Saudara Mayat Yt.hormat.
Ah, nama persembunyian saudara sungguh menakutkan. Tapi apalah arti sebuah nama.
Saya akan menanggapi komentar saudara sambil berkelakar saja menyesuaikan diri dengan gaya saudara yang sebelumnya sudah sedikit saya kenal di mulis BT. Rupanya saudara termasuk penganut budaya stempel. Saudara mempunyai dua buah stempel: yang satu dengan tinta 
Cina dan satunya lagi dengan cat putih. Saudara memulai dengan basa-basi dengan stempel putih saudara yang seakan mengangkat uraian saya dan lalu dengan cepat saudara mengayunkan tangan kuat-kuat dan...Plok!  "bung Asahah Aidit ternyata melaksanakan project rasialist anti tionghoa" tentu saja dengan stempel tinta Cina. Tidak secuil argumentasi ataupun petikan kata-kata dari saya yang saudara gunakan  sebagai alasan saudara, mengapa saya dianggap melaksanakan ""project rasialist anti tionghoa". Tentu dengan stempel hitam yang saudara gunakan itu, saudara bayangkan bahwa saudara telah menjatuhkan bom di atas kepala saya yang sebelum bom itu meledak saudara tulisi dengan huruf-huruf besar "pembunuhan karakter" agar saya runtuh. Ya, saudara Mayat, bukan saya berlagak hebat, tapi selama sepuluh tahun perang Vietnam, hampir setiap hari saya mendengar jatuhan bom yang kadang-kadang cuma puluhan meter jaraknya dari lubang perlindungan. Alhamdulillah saya masih dilindungi Tuhah dan diberi hidup hingga kini.Tapi bom yang saudara jatuhkan meskipun bunyinya seperti suara pistol beneran,tapi pelurunya cuma dari kertas yang dikunyah kunyah duluan lalu dimasukkan ke tabung bambu atau sumpitan anak-anak, lalu disodok...bum!. Peluru kertasnya bertaburan yang semula saudara maksudkan, untuk membunuh karakter saya. Tipikal cara yang sering digunakan oleh orang-orang yang menjadi panik kehilangan argumentasi dan lalu main kasar sambil memberikan cap-cap (tapi saudara menggunakan stempel kuno) secara membabi buta dan itu saudara anggap hebat dan akan mempengaruhi banyak orang.
Cara demikian sudah sangat klassik dan saya anjurkan pada saudara janganlah berpikir bahwa pembaca itu bodoh semuanya hingga mudah saudara bawa kemana saja menuruti gertakan saudara. Dunia sudah sangat berubah, demikian pula manusianya, generasinya. Sentimen, emosi, gertak, tidak ada lagi tempatnya dalam perbincangan serius untuk mencari kebenaran. Biasakanlah menggunakan argumen yang baik, analisa yang jernih dan jangan cepat main maki, main cap, main hitam putih hanya oleh karena tidak sependapat dengan orang lain.Tapi rupanya modal terbesar satu-satunya yang saudara miliki adalah kepekaan yang berlebih lebihan. Sedikit sedikit, belum apa-apa asal terasa etnis Cina disinggung, mesin otomatisnya langsung bunyi: anti Cina! rasialist!.... hayyaaaa, bikin orang takut saja. Saya sudah pernah bilang, untuk memerangi  rasialist, anti Cina ,tidak bisa dengan cara menakut nakuti orang agar takut dituduh rasialist. Dan juga saya pernah bilang apakah Cina itu sejenis super etnis, tidak boleh dikritik, tidak boleh dicela dan hanya harus dipuja dan dikagumi saja. Untuk menjadi teman Cina yang bersih anti Cina, seseorang harus diawasi dan diteliti kata-katanya,diperiksa sikapnya, dihitung puji-pujiannya, seolah bersahabat dengan Cina seperti bersahabat  dengan Nabi atau anak Tuhan. Wah, capek sekali kalo gitu betemen ame Cina. Tapi dalam kenyataan, di Indonesia selalu terdapat dua macam Cina: Cina yang merakyat yang secara wajar dan alamiah ingin menjadi orang Indonesia, merasa orang Indonesia, rendah hati dan tidak angkuh dan sungguh aneh, kadang-kadang Cina yang begini sering-sering asalnya adalah Cina totok, nggak bisa bahasa Indonesia sepatahpun tapi berasedia menjadi orang Indonesia secara sungguh-sungguh dan nggak pernah merasa dirinya di diskriminasi. Pengalaman demikian, temasuk yang keluarga kami alami sendiri.
