Demokrasi itu mempunyai karakter klas masyarakat. Kalau orang Yusuf Kalla bilang demokrasi, mungkin saja berbeda dengan pengertian tukang becak. Sama halnya demokrasi a la USA tentunya beda dengan Tiongkok yang dipimpin oleh PKT.
 
----- Original Message -----
From: USEN Lim
Sent: Thursday, November 10, 2005 12:43 AM
Subject: [budaya_tionghua] Resensi Buku BELAJAR DARI CINA

Demokrasi itu Hanya Omong Kosong Amerika?



Judul : Belajar dari Cina: Bagaimana Cina Merebut Peluang Dalam
Era Globalisasi

Penulis : I Wibowo

Editor : P. Cahanar

Penerbit : Kompas

Cetakan : Januari 2004; April 2004



Menarik sekali tulisan-tulisan di Kompas pada tanggal 7 Februari 2005, ada tiga
tulisan yang berkaitan dengan buku ini. Pada bagian Finansial di halaman 27, ada
dua judul: ‘Soal Kurs, G7 Harus Libatkan China’ dan ‘Jumlah Warga China yang
Kapitalis Kian Bertambah’. Sementara pada bagian Opini di halaman 47 ada satu
judul:’”Societas” Dialogal’ yang ditulis oleh Armada Riyanto, seorang Doktor
Filsafat. Secara kebetulan, saya sedang mempersiapkan resensi buku ‘Belajar dari
Cina’ yang—setelah saya baca—ternyata berkaitan dengan ketiga artikel tersebut



Dua artikel pada bagian Finansial tidak perlu ditelaah lebih lanjut karena dari
judulnya sudah ketahuan bahwa isinya mengenai kemajuan negara China. Maka
sebaiknya langsung menuju pada artikel pada bagian Opini.



Dalam ‘”Societas” Dialogal’ tertulis pada baris pertama, ‘Emblem utama sebuah
negara demokratis ialah terbentuknya societas dialogal....Terminologi societas
memiliki akar kata bahasa Latin, socius, yang berarti ‘kawan, teman, sahabat.’
Lalu, ‘Dalam logika office of justice..., kemajuan etis dialogal sebuah negara
mendahului upaya-upaya kemajuan ekonomi, teknologi, dan sains. Artinya,
janganlah membayangkan tentang peningkatan ekonomi, selagi atmosfer societas
kita tidak menawarkan suasana dialogal yang bagus.’ Mari kita garis bawahi:
‘kemajuan etis dialogal sebuah negara mendahului upaya-upaya kemajuan ekonomi’.
Sebagai perbandingan, kita akan comot satu kalimat dari buku ini: ‘Cina yang
selama 25 tahun terakhir ini terus-menerus mengalami pertumbuhan ekonomi yang
spektakular (rata-rata 8 % per tahun), seakan-akan menggugat kebenaran tesis
adanya hubungan erat antara demokrasi dan pertumbuhan ekonomi.(hlm.125)’ Dua
kalimat yang bertentangan ini adalah topik resensi buku ini.



Sebelum melangkah lebih lanjut, haruslah diingat bahwa makna suatu kata atau
konsep perlu diperhatikan konteksnya dengan hati-hati. Dalam artikel tersebut,
Dr. Armada memperbincangkan demokrasi lebih pada kaitannya dengan kehidupan
masyarakat dari suatu negara. Sementara dalam buku ini, Dr. I Wibowo
memperbincangkan demokrasi lebih pada kaitannya dengan sistem politik suatu
negara. Maka, ada kemungkinan pula bahwa dua premis yang kelihatannya
bertentangan ternyata sebenarnya tidak bila dipandang dari sudut pandang lain.



Kembali ke topik demokrasi dan pertumbuhan ekonomi, tampak bahwa sebenarnya arah
pembicaraan buku ini adalah model pembangunan. Hampir model, tepatnya, karena
buku ini masih berjudul ‘Belajar dari Cina’, bukannya ‘Model Cina’. Buku ini
mengambil suatu negara yang sebenarnya suksesnya terlalu dibesar-besarkan yaitu
Cina. ‘Exaggerating the China Threat’ adalah artikel panjang yang diturunkan Far
Eastern Economic Review yang menunjukkan bahwa investasi global yang diterima
oleh Cina lebih kecil daripada yang diterima oleh Singapura, Hong Kong, Vietnam,
dan Thailand. Dengan Malaysia sama (hlm. 41). Berdasarkan hal itu, Dr. I Wibowo
mengambil kesimpulan: “ancaman Cina” mungkin lebih terasa tapi ini bukan karena
Cina yang hebat. Indonesia sendiri yang kalah bersaing, tidak mampu menyediakan
fasilitas menarik bagi investor asing. Menarik sekali bahwa pendapat ini
diterbitkan tidak terlalu lama berselang yaitu tahun 2003 di Majalah Trust.



Jika kemudian iklim usaha Indonesia dan Cina dibandingkan (Kompas, 26 Agustus
2002) akan tampak bahwa Indonesia ketinggalan terutama pada bidang Polkam
(kepastian hukum dan keamanan) dan Ketenagakerjaan (peraturan, upah buruh,
serikat pekerja, dan produktivitas). Sementara di bidang Moneter dan Fiskal,
Energi, dan Infrastruktur Indonesia relatif bersaing dibandingkan Cina.



Perbandingan di mana Indonesia ketinggalan adalah sebagai berikut. Di bidang
Polkam kepastian hukum dan keamanan di Indonesia tidak pasti sedangkan di Cina
pasti. Keterangannya: Kondisi Polkam Indonesia tidak stabil, bahkan indeks
country risk cenderung meningkat, ditandai dengan sering terjadi kerusuhan,
penjarahan pabrik, keamanan lingkungan yang memprihatinkan. Di Cina, kondisi
polkam relatif stabil. Di Indonesia nilai tukar rupiah terhadap dollar AS sangat
rentan dengan isu politik dan keamanan.



