Bung Salim Said dan Saafroedin Bahar yth,

    Pertama-tama terimakasih atas penyebaran email, diskusi mengenai 
Kewarga-negaraan yang cukup rumit dialamai peranakan Tionghoa di Indonesia ini, 
pada rekan-rekan di Komas HAM yang kompeten menangani masalah diskriminasi ini. 
Dengan demikian kerumitan masalah Kewarga-negaraan yang telah berlangsung lebih 
60 tahun, terhitung sejak Proklamasi Kemerdekaan RI belum juga bisa tuntas itu, 
mulai nampak titik-titik terang dari kejauhan. Mudah-mudahan atas perjuangan 
gigih kawan-kawan di Komnas HAM, masalah yang mengganjel selama ini bisa 
diselesaikan dengan baik.

    Sebagaimana pejuang-pejuang Kemerdekaan RI yang hanya mengenal satu macam 
warga-negara Indonesia dan untuk mengurangi jumlah orang asing, atau bertujuan 
agar lebih banyak yang menjadi warga-negara Indonesia, dibuat kebijaksanaan 
agar proses menjadi warga-negara Indonesia yang lebih mudah, ditetapkanlah 
ketentuan UU Kewarga-negaraan berasaskan ius Soli dan dengan prinsip stelsel 
pasif. Dengan demikian terjadi satu macam warga-negara Indonesia pada saat yang 
sama, yaitu sejak diundangkannya UU Kewarga-negaraan tahun 46 itu, semua orang 
yang lahir di Indonesia adalah warga-negara Indonesia, selama dia tidak 
menolak. Jadi, bagi setiap warga cukup menunjukkan akte-kelahiran untuk 
membuktikan dirinya sebagai warga-negara Indonesia. Kebijaksanaan demikian 
inilah yang paling baik dan tidak menimbulkan banyak persoalan. Demokrasi juga 
sudah diberikan lebih dari cukup, yaitu mempertahankan hak repudiatie yang 
sampai diundur 2 kali 2 tahun, berakhir pada April tahun 1950, hanya karena 
saat itu pemerintah Tiongkok Nasionalis (Kuo Min Tang) berkeras menuntut 
stelsel aktif yang diberlakukan.

    Bagi sementara pejabat yang berkeras menuntut stelsel aktif, menghendaki 
setiap peranakan Tionghoa untuk menjadi warga-negara Indonesia harus lebih 
dahulu maju kepengadilan negeri dan secara resmi menolak warga-negara Tiongkok, 
lalu diberi SBKRI (Surat Bukti Kewarga-negaraan Republik  Indonesia) kurang 
memikirkan persoalan-persoalan yang akan timbul:

1. Pada saat 4 jutaan orang peranakan Tionghoa di Indonesia yang tersebar 
diberbagai pulau dan daerah, tiba-tiba menjadi asing dan harus serempak maju 
kedepan Pengadilan Negeri untuk menolak warganegara Tiongkok dan menjadi 
warga-negara Indonesia. Mereka tidak memperhitungkan berapa lama waktu 
diperlukan untuk itu, belum lagi energi-tenaga dan ongkos untuk keperluan itu?

2. Mereka tidak memikirkan, bahwa juga jutaan peranakan Tionghoa yang sudah 
ratusan tahun hidup sebagaimana penduduk setempat menjadi petani seperti di 
Tanggerang dan Lampung misalnya, yang hidup sebagai nelayan di Bagan Siapi-api, 
dan yang hidup sebagai buruh-tambang di Bangka-Belitung itu akan segera menjadi 
asing hanya karena mereka selama hidupnya tidak ada kebiasaan mengurus 
surat-surat administrasi Pemerintahan, sebagaimana juga penduduk setempat, 
mereka tidak pernah punya akte-kelahiran, kematian dan surat kawin. Dan kedua, 
mereka juga tidak berkemampuan untuk mengeluarkan ongkos ke-kota untuk maju 
kepengadilan negeri, menolak kewarga-negaraa Tiongkok untuk menjadi 
warga-negara Indonesia.

3. Pada saat mereka-mereka yang belum bisa mendapatkan SBKRI, status mereka 
tentu menjadi asing. Begitu mereka menjadi asing, akan timbul persoalan bagi 
hak-milik, misalnya pengusaha perkebunan yang memiliki tanah perkebunan, karena 
ada ketentuan orang asing tidak boleh memiliki tanah lebih dari sekian ha (?). 
