cozortperdue wrote:

> Sdr.JD,
> Anda dengan mudah menguliti ketololan bangsa ini di masa lalu.
> Lantas apakah ada saran / pandangan anda bagaimana supaya bangsa ini
> tidak lagi jadi pion2 dan tanah lempung bin lembek itu?
> Mau diapakan sebaiknya?


Sebelum ngomong Indonesia lebih baik lihat kasus-kasus di negara lain dulu.

Lihat Irak misalnya! Maka orang yang tidak tahu sejarah Irak bakal 
bilang itu memang negaranya si Arab goblog yang bisanya cuman saling 
bunuh antar tetangga toq! Dan orang itu keliru! Lihat peta Irak. Maka 
Anda bisa langsung melihat bahwa Irak itu oleh Inggris memang dulunya 
sengaja dijadikan 'daerah buffer' agar si Saudi yang Sunni tidak perang 
terus melawan si Iran yang Syiah di sebelah sananya Irak. Plus juga si 
Kurdi di perbatasannya dengan Turki. Karena itulah Anda pun sekarang 
bisa membaca di koran-koran tentang kantong-kantong Sunni di Iraq perang 
sendiri-sendiri melawan kantong-kantong Syiah di sana. Sementara itu 
Iraq-Syiah pun cenderung berafiliasi ke Iran yang nenek moyangnya memang 
satu; Iraq-Sunni sendiri benci sekali sama Iran (Saddam itu Sunni 
makanya dia perang lawan Iran) dan lebih pro ke Saudi yang juga Sunni. 
Lantas ada juga si Kurdi yang tidak pro Iran atau Saudi, tapi lebih pro 
ke suku Kurdi di Turki.

Simplenya, masyarakat Irak itu adalah masyarakat dadakan yang dibentuk 
begitu saja oleh si Inggris tanpa mereka punya warisan budaya agama yang 
sama.  Karena itulah perjuangan rakyat Irak saat inipun juga 
terpisah-pisah berdasarkan garis kesamaan agama-budaya si patriot Irak 
itu sendiri-sendiri tanpa mereka bisa bersatu. Dan dunia pun yach 
ketakutan sendiri karena kalau Amerika pergi begitu saja alias orang 
Irak tidak punya musuh yang sama lagi, maka yach tentu saja persaingan 
agama-budaya di dalam Irak itu bakal langsung jadi perang saudara.

Irak jelas beda dengan Vietnam dulu. Konsep negara Vietnam atas 'orang 
Vietnam' itu sangat jelas dan mereka semuanya pun punya banyak sekali 
kesamaan, religi budaya bahasa dsb. Karena itulah meski Amerika minggat, 
maka orang Vietnam pun yach jadi tambah senang dan mereka tidak malah 
jadi perang saudara sendiri.

Menurut Anda Indonesia itu lebih mirip Irak atau Vietnam?

Yach jelas Irak! Lihat dari namanya saja -Indonesia- yang aslinya dari 
bahasa Latin (artinya kepulauan India), namanya saja sudah menunjukan 
bahwa identitasnya itu kosong melompong! Lihat juga bahasanya yang 
proto-Melayu-Sumatera itu, bahasa yang usianya sendiri nggak lebih dari 
70 tahunan (sejak Boedi Oetomo). Tapi berbeda dengan Irak, posisi 
geografi Indonesia itu sangat menguntungkan. Irak 100% adalah negara 
daratan sehingga si Sunni-Syiah-Kurdi pun harus ketemu dan berkelahi 
tiap hari. Tapi di Indonesia, geografinya yang semuanya dibatasi laut 
itu sangat membantu masalah keamanan.Timtim misalnya, tidak merembet ke 
daerah lain karena secara geografis Timtim diisolasi oleh laut. Sama 
halnya dengan Maluku dan Papua Barat juga. Karena itulah, kekerasan yang 
terjadi di daerah pun --alias kekerasan untuk menegakan Neo-Majapahitnya 
si Jowo di luar Jawa-- seperti misalnya di Aceh, dengan mudah bisa 
diisolasi dari daerah lain.

Kalau Anda melihat buku sejarah Indonesia versinya si kolonialis Jawa di 
Jakarta, maka Anda bakal disuguhi berbagai gambar 'pahlawan nasional' 
model Pangeran Diponegoro di Jawa dan Teuku Umar di Aceh. Dalam narasi 
cerita versi buku sejarahnya si kolonialis Jawa sendiri, kita sebagai 
pembaca bakal dituntun untuk menyimpulkan sendiri (secara keliru) bahwa 
mereka berdua itu (Diponegoro & Teuku Umar) berjuang demi menegakan 
"Indonesia". Dan itu adalah kesimpulan yang keliru besar! Semua 
'pahlawan Indonesia' itu tidak pernah sedikit pun ngimpi membunuh 
Belanda untuk menegakan 'Indonesia', melainkan mereka yach cuman 
bertarung buat kepentingannya sendiri-sendiri. Yang disebut 
'nasionalisme Indonesia' sendiri baru saja muncul di awal tahun 1900-an, 
dan itu pun murni merupakan hasil pikirannya orang Indonesia di luar negeri.

Penggagas nasionalisme Indonesia ini rata-rata sekolah di Belanda tahun 
1920-an. Maka sudah tentu mereka di Belanda pun yach mendengar retorika 
nasionalistik ala si fasis Hitler. Sementara orang Cina di Indonesia 
yang ikut ambil bagian dalam gerakan nasionalisme itu sendiri 
kelihatannya lebih banyak terpengaruh oleh ideologi nasionalisme ala Sun 
Yatsen atau pun Mao Zedong yang sudah pasti juga mereka kenal dan 
ketahui. Apalagi karena mereka ini rata-rata adalah wartawan (Sinpo 
misalnya), maka sudah pasti mereka pun yach harus banyak baca.

Lalu datanglah hoki pertama buat proto-Indonesia itu dari perang dunia 
kedua. Belanda diratakan dan bahkan dijajah oleh Jermannya Hitler. 
Jepang sendiri sebagai sekutu Jerman di Asia pun lantas mengambil-alih 
kekuasaan Belanda di Indonesia. Belanda amblas dan Hindia-Belanda ikut 
administrasi Jepang. Hoki kedua ialah waktu koalisi si fasis amblas 
setelah kalah perang di Eropa maupun di Asia. Maka Indonesia pun mencuri 
kesempatan untuk mendeklarasikan kemerdekaannya. Alasan hukumnya: untuk 
mengisi kevakuman kekuasaan saat itu setelah Jepang kalah perang dan 
harus siap-siap minggat dari Indonesia. Dalam rencana besarnya sendiri, 
Indonesia itu seharusnya yach dipersiapkan oleh si Jepang untuk 
diambil-alih oleh si sekutu sebagai pampasan perang. Skenarionya persis 
pleq dengan waktu Jepang mengambil Indonesia mengikuti amblasnya negara 
Belanda di Eropa.

Tapi kita juga harus berhati-hati membaca glorifikasi narasi atas 
Sukarno di sini. Sukarno itu banci dan juga kolaboratornya si Jepang. Si 
playboy banci ini sama sekali nggak pernah perang. Sementara waktu 
17-Agustus-1945 sendiri si banci Sukarno itu harus diculik dan dipaksa 
untuk mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia di bawah todongan senjata 
pemuda waktu itu, seperti si Sukarni misalnya. So, praktis sejarah 
Indonesia itu sendiri yach memang sudah cacat berat dari awalnya.

Setiap negara di mana saja suka sekali menggunakan metafora 'keluarga' 
untuk menggambarkan sifat organisasi serta asal-usul primordialnya. So, 
kalau saja ini memang 'keluarga', maka ini ceritanya yach persis sama 
kayak Anda dan istri datang ke saya untuk 'konsultasi masalah 
perkawinan'. Setelah 'tak wawancarai, maka jelas kelihatan bahwa problem 
keluarga Anda saat ini itu asal usul akarnya yach sudah tertanam dari 
sejak jaman Anda kawin. Anda kawin tanpa pernah pacaran karena memang 
cuman dijodohkan begitu saja sama orang tua masing-masing. Anda kawin 
tanpa cinta, dan bahkan sebelumnya itu kenal pun juga tidak. Lebih 
celaka lagi, tambah lama pun tambah kelihatan bahwa Anda berdua itu yach 
memang sudah tidak cocok sama sekali. Tidak cocok sebagai pribadi maupun 
sebagai pasangan. Satu-satunya hal yang membuat Anda jadi suami-istri 
sendiri yach cuman gara-gara dijodohkan ortu tadi, plus juga sedikit 
masalah harta. Namun, gara-gara memang nggak ada cinta sama sekali, maka 
saat inipun Anda berdua mulai nyeleweng sendiri-sendiri. Anda mulai 
kencan dan tidur lagi dengan bekas pacar Anda dulu, sementara istri Anda 
pun juga mulai dandan-dandan sendiri untuk cari cinta di luaran! 
Sekarang Anda berdua datang ke hadapan saya dan tanya: 'apa yang harus 
kita lakukan?'