Sedangkan Cina jenis kedua dengan ciri-ciri arogan bukan kepalang, biasanya yang kaya-kaya(tentu tidak semuanya) dan dari pagi hingga petang cuma curiga dan merasa didiskriminasi dan mem-phoby-kan semua orang yang tidak mengaguminya, kurang memperhatikannya, merasa dirinya selalu diabaikan dan seperti yang saya katakan tadi, pekanya bukan alang kepalang  dan selalu dihantui merasa didiskriminasi selama 24 jam. Memang jenis ini merasa hidupnya tidak aman, penuh curiga, tidak bisa bersahabat dengan tulus dengan pribumi.
Dan sekarang lagi-lagi saya terpaksa dan sangat terpaksa bicara soal kata <pribumi>. Saudara punya dalil, bahwa bila tidak mau mengharamkan kata <pribumi> adalah rasialist.
Saya berpendirian, tidak seorang manusiapun yang berhak mengharamkan sebuah kata biasa yang adalah kepunyaan perbendaraan kata-kata bahasa Indonesia, milik orang Indonesia, lalu demi kepentingan politik tiba-tiba diharamkan untuk memenuhi kebutuhan satu etnis lain.
Pun, Habibi tidak punya hak demikian meskipun dia seorang Presiden pada waktunya yang juga sekaligus produk terbesar dari Orde Baru itu. Saudara Mayat, seperti juga orang-orang yang sepikiran dengan saudara, saudara ingin mempertahankan peninggalan murtad Orde Baru itu yang saudara anggap anti rasialist. Dari sudut pandang sempit bertolak dari kepentingan satu etnis semata-mata, tentu saudara akan menghalalkan dan mengharamkan semua saja menurut cita rasa golongan saudara sendiri, kepentingan dan keuntungan golongan saudara sendiri. Tapi Indonesia tidak cuma mengurusi satu etnis saja, memanjakan satu etnis saja, memperhatikan keluhan satu etnis saja.
Dengan mentalitas yang demikian, etnis yang saudara wakili, setiap hari akan menambah musuh dan bukan memperbanyak kawan dan kalau begitu alangkah kasihannya dengan golongan etnis Cina yang lainnya yang dengan sepenuh hati dan jujur, rendah hati dan tulus untuk menyatukan diri dengan etnis-etnis Indonesia yang lainnya, dengan bangsa Indonesia, akan jadi sasaran kerusuhan rasial sepanjang masa akibat ulah golongan etnis yang punya mentalitas seperti saudara. Percayalah, semua orang yang masih waras,masih normal, tidak akan memperdulikan budaya stempel saudara yang main hitam putih, main  cap asal tidak sependapat dengan pikiran saudara atau etnis Cina. Betapa naif-nya kesimpulan saudara yang mengatakan, bila tidak mengharamkan atau menghilangkan kata <pribumi> akan memberi peluang bagi rasisme. Kata< pribumi> adalah milik bangsa Indonesia yang berada dalam perbendaharaan kata-katanya, dan bukan milik Habibi, bukan milik kaum kolonialis lama maupun baru dan juga bukan milik orang Cina. Tapi kalau saudara ingin setia pada Habibi yang dedengkot Orba itu, silahkan saja dan bagi saya perdebatan ini tidaklah sia-sia, karena saya menjadi lebih tahu di mana saudara berdiri meskipun dalam omongan sepertinya juga mengumpat Orba dan saya saudara tuduh sebagai yang "menjalankan project rasialis anti tionghoa". Orang-orang sebangsa saya bila ingin berhianapun tidak mungkin dan akan mati. Kami tidak punya jalan lain kecuali tetap setia
hingga ahir kepada cita-cita luhur kami meskipun dalam perjalanan sejarah banyak melakukan kesalahan, kekeliruan, ketidak tahuan bahkan kedunguan seperti umpamanya ingin menjiplak revolusi Cina untuk membebaskan rakyat Indonesia yang ahirnya menjadi drama dan tragedi berdarah yang tak tertebus sepanjang masa. Tapi kami tetap belajar dan mau mengoreksi kesalahan sambil tetap setia kepada keadilan, melawan kediktatoran dalam bentuk apapun. Tapi mentalitas saudara yang  hantam kromo dan gampang-gampangan, suka dimanja dan minta selalu diperhatikan secara istimewa, cumalah mentalitas < ke mana angin bertiup, ke  sana pokok condong>. Kalau perlu ke Habibi, ya ke Habibi, kalau perlu ke Suharto, ya ke Suharto yang juga bapak angkat Habibi, asal menguntungkan diri sendiri dan golongan sendiri. Timbanglah masak-masak dengan kepala dingin,dengan mentalitas demikian, etnis
Cina bukan semakin dapat dukungan dan simpati tapi akan semakin terpencil dan menambah musuh setiap hari.
asahan aidit.
 
