Melempar kembali sebuah tulisan Pak Asvi yang ditulis pada tahun
2002 tentang kata "Pribumi", sangat baik untuk direnungkan
bersama.
Salam,
ChanCT
http://www.mesias.8k.com/artikel.htm
Asvi
Warman Adam
Jangan
Buat Masalah Lagi dengan Kata "Pribumi"
PAKAR sejarah
Asvi Warman Adam mengingatkan jangan membuat masalah lagi dengan kata "pribumi"
seperti dimunculkan dalam Rancangan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
(Rantap MPR) tentang Rekomendasi Kebijakan untuk Mempercepat Pemulihan Ekonomi
Nasional (RKMPEN).
Seperti diketahui, Jumat (9/8), rapat konsultasi
pimpinan MPR dengan pimpinan fraksi dan Komisi B pada Sidang Tahunan (ST) MPR
2002 di Gedung DPR/MPR, Senayan, Jakarta disepakati
penggunaan kata "pribumi" dalam rantap dimaksud. Pertimbangannya, seperti
dikutip dari penuturan Ketua Komisi B Rambe Kamarulzaman, majelis melihat selama
ini keberpihakkan kepada "pribumi" masih sangat kurang. Padahal, sebagian besar
rakyat "pribumi" masih berada di bawah kemiskinan. Hitungan majelis, dari 60
juta rakyat yang menderita di bawah kemiskinan sebagian besar
"pribumi".
Bertolak dari hal tersebut, kepada KCM yang menghubunginya di
Jakarta, Jumat,
Asvi mengatakan dirinya terkejut dengan pemakaian kata tersebut. "Pemakaian kata
itu membuat kita semua mengalami langkah mundur," kritik Asvi.
Asvi yang
sepakat bahwa kata "pribumi" dalam khazanah Bahasa Indonesia tidak beranjak dari
dikotomi dengan kata "nonpribumi" sampai kini tetap berkonotasi membedakan
antara etnis satu dengan lainnya, persis sama dengan yang dulu diterapkan di
masa penjajahan kolonial Belanda. Waktu itu, "nonpribumi" diidentikkan,
khususnya, dengan warga etnis Cina. "Tapi, itu
kan dulu. Kalau
sekarang digunakan, ya, saya kira, tidak pada tempatnya lagi,"
tuturnya.
Atas pendapatnya itu, Asvi menuturkan, kata "pribumi" menjadi
tidak relevan karena memunculkan perdebatan seputar siapa yang sebetulnya
disebut "pribumi". Sebab, dalam pengamatannya, semua "pribumi" pada dasarnya
adalah pendatang di suatu wilayah. "Yang mengaku "pribumi"
kan pendatang
yang lebih dahulu menempati tempat tersebut. Jadi, faktornya adalah siapa yang
paling dahulu datang kan,"
ulasnya.
Pun, jika kata itu hendak dimasukkan dalam konteks etnis Cina
dan bukan, di masa seperti ini, pembedaan macam itu amat tidak pada tempatnya.
Dalam kehidupan sehari-hari, Asvi memberi contoh, warga etnis Cina sudah lebih
bebas mengekspresikan diri mereka. "Pertunjukan barongsai kini bisa dilihat di
mana-mana," paparnya.
Dengan demikian, kata "pribumi" yang dimanipulasi
demikian rupa oleh rezim baik Orde Lama maupun Orde Baru dengan berbagai
persoalan ketidakadilan selayaknya ditinggalkan. Catatan sejarah memilukan
semestinya memang harus dihentikan dengan becermin pada apa yang terjadi di masa
lalu.
Lalu, langkah mundur penggunaan kata "pribumi", jelas Asvi, harus
dibandingkan pula dengan belum tuntasnya kita membahas masalah "Indonesia asli"
dalam diskusi amandemen Undang-Undang Dasar 1945 soal Presiden Indonesia. "Kita
kan masih belum
selesai membahas soal Presiden harus Indonesia asli,"
ujarnya mengingatkan.
Jadi, selain langkah mundur, kemudian, pemakaian
kembali kata "pribumi", kalau rantap dimaksud jadi, akan memunculkan masalah
krusial di kemudian hari. Oleh karena itu, sudah seharusnya kata tersebut
dihilangkan.
Sebagai gantinya, Asvi mengusulkan agar dipakai saja kata
"ekonomi kerakyatan". Baginya, dua kata itu signfikan untuk dimanfaatkan sebagai
lawan dari, contohnya, "ekonomi kapitalis" yang kurang sesuai dengan kondisi
rakyat Indonesia. Begitu
rentannya kata "pribumi" tersebut akan berbagai perdebatan dan persoalan rawan
lainnya hingga Asvi menegaskan sekali lagi," Jangan buat masalah lagi dengan
kata pribumi".*(prim)
Asvi Warman Adam, peneliti LIPI, doktor
sejarah dari Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales,
Paris.
Sumber: Sarapan Pagi Kompas Cyber Media, Sabtu, 10 Agustus
2002, 11:42
WIB