Di sini saya tidak akan memberikan jawaban ... tapi saya akan memberikan 
KARAKTERISTIK atas SETIAP KEMUNGKINAN dari jawaban yang 'tak berikan.
So, kalau saya ini profesinya pendeta yang otomatis harus jadi sok 
moralis, maka tentu saja saya akan memberi Anda kuliahan tentang 
sakralitas perkawinan. Atau kalau nggak begitu, malah menyuruh Anda 
berdua ke gereja karena sudah berdosa gara-gara keduanya berzinah. 
Sebagai pendeta, otomatis isi pikiran dan kuliahan saya pun isinya yach 
cuman omong-kosong gombalan moralistik yang sama sekali tidak menyentuh 
permasalahan Anda berdua sendiri -- yaitu memang nggak ada cinta. Saya 
bakal nyerocos terus ngomong tentang apa yang ideal, sambil membayangkan 
seolah-olah saja sekali yang ideal itu tercapai maka yach otomatis cinta 
pun timbul. Sebagai pendeta yach otomatis saya goblog plus buta tuli 
sama kenyataan bahwa diukur pake standard apapun keberadaan Anda sebagai 
pasangan itu yach sudah lebih dari ideal.

Tapi kalau saya menjawab sebagai seorang 'liberal' yang sama sekali 
tidak melihat lembaga perkawinan sebagai sesuatu yang sakral yang HARUS 
dipertahankan nggak peduli berapapun juga harganya; maka saya tentu saja 
bakal menyarankan Anda berdua untuk cerai baik-baik! Yang penting adalah 
menghindari perceraian yang menyakitkan sampai perlu ke pengadilan 
misalnya; tapi bercerai secara beradab. Dan sekaligus sadar bahwa 
situasi yang Anda miliki itu bukan situasi benar-salah model perceraian 
ini gara-gara salahnya Anda atau si istri, melainkan yach murni karena 
baik Anda maupun istri Anda itu keduanya yach cuman korban situasi. 
Situasi tanpa cinta yang sangat mendera.

Sebagai kontrasnya, kalau saja rumah tangga Anda itu memang ada cinta 
kayak modelnya si Vietnam; maka mau dikoyak-koyak bagaimana pun sama 
orang luar yach tetap saja sudah pasti Anda berdua pun bakal tetap 
kumpul lagi! Ortu Anda silakan nggak setuju, silakan begini begitu 
nyuruh atau bahkan maksa Anda cerai misalnya, atau pun mau apa saja ... 
maka tetap saja Anda akan saling setia dan berkemauan kuat untuk 
mempertahankan cinta itu. Ini memang sudah wataknya manusia.

Eniwe, kedua model 'frame-work' atas jawaban di atas terhadap problem 
keluarga fiktif Anda itu pun juga bakal saya berikan terhadap pertanyaan 
Anda ini:

> Lalu sebagai cino2 loleng, apa yg bisa kita lakukan?

So, mulailah dengan mengambil posisi. Anda mau mengambil posisi sebagai 
si pendeta yang selalu saja pro status-quo dan pro-institusi; atau Anda 
mau menomer-satukan kebahagiaan individu di atas segala-galanya? Ini 
adalah masalah pilihan yang harus Anda putuskan sendiri. Dan Anda 
sendiri pun pasti yach SUDAH TAHU jawabannya!

Model pendeta di sini adalah modelnya si fasis-fasis Jawa pembunuh orang 
Aceh maupun orang Papua, plus semua demagog-demagognya yang isi 
pikirannya sudah abis kena brain-washed oleh si kolonialis Jowo di 
Jakarta. Sama seperti si pendeta bilang bahwa 'perkawinan itu sakral', 
bajingan-bajingan pro-kolonialis inipun bakal bilang 'negara itu 
sakral'. Atau model omongannya si Jendral Jawa Try Sutrisno dulu, 'Orba 
is final! That's it'. Final kentutnya iya.

Kalau saja keluarga Anda memang tanpa cinta dan Anda berdua betul-betul 
berkemauan untuk 'mencari cinta' demi menjaga keutuhan institusi 
perkawinan itu; maka jelas Anda berdua pun lantas bakal mulai ngobyek 
dan cari-cari aktivitas. Misalnya mungkin Anda terus plesir bareng ikut 
cruise, atau juga mungkin konsultasi seks untuk menyemarakan seks Anda 
sedemikian rupa, atau mungkin juga ini itu. Alias Anda berdua bakal 
mroyek terus demi mempertahankan institusi perkawinan itu. Nah, dalam 
urusan keluarga, kasus begini pun biasanya tidak berakhir bahagia karena 
pada akhirnya keduanya pun jadi sadar bahwa 'sikon nggak ada cinta' itu 
yach memang sudah nggak ada obatnya lagi.

So, si kolonialis Jawa pun juga mroyek begitu juga secara terus-terusan 
demi mempertahankan selir-selir jajahannya itu. Ada yang namanya 
Pancasila, atau Orla, atau Orba, atau juga transmigrasi alias Jawanisasi 
di mana-mana ... so, semua itu tujuannya yach cuman satu: untuk menjaga 
sakralitas institusi negara Indonesia ini. Hasilnya pun yach cuman satu: 
gagal.

Terakhir, kita sebagai Cino lebih baik melihat apa yang dilakukan serta 
dipikirkan oleh orang-orang Cino secara politik di jaman Belanda! Kita 
bisa belajar juga dari sejarah orang-orang kita sendiri. Hal pertama 
yang harus Anda sadari di sini ialah sterilisasi atas sejarah Cino itu 
secara selektif. Tujuan sterilisasi ini sendiri jelas dan konkrit, yaitu 
untuk menggambarkan bahwa di antara Cino itu tidak pernah ada polarisasi 
alias semua Cino itu betul-betul 'pro republik'. Nggak ada Cino yang pro 
Belanda sama sekali! Tapi sterilisasi sejarah yang sama pun juga 
dilakukan oleh si kolonialis Jowo yang selalu saja menggambarkan 
Indonesia itu secara ekstrim 100% semuanya benci Belanda. Tujuannya yach 
jelas untuk meninggikan ide atas Indonesia gombal itu sendiri. Padahal 
semua orang yach tahu bahwa jaman Belanda itu secara sosial sikonnya 
jauh lebih baik dari pada penjajahan oleh si Jowo; sikon hukumnya pun 
juga lebih adil dan tegas. Singkatnya, orang yang pro Belanda pun yach 
banyak sekali!

Cino sendiri waktu membaca sejarahnya secara sadar memang sudah ingin 
menjauhkan dirinya dari hal-hal pro-Belanda begitu. Jelas alasan 
utamanya yach rasa takut itu. Cino-cino ketakutan sendiri kalau dicap 
tidak nasionalis, atau pun tidak pro si kolonialis Jowo ... harga dari 
'tidak menjilati si kolonialis Jowo' itu terlalu tinggi. Kalau nggak 
dibantai secara kolektif model omong kosongnya 'Bandung Lautan Api' itu, 
yach dihabisi begitu saja lewat penculikan model si Munir, atau dibantai 
via rekayasa ala kejadian 1998. Jadi, tulisan-tulisan tentang Cino-cino 
di jaman Belanda oleh para Cino pun isinya itu semuanya rata-rata telah 
disengaja untuk hanya menggambarkan serta hanya menekankan sikap 
anti-Belanda yang eksis di Hindia-Belanda di kalangan Cino. PADAHAL jika 
mau ditelusuri benar-benar nanti khan kelihatan bahwa inspirasi utama 
sikap anti-Belanda di kalangan cino itu sebetulnya tidak terinspirasi 
oleh tingkah lakunya si Belanda di Indonesia sendiri; melainkan hanya 
merupakan ekstensi dari sikap benci-bule yang asal usul inspirasinya 
yach dari Cina daratan (yang waktu itu masih dihina-dinakan sama si 
bule-bule). Sekarang sendiri Cino-cino pro Belanda rata-rata yach sudah 
migrasi semua ke Belanda atau ke Eropa; bareng sama Ambon-ambon atau pun 
orang-orang pro Belanda sendiri.

Tujuan saya menguliti hal ini ialah untuk menunjukan bahwa retorika 
nasionalisme itu seringkali yach memang cuman bullshit saja. Sementara 
doktrin nasionalisme sendiri sudah mati mampus sejak Hitler mati bunuh 
diri. Di negara Indonesia sendiri nasionalisme masih dijadikan doktrin 
nomer satu karena sikon Indonesia yang memang tanpa cinta itu sangat 
perlu narasi-narasi romantik yang menegaskan sakralitas si Negara. Tapi, 
eniwe, si individu sendiri tentu saja memilih afiliasi politiknya secara 
bebas dan cuman tergantung oleh sikon pribadinya.

