Hello,
 
Saya jadi teringat dengan seorang teman kakek saya yang jago akunpuntur. Seorang chinese tentunya. Beliau dulu pernah menyembuhkan mama dan adiknya dari penyakit typhus. Dan ketika saya kena Typhus, saya juga disembuhkan.
 
Yang anehnya, ketika orang tuaku memberikan uang padanya sebagai balas jasa menyembuhkan saya, Beliau tidak mau menerimanya. Malah ketika habis diobati oleh Beliau, ditengah perjalanan pulang ke kota saya, mobil yang kami tumpangi mengalami musibah. Teman kakekku itu setiap hari menelepon ke kotaku untuk menanyakan keadaanku.
 
Anehnya lagi, teman kakekku itu tidak punya anak. Lalu mengangkat seorang anak angkat. Tetapi ilmu akunpunturnya tidak dibagikan kepada anak angkat itu. Juga selama mengobati, baik kepada orang miskin maupun orang kaya, Beliau tidak mau dibayar dengan uang. Sehingga hidupnya menjadi kekurangan. Padahal dijaman sekarang ini, kelebihan seperti itu bisa membuat seseorang menjadi kaya.
 
Sayangnya ketika saya SMA, Beliau sudah meninggal. Padahal ada keinginan hatiku untuk membalas jasa padanya.
 
 
Thanks,
 
Yenny Tan
-----Original Message-----
From: budaya_tionghua@yahoogroups.com [mailto:[EMAIL PROTECTED]On Behalf Of BISAI
Sent: Wednesday, September 07, 2005 5:35 AM
To: BUDAYA TIONGHUA; WAHANA
Subject: [budaya_tionghua] OOT. Kong Ngi Arsitek rumah kami

 
     ASAHAN ALHAM AIDIT: 
 
 
 
                                                           KONG NGI
                                        Arsitek rumah kami
 
 
    Saya tidak tahu bagaimana melatinkan nama teman Cina ayah saya secara benar.Sebelum saya menulis cerita ini ,saya lantas menelpon abang saya yang Sinolog itu ke  Paris untuk menanyakan barangkali ia masih ingat cara menuliskannya . Jawabannya ternyata sama seperti yang saya perkirakan sendiri: Kong Ngi ditulis sebagai Kong Ngi. Entah  betul entah tidak barangkali tidak terlalu sangat penting. Tapi Kong Ngi  adalah seorang manusia yang pernah hidup dan ia telah menjadi kenang-kenangan bagi keluarga kami karena dialah yang mendirikan rumah kami kira-kira tiga perempat abad lalu. Dia seorang etnis Cina totok, bahkan bukan main totoknya, rupanya, seperti mata dan mulutnya, kulitnya, dan pula bahasanya yang kata ayah saya, dia berbahasa Hokkian dan sangat minim persedian kata-kata Melayu dan bahkan hampir tidak sebuah kata Melayupun yang bisa diucapkannya secara benar. Hanya ayah saya saja yang  bisa mengerti bahasa Kong Ngi yang dianggap bahasa Melayu itu. Ketika saya masih kecil antara berumur 4 atau lima tahun, bila Kong Ngi menanyai saya maka hanya ayah saya sajalah yang bisa mengerti dan menterjemahkannya kepada saya hingga saya tahu apa yang ditanyakan oleh Kong Ngi. Ia seorang Cina yang sangat baik dan setiap dia datang ke rumah kami atas undangan ayah saya untuk memperbaiki rumah kami, ia selalu membawa kue-kue Cina yang enak-enak untuk saya. Dan saya sambil makan kue hadiahnya itu sambil menunggui dia bertukang,  seperti mengetam papan, menggergaji. memahat kayu, menggurdi, mengukur, menggaris-garis dengan benang lembab berwarna hitam dan semua itu hampir selalu dilakukannya sambil merokok. Saya menikmati semua gerak tangannya yang saya rasa selalu tidak pernah meleset, dari mulai memaku, memotong, memasang kayu-kayu yang telah dilobangi dengan pahat dan semua pekerjaan menaklukkan kayu menjadi semua yang diingini  dan dimaksudkannya.Saya menikmati bunyi ketika ia menggergaji kayu, seolah bunyi itu begitu lunak terdengar dan gergajiannya begitu halus, licin  dan seolah sangat mudah melakukannya. Begitu pula bila ia sedang mengetam papan, bunyi yang srek-srek itu sangat enak terdengar pada kuping saya dan ketamannya sangat licin, rata dan sangat indah terlihat di mata saya. Barangkali sejak pengalaman itulah saya punya hobby bertukang hingga di usia yang menjelang tua. Saya yang masih kecil ketika itu pernah bertanya kepada ayah saya, di mana Kong Ngi belajar bertukang dan apakah saya juga bisa pandai bertukang seperti Kong Ngi. Banyak peralatan rumah kami yang dibuat oleh Kong Ngi, seperti lemari makan, lemari pakaian, menja tulis, kursi, bahkan hingga kandang ayam yang saya rasa sangat bagus dan sayapun ingin bisa membuat barang-barang itu seperti buatan Kong Ngi. Ayah saya mengatakan, bahkan rumah kami yang besar dan luas itu adalah dibuat sendiri oleh Kong Ngi. Ia hanya kadang-kadang saja memerlukan dua tiga orang teman-teman Cinanya untuk membantunya beberapa kali dan selanjutnya dia sendiri yang mengerjakannya. Ketika saya berangsur menginjak dewasa, timbullah kekaguman saya akan Kong  Ngi yang luar biasa yang telah membangun rumah kami yang besar, luas dan panjang serta sangat enak untuk didiami dan di rumah itu pulalah semua abang-abang  saya berlahiran hingga saya sebagai anggota keluarga besar yang terahir juga lahir  dan mendewasa di rumah yang di buat oleh Kong Ngi. Siapakah Kong Ngi dan sejak kapan dia menjadi sahabat ayah saya. Sayang saya tidak banyak mengetahui sejarah Kong Ngi karena saya telah meninggalkan
kampung halaman saya Belitung itu ketika usia saya baru dua belas tahun dan pergi ke Jakarta untuk melanjutkan pelajaran. Dan memang begitulah tradisi keluarga kami, setiap anak ayah kami menjelang akil balik lalu dengan segera dikirim ayah saya ke Pulau Jawa bahkan ada yang di Sumatra hingga Borneo(sebutan ketika itu) sekaliapun. Begitulah, ayah ibu saya meskipun punya anak cukup banyak tapi selalu kesepian karena semua anak-anaknya dikirimnya ke berbagai tempat untuk mencari pengetahuan, katanya.
 
 
     Di usia puber, saya masih setiap tahun pulang berlibur mengunjungi orang tua kami di Belitung, dari tempat kami belajar yaitu di ibu kota Jakarta. Dan ketika saya berusia delapan belas dan hampir menamatkan SMA saya pulang berlibur bersama banyak pelajar Belitung lainnya dan kami mencarter sebuah kapal KPM berlayar menuju Belitung. Kapal yang tidak terlalu besar itu yang masih saya ingat namanya "LAHEWA", dipenuhi pelajar Belitung yang hampir ratusan jumlahnya itu yang membuat kapal  itu berlayar seperti penumpangnya yang mabuk laut, oleng kekiri, oleng ke kanan, maju segan mundur tak mau tapi ahirnya sampai juga ke pelabuhan Tanjung Pandan dengan nafas terengah- engah, tidak karam tidak tenggelam. Dan setibanya di rumah, saya melihat Kong Nhi sedang memperbaiki rumah kami. Di ruang tengah yang luas dan panjang sudah banyak lantai papan yang rapuh dan harus diganti dan juga beberapa belebas sudah banyak yang dimakan rayap. Rumah kami sudah tua dan sudah mulai harus sering diperbaiki. Ayah saya bilang rumah itu dibangun ketika ia masih sangat muda dan ia beruntung karena sejak umur 16 tahun sudah menjadi pegawai magang di kantor Jawatan Kehutanan yang kepunyaan Belanda ketika itu. Dengan uangnya yang ditabung dari gajinya sendiri ia berhasil membangun rumah ketika ia masih sangat muda dan entah bagaimana ia lalu berkenalan dengan seorang Cina yang bernama Kong Ngi yang menjadi sahabat karibnya dan pula yang telah mendirikan rumah untuknya.
Kong Ngi masih mengenali saya yang sudah besar dan bertubuh cukup tinggi dan Kong Ngi menghujani saya dengan pertanyaan yang tidak sepatahpun saya mengerti dan untunglah ketika itu ayah saya sedang membantunya mengangkuti papan-papan dan balok-balok pengganti yang akan ditukangi Kong Ngi. Dan tidak Lupa Kong Ngi membawa oleh-oleh kue bacang untuk saya dan tentu saja yang tidak berisi daging babi karena dia tahu kami keluarga Islam. Rupanya kebiasaan dia memberi saya oleh-oleh setiap ia datang ke rumah kami, masih tetap berlanjut hingga saya sudah benar-benar dewasa. Kong Ngi tampak sangat tua, ia telah mulai bungkuk, tapi juga tampak masih sehat, cukup cekatan dengan sinar matanya yang selalu bercahaya tapi ramah. Dari terjemahan yang dilakukan ayah saya itu ternyata Kong Ngi bertanya apakah saya sudah tamat  sekolah insinyur karena katanya dulu dia melihat saya sangat punya bakat bertukang. Ketika dua orang tua ini sedang istirahat kerja, saya lalu mendatangi ayah saya dan mengatakan:  "Ayah, bukankah Kong Ngi itu sudah tua, kasihan orang yang setua itu masih diperas tenaganya".
- "Sulai, apakah saya tampak lebih muda dari Kong Ngi. Kami kerja bersama dan rumah ini adalah juga rumahnya, dia melakukannya dengan sukarela".
"Ayah tidak membayar upahnya? "
"Ah, kau ini Sulai. Baru setahun kau tinggal bersama abang sulungmu. Hati-hatilah bicara  dengan orang tua. Kau saja yang datang untuk bersenang-senang ke mari akan menerima upah dariku. "
Saya meras lega. Dua orang tua itu kemudian melenjutkan pekerjaannya dan itu bukan kerja ringan. Mata Kong Ngi sudah tidak setajam seperti belasan tahun lalu, kadang-kadang tampak mereka berdua meng-akurkan penglihatannya. Dua pasang mata tua tapi juga yang sama-sama menyaksikan dan menikmati persahabatan mereka yang hampir seusia umur mereka dan  seusia rumah kami. Mendengar kedatangan kami anak-anaknya ,ayah lalu memeriksa lantai papan yang sudah sangat tua dan merapuh.Dia tahu setiap kami datang berlibur, rumah kami selalu dijadikan markas pertemuan teman-teman pelajar Belitung lainnya untuk kegiatan rapat-rapat, pesta-pesta pelajar, sekretariat organisasi kami dan segala macam kegiatan kami selama kami berlibur. Dan rumah kami cukup ideal untuk semua itu karena bisa menampung banyak orang, punya halaman yang luas untuk kegiataan olah raga. Selalu saja ada buah-buahan yang bisa langsung dinikmati seperti rambutan, manggis, langsat, dan pada musimnya tentu durian .Bermacam -macam jenis jambu hingga pohon gandaria yang daun muda serta buahnya bisa dimanfaatkan di dapur.
Rumah itu adalah sebuah surga untuk keluarga kami meskipun tidak mewah. Kayu dan papan-papannya tidak terbikin dari kayu yang berkwalitas mahal. Banyak sahabat-sahabat maupun beberapa anggota keluarga kami yang mencela ayah kami, mengapa tidak mengambil kesempatan mengambil kayu-kayu berkwalitas tinggi seperti kayu besi atau kayu bulin selama menjadi mantri hutan yang menguasai seluruh hutan Belitung ketika itu.Tapi tanpa harta haram itu, rumah kami bisa kami nikmati sebagaai rumah yang luas, panjang dan amat leluasa meskipun ketika ia menjadi tua sudah banyak yang harus diganti, diperbaiki sepanjang masa dan di usia saya yang sudah lebih dari dewasa ,rumah kami itu semakin menjadi kecil karena banyak yang rusak dan lapuk dan ayah sudah tidak banyak memperhatikannya karena ia sudah siap membangun rumah baru di dekat kota Tanjung Pandan yang rapat dengan pantai. Dan terjadilah sebuah keajaiban yang tidak pernah saya pikirkan sebelumnya. Pada suatu musim libur ketika umur saya telah menginjak usia 20, saya kembali menemui Kong Ngi yang sedang membangun rumah kami yang baru di tepi pantai. Kakek tua 
itu tidak lebih tua dari lima tahun lalu . Dan ketika rumah itu selesai yang bebentuk seperti kapal yang sedang buang jangkar, alangkah indah dan nyamannya untuk didiami dan itu sudah benar-benar sebuah villa di tepi pantai di mana ayah saya menikmati hari tuanya sambil berobat berendam air laut yang asin untuk mengurangi sakit rematiknya. Itu sebuah karya Kong Nghi yang terahir dan rumah kami yang ke dua yang dibangunnya itu adalah sebagai hasil persahabatan antara ayah saya dengannya.
 
Berpuluh puluh tahun kemudian ketika saya telah hidup sebagai pelarian politik di luar negeri dan menjadi tua di luar negeri, saya masih diberi rezeki oleh Yang Maha Kuasa untuk pada suatu waktu di tahun 1996 berkunjng ke Indonesia sebagai warga negara asing yang diluar keinginan saya. Saya beserta istri saya sempat berkunjung ke Belitung, ke kampung halaman saya yang begitu lama saya rindukan, saya impikan dan saya dambakan selalu. Alangkah besarnya perubahan yang saya lihat di Belitung. Penduduknya sudah berkali lipat lebih banyak dari setengah abad yang lalu, juga pembangunan tampak sangat berkembang, saya sudah hampir tidak mengenalinya lagi. Semuanya sudah berubah tapi juga dengan dua segi yang berlawanan, positip dan negatip. Ketika saya melihat rumah kami yang lama, yang dulu begitu besar, panjang, luas dan begitu nikmat untuk dihuni, kini  yang tertinggal cumalah dapurnya yang terbikin dari dinding beton yang perkasa dan tinggi yang itu memang tidak bisa lapuk atau rapuh karena itulah benteng rumah kami yang mungkin abadi. Tapi selebihnya seluruh halaman rumah sudah menjadi belukar, semak-semak dengan tumbuhan liar tak terpelihara. Tidak ada pohon durian yang dulu menjulang tinggi tumbuh perkasa, tidak ada pohon-pohon rambutan yang selalu lebat dengan buahnya yang manis, tidak ada lagi pohon kelapa dan pohon jambu, tidak ada pohon gandaria dan hanya belukar atau hutan kecil tapi di dapur beton masih ada manusia, sebuah keluarga miskin yang kata keluarga kami yang tinggal di Belitung sebagai penyewa "rumah" itu. Peristwa politik dan tragedi berdarah yang terjadi di tanah air itu seolah ingin mengatakan kepada bekas pemilik rumah itu:  "Inilah hutan belantara yang kami sisakan untuk kamu di tengah pulau moderen yang telah kami bikin beradab! "
Saya hanya teringat akan Kong Ngi, arsitek dan pendiri rumah kami, seorang Cina sahabat ayah saya sejak belia hingga sama-sama tua yang telah membangun dua buah rumah yang begitu besar dan indah dengan tenaga mereka sendiri. Saya melihat justru di sana letak peradaban yang sesungguhnya dan bukan pulau yang mereka bikin moderen dengan tragedi dan darah.
 
Ketika saya datang mengunjungi rumah kami yang ke dua yang dibangun oleh Kong Ngi di tepi pantai di sebuah kampung yang bernama Air Saga yang terletak kira-kira setengah kilometer dari pusat kota Tanjung Pandan, yang saya saksikan cumalah sebuah hutan belantara yang dulu adalah sebuah kebun kelapa yang luas dengan sebuah bangunan villa yang hampir rapat ke pantai indah berpasir putih yang belum pernah saya saksikan di banyak pantai-pantai di dunia yang pernah saya temui di luar negeri. Dan harta ayah saya yang terahir ini kini sudah bukan milik kami. Salah seorang dari keluarga kami telah menjualnya dalam keadaan tertekan secara politik maupun ekonomi pada seorang Cina kaya dengan harga yang setelah kami bagi empat orang secara adil, uang yang bagian saya tidak cukup untuk membeli karcis kereta api Amsterdam - Paris yang berjarak kurang lebih 600 km. Ini adalah "harga persahabatan" yang dibayar oleh seorang Cina yang lain lagi kepada kami yang sedang terpasung kehilangan semua hak.Tapi menurut cerita  penduduk yang tinggal bertetangga dengan rumah kami yang dulu itu, pemilik baru, yaitu seorang Cina kaya yang  merasa bahwa harga pembelian rumah dan tanah yang begitu luas dengan harga yang tak masuk akal murahnya itu, lalu ia membinasakan rumah yang dibikin Kong Ngi dan ayah saya itu ketika ia mendengar,  mungkin keluarga  yang punya rumah itu akan datang dari luar negeri dan mungkin akan mengusut jual beli yang tidak adil itu. Lalu tanah itu dibiarkannya saja  menjadi hutan belukar entah sampai kapan tanpa mendirikan bangunan apapun seolah tanah yang tidak bertuan. Dua rumah kami telah musnah dimakan politik dan ketuaan. Tapi Kong Ngi bukan hanya telah membangun dua rumah yang bagi kami adalah juga dua buah surga, tapi ia telah membangun kenangan terindah dalam hati setiap kami, seorang Cina tani miskin tapi berhati kaya dan berdada lapang seluas samudra.
 
 
 
 
 
 
 
 
 


.: Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :.

.: Kunjungi website global : http://www.budaya-tionghoa.org :.

.: Untuk bergabung : http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua :.

.: Jaringan pertemanan Friendster : [EMAIL PROTECTED] :.




SPONSORED LINKS
Indonesia Culture


YAHOO! GROUPS LINKS




Reply via email to