Di bidang Ketenagakerjaan, peraturan di Indonesia tidak jelas sementara di Cina
jelas. Upah buruh di Indonesia jelas, di Cina jelas. Serikat pekerja di
Indonesia banyak, di Cina tidak ada. Produktivitas di Indonesia 60%, di Cina
80%. Keterangannya: Peraturan ketenagakerjaan berubah-ubah sebagai contoh kasus
Kepmen No. 150/2000, menyebabkan kerusuhan buruh 14 Juni 2001 di Bandung.
Hubungan industrial antara pengusaha dan buruh di Indonesia masih belum harmonis
sehingga seringkali menimbulkan masalah-masalah ketenagakerjaan yang
berlarut-larut. Jumlah serikat pekerja yang terus bertambah membutuhkan energi
ekstra pengusaha untuk memanage-nya dengan baik. Demo buruh cenderung meningkat
di Indonesia.



Dengan data-data di atas, akan ditemukan bahwa pokok persoalannya, apabila
disederhanakan secara berlebihan, adalah pada hubungan antar manusia (Politik,
Keamanan, Ketenagakerjaan) bukan pada—secara kasar—hal-hal di luar hubungan
antar manusia (Moneter dan Fiskal, Energi, dan Infrastruktur). Jelas, kalau
ditelaah lebih lanjut, hal ‘hubungan manusia’ ini tidak sederhana. Ini
menyangkut ideologi (kapitalisme/sosialisme/komunisme), kepemimpinan (alih
generasi; hubungan partai-pemerintah;), nilai-nilai budaya, hubungan
internasional (globalisasi; di WTO, di PBB), dan akhirnya tentu saja hukum
(perburuhan, korupsi). Sedikit banyak, ini juga juga akan menyentuh hubungan
antara demokrasi dengan pertumbuhan ekonomi.



Kalau mencari jawaban dengan membaca buku ini, maka pembaca akan menemui
terlebih dahulu bahwa sejarah Cina benar-benar kompleks, berkelok-kelok, penuh
kejutan di sana-sini, peristiwa berdarah dan pergolakan nilai, yang semuanya
diramu oleh Dr. I Wibowo dalam lima bagian. Lima bagian tersebut berjudul: Cina
dan Globalisasi, Keajaiban Ekonomi Cina, Alih Generasi Pemimpin Cina, Sisi Lain
Cina, dan Penutup. Ketua dari Center for Chinese Studies ini juga menambahkan
Kronologi Politik Cina: Era Deng Xiaoping-Hu Jintao 1976-2003.



Sederhananya, kalau dikatakan bahwa demokrasi adalah syarat bagi pertumbuhan
ekonomi itu benar mungkin dalam konsep nasionalisme. Dr. I Wibowo berpendapat
bahwa suatu “kegeraman historis” telah mengikat dan membuat pemimpin dan rakyat
Cina untuk mengadopsi productivity culture (konsep Michael Porter yang berkaitan
dengan competitive advantage of the nation). Mereka meminimalisir perbedaan
ideologis, perbedaan etnis, perbedaan-perbedaan lain, dan bahu-membahu bergerak
membangun negara. Sementara Indonesia, yang juga pernah menjadi bangsa terjajah,
tidak mempunyai kegeraman historis yang kuat dan merata. Kerajaan Majapahit yang
konon menguasai seluruh nusantara amat jarang menjadi kerangka acuan sejarah
Indonesia. Selain itu, intelektual Indonesia rupanya tidak berhasil menimbulkan
rasa nasionalisme yang tinggi. (hlm. 218-219)



Sedangkan, kalau dikatakan bahwa demokrasi bukan syarat bagi pertumbuhan ekonomi
itu juga benar dalam konsep tipe rezim. David Landes yang—atas dasar
sejarah—menunjukkan tujuh syarat penting untuk sebuah pemerintahan agar dapat
menimbulkan pertumbuhan ekonomi (stable, responsive, honest, moderate,
efficient, ungreedy government) yang “tidak perlu demokratis” karena yang
penting adalah menghasilkan kebijakan-kebijakan yang mendukung pertumbuhan
ekonomi. Ini sangat segaris dengan kata-kata Deng Xiaoping: yang penting bukan
kucing hitam atau kucing putih, tapi kucing yang dapat menangkap tikus.
Indonesia agaknya tidak mampu menetapkan sistem politik yang pas. Kalau “rezim
pembangunan otoriter” (Orba) gagal mencapai tujuannya dan “rezim pembangunan
demokratis” juga gagal, maka Indonesia harus mulai berpikir untuk belajar dari
sebuah sistem politik yang dikritik tidak demokratis, tapi mampu menghasilkan
sesuatu, menurut penulis.



Inilah pendapat Dr. I Wibowo mengenai IMF dan World yang mengatakan demokrasi
adalah syarat untuk pertumbuhan ekonomi: ‘Mereka...mengincar negara-negara
(sedang berkembang) menjalankan kebijakan ekonomi pasar bebas, yang pada tingkat
internasional, dapat dimanipulasi oleh negara-negara besar maupun perusahaan
multinasional raksasa (hlm.133)’. Rupanya, demokrasi itu hanya omong kosong
Amerika?



Send instant messages to your online friends http://uk.messenger.yahoo.com

.: Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :.

.: Kunjungi website global : http://www.budaya-tionghoa.org :.

.: Untuk bergabung : http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua :.

.: Jaringan pertemanan Friendster : [EMAIL PROTECTED] :.




SPONSORED LINKS
Indonesia Culture Chinese


YAHOO! GROUPS LINKS




Kirim email ke