Bagi orang asing, mereka juga tidak boleh berusaha dipedesaan, lalu pengusul 
stelsel aktif juga tidak memikirkan jalan keluar bagi orang-orang semacam ini 
yang tiba-tiba berubah status jadi asing. Ditahun 53, terjadi persengketaan 
tanah di perkebunan kopi Bali, juga di Sumatera utara, karena pemilik tanah 
perkebunan dianggap berstatus asing yang menjadi tidak berhak memiliki tanah. 
Bukankah ini namanya menyalahgunakan ketentuan Pemerintah untuk perampasan hak 
milik seorang warga yang tidak berdosa? 

4. Terjadi kejanggalan-kejanggalan yang tidak seharusnya perlu, adalah sesuatu 
yang aneh, lucu dan sekaligus sangat menyedihkan kita melihat bagaimana 
putera-puteri Indonesia yang tampil dipertandingan bulutangkis internasional, 
bisa tetap dalam status stateless hanya karena belum juga berhasil mendapatkan 
SBKRI. Padhal kalau berdasarkan ketentuan UU Kewarga-negaraan tahun 46, 
berasaskan ius Soli, dimana mereka lahir dan dibesarkan di Indodnesia, dan 
dengan stelsel pasif mereka sepenuhnya adalah warga-negara Indonesia, selama 
tidak menolak. 

5. Adalah kenyataan yang juga menyedihkan, dimana kita bisa melihat berlarutnya 
masalah SBKRI yang sudah secara resmi dicabut, tapi kenyataan tetap saja 
diberlakukan didalam praktek. Mengapa? Jelas, karena mereka tetap menganggap 
peranakan Tionghoa sebagai golongan ekonomi-kuat, yang boleh diperlakukan 
sebagai "sapi perah", untuk, ... mendapatkan penghasilan tambahan deengan tetap 
diberlakukannya SBKRI. 

6. Jika tetap mempertahankan prinsip stelsel pasif, tanpa lebih dahulu orang 
harus menolak kewarga-negaraan Tiongkok dan dengan sendirinya diperlakukan 
sebagai warga-negara Indonesia, sesuai dengan UU Kewarga-negaraan tahun 46 itu, 
maka benar-benar Pemerintah hanya mengenai satu macam warga-negara. Tidak ada 
warganegara "asli" dan warganegara "baru", karena dalam waktu bersamaan, semua 
orang yang lahir di Indonesia diperlakukan sebagai warga-negara Indonesia!

    Yah, mudah-mudahan orang lebih banyak menyadari dan bisa siuman lebih 
cepat, dengan tetap memberlakukan hanya pada sekelompok warga-nya untuk 
memiliki SBKRI, adalah satu sikap diskriminasi yang tidak menguntungkan 
persatuan bangsa dan tidak seharusnya masih saja terjadi di Negeri ini.

    Salam,
    ChanCT

  ----- Original Message ----- 
  From: Salim Said 
  To: [EMAIL PROTECTED] 
  Sent: Monday, February 06, 2006 5:39 AM
  Subject: FW: Re: FW: Re: Ulysee: Saat Bela Merah Putih Masih Berstatus 
Stateless





  >From: Saafroedin BAHAR <[EMAIL PROTECTED]>
  >To: Salim Said <[EMAIL PROTECTED]>
  >CC: "Soelistyowaty - SOEGONDO, S.H." <[EMAIL PROTECTED]>,  "Prof.Dr. 
  >Ruswiati - SURYASAPUTRA, SE,M.Sc" <[EMAIL PROTECTED]>,  Anshari 
  >THAYIB <[EMAIL PROTECTED]>,  "Drs. Habib M. CHIRZIN" 
  ><[EMAIL PROTECTED]>,  Hilmy ROSYIDA <[EMAIL PROTECTED]>,  Jayadi 
  >DAMANIK <[EMAIL PROTECTED]>,  "Zumrotin K. SOESILO" 
  ><[EMAIL PROTECTED]>
  >Subject: Re: FW: Re: Ulysee: Saat Bela Merah Putih Masih Berstatus 
  >Stateless
  >Date: Sun, 5 Feb 2006 07:20:27 -0800 (PST)
  >
  >Bung Salim.