Apalagi di antara kita cino-cino! Satu hal yang secara sengaja 
ditekankan dalam narasi percinoan Indonesia ialah homogenitasnya. 
Seolah-olah saja Cino di Jawa itu identik dengan Cino Bangka identik 
dengan Cino Papua. Padahal tidak! Cino di Indonesia ini praktis adalah 
satu-satunya suku paling tidak homogen. Karena itulah Aceh punya 'Lim 
Sioeliong' yang dikenal sebagai salah satu pahlawan Aceh Merdeka; 
sementara Jawa punya Lim Sioeliong yang konglomerat. Kedua Lim ini Cino, 
tapi karena latar belakangnya tidak homogen, maka aspirasi dan ekspresi 
tindakannya pun yach jadi berbeda langit bumi. Dari jaman Belanda 
sendiri kita punya banyak sekali Lim Oei Ong Wang Xu Kho ... yang meski 
marganya sama, tapi dengan latar belakang sikon yang berbeda afiliasi 
mereka pun jadi berbeda. Keunikan Cino ini perlu ditekankan karena suku 
lainnya yach praktis lebih homogen. Jowo misalnya, secara homogen yach 
rata-rata setia sama si kolonialis Jakarta. Sementara suku Aceh atau pun 
suku Papua, yach secara homogen anti-Jowo si kolonialis.

Dengan demikian, apa yang bisa dilakukan oleh si Cino Indonesia kayak kita?

Kayak di atas, nggak ada jawaban homogen. Tapi saran saya, kalau Anda 
cino di Aceh, yach lebih baik ikut GAM. Kalau di Papua yach lebih baik 
ikut memperjuangkan kemerdekaan Papua Barat dari si penjajah Jowo. Tapi 
kalau Anda di Jawa, yach lebih baik pro si penjajah Jawa, apalagi kalau 
Anda memang tidak mau matinya dikubur di Bali atau Sulawesi misalnya. 
Singkatnya, eksistensi suku Cino itu secara tipikal memang sangat 
pluralistik dan tidak bisa disamakan dengan eksistensi suku-suku lainnya 
yang tingkat homogenitasnya lebih tinggi. Kalau saja kita berdua ini 
orang Papua atau orang Aceh misalnya, maka yach dengan segera saya bakal 
merekrut Anda sebagai anggota perjuangan melawan si Jowo-Jakarta. Sekali 
lagi yach karena orang Papua serta Aceh itu homogenitasnya lebih tinggi 
dari pada kita berdua ... meskipun kita sama-sama Cinonya misalnya.

Tapi, kalau Anda tanya saya pribadi, maka yach jelas saya lebih memilih 
'cerai saja baik-baik'! Proyek kolonialisasinya si Jowo Jakarta atas 
semua bekas wilayah serta daerah Hindia-Belanda ini sudah jelas gagal 
total. Buat saya secara sangat pribadi, saya selalu menekankan 
kebahagiaan pribadi sesuai dengan pilihan si pribadi. Dalam konteks 
begini, sudah jelas penjajahan Jowo itu sama sekali tidak indusif untuk 
merangsang situasi ke sana! Jowo itu mentalnya memang mental feodal 
sementara alam pikiran politiknya sendiri sebagaimana kelihatan dari 
studi atas sejarah Jowo ... mental politiknya itu sangat Machiavelian, 
fasis dan tolol.

Karena itulah kolonialisasi Jowo Jakarta ini pun perlu dihabisi 
secepat-cepatnya. Dan saran saya buat Jowo-jowo model si Akhmad itu .... 
berubahlah! Anda sekarang masih punya kesempatan untuk jadi pahlawan 
seperti si Multatuli yang meski londo Belanda sangat pro sama si 
inlander! Sama seperti Multatuli juga, meski Anda Jowo itu yach tidak 
berarti Anda harus mbebek sama si kolonialis Jowo-jowo bajingan di Jakarta.


JD

> Salam,
> CP



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Make a difference. Find and fund world-changing projects at GlobalGiving.
http://us.click.yahoo.com/vlzMKB/PbOLAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

.: Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :.

.: Kunjungi website global : http://www.budaya-tionghoa.org :.

.: Untuk bergabung : http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua :.

.: Jaringan pertemanan Friendster : [EMAIL PROTECTED] :. 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke