  Syukurlah, prinsip itu
bisa didukung keluarga, karena isteri juga  aktif
dalam pengajian keislaman. Sejak awal ketika menikah,
saya  sampaikan kepada isteri bahwa saya pegawai
negeri di Departemen  Keuangan, meski imej banyak
orang, pegawai Departemen Keuangan kaya,  tapi
sebenarnya tidak begitu. Gaji saya hanya sekian, kalau
mau diajak hidup sederhana dan tanpa korupsi, ayo.
Kalau tidak mau, ya  sudah tidak jadi.

Dari awal saya sudah berusaha menanamkan komitmen kami
seperti itu.  Saya juga sering ingatkan kepada
isteri,bahwa kalau kita konsisten  dengan jalan yang
kita pilih ini, pada saat kita membutuhkan maka  Allah
akanselesaikan kebutuhan itu. Jadi yg penting usaha
dan konsistensi kita. Saya juga suka mengulang
beberapa kejadian yg kami alami selama menjalankan
prinsip hidup seperti ini kepada istri.  Bahwa yg
penting bagi kita adalah cukup dan berkahnya, bahwa
kita bisa menjalani hidup layak. Bukan berlebih
seperti memiliki rumah dan mobil mewah.

Menjalani prinsip seperti ini jelas banyak ujiannya.
Di mata  keluarga  besar misalnya, orang tua saya juga
sebenarnya mengikuti logika umum  bahwa orang pajak
pasti kaya. Sehingga mereka biasa meminta kami
membantu adik-adik dan keluarga. Tapi kami berusaha
menjelaskan  bahwa  kondisi kami berbeda dengan imej
dan anggapan orang. Proses memberi pemahaman seperti
ini pada keluarga sulit dan membutuhkan waktu
bertahun-tahun. Sampai akhirnya pernah mereka
berkunjung ke rumah  saya di Medan, saat itulah mereka
baru mengetahui dan melihat  bagaimana kondisi
keluarga saya, barulah perlahan-lahan mereka bisa
memahami.

Jabatan saya sampai sekarang adalah petugas verifikasi
lapangan atau  pemeriksa pajak. Kalau dibandingkan
teman-teman seangkatan sebenarnya  karir saya bisa
dikatakan terhambat antara empat sampai lima tahun.
Seharusnya paling tidak sudah menjabat Kepala Seksi,
Eselon IV. Tapi sekarang baru Eselon V. Apalagi dahulu
di masa Orde Baru, penentangan untuk tidak menerima
uang korupsi sama saja dengan karir terhambat.  Karena
saya dianggap tidak cocok dengan atasan,  maka kondite
saya di mata mereka buruk. Terutama poin ketaatannya,
dianggap tidak baik dan jatuh.

Banyak pelajaran yang bisa saya petik dari semua
pengalaman itu. Antara lain, orang orang yang berbuat
jahat akan selalu berusaha  mencari kawan apa pun
caranya. Cara keras, pelan, lewat bujukan atau  apapun
akan mereka lakukan agar mereka mendapat dukungan.
Mereka  pada dasarnya tidak ingin ada orang yang
bersih. Mereka tidak ingin
ada orang yang tidak seperti mereka. Pengalaman di
kantor yang paling berkesan ketika
mereka menggunakan  cara paling halus, pura-pura
berteman dan bersahabat. Tapi  belakangan, setelah
sekian tahun barulah ketahuan, kita sudah  dikhianati.
Cara seperti ini seperti sudah direkayasa. Misalnya,
pegawai-pegawai baru didekati. Mereka dikenalkan
dengan gaya hidup  dan cara bekerja pegawai lama,
bahwa seperti inilah gaya hidup  pegawai Departemen
Keuangan. Bila tidak berhasil, mereka akan pakai  cara
lain lagi, begitu seterusnya. Pola-pola apa saja
dipakai,  sampai mereka bisa merangkul orang itu
menjadi teman.

Saya pernah punya atasan. Dari awal ketika
memperkenalkan diri, dia  sangat simpatik di, mata
saya. Dia juga satu-satunya atasan yang mau  bermain
ke rumah bawahan. Saya dengan atasan itu kemudian
menjadi  seperti sahabat, bahkan seperti keluarga
sendiri. Di akhir pekan,  kami biasa memancing
sama-sama atau jalan-jalan bersama keluarga. Dan
ketika pulang, dia biasa juga menitipkan uang dalam
amplop pada  anak-anak saya. Saya sendiri menganggap
pemberian itu hanya hadiah  saja, berapalah hadiah
yang diberikan kepada anak-anak. Tidak terlalu saya
perhatikan. Apalagi dalam proses pertemanan itu
kami sedikit  saja berbicara tentang pekerjaan. Dan
dia juga sering datang    menjemput ke rumah, mengajak
mancing atau ke toko buku sambil  membawa  anak-anak.

Hingga satu saat saya mendapat surat perintah
pemeriksaan sebuah perusahaan besar. Dari hasil
pemeriksaan itu saya menemukan  penyimpangan sangat
besar dan luar biasa jumlahnya. Pada waktu itu, atasan
melakukan pendekatan pada saya dengan cara paling
halus. Dia  mengatakan, kalau semua penyimpangan ini
kita ungkapkan, maka  perusahaan itu bangkrut dan
banyak pegawai yang di-PHK. Karena itu,  dia
menganggap efek pembuktian penyimpangan itu justru
menyebabkan  masyarakat rugi. Sementara dari sisi
pandang saya, betapa tidak  adilnya kalau tidak
mengungkap temuan itu. Karena sebelumnya ada yang
melakukan penyimpangan dan kami ungkapkan. Berarti ada
pembedaan.  Jadwal penagihannya pun sama seperti
perusahaan lain.

Karena dirasa sulit mempengaruhi sikap saya, kemudian
dia memakai  logika lain lagi. Apakah tidak sebaiknya
kalau temuan itu diturunkan  dan dirundingkan dengan
klien, agar bisa membayar pajak dan negara  untung,
karena ada uang yang masuk negara. Logika seperti ini
juga tidak bisa saya terima. Waktu itu, saya
satu-satunya anggota tim yang  menolak dan meminta
agar temuan itu tetap diungkap apa adanya. Meski  saya
juga sadar, kalau saya tidak menanda tangani hasil
laporan itu  pun, laporan itu akan tetap sah. Tapi
saya merasa teman-teman itu  sangat tidak ingin semua
tidak sepakat dan sama seperti mereka. Mereka ingin
semua sepakat dan sama seperti mereka. Paling tidak
menerima. Ketika sudah mentok semuanya, saya dipanggil
oleh atasan  dan disidang di depan kepala kantor. Dan
ini yang amat berkesan  sampai sekarang, bahwa upaya
mereka untuk menjadikan orang lain tidak bersih memang
direncanakan.
Di forum itu, secara terang-terangan atasan yang sudah
lama bersahabat dan seperti keluarga sendiri dengan
saya itu   mengatakan, " Sudahlah, Dik Arif tidak usah
munafik." Saya katakan, "Tidak munafik bagaimana Pak?
Selama ini saya insya Allah konsisten untuk tidak
melakukan korupsi." Kemudian ia sampaikan terus terang
bahwa uang yang selama kurang lebih dua tahun ia
berikan pada anak saya adalah uang dari klien. Ketika
mendengar itu, saya sangat terpukul, apalagi merasakan
sahabat itu ternyata berkhianat. Karena terus terang
saya belum pernah mempunyai teman sangat dekat seperti
itu, kecuali yang memang sudah sama-sama punya prinsip
untuk menolak uang suap. Bukan karena saya tidak mau
bergaul, tapi karena kami tahu persis bahwa mereka
perlahan lahan menggiring ke arah yang mereka mau.
Ketika merasa terpukul dan tidak bisa membalas dengan
kata-kata apapun, saya pulang. Saya menangis dan
menceritakan masalah itu pada  isteri saya di rumah.
Ketika mendengar cerita saya itu, isteri  langsung
sujud syukur. Ia lalu mengatakan, "Alhamdulillah.
Selama ini  uang itu tidak pernah saya pakai,"
katanya. Ternyata di luar pengatahuan saya,
alhamdulillah, amplop-amplop itu tidak digunakan
sedikit pun oleh isteri saya untuk keperluan apapun.
Jadi amplop-amplop itu disimpan di sebuah tempat,
meski ia sama sekali  tidak tahu apa status uang itu.
Amplop-amplop itu semuanya masih
utuh. Termasuk tulisannya masih utuh, tidak ada yang
dibuka.  Jumlahnya berapa saya juga tidak tahu. Yang
jelas, bukan lagi puluhan juta. Karena sudah masuk
hitungan dua tahun dan diberikan hampir setiap pekan.

Saya menjadi bersemangat kembali. Saya ambil semua
amplop itu dan saya bawa ke kantor. Saya minta bertemu
dengan kepala kantor dan  kepala seksi. Dalam forum
itu, saya lempar semua amplop itu di hadapan atasan
saya hingga bertaburan di lantai. Saya
katakan, "Makan  uang itu, satu rupiah pun saya tidak
pernah gunakan uang itu. Mulai saat ini, saya tidak
pernah percaya satu pun perkataan kalian." Mereka
tidak bisa bicara apapun karena fakta obyektif, saya
tidak pernah memakai uang yang mereka tuduhkan. Tapi
esok harinya, saya langsung dimutasi antar seksi.
Awalnyasaya di auditor, lantas saya diletakkan di
arsip, meski tetap menjadi petugas lapangan pemeriksa
pajak. Itu berjalan sampai sekarang.

Ketika melawan arus yang kuat, tentu saja da saat
tarik-menarik dalam hati dan konflik batin. Apalagi
keluarga saya hidup dalam kondisi terbatas. Tapi
alhamdulillah, sampai sekarang saya tidak tergoda
untuk menggunakan uang yang tidak jelas. Ada
pengalaman lain yang masih saya ingat sampai sekarang.
Ketika saya mengalami kondisi yang begitu mendesak.
Misalnya, ketika anak kedua lahir. Saat itu persis
ketika saya membayar kontrak rumah dan tabungan saya
habis. Sampai detik-detik terakhir harus membayar uang
rumah sakit untuk membawa isteri dan bayi kami ke
rumah, saya tidak punya uang serupiah pun.

Saya mau bicara dengan pihak rumah sakit dan terus
terang bahwa insya Allah pekan depan akan saya bayar,
tapi saya tidak bisa ngomong juga. Akhirnya saya
keluar sebentar ke masjid untuk sholat dhuha. Begitu
pulang dari sholat dhuha, tiba-tiba saja saya ketemu
teman lama di rumah sakit itu. Sebelumnya kami lama
sekali tidak pernah jumpa. Dia dapat cerita dari teman
bahwa isteri saya melahirkan, maka dia sempatkan
datang ke umah sakit. Wallahu alam apakah dia sudah
diceritakan kondisi saya atau bagaimana, tetapi ketika
ingin  menyampaikan kondisi saya pada pihak rumah
sakit, saya malah  itunjukkan kwitansi seluruh biaya
perawatan isteri yang sudah lunas. Alhamdulillah.

Ada lagi peristiwa hampir sama, ketika anak saya
operasi mata karena ada lipoma yang arus diangkat.
Awalnya, saya pakai jasa askes. Tapi  karena pelayanan
pengguna Askes tampaknya apa adanya, dan saya kasihan
karena anak saya baru berumur empat tahun, saya tidak
pakai  Askes lagi. Saya ke Rumah Sakit yang agak bagus
sehingga  pelayanannya juga agak bagus. Itu saya
lakukan sambil tetap berfikir, nanti  uangnya pinjam
dari mana?

Ketika anak harus pulang, saya belum juga punya uang.
Dan saya paling  susah sekali menyampaikan ingin
pinjam uang. Alhamdulillah, ternyata Allah cukupkan
kebutuhan itu pada detik terakhir. Ketika sedang
membereskan pakaian di rumah sakit, tiba-tiba Allah
pertemukan saya dengan seseorang yang sudah lama tidak
bertemu. Ia bertanya mbagaimana kabar, dan saya
ceritakan anak saya sedang dioperasi. Dia  katakan,
"Kenapa tidak bilang-bilang?" Saya sampaikan karena
tidak sempat saja. Setelah teman itu pulang, ketika
ingin menyampaikan penundaan pembayaran, ternyata
kwitansinya juga sudah dilunasi oleh teman itu.
Alhamdulillah.

Saya berusaha tidak terjatuh ke dalam korupsi, meski
masih ada tekanan keluarga besar, di luar keluarga
inti saya. Karena ada teman yang tadinya baik tidak
memakan korupsi, tapi jatuh karena tekanan keluarga.
Keluarganya minta bantuan, karena takut dibilang
pelit, mereka terpaksa pinjam sana sini. Ketika harus
bayar, akhirnya mereka terjerat korupsi juga. Karena
banyak yang seperti itu, dan saya tidak  mau terjebak
begitu, saya berusaha dari awal tidak  demikian. Saya
berusaha cari usaha lain, dengan mengajar dan
sebagainya. Isteri saya juga bekerja sebagai guru.

Di lingkungan kerja, pendekatan yang saya lakukan
biasanya lebih banyak dengan bercanda. Sedangkan
pendekatan serius, sebenarnya  mereka sudah puas
dengan pendekatan itu, tapi tidak berubah. Dengan
pendekatan bercanda, misalnya ketika datang tim
pemeriksa dari BPK,  BPKP, atau Irjen. Mereka gelisah
sana-sini kumpulkan uang untuk menyuap pemeriksa. Jadi
mereka dapat suap lalu menyuap lagi. Seperti  rantai
makanan. Siapa memakan siapa. Uang yang mereka
kumpulkan juga habis untuk dipakai menyuap lagi.
Mereka selalu takut ini takut itu.  Paling sering saya
hanya mengatakan dengan bercanda, "Uang setan ya
dimakan hantu."

Dari percakapan seperti itu ada juga yang mulai
berubah, kemudian  berdialog dan akhirnya berhenti
sama sekali. Harta mereka jual dan diberikan kepada
masyarakat. Tapi yang seperti itu tidak banyak.
Sedikit sekali orang yang bisa merubah gaya hidup yang
semula mewah lalu tiba-tiba miskin. Itu sulit sekali.

Ada juga diantara teman-teman yang beranggapan,
dirinya tidak pernah  emeras dan tidak memakan uang
korupsi secara langsung. Tapi hanya menerima uang dari
atasan. Mereka beralasan toh tidak meminta dan atasan
itu hanya memberi. Mereka mengatakan tidak perlu
bertanya uang itu dari mana. Padahal sebenarnya, dari
ukuran gaji kami tahu persis bahwa atasan kami tidak
akan pernah bisa memberikan uang sebesar itu.

Atasan yang memberikan itu berlapis-lapis. Kalau
atasan langsung  biasanya memberi uang hari Jumat atau
akhir pekan. Istilahnya kurang lebih uang Jumatan.
Atasan yang berikutnya lagi pada momen berikutnya
memberi juga. Kalau atasan yang lebih tinggi lagi
biasanya memberi menjelang lebaran dan sebagainya.
Kalau dihitung-hitung sebenarnya lebih besar uang dari
atasan dibanding gaji bulanan.

Orang-orang yang menerima uang seperti ini yang sulit
berubah. Mereka  termasuk rajin sholat, puasa sunnah
dan membaca Al-Qur'an. Tetapi mereka sulit berubah.
Ternyata hidup dengan korupsi memang membuat sengsara.
Di antara teman-teman yang korupsi, ada juga yang
akhirnya dipecat, ada yang melarikan diri karena
dikejar-kejar polisi, ada
yang isterinya selingkuh dan lain-lain. Meski secara
ekonomi mereka sangat mapan, bukan hanya sekadar
mapan.

Yang sangat dramatis, saya ingat teman sebangku saya
saat kuliah di STAN. Awalnya dia sama-sama ikut kajian
keislaman di kampus. Tapi ketika keluarganya mulai
sering minta bantuan, adiknya kuliah, pengobatan
keluarga dan lainnya, dia tidak bisa berterus terang
tidak punya uang. Akhirnya ia mencoba hutang
sana-sini. Diapun terjebak dan merasa sudah terlanjur
jatuh, akhirnya dia betul-betul sama dengan
teman-teman di kantor. Bahkan sampai sholat
ditinggalkan. Terakhir, dia ditangkap polisi ketika
sedang mengkonsumsi narkoba. Isterinya pun selingkuh.
Teman itu sekarang dipecat dan dipenjara.

Saya berharap akan makin banyak orang yang melakukan
jihad untuk hidup yang bersih. Kita harus bisa menjadi
pelopor dan teladan dimana saja. Kiatnya hanya satu,
terus menerus menumbuhkan rasa takut menggunakan dan
memakan uang haram. Jangan sampai daging kita ini
tumbuh dari hasil rejeki yang haram. Saya berharap,
mudah-mudahan Allah tetap memberikan pada kami
keistiqomahan (matanya berkaca-kaca).


__________________________________________________
Do You Yahoo!?
Tired of spam?  Yahoo! Mail has the best spam protection around
http://mail.yahoo.com


No virus found in this incoming message.
Checked by AVG Anti-Virus.
Version: 7.0.338 / Virus Database: 267.10.13/78 - Release Date: 19/08/2005


.: Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :.

.: Kunjungi website global : http://www.budaya-tionghoa.org :.

.: Untuk bergabung : http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua :.

.: Jaringan pertemanan Friendster : [EMAIL PROTECTED] :.




YAHOO! GROUPS LINKS




Kirim email ke