----- Original Message -----
From: ChanCT
Sent: Tuesday, September 13, 2005 4:20 AM
Subject: Fw: [Politik_Tionghoa] Re: Mengapa harus mengharamkah istilah Pribumi dan Non Pribumi?

 
----- Original Message -----
Sent: Monday, September 12, 2005 11:17 PM
Subject: [Politik_Tionghoa] Re: Mengapa harus mengharamkah istilah Pribumi dan Non Pribumi?

Dirgahayu

ada yang salah dalam uraian bung Asahan Aidit,
itulah kesan pertama setelah menyelesaikan seluruh
komentar beliau yang sangat argumentatif dan baik.
seakan, bung Asahan sedang mengadakan
perlawanan total terhadap politik segregratif dan
rasist orde baru. tetapi di akhir tulisan, ternyata
bung Asahan Aidit ternyata melaksanakan project
rasialist anti-tionghoa.

tulisan bung Asahan Aidit menjadi sangat aneh pada
saat seluruh uraian dan argumentasinya memiliki
kebenaran tetapi "penyimpulan akhir" dari tulisan
beliau bertolak belakang dengan keumuman perlawanan
terhadap kejahatan rasialis orde baru.

politik rasialist orde baru yang dibantu oleh para
jenderal fasis dan kelompk LPKB sepenuhnya berlandaskan
pada konflik horisontal yang berguna sebagai proses
memperlemah kekuatan sipil/rakyat. salah satu output politik
rasialis itu adalah pembagian warga-negara menjadi
"pribumi" dan "non-pribumi". kebijakan rasialist ini
sepenuhnya merugikan seluruh golongan etnis yang
ada, termasuk golongan tionghoa.

tujuan utama dari politik rasialist ini adalah menutup
sumber malapetaka dan sumber kehancuran negara yang
sepenuhnya terpusat pada kebijakan dan praktek represif
non-demokratis orde baru. di tataran ini, bung Asahan
Aidit sangat tepat. dan bertambah tepat pada saat bung
Asahan Aidit menghimbau agar kita tidak terjebak masuk
dalam polemik istilah "pribumi" dan "non-pribumi" yang
berarti mengabaikan faktor utama penyebab kehancuran
sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara yang terletak
pada kebijakan politik orde-baru.

tetapi pola TIDAK mengharamkan istilah pribumi
dan non-pribumi adalah gerakan mendukung
program segregatif orde baru. disinilah letak paradox
sikap bung Asahan Aidit. dengan TIDAK mengharamkan
istilah "pribumi" dan "non-pribumi", bung Asahan Aidit
memberi peluang bagi element rasist untuk terus
memprovokasi jurang perbedaan antar warga-negara. dan
dengan demikian, akan selalu terjadi proses perdebatan
yang sia-sia dan terlalu dibuat-buat untuk mengaburkan
akar masalah yang sebenarnya, apabila istilah
"pribumi" dan "non-pribumi" belum dihilangkan/diharamkan.


Mayat






--- In Politik_Tionghoa@yahoogroups.com, "ChanCT" <[EMAIL PROTECTED]...> wrote:
> Bung Asahan yb,
>
>     Terimakasih atas respon yang begitu cepat. Saya jadi tertarik
dengan uraian bung mengenai istilah "Pribumi" dan "Non-Pribumi" dari
titik pandang lain, hanyalah ulah pemerintah untuk mengalihkan
masalah berat, krisis-ekonomi, krisis-politik yang dihadapi. Setuju
juga.
>
>     Tapi, juga tidak dapat diingkari bahwa adanya penggunaan
istilah "Pribumi" dan "Non-Pribumi" ini dalam sejarah yang cukup
panjang, sejak jaman penjajahan Belanda sampai Orde Baru berkuasa
itu, digunakan untuk membedakan secara ras, mendiskriminasi etnis
Tionghoa. Penggunaan istilah "Pribumi" ini hanyalah salah satu sebab
timbulnya diskriminasi ras, khususnya terhadap etnis Tionghoa, yang
menimbulkan sentimen dan kebencian terhadap etnis Tionghoa.
Sebagaimana juga bung tegaskan, "Tapi memang harus diakui, bahwa
istilah (maksudnya "Pribumi" dan "Non-Pribumi", ChanCT) yang sudah
dilaburi warna politik dengan inti reklame menarik itu, memang lebih
banyak ditujukan  pada etnis Cina dan memang lalu etnis Cina yang
lebih banyak menjadi korban  yang juga sekaligus adalah juga korban
reklame Pemerintah yang berjubah anti diskriminasi rasial. " Kutipan
selesai.
>
>     Mengapa? Begitu sebutan "Pribumi" digunakan pada sekelompok
warga, maka ada sekelompok lain yang harus disebut sebagai "Non-
Pribumi", dengan pengertian lain adalah "pendatang" yang
seharusnya "tidak berhak" menikmati kemakmuran dari jerih-payah yang
diperolehnya, atau menjadi yang dikatakan sebagai
hasil "penghisapan", "Pemerasan kejam" terhadap yang "Pribumi" itu!
Singkat kata, dalam banyak kasus kita bisa melihat sebagai satu
gejala umum ( tentu tidak mutlak), ternyata
kelompok "perantau", "pendatang" yang bertekad ingin merubah nasib
hidupnya itu, didalam dadanya terkandung semangat juang yang luar-
biasa, sehingga didalam persaingan bebas dengan yang
dinamakan "Pribumi" dimana mereka hidup, bisa lebih unggul dan
menang. Belum kita bicara siapakah sesungguhnya di Nusantara ini
orang yang berhak menyandang "Pribumi"? Bukankah kalau melihat
sejarah yang lebih jauh kebelakang, umumnya penghuni di Nusantara
ini adalah pendatang dari daerah Yunan, yang dikatakan "Melayu-tua",
dan yang dinamakan "Pribumi" Negroid dan Wedoid berkulit kehitam-
hitaman dan berambut kriting itu, yang tinggal di Nusatenggara dan
Irian itu?
>
>     Mari kita perhatikan kelanjutan dari pengunaan
istilah "Pribumi" di Indonesia yang semula hanya ditujukan pada
etnis Tionghoa itu. Pernahkah bung memperhatikan adanya
organisasi "Pembela Pribumi" yang berbau rasis ditahun-tahun 97,
menjelang meletusnya Tragedi Mei '98, yang bertujuan merebut kembali
hak-hak Pribumi yang katanya telah "dirampas" secara keji oleh etnis
Tionghoa itu? Dan kalau kita perhatikan, pertikaian di Poso yang
sedikit banyak juga ada masalah tersingkirkannya suku Maluku
yang "Pribumi" oleh pendatang Bugis itu, dan lebih jelas lagi bisa
kita lihat pertikaian suku Dayak dan Madura di Kalimantan yang
sampai bunuh-membunuh itu. Dan, ... kalau pengertian "Pribumi"
dan "Non-Pribumi" ini diteruskan, bukankah terjadi desintegrasi
NKRI? Barulah pemerintah cepat-cepat menstop, dengan tegas
menghentikan penggunaan istilah "Pribumi" dan "Non-pribumi" yang
dalam kenyataan telah membuat perpecahan bangsa Indonesia ini
menjadi lebih parah. Karena yang merasa "Pribumi" terdesak oleh "Non-
Pribumi", kelompok pendatang itu.
>
>     Jadi, saya sepenuhnya setuju dengan instruksi Presiden Habibie
itu, untuk menghentikan penggunaan istilah "Pribumi" pada sebutan
kelompok warga RI. Mengapa harus mempertentangkan warganya dengan
sebutan "Pribumi" dan "Non-Pribumi"? Seharusnyalah kita hanya
mengenal satu macam warganegara dengan hak dan kewajiban yang sama!
Tidak ada lagi pembagian klas, pribumi lebih tinggi dari yang
dikatakan non-pribumi, atau suku Jawa yang mayoritas lebih tinggi
kedudukannnya dari suku lain, atau khususnya etnis Tionghoa
sebagai "Non-Pribumi" yang boleh dianak-tirikan. Tidak seharusnya
ada pengertian anak emas dan anak tiri dalam memperlakukan
warganegaranya. Setiap orang, setiap warga mempunyai hak dan
kewajiban yang sama dan sederajat dihadapan HUKUM. Betul, kan!
>
>     Lalu, bagaimana seharusnya memperlakukan persaingan bebas yang
terjadi, dan kenyataan etnis Tionghoa, suku Bugis, suku Madura yang
dikategorikan "Non-Pribumi", sebagai "Pendatang" justru menunjukkan
keungulannya dibidang usaha-ekonomi itu? Haruskan mereka
disingkirkan dengan pernyataan telah "merampas" hak "Pribumi"?
Benarkan mereka-mereka yang berhasil usahanya itu
merupakan "penghisapan" dan "pemerasan-kejam" terhadap "Pribumi" dan
oleh karenanya boleh direbut kembali secara semena-mena?
>
>     Bagi negeri kaya yang sangat miskin, dimana ekonomi sedang
terpuruk parah seperti Indonesia ini, tidaklah mungkin sekaligus
mengangkat rakyatnya menjadi makmur sekaligus. Tidak mungkin itu,
kecuali dalam mimpi indah saja. Yang mungkin dilakukan adalah
sebagaimana dikatakan Deng Siao-ping, "Perkenankan sementara orang
kaya lebih dahulu. Dan kita gunakan mereka sebagai lokomotif untuk
meningkatkan taraf hidup rakyat banyak yang miskin", begitu kira-
kira pengertian kata Deng yang saya kira tepat dan harus kita
jalankan juga dengan baik. Berilah kesempatan sebaik-baiknya bagi
mereka yang telah berhasil menjalankan usaha-nya, dengan tidak
peduli dari suku apa, etnis apa. Mereka-lah pengusaha yang harus
digunakan sebaik-baiknya untuk mendorong maju ekonomi lebih cepat
lagi, dan dengan demikian bisa mengangkat kesejahteraan rakyat
banyak. Mereka-mereka sebagai pengusaha domestik, bukan sasaran yang
harus disingkirkan apalagi dengan pikiran rasialis sekadar untuk
menggantikan posisi mereka dengan yang dinamakan "Pribumi", akan
menjadi lebih celaka ternyata penggantinya hanyalah konco-konco
dekat pejabat tinggi yang tidak berkemampuan usaha. Langkah-langkah
demikian ini, hanyalah pemborosan yang sangat sangat merugikan
pembangunan ekonomi, hanya akan menggendutkan perut segelintir
pejabat tinggi dengan konco-konconya, tapi membuat rakyat banyak
lebih melarat lagi.
>
>     Pemerintah seharusnya memberi kemudahan bagi mereka-mereka
yang berhasil dalam usaha itu untuk meningkatkan dan mengembangkan
usahanya lebih baik lagi. Bersandar pada mereka-mereka itu untuk
mempercepat perputaran ekonomi, menjadikan mereka sebagai lokomotif
untuk menarik gerbong panjang maju kedepan, meningkatkan kemakmuran
bersama lebih dahulu. Buatlah ketentuan-ketentuan usaha sebijaksana
mungkin, tegakkanlah HUKUM sebaik mungkin, jeratlah pengusaha nakal
licik sesuai dengan ketentuan HUKUM yang berlaku, tak peduli
pengusaha itu berasal dari suku apa, etnis apa dan beragama apa,
yang salah dan curang harus di HUKUM!
>
>     Jadi, jangan main gebyah uyah, kata orang Jawa. Bagi pengusaha
berhasil harus berani kita gunakan sebaik-baiknya, tapi bagi yang
melakukan kecurangan, kelicikan yang biasa disebut pengusaha-hitam
atau konglomerat-hitam itu, juga harus tegas disingkirkan, dihukum
sebagaimana ketentuan yang berlaku! Hanya dengan cara demikian,
ekonomi bisa berkembang lebih cepat dan kesejahteraan rakyat banyak
terangkat sebaik-baiknya.
>
>     Mudah-mudahan penguasa, penjabat-pejabat tinggi di pemerintah
satu persatu menyadari betul, kebijaksanaan menggunakan sebaik-
baiknya pengusaha yang berhasil, dengan tidak peduli pengusaha itu
dari suku dan etnis apa, akan lebih mempercepat pembangunan ekonomi,
sedang pikiran berbau rasis yang selalu bertujuan untuk
menyingkirkan etnis Tionghoa atau merebut-kembali posisi mereka yang
dikatakan sebagai "Non-Pribumi", sebagai "pendatang" adalah
kebijaksanaan celaka yang membuat ekonomi terperosok kejurang lebih
dalam lagi, dan rakyat banyak akan menderita kemiskinan
berkepanjangan.
>
>     Mudah-mudahan bisa dimengerti dengan baik.
>
>     Salam,
>     ChanCT
>
>    
> ----- Original Message -----
>   From: BISAI
>   To: BUDAYA TIONGHUA ; WAHANA
>   Sent: Sunday, September 11, 2005 9:35 PM
>   Subject: [budaya_tionghua] Mengapa harus mengharamkah istilah
Pribumi dan Non Pribumi?
>
>
>
>        ASAHAN ALHAM AIDIT:
>
>
>                                                   Mengapa harus
mengharamkan
>                                          istilah Pribumi dan Non
Pribumi?
>
>        Menurut pendapat saya sebutan Pribumi dan non Pribumi
bukanlah sebab utama terjadinya sentimen ras yang memicu kerusuhan
rasial. Tapi bahwa istilah itu diberi warna politik untuk
mengesankan seolah-olah pemerintah yang mengharamkan istilah itu
adalah pemerintah yang bersih dari politik diskriminasi rasial,
adalah cuma punya sifat reklame untuk menarik satu golongan tertentu
dan mengaburkan atau mengalihkan perhatian massa rakyat dari
persoalan-persoalan berat seperti krisis ekonomi, krisis politik dan
juga krisis kebudayaan serta moral di tingkat atas. Tapi memang
harus diakui, bahwa istilah yang sudah dilaburi warna politik dengan
inti reklame menarik itu, memang lebih banyak ditujukan  pada etnis
Cina dan memang lalu etnis Cina yang lebih banyak menjadi korban 
yang juga sekaligus adalah juga korban reklame Pemerintah yang
berjubah anti diskriminasi rasial.
>   Buktinya. Ketika benar-benar telah terjadi kerusuhan rasial di
bulan Mei 1988 , apakah yang telah dilakukan oleh Pemerintah  dalam
usaha menghentikan, membatasi, mengadakan penyelidikan siapa biang
keladi kerusuhan, menangkap para penyuluh kerusuhan?, Yang kita
dengar adalah bahwa aparat negara seperti TNI, polisi cuma diam
menyaksikan kerusuhan yang sudah menjadi terror itu . Bukankah hal
ini berarti bahwa Pemerintah ketika itu cuma munafik, demagog, lain
dimulut lain di hati. Dan lalu orang-orang menyalahkan istilah
Pribumi dan Non Pribumi yang telah menjadi biang keladi dan cikal
bakal sentimen ras. Pada hal kata itu sendiri tidak punya dosa
sedikitpun dan hanya sebutan biasa tanpa warna politik atau tendensi
ras dan hanya menunjukkan tempat di mana seseorang dilahirkan atau
telah lama diam di suatu tempat dan merasa dirinya atau dianggap
adalah penduduk tempat tertentu.Tapi karena dipersoalkan dan banyak
dipersoalkan, kata itu jadi kehilangan artinya yang asli dan netral
lalu diberi warna politik sehingga menjadi peka dan bisa memancing
sentimen ras yang pada gilirannya untuk mengambil keuntungan politik
oleh segolongan atau aliran poltik tertentu. Inti masaalah sentimen
ras bukan terletak pada istilah Pribumi atau non Pribumi tapi pada
cara berfikir seseorang atau golongan atau aliran politik terhadap
satu golongan ras yang lain. Dengan kata lain pengharaman kata
Pribumi dan Non Pribumi adalah pengharaman yang dilakukan  oleh Orde
Baru itu sendiri untuk tujuan reklame yang licik dan lihai bagi
mempengaruhi psikologi massa sehingga orang-orang lupa pada masaalah
yang paling inti dari timbulnya sentimen ras sebagai satu sisitim
pemikiran dan terlena oleh daya tarik reklame dengan menggunakan
istilah yang mudah dijadikan kambing hitam. Sedangkan Pemerintah
pencipta pengharaman itu berada di balik kabut hitam yang
mengaburkan semua kemunafikan dan penipuannya sambil menyulut
sentimen ras tanpa dirasakan banyak orang. Sebaiknya kita kembali ke
persoaalan inti masaalah dan bukan pada istilah yang tak habis-
habisnya dibicarakan.
>   Dalam kenyataan yang lebih dalam, bukan hanya etnis Cina saja
yang menderita korban sentimen ras atau diskriminasi secara umum. Di
antara ras-ras atau suku-suku di Indonesia, juga saling
mendiskriminasi satu sama lain. Ini persoalan bersama semua etnis
yang ada dan bukan hanya terkonsentrasi pada satu etnis saja.
Terlalu banyak mengkonsentrasi diri sebagai etnis yang dikorbankan
akan mengakibatkan perjuangan melawan diskriminasi menjadi hanya
terfokos pada satu etnis dan itu akan berakibat kembali ke
diskriminasi terpusat sehinggap perhatian tertuju ke satu pusat.
Korban diskriminasi di Indonesia mencakup ratusan juta atau sebagian
terbesar penduduk Indonesia. Setiap hari mereka dibunuhi secara
psikologis, secara ekonomis, secara moril maupun materil. Bukankah
kita lebih baik  menyatukan diri dalam perjuangan bersama melawan
diskriminasi yang telah membudaya dalam masyarakat Indonesia yang
membuat terpuruknya bangsa ini. Jadi bukan cuma meng-utik-utik soal
istilah Pribumi dan non pribumi melulu sambil berlari jauh dari inti
persoalan yang sesungguhnya yang bahkan bisa lebih menyulut sentimen
ras. Semua kita adalah korban historis dan kontemporer Orde Baru.
Tanpa menyedari hal ini cuma akan menguntungkan Orde Baru dan
memperpanjang keterpurukan bangsa. Waspadalah terhadap reklame Orba
dan jangan cepat-cepat membelinya dengan harga murah, bungkusnya
indah, isinya tuba.
>   asahan aidit.
>       
>
>
>   .: Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :.
>
>   .: Kunjungi website global : http://www.budaya-tionghoa.org :.
>
>   .: Untuk bergabung :
http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua :.
>
>   .: Jaringan pertemanan Friendster : [EMAIL PROTECTED]... :.
>
>
>
>   SPONSORED LINKS Indonesia  Culture 
>
>
> -------------------------------------------------------------------
-----------
>   YAHOO! GROUPS LINKS
>
>     a..  Visit your group "budaya_tionghua" on the web.
>      
>     b..  To unsubscribe from this group, send an email to:
>      [EMAIL PROTECTED]
>      
>     c..  Your use of Yahoo! Groups is subject to the Yahoo! Terms
of Service.
>
>
> -------------------------------------------------------------------
-----------





------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~-->
Get fast access to your favorite Yahoo! Groups. Make Yahoo! your home page
http://us.click.yahoo.com/dpRU5A/wUILAA/yQLSAA/4IYolB/TM
--------------------------------------------------------------------~->

 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/Politik_Tionghoa/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



.: Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :.

.: Kunjungi website global : http://www.budaya-tionghoa.org :.

.: Untuk bergabung : http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua :.

.: Jaringan pertemanan Friendster : [EMAIL PROTECTED] :.




YAHOO! GROUPS LINKS




Reply via email to