PUSARAN DILEMA TIONGHOA

Masyarakat Tionghoa menghadapi dilema-dilema seputar masalah
pluralitas dan heterogenitas yang berasal dan tetap hidup di dalam
komunitas Tionghoa sekaligus persoalan-persoalan yang berkaitan 
dengan
eksistensi golongan Tionghoa sebagai salah satu suku dalam
ke-bangsa-an Indonesia, posisinya sebagai warga-negara Republik
Indonesia, pengakuan-penerimaan dan penghormatan publik terhadap
identitas ke-Tionghoa-an serta relasi antara golongan Tionghoa dengan
struktur politik nasional sebagai super-struktur yang turut
berpengaruh dalam menentukan opini publik terhadap golongan Tionghoa
dll. Sebagai langkah pertama, golongan Tionghoa perlu menjernihkan
kesadarannya tentang hak-hak asazi yang melekat pada dirinya sebagai
sekelompok manusia yang patut dihargai secara wajar serta memperjelas
persepsi mengenai identifikasi dirinya sebelum melangkah lebih jauh 
ke
arena publik seperti arena politik praktis. 

Identitas etnik merupakan faktor general yang menentukan
indiferensiasi sederhana mengenai posisi dan nasib golongan Tionghoa
secara keseluruhan. Publik, pada umumnya, gagal memahami pluralitas
Tionghoa yang bercorak dinamis. Ketidak-mampuan publik untuk melihat
dan menilai komunitas Tionghoa secara benar dan objektif merupakan
kegagalan ‘komunikasi politik’ komunitas Tionghoa dalam
mengartikulasikan kepentingan dan suaranya. Indikasi  lain dari
kegagalan komunikasi politik itu dapat dilihat pada adanya anggapan
bahwa perjuangan anti-diskriminasi terhadap Tionghoa sebagai sebuah
gerakan ‘cengeng’. Hal ini juga merupakan satu sinyalemen dari
ketidak-berhasilan komunitas Tionghoa untuk merangkul
golongan-golongan lain dalam perjuangan menciptakan Indonesia-Baru
yang bebas dari perilaku rasialis serta menyakinkan publik bahwa
masalah Tionghoa adalah juga masalah Bangsa Indonesia seperti halnya
masalah Bangsa Indonesia juga merupakan masalah komunitas Tionghoa.  

Persepsi negatif beberapa kelompok ini disebabkan, salah satunya,
karena domain politik, sosial, ekonomi dan ekspresi budaya Tionghoa
dikuasai dan dikelola secara paternalistik oleh segelintir elite
Tionghoa yang pada akhirnya menjadi rujukan publik untuk menilai
Tionghoa sebagai golongan. Lemahnya kontrol masyarakat Tionghoa
terhadap perilaku para elite dan tokoh Tionghoa mempermudah 
segelintir
tokoh Tionghoa untuk menggeser perjuangan masyarakat Tionghoa menjadi
kepentingan pribadi yang bersifat elitis. Minimnya evaluasi publik
terhadap kebijakan ormas tionghoa dan gerakan Tionghoa mempersulit
lahirnya sebuah gerakan Tionghoa yang lebih matang dan tersistematis
dalam mengartikulasikan kepentingan kelompok ini sebagai sebuah
kelompok etnis.  

Dalam kondisi seperti ini, tidak terlalu mengherankan apabila banyak
kalangan dengan cepat bereaksi dengan memberi penilaian yang bernada
negatif. Sebagai misal, seringkali satu orang konglomerat hitam
beretnis Tionghoa yang dikenal publik di luar kalangan Tionghoa sudah
cukup bagi banyak kalangan publik untuk memberikan penilaian bahwa
golongan Tionghoa adalah golongan kaya yang korup. Perilaku oportunis
satu orang politisi Tionghoa dapat menjadi bukti validitas tudingan
oportunisme komunitas Tionghoa pada saat tidak terdapat suara kritis
yang berasal dari komunitas Tionghoa untuk mempertanyakan perilaku
oportunistik politisi Tionghoa tersebut. 

Tionghoa, seperti golongan suku lain di Indonesia, bukanlah sebuah
masyarakat yang statis dan homogen. Sekalipun rezim otokratik Orde
Baru berusaha mengesankan golongan Tionghoa sebagai single-community
yang bulat dan seragam namun pada kenyataannya golongan masyarakat
Tionghoa terdiferensiasi ke dalam fragment-fragment yang cukup
kompleks seperti identifikasi sub-etnis, kumpulan marga-marga,
stratifikasi sosial-ekonomis, ways of thinking,
pandangan-keberpihakan-kesadaran politik, identitas keagamaan dsb. E
Pluribus Unum adalah hakekat intrinsik golongan Tionghoa. Sehingga
deskripsi-deskripsi tentang Tionghoa seperti Tionghoa sebagai 
golongan
kaya, ekslusif, intoleran, apatis dsb merupakan simplifikasi partial
apriori terhadap golongan Tionghoa. 

Homogenitas ‘by nature’ komunitas Tionghoa hanya dapat dilihat 
dari
kesamaan ciri-ciri biologis seperti (sekalipun tidak selalu) bermata
sipit, berkulit lebih putih, rambut lurus dsb. Sedangkan homogenitas
‘by political design’ dapat dilihat dengan dijadikannya komunitas
Tionghoa sebagai korban perasaan rasialis yang disalah-gunakan oleh
kalangan partikelir elite politik yang pada akhirnya memposisikan
golongan Tionghoa sebagai segmented target amarah masyarakat dalam
setiap kerusuhan politik akibat kegagalan pemerintah/oligarkhi 
politik
dalam pengelolaan sektor ekonomi atau di saat terjadi deadlock dalam
perlombaan perebutan kursi kekuasaan yang dimanipulasi menjadi 
konflik
SARA. Disinilah letak totalitas Tionghoa sebagai “single-
community”
dalam perspektif manipulative rezim Orde Baru sekaligus sebagai 
dilema
yang dihadapi oleh komunitas Tionghoa.

Rezim Orde Baru mewariskan begitu banyak persoalan. Seiring dengan
tumbangnya rezim Orde Baru, rakyat Indonesia menuai kemenangan yang
pada intinya sekaligus kekalahan. Secara formal, kemenangan bangsa 
Indonesia adalah keberhasilan lepas dari cengkraman Orde Baru. 
Sekaligus, pada saat yang bersamaan, kalah ketika secara substansial
ternyata sifat dan sikap atau faham Orde Baru tak ikut mati. Selain
meninggalkan hutang yang luar biasa besar kepada negara-negara Barat,
banyak sekali budaya warisan Orde Baru yang masih melekat (atau
semakin membudaya?) dalam benak dan praktek sehari-hari bangsa ini.
Dan warisan Orde Baru itu sudah terlanjur menjadi semacam flatform 
tak
resmi bangsa Indonesia. Bukan rahasia lagi jika negara Indonesia
menduduki peringkat atas dalam kasus tindak korupsi, disamping
masalah-masalah rasial, diskriminasi dan konflik horisontal yang
terhitung banyaknya. 

NKRI sebagai negeri yang berdaulat dan bermartabat sepenuhnya
berdasarkan hukum dan sejak kelahirannya pada tahun 1945 telah
mengekspresikan penghargaannya yang tinggi terhadap HAM, bahkan
sebelum Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia diproklamasikan PBB 
pada
tanggal 10 Desember 1948. Hal ini dapat dilihat dari fakta bahwa UUD
45 memuat ketentuan tentang penghormatan beberapa HAM yang sangat
penting seperti hak semua bangsa atas kemerdekaan (alinea pertama
Pembukaa UUD 45), hak atas kewarganegaraan (pasal 26), persamaan
kedudukan semua warga negara Indonesia di dalam hukum dan 
pemerintahan
(pasal 27 ayat 1), hak warga negara Indonesia atas pekerjaan (pasal 
27
ayat 2), hak setiap warga negara Indonesia atas kehidupan yang layak
bagi kemanusiaan (pasal 27 ayat 2), hak berserikat dan berkumpul bagi
setiap warga negara (pasal 28), hak setiap penduduk untuk memeluk dan
beribadat menurut agama dan kepercayaannya masing-masing (pasal 19
ayat 2), dan hak setiap warga negara Indonesia atas pendidikan (pasal
31 ayat 1). 

Pasca jatuhnya rezim Orde Baru, Indonesia mengambil langkah maju
dengan segera merespon arus reformasi dengan pencanangan Rencana Aksi
Nasional di Bidang HAM 1998-2003 melalui Keppres No. 129 (yang
kemudian dilanjutkan dengan RAN HAM kedua 2004-2009 melalui Keppres
No. 40 tahun 2004) dan ratifikasi atau pengesahan Convention Against
Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment
(Konvensi Menentang Penyiksaan atau Perlakuan atau Penghukuman Lain
yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia), 1984
pada 28 September 1998 (Undang-Undang No. 5 tahun 1998); Lembaran
Negara Tahun 1998 Nomor 164; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3783.
Selain itu melalui Undang-Undang No. 29 tanggal 25 Mei 1999, 
Indonesia
juga telah meratifikasi International Convention on the Elimination 
of
All Forms of Racial Discrimination (Konvensi International tentang
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial) dll. 

Namun seringkali antara Peraturan dan Praktek masih memiliki jarak.
Implementasi dari seluruh perangkat Undan-Undang yang telah
diratifikasi masih terlalu lemah. Sehingga konvergensi antara
Peraturan dan Praktek masih perlu diupayakan oleh seluruh golongan
rakyat, termasuk golongan Tionghoa. Adalah kewajiban golongan 
Tionghoa
untuk mendukung, mempraktekan seluruh peraturan yang menjadi landasan
Hukum NKRI sebagai bentuk loyalitas terhadap negara. 

Semua golongan dan lapisan masyarakat merupakan komponen yang 
berperan
secara aktif dan langsung dalam membentuk konstruks persepsi objektif
terhadap golongan Tionghoa, termasuk golongan Tionghoa itu sendiri.
Hal ini menuntut golongan Tionghoa untuk ber-aktivitas dengan lebih
menyeluruh dan bersifat substansial daripada sekedar euforia 
kebebasan
atau hanya berorientasi pada aktivitas-aktivitas yang bersifat
artifisial. Golongan Tionghoa perlu mendorong maju kegiatan-kegiatan
seperti usaha merapatkan jarak antara organisasi massa berbasis
Tionghoa dengan masyarakat Tionghoa, mendemokratiskan
organisasi-organisasi Tionghoa sehingga memungkinkan partisipasi
masyarakat Tionghoa secara lebih luas, mengadakan evaluasi kritis
terhadap tokoh-tokoh politik dan figure-figure bisnis yang berkaitan
langsung dengan identitas etnis Tionghoa serta kegiatan-kegiatan
dialog dengan seluruh elemen anak bangsa untuk menghindari conflict 
of
interest yang tidak perlu dll. 



Kenken
Institute Multikulturalisme Indonesia
[EMAIL PROTECTED]







------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Make a difference. Find and fund world-changing projects at GlobalGiving.
http://us.click.yahoo.com/j2WM0C/PbOLAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

.: Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :.

.: Kunjungi website global : http://www.budaya-tionghoa.org :.

.: Untuk bergabung : http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua :.

.: Jaringan pertemanan Friendster : [EMAIL PROTECTED] :. 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke