Bung Aris Tanone yang baik,
Ah, ya nggak dong. Masa saya benci sama semua orang Cina. Orang-orang Cina 
yang baik, saya perlakukan sama seperti juga orang Indonesia yang baik. Ya, 
itulah, mungkin karena perbedaan kebudaayaan di antra kita, hingga mudah 
terjadi salah paham. Saya sangat tahu hati orang-orang Cina yang baik. 
Keluarga saya semuanya bersahabat dengan orang Cina. Saya tidak punya alasan 
untuk membenci semua orang Cina, apalagi sampai mendarah mendaging. Tapi 
saya tidak suka bersahabat dengan siapapun secara fanatik seperti yang 
dilakukan abang sulung saya itu. Persahabataan yang "tak lekang di panas dan 
tak lapuk di hujan"adalah persabatan yang bisa melihat buruk baik di dua 
belah pihak dan saling berterus terang bila ada sesuatu yang mengganjal di 
hati. Nah, barangkalo di sinilah letak perbedaan kultur kita hingga bisa 
menimbulkan bentur budaya. Orang Indonesia lebih suka berterus terang 
daripada menyimpan sesuatu di dalam hati. Tentu saja keterus terangan orang 
Indonesia tidak sehebat atau setegas keterusterangan orang Barat.Cobalah 
perhatikan, kalau orang Indonesia merasa senang, air mukanya cepat berseri 
seri dan tidak sedikitpun menyembunyikan perasaan senangnya. Tapi sebaliknya 
bila ia merasa tidak suka, atau tersinggung, dengan serta merta mukanya 
merah, atau cemberut, tidak menyembunyikan ketidak sukaannya dengan muka 
tetap manis misalnya. Itulah budaya umum orang Indonesia. Tentu saja selalu 
ada perkecualiannya. Saya merasa antara budaya Cina  dan budaya Indonesia 
cukup banyak perbedaannya. Tapi itu bukan berarti kita harus selalu 
bertengkar dan bermusuhan karena berbeda. Saya termasuk orang Indonesia yang 
punya keterus terangan yang sering muncrat dan spontan. Jadi mungkin saya 
ini produk budaya Indonesia yang dosisnya kelebihan. Mungkin karena itulah 
telah terjadi kesalah pahaman, salah mengerti serta salah penafsiran di 
antara kita. Sebenarnya bila semua tulisan saya itu dibaca dengan teliti dan 
seksama serta dengan kepala dingin, tidak seoranpun yang bisa membuktikan 
bahwa saya anti Cina atau benci Cina. Tapi saya memang mengkritik 
sifat-sifat negatif yang ada pada orang Cina. Apakah tidak boleh?. Ya, kalau 
tidak boleh, tidak lagi akan saya lakukan di milis ini. Cobalah pikirkan 
dengan tenang, kalau memang budaya kita masing-masing memang ada perbedaan, 
tapi apakah bila setiap salah satu dari kita mengkritik kelemahan atau 
kekurangan diri kita masing-masing lalu cepat saja dituduh anti, atau 
rasialis atau kebencian ras. Kalau selalu begitu, kan, lama-lama kata -kata, 
anti atau benci atau rasialis itu tidak akan ada artinya sama sekali dan 
tidak akan didengarkan orang. Tapi baiklah, kita akan bertengkar seumur 
hidup bila kita tidak mau membuka hati secara lapang, adil dan dengan rasa 
ingin bersahabat lebih baik.Tapi kalau memang itu belum tercapai, biarin 
ajalah segitu dulu. Biarkan sajalah dulu  bahwa menurut anda saya ini anti 
Cina, benci Cina sudah mendarah mendaging. Kan masih banyak orang lain yang 
berpikir lain tentang saya. Namun saya dengan tulus mengirimkan salam 
persahabatan pada anda meskipun dalam hati anda saya adalah musuh bangsa 
anda.Wassalam; asahan aidit.


----- Original Message ----- 
From: "kribo1" <[EMAIL PROTECTED]>
To: <budaya_tionghua@yahoogroups.com>
Sent: Tuesday, August 30, 2005 4:35 AM
Subject: Re: Fw: [budaya_tionghua] Merantau Cina


> Pak Asahan yang baik,
>
> Ada pepatah Cina, es setebal 3 kaki bukan karena dingin sehari.
> Makanya saya tidak heran membaca tulisan-tulisan pak Asahan yang
> bertolak belakang dengan tulisan pak Sobron dan belakangan ini isinya
> menyebarkan kebencian pak Asahan melulu.
>
> Tadinya saya berusaha mengikuti ceritera-ceritera yang pak Asahan
> kirimkan ke milis ini, tetapi koq makin lama makin mumet membaca
> tulisan pak Asahan, karena setiap tulisan akan mengingatkan saya pada
> kata-kata "the angry young man!"
>
> Saya sendiri punya darah tinggi jadi kalau baca tulisan pak Asahan,
> saya suka merasa, kayaknya bapak ini lupa nggak minum obat darah
> tingginya. Maaf, itu kesan pribadi saya dan saya ungkapkan di sini
> tidak dengan maksud menghina. Ini berdasarkan pengalaman pribadi.
> Ketika masih punya banyak waktu nongkrong di Internet dulu, kadang
> per saya terlepas juga, dan kadang sempat mencak-mencak juga seperti
> pak Asahan, walaupun tidak sedahsyat gelombang sungai Asahan dan
> biasanya marah-marahnya juga dalam urusan yang berbeda.
>
> Gini deh pak, jangan cepat marah dulu pak.
>
> Memang susah membuang bayangan yang sudah mendarah-daging dalam diri
> kita. Tapi buat apa kita darah tinggi untuk urusan yang sepele?
>
> Coba kita lihat lagi uraian pak Asahan soal Merantau Cina. Kenapa
> begitu cepat pak Asahan simpulkan bahwa yang menulis itu pasti Cina?
>
> Pengalaman pak Asahan dengan Revolusi Kebudayaan itu gimana koq
> begitu saja diterapkan kepada semua orang Cina?
>
> Andaikan betul, Damhuri Muhammad itu Cina yang ganti nama, berapa sih
> kira-kira umurnya sekarang? Bagaimana dia bisa dipengaruhi oleh sifat
> melankolis berlebihan yang memaksa orang mengucurkan airmata itu yang
> notabene menurut pak Asahan sendiri terjadi di tahun 70-an saat pak
> Asahan menjadi tamu Ketua Mao dan pengawal merah sehingga bisa
> keliling ke segala penjuru kecuali Sin Kiang?
>
> Buat saya ini kesimpulan yang sangat tak masuk akal, tetapi bisa saja
> terjadi karena memang dalam benak pak Asahan yang ada hanyalah satu -
> kebencian pada Cina yang ibarat hawa dingin yang membekukan es, bukan
> dingin sehari. Kebencian pada Paman Mao yang menghianati abang pak
> Asahan juga dibagi-bagikan juga kepada setiap orang Cina tidak peduli
> siapa dia. Pokoknya apa-apa, yang ada di benak pak Asahan itu cuma
> satu, "dasar cina!" Apa itu istilah vietnamnya? Tham No? Tham Lo? Ah,
> sayang ya pak Asahan. Tapi itu kebebasan pak Asahan akibat dingin
> yang bukan sehari. Tak ada guna kita bicara karena tak bakal merubah
> pandangan pak Asahan yang sudah mendarah daging. Cina itu pasti jelek
> jadi asal bau Cina atau ada bunyi Cina pun, itu pasti Cina. Dan jelek!
>
> Terus terang baca komentar pak Asahan malam ini saya jadi ingat
> ceritera yang beberapa waktu lalu saya baca di Internet. Detailnya
> sudah lupa. Tentang seorang ibu yang beli biskuit waktu mau naik
> pesawat terbang, tetapi kurang ajar sekali, lelaki yang duduk di
> dekatnya malah buka biskuit itu dan memakannya waktu ibu itu tidak
> perhatikan. Tentu hal itu membuat ibu itu jengkel terus dia juga
> memakan biskuit itu. Betul-betul kurang ajar, sudah tinggal satu
> malah ditawari apakah ibu itu mau makan potongan yang terakhir. Tentu
> saja ibu itu melalap sambil melerok jengkel. Bukankah itu hal yang
> sering terjadi? Kalau sudah punya prasangka, menganggap seseorang itu
> pencuri, pola tingkah, gerak gerik, bahkan helaan napas pun
> mencerminkan helaan napas pencuri. Sama kurang ajarnya dengan lelaki
> tak tahu malu yang sudah melalap biskuit ibu itu. Tapi setelah di
> pesawat, waktu buka tasnya, ternyata biskuitnya sendiri masih utuh
> dan orang yang duduk di ruang tunggu tadi tidak satu pesawat. Waduh!
>
> Sayang saya tidak bisa merubah pandangan pak Asahan tentang Cina yang
> busuk dan jahat, sampai tulisan Merantau Cina yang ditulis penulis
> bernama Damhuri Muhammad pun dicurigai tulisan Cina pakai cara
> penulis-penulis yang lolos sensor PKC, bicara tentang dendam klas
> segala. Memangnya semua orang Cina hasil produk PKC, pak? Apakah film
> Cina lain sama-sama mengobralkan air mata? Bagaimana dengan film
> India yang juga banyak cucuran air matanya?
>
> Saya pikir usia pak Asahan pasti jauh di atas usia saya. Daripada
> menulis yang mencak-mencak, marah-marah terus pak, mbok tulis dong
> yang bikin kita baca tidak usah kerutkan kening sih Pak?
>
> Oh ya, jangan lupa. Sering-sering periksa dong tekanan darahnya pak.
> Seriusan nih. Kalau dikasih obat darah tinggi sama dokter jangan lupa
> minum dong pak. Mbok sudahlah, kalau baca tulisan yang pak Asahan
> anggap itu menghina pak Asahan, tinggalkan dulu komputernya, besok
> baru baca lagi. Sayang dong kalau ulah lelucon tentang ibu dengan
> biskuit itu terulang dalam tulisan pak Asahan.
>
> Salam,
>
> Aris Tanone
>
> --- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "BISAI" <[EMAIL PROTECTED]>
> wrote:
>>
>> ----- Original Message ----- 
>> From: ChanCT
>> To: budaya_tionghua@yahoogroups.com ; WAHANA
>>
>> Bung ChanCT Yang sangat baik;
>>
>> Ah, mungkin saya terlalu spontan hingga bung seperti merasa
> bersalah. Tapi baiklah kita ambil hikmahnya saja buat hanya tujuan
> baik. Untuk saya pokok permasaalahan dalam cerita ini adalah
> melankolisme dalam melukiskan penderitaan yang sangat tipikal dalam
> cerita-certia Cina. Berpuluh-puluh tahun lalu, tepatnya di tahun
> 1972, saya berada di Cina dan diatur dalam satu perjalanan jauh dan
> panjang keseluruh provinsi-provinsi Cina, kecuali satu: Provinsi
> Sinkiang karena provinsi ini, ketika itu belum boleh dikunjungi tamu
> asing. Tahun 1972 adalah masih hangat-hangatnya RBKP. Saya merasa
> bahagia bisa turut menyaksikan dari dekat peristiwa bersejarah itu
> meskipun saya juga merasa tidak bahagia ketika mendengar langsung
> atau memyaksikan secara langsung hal-hal yang merusak kebudaayaan
> (dus, kebudayaan-tionghua) dalam peristiwa besar itu. Selama
> kunjungan enam bulan putar-putar seluruh Cina itu, saya banyak
> menyaksikam atau menonton fillm-film Cina yang diputar husus untuk
> kami maupun yang kami tonton di bioskop-bioskop. Puluhan film kalau
> tidak mau dikatakan ratusdan film yang saya saksikan selama emam
> bulan itu. Suatu hari saya menonton sebuah film di sebuah bioskop di
> sebuah provinsi dimana Ketua Mao dilahirkan, yaitu di ibu kota
> provinsi itu, saya lupa namanya. Nama film yang saya lihat, kalau
> tidak salah judulnya adalah"Gadis penjual bunga". Selesai menonton
> film itu, seorang teman berkata dengan separuh bergurau separuh
> serius: "Siapa yang tidak mengucurkan air mata, sudah jelas tuan
> tanah". Saya termasuk yang mengucurkan air mata, jadi saya tidak
> termasuk tuan tanah, menurut teman yang memeriksa setiap muka kami
> ketika itu. Dan untuk selanajutnya film-film pengucur air mata itu
> luar biasa banyaknya yang membuat kami jadi "kebal"air mata. Inilan
> yang saya maksudkan melankolisme dalam melukiskan penderitaan,
> kemalangan, korban penindasan yang dibuat oleh sang penulis demikian
> rupa hingga penderitaan yang sesungguhnya menjadi berlipat dua atau
> tiga untuk mendapatkan efek tertentu seperti untuk menguatkan rasa
> dendam kelas, perjuangan dua garis atau semata keinginan menimba air
> mata dari pengarang atau penulisnya. Aliran seni atau sastra demikian
> sangat banyak saya jumpai di Cina. Yang dilukiskan menderita dan
> tertindas itu hampir semuanya tidak berdaya, hampir semuanya tanpa
> perlawanan , hampir semuanya dalam keadaan pasrah dan baru bisa
> diselematkan bila sang juru selamat tiba yang juru selamat itu tentu
> saja Partai bila terjadi di Cina daratan. Cerita yang barusan kita
> baca ini adalah persis demikan. Si Abak yang bekerja keras untuk
> menghidupi keluarganya setelah kehilangan pekerjaan lalu membanting
> tulang menanam sayuran bersama anaknya tapi hasilnya dirampas oleh
> sang istri kejam bahkan tidak ada uang untuk membeli sebatang rokok
> kuning atau Dji Sam Soe. Alangkah melankoliknya penggambaran
> penderitaan si Abak. Padahal dalam kehidupan nyata mungkin saja si
> Abak bisa bilang pada istrinya, umpamanya begitin: "lu gimana sih,
> gue nyang kerja setengah mati, beli rokok sebatang aja nggak dikasi,
> padahal  lu sendiri cuma tiduran di rumah nggak ngerjain apa-apa".
> Mengapa si Abak tidak bisa bilang begitu tapi tetap membiarkan
> dirinya diperas seenaknya oleh istrinya. Saya melihat melankolisme
> penulisnya dalam menggamabarkan ketidak berdayaan si Abak yang tanpa
> perlawanan atau bela diri serambutpun. Maaf beribu maaf, sama sekali
> tanpa prasangka buruk, tapi saya menduga penulis cerpen ini adalah
> seorang warga dari etnis  Cina meskipun namanya sudah Indonesia. Bila
> saya salah maafkan karena dugaan saya itu adalah berdasarkan
> melankolisme  yang sangat menonjol dalam cerita-cerita Cina dalam
> menggambarkan penderitaan..Dan adanya melankolisme ini pada cerrita-
> cerita maupun dalam karya seni lainnya hampir selalu cerita
> bertendens. Masaalahnya apakah melankolisme dalam penderitaan ini
> masih merupakan aliran sastra dan seni di abad kita yang sekarang ini
> dan masih menemukan pembaca dengan selera demikian. Bung Chan yang
> baik, ini sudah panjang meskipun pendek saja dan sekali lagi terima
> kasih atas perhatian bung dan maaf kalau saya tampak keburu nafsu
> lagi. Salam sehangat-hangatnya dari saya.
>> asahan.aa.
>>
>>
>> Sent: Monday, August 29, 2005 4:27 AM
>> Subject: Re: [budaya_tionghua] Merantau Cina
>>
>>
>> Bung Bisai yb,
>>
>>     Terimakasih atas kritik yang diajukan. Seandainya peluncuran
> tulisan "Merantau Cina" dianggap tidak pantas bagi milist <Budaya-
> Tionghoa>, tentunya masalahnya ada pada diri saya. Maafkan.
>>
>>     Baik-buruk satu tulisan tentu bisa dipandang dari berbagai
> segi, dan siapa saja berhak menilai sesuai dengan titik pandang
> masing-masing. Dan, ... tentunya siapa saja juga berhak memberikan
> komentar dan pendapat-pendapatnya dimilis. Siapa tahu bisa saling
> bersambut untuk tukar pikiran, sebagai sarana untuk saling belajar
> meningkatkan pengertian kita masing-masing. Itulah maksud saya
> melempar tulisan-tulisan di milis ini. Jadi, tidak berarti saya harus
> lebih dahulu setuju atau pada pokoknya sependapat dengan isi tulisan
> itu. Hendaknya setiap tulisan yang meluncur dari satu milist, tidak
> dipandang sebagai tulisan yang mewakili pendapat dan pikiran milist
> tersebut. Tidak mesti begitu! Jadikanlah sekadar sebagai bahan
> informasi untuk dipertimbangkan. Dan kalau suka dan kebetulan ada
> waktu bisa memberikan komentar dan pendapat-pendapat yang lain.
>>
>>     Salam,
>>     ChanCT
>>   ----- Original Message ----- 
>>   From: BISAI
>>   To: BUDAYA TIONGHUA ; WAHANA
>>   Sent: Sunday, August 28, 2005 11:07 PM
>>   Subject: Fw: [budaya_tionghua] Merantau Cina
>>
>>
>>   Sulit untuk mengerti tendens cerita ini bila dimasukkan ke suatu
> milis seperti milis <budaya -tionghua> yang lalu menimbuklkan
> pertanyaan: kemana tendens cerita ini akan diarahkan. ataukah sekedar
> ada kata "Cina"yang seperti judulnya sendiri "Merantau Cina". Tapi
> bila cerita ini tidak dipindahkan ke milis ini dan tetap berada di
> tempat asalnya (?) maka orang bisa dengan tenang
> mengartikan "merantau cina"itu sebagai pergi merantau yang tak akan
> kembali. Netral. Cuma sebuah judul. Tapi fantasi manusia tak seorang
> manusiapun yang bisa mengendalikannya, sejenis demokrasi absolut di
> kepala manusia.
>>   Demikian pula kemungkinan tendensi- tendensi yang terkandung
> dalam cerita ini setelah dia dimasukkan dalam suatu budaya husus
> untuk menawarkan penafsiran-penafsiran tertentu untuk sampai ke arah
> tendensi-tendensi yang diharaapkan.
>>   Kemungkinan-kemungkinan ide yang terkandung dalam cerita ini:
>>   - yang menimbulkan pertanyaan adalah mengapa istri si Abak
> dijahatkan begitu saja dengan hanya satu pernyataan, seperti
> perempuan mata duitan atau diberikan sebuah alternastif pepatah
> Melayu : Habis manis sepah dibuang.
>>   - Abak begitu sabar dan budimannya di hadapan seorang istri yang
> digambarkan kejam, tamak, dan tidak berhati manusia. Menerima begitu
> saja perlakuan sang istri yang tidak adil
>>   tanpa sepatah bantahan, tanpa sedikitpun membela diri dan tanpa
> setetes perlawanan dan ongkang begitu saja menurutkan pengusiran sang
> istri secara damai dan pasrah. Apakah tidak akan terkesan bahwa si
> Abak seorang pria bodoh, lemah, tidak mampu membela kebenaran dan
> keadilan yang begitu elementer di hadapan seorang istri yang tiba-
> tiba begitu saja dijahatkan oleh sang penulis.
>>   - Pembaca yang normal maupun yang agak kritis pasti tidak akan
> begitu saja bisa dibawa oleh sang penulis menurut kemauan  atau arah
> yang akan ditunjukkannya meskipun secara remang-remang, tanpa
> memberikan gambaran atau latarbelakang yang cukup jelas pada tokoh
> istri jahat dan suami yang halus budi tanpa perlawanan di hadapan
> kekejaman sang istri.
>>   -Atau mungkinkah tendensi yang akan diarahkan dengan adanya kata"
> Cina" dalam judul cerita ini sebagai, inilah nasib perantau Cina yang
> punya istri pribumi ( memang tidak disebut dalam cerita), karenanya
> cerita ini bukanya kebetulan dimasukkan ke milis <budaya-tionghua>
> ini untuk meresapi nasib si Abak yang malang dan terusir dan untuk
> mengutuk istrinya yang kejam dan tamak oleh hanya sepatah kata dari
> penulisnya.
>>   Saya tidak terburu-buru menuduh si penulis cerita ini sebagai
> punya tendensi yang negatif atau menurut istilah RBKP-nya masa silam
> itu sebagai tulisan mengandung"rumput beracun". Tapi saya juga tidak
> rela rasanya kalau sebuah tulisan yang tanpa tendens negatif lalu
> dilemparkan ke suatu klub tertentu untuk diberi warna gelap secara
> halus bahkan tanpa komentar demi tujuan tertentu.
>>   asahan aidit.
>>
>>
>>
>>
>>
>>
>>
>>
>>
>>
>>
>>   ----- Original Message ----- 
>>   From: Ambon
>>   To: budaya_tionghua@yahoogroups.com
>>   Sent: Sunday, August 28, 2005 11:24 AM
>>   Subject: [budaya_tionghua] Merantau Cina
>>
>>
>>   http://www.suarapembaruan.com/News/2005/08/28/index.html
>>
>>   SUARA PEMBARUAN DAILY
>>   Merantau Cina
>>
>>   Oleh Damhuri Muhammad
>>
>>
>>   Senja nyaris redup. Pucuk pohon kelapa tua meliuk-liuk mengikuti
> arah angin yang berkesiur. Dedaunan kering berguguran di halaman
> rumah tua yang tampak kusam. Tiang-tiang penyangga tak terbilang usia
> mulai lapuk. Atap rumbia seakan tak mampu lagi menahan hentakan
> rintik musim hujan. Seperti sangkar tua yang sudah ditinggalkan
> burungnya. Terbang, nun ke langit entah. Apakah gunanya sangkar tanpa
> burung di dalamnya? Lambat laun bakal hancur digilas waktu. Musnah
> jadi puing tak berguna.
>>
>>   Perempuan ringkih berselendang putih duduk menegun sambil
> berjuntai kaki. Sulit membedakan putih warna selendang yang
> terselempang dengan putih uban-uban di kepalanya. Guruh yang
> mengantar hujan senja itu tak dihiraukannya. Diam, tak terusik dalam
> lamun. Hanya ia yang tersisa. Perempuan renta, pemilik rumah usang
> yang tak jelas ahli warisnya. Di usia yang sudah berkepala delapan,
> guratan kekuasaan masa lalu masih membekas di raut mukanya. Ia
> seperti ingin hidup puluhan tahun lagi. Tak peduli pada aroma
> kematian yang kian menyengat.
>>
>>   *
>>
>>
>>   Payakumbuh, 1979
>>
>>   "Jika hanya akan makan dan tacirik 1), pergi sajalah kau dari
> rumah ini!"
>>
>>   Dengan berat hati seorang lelaki melangkah terbata-bata. Enyah
> untuk arah yang tak jelas.
>>
>>   "Abak! 2) Buyung ikut abak. Tunggu bak!" teriak bocah kerempeng
> sambil terisak-isak.Tersedu-sedu.
>>
>>   "Bak, jangan pergi baaaaak!"
>>
>>   "Diam kau Buyung!" hardik perempuan itu dengan mulut menyeringai
> dan mata membelalak,
>>
>>   "Buyung sayang abak. Kenapa abak pergi ndak ngajak Buyung?"
>>
>>   "Diam kau Buyung!"
>>
>>   Sudah lama lelaki itu tak beroleh kesempatan meracit 3). Panen
> tembakau gagal akibat kemarau berkepanjangan. Hendak menggarap
> ladang, tak punya lahan. Menjadi kuli angkut padi, panen gabah juga
> tak bisa diharapkan karena serangan hama tikus. Maka, ia hanya
> bertanam aneka sayur mayur; bayam, peria, terung, kacang panjang di
> lahan tidur milik keluarga istrinya.
>>
>>   "Kenapa abak ndak pernah menghisap rokok warna kuning? 4)" tanya
> si Buyung. Polos
>>
>>   "Harganya mahal ya bak?"
>>
>>   "Ya, mahal. Karena, kita belum mampu membelinya. Jika kita sudah
> mampu membeli, berarti sudah tidak mahal lagi, bukan?"
>>
>>   Sudah tiga hari abak tidak turun ke kebun. Ia bergabung dalam
> kerja bakti bersama orang-orang sekeliling, membangun pentas untuk
> acara Qasidah dalam memeriahkan perayaan khatam Qur'an di kampung
> itu. Kebun sayur tinggal menunggu panen saja. Setelah acara khataman
> usai, abak dan Buyung baru akan turun ke kebun lagi.
>>
>>   Celaka! bayam, peria, terung, kacang panjang yang sedianya bakal
> dipanen hanya tinggal tunggul-tunggulnya saja. Serumpun pun tak
> bersisa. Abak langsung tanggap, siapa lagi yang mencukur gundul kebun
> sayurnya kalau bukan emak si Buyung. Istrinya sendiri. Mentang-
> mentang abak berkebun sayur di lahan milik keluarganya, tak segan-
> segan perempuan itu membabat habis hasilnya, bahkan tanpa memberitahu
> abak lebih dulu.
>>
>>   "Semoga Buyung tak datang ke kebun hari ini" batin abak, was-was
>>
>>   Betapa tidak? Sejak mulai bertanam hingga sayur-sayur itu tumbuh
> dan tinggal panen, Buyung bersetia membantu abak di kebun itu.
> Menyiangi rumpun-rumpun peria, terung dan kacang panjang dari ilalang-
> ilalang liar. Buyung memendam keinginan sederhana, setelah kebun
> sayur itu membuahkan hasil. Ia ingin melihat abaknya dapat menghisap
> rokok warna kuning. Buyung ingin membanggakan abak pada teman-
> temannya. Meski hidup susah, abak tetap bisa beli rokok warna kuning.
> Tapi apa mau dikata, hasil kebun yang hendak dipikul dan dijual ke
> pasar sayur sudah ditebas emak, tinggal tunggul-tunggulnya saja.
>>
>>   Buyung seperti kesetanan. Ia menangis berguling-guling di atas
> tunggul-tunggul kebun sayur itu.
>>
>>   "Abak ndak jadi beli rokok warna kuning, abak ndak jadi beli
> rokok warna kuning, hu........hu........hu....."
>>
>>   "Emak uangnya banyak, tapi hasil kebun abak ditebasnya
> juga.....hu.....hu....!"
>>
>>   "Sudahlah, Yung! Kita masih bisa tanam lagi" bujuk abak
>>
>>   "Buyung hanya ingin abak punya rokok warna kuning.
> hu..........hu......"
>>
>>   Abak tak pernah mampu membeli rokok warna kuning seperti angan-
> angan Buyung. Hasil penjualan bayam, peria, terung, kacang panjang
> dirampas emak. Dimakannya sendiri. Tak serupiah pun diberikan pada
> abak dan Buyung.
>>
>>   Sialnya, tiba-tiba saja abak jatuh sakit. Persendian kakinya
> lemas. Seperti hilang rasa. Berdiri saja abak tak kuat. Seperti
> hilang tenaga. Tubuh kurusnya terbaring menelentang di kasur lusuh.
> Buyung murung. Tak henti-hentinya ia memijat kaki abak. Bersusah
> payah ia mencari tahu ramuan obat yang dapat menyembuhkan sakit abak.
> Tapi, Buyung gagal. Ia terus menjaga abak. Duduk berlama-lama, tidur
> pun selalu di samping pembaringan abak.
>>
>>   "Bak, sembuhlah bak! kalau abak sakit terus, Buyung sama siapa?"
>>
>>   "Kapan abak bisa beli rokok warna kuning kalau berdiri saja abak
> ndak kuat?"
>>
>>   "Abak sakit apa?"
>>
>>   "Abak ndak apa-apa Yung, jangan cemas, Nak!"
>>
>>   "Jika abak sudah sembuh, kita bisa ke kebun lagi, bukan?"
>>
>>   Sejeda mereka terdiam, karena tiba-tiba emak datang. Raut muka
> perempuan itu masam. Sudah lama abak dan Buyung tidak pernah lagi
> menatap keteduhan di rona mukanya. Ya, sejak abak tak meracit
> tembakau. Sejak abak menganggur.
>>
>>   "Kalau hanya akan menghabiskan beras dan menyusahkan, lebih baik
> mati saja, kau!" maki emak dengan nada suara tinggi.
>>
>>   "Hidup makin payah, kok malah sakit. Jangan-jangan kau pura-pura
> sakit ya?"
>>
>>   Merah padam muka Buyung mendengar cercaan emak. Ia seperti hendak
> berontak. Ia tak bisa menerima perlakuan emak yang sudah keterlaluan.
> Jangankan mempedulikan abak yang sedang sakit parah, justru setiap
> hari telinga abak disumpalnya dengan caci maki, cela dan sumpah
> serapah.
>>
>>   Sejatinya, tanpa diusir pun diam-diam abak sudah menyimpan
> keinginan meninggalkan rumah itu. Meninggalkan carut marut yang
> terpacak dari mulut perempuan mata duitan itu. Tapi, karena kakinya
> belum kuat melangkah, abak belum beranjak dari pembaringannya.
> Perempuan yang disebut Buyung sebagai emak itu benar-benar tidak tahu
> diuntung, begitu suaminya sudah sakit-sakitan, tak menghasilkan uang,
> hendak diusirnya begitu saja. Ada uang abak disayang, tak ada uang
> abak ditendang.
>>
>>   Tak lama berselang, abak hengkang juga. Ia tak sanggup lagi
> mendengar makian yang keluar dari mulut kasar emak. Abak datang tak
> membawa apa-apa dan pergi juga tanpa membawa apa-apa. Maka,
> terjadilah prosesi perpisahan yang sederhana. Terbata-bata ia
> mengayun langkah-langkah lelah. Tak tampak sedikitpun rona keharuan
> di wajah emak pada saat abak mengayunkan langkah pertama meninggalkan
> rumah itu. Buyung menjerit, meronta-ronta, menghentak-hentak hendak
> mengikuti abak. Mengikuti ke mana saja lelaki itu hendak pergi. Tapi
> abak sudah terlanjur jauh, ia sudah menghilang tertelan gelap malam.
> Buyung tak mungkin lagi mengejarnya.
>>
>>   "Abak ndak salah apa-apa, kenapa emak mengusirnya?"
>>
>>   "Emak menjual hasil kebun abak, abak tak jadi beli rokok warna
> kuning. Lalu abak sakit payah, dan emak mengusirnya. Apa salah abak?"
>>
>>   "Emak berdosa telah mengusir abak"
>>
>>   "Diam kau, Buyung! Tahu apa kau soal dosa? Kalau mau pergi,
> carilah abakmu itu, Ayo, tunggu apa lagi, anak setan!"
>>
>>   Akhirnya, Buyung pun pergi. Hengkang seperti abak yang telah
> lebih dulu menghilang. Entah ke mana tujuan si Buyung. Entah ke mana
> tujuan abak. Tapi yang jelas, hingga kini abak dan Buyung tak pernah
> pulang. Kepergian mereka seperti merantau Cina. Sekali pergi, tak
> bakal kembali.
>>
>>   *
>>
>>   Setahun, dua tahun, berpuluh tahun, perempuan itu hidup
> bersendiri, hingga tubuhnya mulai ringkih. Hari ini entah bilangan
> tahun yang ke berapa sejak rumah usang itu terselimuti sunyi.
> Lengang, tanpa abak, tanpa Buyung. Kini, setelah uban-uban memutih di
> kepalanya, ia merasakan desau rindu yang menyesak di dada. Rindu
> ingin bertemu dengan dua lelaki yang terusir. Tentu, kini Buyung
> sudah dewasa. Sulit ia membayangkan seperti apa guratan kedewasaan
> Buyung saat ini. Tentu, Buyung sudah punya anak-istri. Di mana Buyung
> kini?. Begitu pun abak, mungkin lelaki itu masih hidup meski sudah
> tumbuh pula uban-uban di kepalanya. Sudah renta. Mungkin pula abak
> sempat punya istri lagi dan tentu sudah punya buyung-buyung yang
> lain. Di mana abak kini?
>>
>>   Perempuan tua berselendang putih yang sejak tadi duduk berjuntai
> kaki itu, tersentak dari lamun. Perlahan-lahan ia berdiri dan
> melangkah masuk ke dalam rumah usang itu. Malam kian larut dalam
> hening. Selarut perempuan tua itu dalam rindu yang sudah mustahil
> diraih. Hujan tak kunjung reda. Terus mengguyur, memecah lengang.
> Perempuan tua tak sungguh-sungguh lelap, pikirannya menerawang
> bersama desau rindu yang menggebubung. Kadang terbayang isak-sedu
> Buyung di samping pembaringan abak. Kadang tergambar langkah-langkah
> berat abak sesaat sebelum ia beranjak hendak meninggalkan rumah itu.
> Abak bukan saja telah terusir dari rumah itu, tapi juga terusir dari
> hati perempuan keparat itu.
>>
>>   Pelan-pelan, mata perempuan tua pun terpejam. Dalam tidur, ia
> bermimpi melihat Buyung sedang berlari-lari kegirangan, sambil
> membawa sebungkus rokok berwarna kuning yang hendak diberikannya pada
> abak.
>>
>>
>>   yogyakarta, April 2003
>>
>>
>>
>>   Catatan kaki:
>>
>>   1) Buang hajat besar. makan dan tacirik artinya menganggur,
>>
>>   2) Sebutan untuk ayah atau bapak, asal katanya dari bahasa Arab ;
> Abu, kemudian mengalami perubahan menjadi abak
>>
>>   3) memotong daun tembakau hingga menjadi benang-benang kecil,
> pekerjaan ini menjadi profesi di beberapa daerah penghasil tembakau
> di Sumatera Barat, seperti di Taram,
>>
>>   Situjuh (Kab.50 Kota). Dalam bahasa daerah setempat, profesi ini
> disebut juga nahodo.
>>
>>   4) Di daerah yang dijadikan latar cerita ini, Dji Sam Soe biasa
> disebut pelat kuning, karena pita yang melingkari bagian pangkal
> batangan rokok tersebut berwarna kuning. Dji Sam Soe adalah rokok
> paling mahal bagi para pecandu di daerah itu.
>>
>>
>>   Last modified: 26/8/05
>>
>
>
>
>
>
>
> .: Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :.
>
> .: Kunjungi website global : http://www.budaya-tionghoa.org :.
>
> .: Untuk bergabung : http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua :.
>
> .: Jaringan pertemanan Friendster : [EMAIL PROTECTED] :.
> Yahoo! Groups Links
>
>
>
>
>
>
> 





------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
DonorsChoose.org helps at-risk students succeed. Fund a student project today!
http://us.click.yahoo.com/O4u7KD/FpQLAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

.: Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :.

.: Kunjungi website global : http://www.budaya-tionghoa.org :.

.: Untuk bergabung : http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua :.

.: Jaringan pertemanan Friendster : [EMAIL PROTECTED] :. 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke