Pergulatan
Batin Seorang Perempuan WNI
Oleh Siti M.Adam
Sebetulnya sumber
pergulatan batin saya ini bermuara dari kenyataan bahwa saya menikahi
seorang WNA. Sebelum memutuskan “I do” untuk menikahinya, saya terlebih
dahulu mempelajari aspek hukum yang akan timbul sebagai konsekuensi
dari pernikahan tersebut. Saat itu rasanya saya sanggup menjalaninya,
maklum namanya orang yang sedang jatuh cinta. Meskipun saya lihat
banyak hal yang mengganjal dalam peraturan perundangan Indonesia, baik
yang mengangkut hokum perkawinan (UU No. 1 tahun 1974), hokum
kewarganegaraan( Nomor 62 Tahun 1958 ), hukum agrarian ( UUPA No 5
Tahun 1960) dan hak berpolitik. Tulisan ini hanya terbatas menyoroti
soal hukum perkawinan dan hukum kewarganegaraan.
Baiklah, bila Anda tidak punya waktu yang cukup untuk membaca
perundang-udangan di atas, saya mencoba meringkaskannya disini sehingga
akan membantu Anda lebih memahami pergulatan batin saya sebagai pelaku
pernikahan campuran (istilah ini dipakai dalam UU perkawinan diatas
untuk menyebut pasangan suami istri yang berbeda kewarganegaraan ).
Konsekuensi pertama yang terasa langsung adalah sulit bagi kami untuk
bisa tinggal di Indonesia setelah menikah. Lho? Kenapa? Pertama, karena
pada kenyataannya berdasarkan hukum Indonesia diatas, saya sebagai
istri tidak bisa menjadi sponsor suami untuk memperoleh ijin tinggal di
Indonesia. Ijin tinggal yang dimaksud adalah memperoleh KITAS yaitu
Kartu Ijin Tinggal Terbatas, sehingga suami saya mempunyai hak untuk
bisa tinggal dan bekerja di Indonesia secara legal. KITAS berlaku
selama masa satu tahun dan dapat diperpanjang setiap tahunnya. Memang
tanpa KITAS suami saya masih bisa tinggal di Indonesia bila memegang
visa turis atau visa sosial budaya. Tapi, kedua visa itu sama saja,
tidak memberikan hak apapun kepada suami, selain hak menjadi seorang
turis yang artinya tidak bisa bekerja atau sekolah dan hanya boleh
tinggal di Indonesia dalam jangka waktu sangat pendek yaitu antara 1-6
bulan saja.
Jalan satu-satunya agar suami bisa memperoleh KITAS hanyalah bila dia
memperoleh pekerjaan di Indonesia dan perusahaan inilah yang nantinya
akan menjadi sponsornya. Tentu saja Anda tahu kan, betapa susahnya
mencari pekerjaan di Indonesia sekarang ini? Jangankan untuk orang
asing, untuk bangsa sendiri saja susah sekali. Sebetulnya suami saya
sangat ingin bisa tinggal di Indonesia untuk belajar bahasa, mengenal
kebudayaan dan menyumbangkan pengetahuannya buat masyarakat Indonesia.
Tetapi jika dia hanya bisa jadi turis bagaimana kami bisa mengasapi
dapur keluarga ?
Akhirnya pilihan yang ada hanyalah kami harus tinggal di Luar
Indonesia. Tentu saja konsekuensinya saya harus meninggalkan semua
kehidupan saya di Indonesia dan memulai semuanya dari awal lagi di
negeri yang baru. Baiklah, saya berusaha berpikir bahwa saya
meninggalkan Indonesia ‘for good’. Tapi sulit rasanya menutupi
kekecewaan bahwa pada kenyataannya hukum di Indonesia telah mematikan
hak seorang perempuan WNI yang menikahi WNA, dalam hal tidak
diperbolehkannya istri menjadi sponsor suaminya untuk tinggal di
Indonesia. Saya merasa ‘diusir’ dari negeri sendiri. Padahal apa
salahnya bila saya ternyata berjodoh dengan seorang WNA?
Persoalan hukum keimigrasian dalam keluarga saya semakin menjadi
kompleks lagi setelah kehadiran seorang anak. Kebetulan bayi kami lahir
di luar negara kami ( bukan di negara suami saya, juga bukan di
Indonesia ). Secara hukum baik menurut hukum US atau Kanada anak saya
berhak mengklaim berkewarganegaraan ganda yaitu sebagai WN negeri di
tempat kelahiran dan secara otomatis juga berhak menuruni
kewarganegaraan ayahnya. Bagaimana dengan hukum Indonesia? Andaikan
anak saya lahir di wilayah Indonesia sekalipun, dia tidak berhak
mengklaim kewarganegaraan Indonesia, meskipun ibu kandungnya adalah
orang asli Indonesia yang juga lahir dan besar di Indonesia! Memang
anak saya bisa saja mengajukan kewarganegaraan Indonesia, tapi dia
harus menunggu sampai berumur 18 tahun dan sudah tinggal menetap
sekurang-kurangnya lima tahun di Indonesia. Sungguh, sebuah proses yang
menghabiskan banyak waktu, tenaga, pikiran dan dana. Dan yang
terpenting adalah lagi-lagi hukum Indonesia telah mematikan hak seorang
warganya untuk menurunkan kewarganegaraannya kepada anak kandungnya.
Apa salahnya saya terlahir sebagai perempuan WNI sehingga hak-hak saya
dimatikan?
Syukurlah pernikahan kami tidak ada masalah sampai saat ini, tapi
bagaimana bila misalnya suami meninggal atau kami bercerai ( do’akan ya
semoga saja tidak terjadi)? Terbayanglah kerepotan yang akan timbul
bila suami saya meninggal tiba-tiba, untuk pulang ke Indonesia rasanya
sudah ‘trauma’ dengan masalah pengurusan ijin tinggal buat anak-anak
yang ruwet, berbelit-belit dan menyedot dana tidak sedikit. Belum lagi
persoalan bagaimana untuk menopang ekonomi keluarga? Saya bukan orang
kaya yang bisa hidup tanpa bekerja. Tapi, siapa sih yang mau
memperkerjakan seorang perempuan yang sudah tidak muda lagi, janda dan
beranak pula di Indonesia?. Bukankah dalam hampir semua iklan lowongan
kerja selalu disebutkan batasan umur dan status perkawinan bila ingin
melamarnya? Jelas ini semakin mempersempit kesempatan mendapatkan
pekerjaan. Jikapun beruntung ada yang bersedia menerima pegawai semacam
saya, apakah saya akan mendapatkan upah yang cukup untuk menutupi biaya
hidup kami?
Sebagai seorang ibu saya sangat takut jika tidak sanggup membiayai
sekolah anak saya yang terpaksa harus bersekolah di sekolah swasta
karena tidak diperbolehkan bersekolah di sekolah negeri. Anda tahu
sendirilah bagaimana tingginya biaya sekolah swasta sekarang ini,
bukan? Satu lagi ketakutan saya adalah bila tidak sanggup memperpanjang
ijin tinggal anak, bagaimana bila dia dideportasi? Kemana dia harus
pergi? Ah, masih banyak sekali deretan ketakutan yang akan panjang
sekali bila saya tuliskan semuanya disini. Tapi satu hal yang pasti
semua ketakutan tersebut bersumberkan pada masih berlakunya proses
perundangan yang samasekali tidak mengakomodasi pelaku pernikahan
campuran khususnya antar perempuan WNI dan laki-laki WNA. Belum lagi
ditambah dengan segudang pekerjaan rumah untuk menjawab pertanyaan
apakah anak(-anak) saya siap beradaptasi untuk hidup di Indonesia?
Bukankah biasanya benturan budaya yang dialami anak-anak yang datang
dari negeri ‘maju’ ke Indonesia rasanya akan jauh lebih dahsyat
daripada sebaliknya?.
Bagaimana bila terjadi perceraian diantara kami? Anak saya kalaupun
pada akhirnya pengadilan memutuskan bahwa hak asuhnya jatuh ke tangan
saya, tapi seandainya kami memutuskan tinggal di Indonesia dalam
pengurusan untuk memperoleh ijin tinggalnya tetaplah harus menyertakan
surat ijin dari ayahnya. Bagaimana bila ayahnya tidak bersedia membuat
surat ijin tersebut? Hal yang paling saya takutkan dari sebuah
perceraian, yaitu kehilangan anak bila saya ngotot ingin tinggal di
Indonesia.
Hal-hal diatas itulah yang akhirnya mendorong saya berpikir untuk
berganti kewarganegaraan mengingat Indonesia tidak mengenal dwi
kewarganegaraan. Buat apa mempertahankan paspor hijau ( baca Indonesia)
jika hak-hak saya dimatikan dan kami tidak punya masa depan disana?
Selain untuk mengantisipasi sejak dini keadaan diatas, dengan memiliki
paspor negara baru juga memberi beberapa peluang baru pula buat saya.
Misalnya semakin luasnya pilihan tempat untuk bekerja. Bila saya
memiliki paspor negara baru itu maka sesuai perjanjian NAFTA ( North
American Free Trade Agreement) memberi peluang saya untuk bekerja di
tiga negara ( Mexico, US dan Kanada) dengan proses pengurusan ijin
kerja yang sangat mudah. Peluang lainnya, saya bisa menjadi sponsor
saudara kandung/keponakan untuk memperoleh ijin tinggal tetap di negara
baru tersebut. Selain berbagai peluang diatas masih ada tambahan bonus
lagi yaitu bila saya berkesempatan jalan-jalan ke negara lain, banyak
sekali negara yang bisa saya kunjungi tanpa perlu mengurus visa yang
kadang-kadang bikin stress juga.
Pada awalnya, saya sangat antusias mengurus persiapan berganti
kewarganegaraan ini. Tapi anehnya semakin hari semakin pudar antusiasme
saya itu. Saya gamang. Saya sering bertanya-tanya lagi : “Tepatkah saya
bila berganti kewarganegaraan?”. Karena sebetulnya saya selalu
bercita-cita satu hari nanti kembali ke Indonesia dan menularkan
pengetahuan baik yang saya dapatkan dan rasakan selama tinggal di Luar
Indonesia.. Bukankah untuk mewujudkan cita-cita tersebut akan lebih
mudah bila saya tetap mempertahankan ke-WNI-an saya?
Selain itu, disisi lain saya juga semakin menyadari bahwa setelah
beberapa tahun tinggal di negeri asal suami rasanya seperti ada gap
yang membuat saya tidak bisa 100% merasa pas didalamnya. Gap ini lebih
dikarenakan romantisme yang kuat tentang kehidupan di Indonesia yang
sudah saya jalani lebih dari dua dekade. Sekarang, saya merasa satu
kaki berpijak di Indonesia dan kaki lainnya dinegeri baru. Saya sangat
mencintai Indonesia tetapi saya juga harus berpikir panjang dengan
keadaan saya sekarang ini.
Ketika hal ini saya bicarakan dengan teman-teman senasib, yaitu para
perempuan WNI yang menikahi WNA, mereka pun banyak yang merasakan hal
yang saya alami. Sebagian dari mereka akhirnya berketetapan hati tetap
menjadi WNI, sebagian yang lain memutuskan berganti kewarganegaraan dan
yang terakhir adalah kelompok yang berada dalam kebingungan seperti
saya. Jangan heran dari kelompok bingung ini ada yang merasa perlu
menjalani konseling psikologi untuk menentukan keputusan. Saya sendiri
sampai sekarang belum bisa memutuskan untuk tetap berpaspor hijau atau
segera menggantinya dengan paspor warna lain.
Toronto, 5 Oktober 2005
*Siti M.Adam adalah Ibu Rumah Tangga yang menikah
campuran, Tinggal di Toronto - Kanada
.: Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :.
.: Kunjungi website global : http://www.budaya-tionghoa.org :.
.: Untuk bergabung : http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua :.
.: Jaringan pertemanan Friendster : [EMAIL PROTECTED] :.
YAHOO! GROUPS LINKS