  >
  >   Saya benar-benar trenyuh membaca e-mail Sdr Chan CT yang Bung Salim 
  >forward kepada saya. Secara pribadi saya dapat merasakan betapa pahitnya 
  >penderitaan saudara-saudara kita keturunan Tionghoa yang didiskriminasi 
  >oleh negara tempatnya dilahirkan, menjadi besar, dan menjalani sebagian 
  >besar -- kalaulah tidak seluruh -- dari hidupnya. Saya percaya bahwa aturan 
  >dan praktek yang diskriminatif seperti itu tidak hanya dialami oleh 
  >saudara-saudara kita keturunan Tionghoa. Hal itu sekaligus menunjukkan 
  >bahwa proses integrasi nasional kita masih jauh dari selesai.
  >
  >   Izinkan saya menyampaikan bahwa rekan-rekan saya di Komnas HAM, 
  >khususnya Ibu Lies Soegondo SH, Prof Dr. Ruswiati Suryasaputra, SE, MSc,  
  >serta sdr Dr. Chandra Setiawan telah berjuang keras menentang berbagai 
  >bentuk aturan dan praktek diskriminasi ini, dan untuk sebagian sudah mulai 
  >berhasil dengan diajukannya tiga RUU yang jika disetujui DPR RI akan 
  >mengakhiri secara mendasar aturan dan praktek diskriminasi yang tidak 
  >manusiawi itu. Secara pribadi saya mendukung penuh perjuangan ketiga  rekan 
  >komisioner itu.
  >
  >   Mungkin baik kalau Bung Salim sampaikan kepada Sdr Chan CT bahwa ia 
  >tidak sendirian. Dengan segala keterbatasannya, Komnas HAM telah berbuat 
  >sesuatu untuk memperbaiki kepincangan ini.
  >
  >   Wassalam,
  >   Saafroedin Bahar.
  >
  >Salim Said <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
  >
  >
  >
  > >From: "ChanCT"
  > >To: "HKSIS-Group" ,
  > >Subject: Re: Ulysee: Saat Bela Merah Putih Masih Berstatus Stateless
  > >Date: Fri, 3 Feb 2006 23:29:33 +0800
  > >
  > >Yah, nampaknya masalah Kewarga-negaraan Indonesia, khusus bagi peranakan
  > >Tionghoa jadi rumit, ya. Jadi harus garuk-garuk kepala yang tidak gatel,
  > >dimana dan kapan ketentuan UU Kewarga-negaraan yang menganut asas ius 
  >Soli
  > >yang telah di-undang-kan tahun 1946 itu dibatalkan?
  > >
  > >Bukan, dan sama sekali tidak ada maksud saya memenggal/menggelapkan 
  >sejarah
  > >untuk tujuan tertentu. Pegangan saya adalah tulisan Drs. Eddy Sadeli, 
  >SH.,
  > >yang Alumni FH-UI program Praktisi Hukum 1985., "TIDAK ADA PRIBUMI DI
  > >NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA", tahun 2003 tetap menyatakan Saya
  > >kutip: "Undang-Undang nomor 3 Tahun 1946 berdasarkan azas Ius Soli, hal 
  >ini
  > >berarti orang yang dilahirkan di Indonesia adalah orang Indonesia.
  > >Berdasarkan Undang-Undang nomor 3 Tahun 1946 yang dilahirkan di Indonesia
  > >adalah warganegara Indonesia bukan termasuk orang-orang bangsa lain yang
  > >disyahkan dengan Undang-Undang sebagai Warganegara." Kutipan selesai.
  > >Tentunya, bagi Eddy Sadeli yang pekerja hukum itu, mengikuti perkembangan
  > >UU secara cermat, tidak akan digunakan kalau sudah tidak diberlakukan 
  >lagi.
  > >
  > >Setahu saya, kewarga-negaraan Indonesia bagi peranakan Tionghoa menjadi
  > >masalah karena ada sementara pejabat yang berkeras ingin merubah 
  >ketentuan
  > >stelsel pasif dimana peranakan Tionghoa otomatis menjadi warga-negara
  > >Indonesia selama dia tidak menolak, menjadi stelsel aktif dimana setiap
  > >peranakan Tionghoa harus lebih dahulu memilih dan menyatakan secara resmi
  > >didepan pengadilan negeri menjadi warga-negara Indonesia. Dan, untuk 
  >lebih
  > >jelasnya biarlah saya kutipkan tulisan Siauw Giok Tjhan "Renungan", dalam
  > >menjelaskan sengitnya pertengkaran stelsel pasif dan stelel aktif
  > >dijamannya, dan tentu sangat baik bagi sahabat yang bisa mengajukan UU
  > >Kewarga-negaraan Feb 1958, dan Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah
  > >No.20/1959 itu, agar lebih jelas masalahnya.
  > >
  > >"Harapan bahwa Republik Indonesia hanya mengenal satu macam warga-negara,
  > >telah dinyatakan dalam ketentuan Undang-undang No.3 tahun 1946 itu, yang
  > >merupakan langkah pertama bagi pelaksanaan janji Pemerintah dalam 
  >Maklumat
  > >Politik Pemerintah yang terkenal itu. Dalam permusyawaratan dalam Badan
  > >Pekerja memang tergambar, bahwa sebagain besar anggota Badan Pekerja
  > >menghendaki:
  > >a. Prinsip Ius Soli (berdasar tempat kelahiran);
  > >b. Stelsel Pasif. Jadi bagi yang memenuhi syarat dan tidak
  > >menolak dinyatakan sebagai Warga-negara Indonesia;
  > >c. Berbeda dengan Ned. Onderdaanschap tahun 1910,
  > >Undang-undang ini memenuhi asas demokrasi, karena tetap memberi hak pada
  > >orang yang bersangkutan untuk menolak kewarga-negaraan Indonesia, yaitu
  > >mempertahankan hak repudiatie. Hak repudiatie ini diberikan dalam waktu 1
  > >tahun setelah berlakunya Undang-undang. Kemudian, hak repudiatie ini
  > >mengalami perpanjangan 2 kali atas permintaan pihak Pemerintah Republik
  > >Tiongkok.
  > >
  > >Ditetapkan stelsel pasif, agar mencapai perasaan sama bagi semua orang 
  >yang
  > >dinyatakan warga-negara dalam memenuhi syarat Pasal 1 Undang-undang itu,
  > >yaitu:
  > >Ø orang yang asli dalam daerah negera Indonesia;
  > >Ø orang yang tidak termasuk dalam golongan tersebut diatas, akan
  > >tetapi turunan dari seorang dari golongan itu, yang lahir dan bertempat
  > >kedudukan dan kediaman didalam daerah Negara Indonesia, dan orang bukan
  > >keturunan seorang dari golongan termaksud, yang lahir dan bertempat
  > >keududukan dan kediaman selama sedikitnya 5 tahun berturut-turut yang
  > >paling akhir didalam daerah Negara Indonesia, yang telah berumur 21 tahun
  > >atau telah kawin, kecuali jika ia menyatakan keberatan menjadi 
  >warga-negara
  > >Indonesia, karena ia adalah warga-negara negeri lain;
  > > Orang yang mendapat kewarga-negaraan Indonesia dengan cara naturalisasi;
  > >etc. etc.
  > >
  > >Sebaliknya, seandainya stelsel aktif yang diberlakukan, berati sebelum
  > >mereka menentukan pilihannya, status mereka adalah "asing", bukan
  > >warga-negara Indonesia. Dengan demikian terbentuk alasan untuk menyatakan
  > >bahwa mereka adalah warga-negara Indonesia "baru". Dinyatakan baru 
  >menjadi
  > >warga-negara setelah memilih menjadi warga-negara Indonesia.
  > >
  > >Tetapi, ternyata pihak Kuomintang yang berkuasa di Tiongkok lebih suka
  > >mempertahankan lebih banyak orang sebagai warga-negara Tiongkok,
  > >berdasarkan darah turunan Tionghoa. Karena dengan stelsel aktif demikian
  > >ini, konsulat Tiongkok dapat mengurusi kepentingan mereka, yang 
  >hakekatnya
  > >jadi lebih banyak campur tangan asing didalam urusan dalam negeri
  > >Indonesia.
  > >
  > >Oleh karena itu tarik-ulur dari kedua pemerintah yang mempertentangkan
  > >stelsel pasif dan stelsel aktif, membuat masalah warga-negara bagi
  > >peranakan Tionghoa itu tertunda-tunda penyelesaiannya. Pemerintah 
  >Republik
  > >Indonesia yang bertahan pada stelsel pasif, tetap memberlakukan sebagai
  > >tanda mempertahankan kedaulatan penuh. Tapi, memberi kelonggaran batasan
  > >waktu 1 tahun untuk repudiatie diperpanjang jadi 2 tahun, kemudian
  > >diperpanjang sekali lagi untuk 2 tahun lagi. Jadi, pada saat penyerahan
  > >kedaulatan berdasarkan perjanjian KMB tahun 1949, hak repudiatie tetap
  > >belum habis waktu, yang baru habis waktu batasan pada 10 April 1950.
  > >
  > >Diluar dugaan semua peserta, ternyata Republik Rakyat Tiongkok 
  >menunjukkan
  > >sikap yang sangat berbeda dengan pemerintah Republik Tiongkok dibawah
  > >Kuomintang, juga dalam masalah kewarga-negaraan. Pada awal Kemerdekaan RI
  > >di Jogya, dimana Pemerintah Tiongkok ketika itu berusaha mempertahankan
  > >sebanyak mungkin peranakan Tionghoa tetap asing, yang mempertahankan
  > >kewarga-negaraan Tiongkok, maka sekarang setelah Republik Rakyat 
  >Tiongkok,
  > >berkuasanya Partai Komunis Tiongkok justrtu berpendirian, agar supaya
  > >sebanyak mungkin peranakan Tionghoa menjadi warga-negara Indonesia. 
  >Dengan
  > >demikian tidak akan menimbulkan saling mencurigai antara Tiongkok dan
  > >Indonesia dan menguntungkan usaha meningkatkan persahabatan dan kerjasama
  > >antar kedua negara dan rakyat.
  > >
  > >Perlu juga diketahui, dalam musyawarah dengan wakil-wakil peranakan
  > >Tionghoa di Jakarta, PM. Chou menganjurkan supaya Huakiao mentaati segala
  > >ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia dan mengusahakan hidup harmonis
  > >dengan segenap rakyat Indonesia dalam usaha bersama meningkatkan taraf
  > >hidup rakyat Indonesia. Semua sikap dan tindakan bijaksana yang diajukan 
  >PM
  > >Chou sebagai goodwill Pemerintah RRT ini diluar dugaan banyak orang, dan
  > >ternyata mempermudah pihak Pemerintah RI untuk mencapai persetujuan
  > >mengenai Penyelesaian Dwi-Kewarga-negaraan atas dasar rencana yang
  > >disiapkan oleh pihak Indonesia.
  > >
  > >Lalu bagaimana dengan naskah Persetujuan Penyelesaian Dwi Kewarga-negaran
  > >antara RI-RRT? Sebagaimana diutarakan terdahulu, naskah disiapkan oleh
  > >pihak Indonesia. Tapi, karena ada sekelompok yang sejak semula tidak
  > >menyetujui stelsel pasif untuk mencapai kewarga-negaraan Indonesia bagi
  > >golongan peranakan Tionghoa. Jadi, selalu berusaha mencari kesempatan 
  >untuk
  > >menggoalkan stelsel aktif, dimana golongan peranakan Tionghoa baru 
  >menjadi
  > >Indonesia setelah lebih dahulu memilih sebagai warga-negara Indonesia.
  > >
  > >Kedua belah pihak dalam perundingan mencapai naskah Persetujuan tidak 
  >lebih
  > >dahulu menanyakan pikiran dari golongan peranakan Tionghoa yang
  > >bersangkutan. Terutama bagi pihak Pemerintah Indonesia merasa tidak perlu
  > >untuk berkonsoltasi lagi pada golongan peranakan Tionghoa yang 
  >warga-negara
  > >Indonesia, dan, ... akibat dengan disahkannya naskah Persetujuan yang
  > >diumumkan dengan ratifikasinya sekali goes, ... semua orang peranakan
  > >Tionghoa menjadi asing, karena untuk menjadi warga-negara Indonesia, dia
  > >harus lebih dahulu ke Pengadilan Negeri untuk menyatakan menolak
  > >kewarga-negaraan Tiongkok dan memilih warga-negara Indodnesia!
  > >
  > >Siauw Giok Tjhan, ketua Umum BAPERKI didepan interview pers, sehari 
  >setelah
  > >diumumkan Naskah Penyelesaian Dwi Kewarga-negaraan itu, menyatakan bahwa
  > >Pemerintah RI akan melakukan kebijaksanaan meninjau kembali isi 
  >perjanjian
  > >itu. Karena pelaksanaannya akan menghadapi kesulitan bagi golongan yang
  > >bersangkutan dan akan menimbulkan persoalan asing di Indonesia, yang
  > >seharusnya dihindari, terutama dalam usaha memperkokoh hubungan
  > >persahabatan RI-RRT. Dijelaskan juga, bahwa dengan perjanjian itu 
  >golongan
  > >peranakan Tionghoa yang telah melalui pemilihan kewarga-negaraan antara
  > >tahun 1946-1950, dan kemudian mengulangi lagi pilihannya pada 27 Desember
  > >1949 - 27 Desember 1951, dan dengan adanya persetujuan ini harus sekali
  > >lagi melakukan pilihan selama 2 tahun setelah Persetujuan itu 
  >diratifikasi
  > >oleh kedua belah pihak.
  > >
  > >Pada pertemuan yang diadakan antara PM. Ali Sastroamijoyo, PM Chou En Lai
  > >dan Siauw Giok Tjhan - Ketua Umum BAPERKI dicapai kesepakatan, bahwa
  > >BAPERKI akan menyusun memorandum yang diajukan usul-usul perbaikan, yang
  > >akan dipertimbangkan oleh kedua Perdana Menteri yang akan bertemu kembali
  > >di Peking. Dan Memorandum BAPERKI itu ternyata bisa menghasilkan 
  >"exchange
  > >of notes", yang merupakan amandemen terhadap naskah Perjanjian yang telah
  > >diumumkan sebelumnya.
  > >
  > >Dari "exchange of notes" pasal 2 itu, menyatakan Republik Rakyat Tiongkok
  > >menyerahkan pada Republik Indonesia untuk menetapkan sendiri, siapa
  > >diantara mereka yang dinyatakan dwi kewarga-negaraan bisa menjadi
  > >berkewarga-negaraan tunggal, yaitu menjadi warga-negara Indonesia. Dengan
  > >adanya ketentuan ini, banyak orang jadi mendapat ketegasan, bahwa sikap 
  >RRT
  > >mengenai masalah kewarga-negaraan adalah berbeda dengan sikap Pemerintah
  > >Tiongkok dijaman Kuo Min Tang. RRT tidak berusaha mempertahankan golongan
  > >peranakan Tionghoa sebagai warga-negara TIongkok, melainkan memberikan
  > >keleluasaan pada Pemerintah Indonesia untuk menentukan sendiri dan
  > >memberikan kebijaksanaan pada setiap pribadi peranakan Tionghoa 
  >menentukan
  > >sendiri warga-negara yang dikehendaki.
  > >
  > >Berdasarkan keterangan Dutabesar RI di Peking ketika itu, Arnold 
  >Mononutu,
  > >permusyawaratan mengenai isi memorandum BAPERKI cukup berlangsung lama,
  > >karena PM Ali Sastroamijoyo berusaha mempertahankan naskah asli, tapi
  > >karena kehebatan PM Chou En Lai dalam berargumentasi, akhirnya disetujui
  > >pasal 2 dalam exchange of notes ini.
  > >
  > > Siapa diantara mereka golongan peranakan Tionghoa yang dianggap
  > >tidak perlu memilih lagi, sepenuhnya diserahkan pada Pemerintah Republik
  > >Indonesia untuk menentukan. Jadi, tetap diberlakukan stelsel pasif untuk
  > >mempertahankan kewarga-negaraan Indonesia tanpa harus lebih dahulu 
  >memilih
  > >sekali lagi. Ketentuan ini memberikan peluang bagi BAPERKI untuk
  > >memperjuangkan lebih jauh pendiriannya, agar supaya mereka yang hidup
  > >terpencil didesa-desa, baik hidup sebagai petani, nelayan maupun 
  >tengkulak
  > >dan tukang warung bisa dinyatakan juga sebagai kewarga-negaraan 
  >Indonesia,
  > >tanpa harus lebih dahulu memilih lagi, dan dengan demikian bisa diberi
  > >surat keterangan kewarga-negaraan Indonesia tunggal dengan bebas dari
  > >segala biaya administrasi.
  > >
  > >Walaupun tidak semua usul BAPERKI diterima, tetapi dalam memperhatikan
  > >pasal-pasal Peraturan Pemerintah No.20/1959 untuk melaksanakan 
  >Persetujuan
  > >Penyelesaian Dwi Kewarga-negaraan itu, telah telah disetujui banyak hal
  > >yang meringankan dan mempermudah prosedur untuk menjadi kewarga-negaraan
  > >tunggal Indonesia, al:
  > >Pasal 8 Peraturan itu menentukan, bahwa surat keterangan dari Pengadilan
  > >Negeri, yang menerangkan bahwa yang bersangkutan telah menanggalkan
  > >kewaga-negaraan RRT, merupakan bukti langsung tentang kewaga-negaraan
  > >Indonesia bagi orang yang menyatakan keterangan dan anak-anaknya yang 
  >belum
  > >dewasa. Surat keterangan dibebaskan dari segala biaya dan meterai.
  > >
  > >Dari pasal 3 dan 4 Peraturan itupun dapat ditarik kesimpulan, bahwa
  > >pengadilan negeri dalam tingkat pertama diwajibkan untuk memperhatikan
  > >tempat kelahiran orang yang menyatakan dan pernyataan tidak pernah 
  >menolak
  > >kewarga-negaraanya. Dengan demikian berarti, bahwa yang bersangkutan 
  >tidak
  > >perlu menunjukkan surat bukti kewarga-negaraan yang ber-meterai 
  >Rp.2,660.-,
  > >karena keterangan lahir di Indonesia dan tidak pernah menolak
  > >kewarga-negaraan Indonesia sudah cukup.
  > >
  > >Karena anggapan, bahwa golongan peranakan Tionghoa adalah ekonomis kuat,
  > >maka dalam rangka menambah penghasilan negara, diadakan peraturan pajak
  > >kepala bangsa asing. Jadi, memang tidak aneh akhirnya menimbulkan pikiran
  > >untuk memperbanyak jumlah orang asing di Indonesia. Dan dalam usaha
  > >memperbanyak jumlah orang asing itu, tentu saja pelaksanaan UU 
  >diperlambat.
  > >Bisa kita perhatikan kenyataan-kenyataan yang terjadi sbb:
  > >1. Perjanjian Penyelesaian Dwi Kewarga-negaraan antara RI-RRT
  > >diratifikasi oleh DPR pada tanggal 17 Desember 1957, tapi baru 
  >di-Undangkan
  > >pada tanggal 2 Februari 1958 dan peraturan pelaksanaannya, yaitu 
  >Peraturan
  > >Pemerintah No.20/1959 baru dikeluarkan pada 1 Juni 1959, sedang 
  >pelaksanaan
  > >peraturan tetap tinggal terkatung-katung, karena banyak Pengadilan Negeri
  > >baru bersedia melayani Pernyataan penganggalan kewarga-negaraan RRT 
  >antara
  > >tanggal 1 Oktober 1960 s/d 1 Desember 1960.
  > >2. Undang-undang Kewarga-negaraan RI No.62/1958 pada tanggal 1 Agustus
  > >1958 itu, peraturan pelaksanaan berupa Peraturan Pemerintah No.67/1958 
  >baru
  > >diundangkan pada tanggal 23 Desember 1958, jadi 6 bulan kemudian. Dan
  > >Pelaksanaan secara praktis baru terjadi pertengahan tahun 1959.
  > >
  > >Adanya kelambatan demikian itu, membuat kacau ketentuan pasal V Peralihan
  > >dari UU no. 62/1958, yang membuka kemungkinan bagi anak-anak yang ditolak
  > >Kewarga-negaraan Indonesia-nya oleh orang-tua mereka pada saat memilih
  > >kewarganegaraan berdasarkan KMB (27 Desember 1949 - 27 Desember 1951) dan
  > >karena itu menjadi asing, sebenarnya bisa ada kesempatan untuk kembali
  > >menjadi warga-negara Indonesia dalam tempo satu tahun setelah UU itu
  > >diundangkan. Tetapi, karena Peraturan Pelaksanaan UU dikeluarkan 6 bulan
  > >kemudian, dan Pengadilan Negeri juga tidak mungkin segera menangani
  > >pelaksanaan ketentuan peralihan itu, maka kesempatan untuk kembali 
  >menjadi
  > >warga-negara Indonesia hilang." Kutipan selesai.
  > >
  > > Begitulah rumitnya masalah kewarganegaraan Indonesia, khususnya bagi
  > >peranakan Tionghoa di Indonesia yang sampai sekarang setelah 60 tahun 
  >lebih
  > >Kemerdekaan RI belum juga mendapatkan penyelesaian secara tuntas.
  > >
  > > Salam,
  > > ChanCT
  > >
  > >
  > >----- Original Message -----
  > >From: ulysee
  > >To: tionghoa-net@yahoogroups.com
  > >Sent: Friday, February 03, 2006 5:50 PM
  > >Subject: RE: [t-net] Re: Saat Bela Merah Putih Masih Berstatus Stateless
  > >
  > >
  > >Status kewarganegaraan Tionghoa Indonesia memang pernah jadi SENGKETA 
  >POLITIK, itu tidak perlu disangkal. Dan tiap taon jadi bahasan seru, taon 
  >lalu gue berguru sama Bang Martin sampe heboh (abis gue berguru nya sambil 
  >ngajak tawuran huehhehe). Entah taon ini Bang Martin berkenan
  > >membagi ilmunya lagi atau enggak ya, huehuehue. Bang, udah capek belon 
  >bahas kewarganegaraan dan SBKRI, Bang? Hihihi. Bunyi donk Bang.
  > >
  > >Broer Chan, ini bawa sejarahnya kok cuman separoh, awas ntar ada yang 
  >kick balik bilang:
  > >"Satoe pendapet jang koerang mengetahoei kenjataan sedjarah!" lhoh. 
  >{>hehehe, kidding, bro' jangan sewot yeh }
  > >
  > >Soalnya UU kewarganegaraan Indonesia yang Ius Soli khan udah nggak laku,
  > >SEKARANG yang berlaku di Indonesia itu Ius Sanguinis, itu tuh yang
  > >ngikut ortu, udah berlaku sejak taon 1950 an kok kayaknya.
  > >
  > >Jadi kalau Broer Chan tau-tau bawa statement "Berdasarkan UU 
  >kewarganegaraan yang berasaskan ius soli pada tahun 1946 " itu kok kayaknya 
  >kurang lengkap untuk mendukung kasus Ivanna Lie. Siaw-moay boleh nambahin 
  >ya broer?
  > >
  > >Tahun 1946 waktu Indonesia baru merdeka memang diberlakukan stelsel 
  >pasif, jadi semua tionghoa yang tinggal di Indonesia pada waktu kemerdekaan 
  >itu dianggap sebagai warganegara Indonesia, begitulah, kecuali yang MAU 
  >MENOLAK kewarganegaraan Indonesia (namanya HAK repudiasi) itu boleh urus ke 
  >kantor dan dikasih jangka waktu 1 TAHUN. Terus tahun 1947 diperpanjang lagi 
  >1 tahun. Diperpanjang lagi sampe 1951.
  > >
  > >Tapi terus kewarganegaraan tionghoa yang Ius Soli di Indonesia jadi 
  >SENGKETA sama RRT yang menganut IUS SANGUINIS sejak taon 1910. Itu orang 
  >orang tionghoa Indonesia jadi ngga jelas kewarganegaraannya Indonesia atau 
  >RRT? Sempet punya double kewarganegaraan pula
  > >
  > >Sampe tahun 1953 ada yang cetuskan "reseh nih, urusannya gimana sih, udah 
  >deh, si hak repudiasi itu batalin aja deh. Suruh pilih aja gitu." demikian 
  >kira kira. Yang bikin tionghoa-tionghoa sempet pada kelimpungan (sama kayak 
  >kita kelimpungan kalu mau pemilihan presiden, mending pilih yang mana 
  >hayooo, gitu khan. )
  > >
  > >Lewat perdebatan puanjaaaang dan luamaa, kemudian taon 1955 ada 
  >perjanjian Soenario sama PM Chou bahwa orang-orang sengketa ini HARUS MILIH 
  >salah satu, ga boleh serakah, ga bisa dua-duanya. Jadilah orang pada ribet 
  >ngurusin status kewarganegaraan yang mana sempet bikin BAPERKI ikut turun 
  >tangan bantuin itu orang orang yang kebanyakan enggak ngerti hukum dan 
  >prosedur toh?
  > >
  > >Taon 1958 Indonesia akhirnya pake aturan IUS SANGUINIS juga, gitu lhoh. 
  >Sampe sekarang,
  > > yang sempat diributin lagi lewat RUU Kewarganegaraan, yang katanya masih 
  >diskriminasi sama perempuan. Hehehhe.
  > >
  > >Sampe detik ini gue masih suka kerut alis kalu ditanya SBKRI. Waktu Susi 
  >Susanti dongkol mau berangkat ke Athena masih ditagih SBKRI, gue juga ikut 
  >ngomel dengan santer. Bedanya 'sedikit' pengetahuan sejarah SBKRI ini 
  >membuat dongkol gue agak kempes sedikit kalau gue ditagih SURAT
  > >BUKTI KEWARGANEGARAAN INDONESIA.
  > >
  > >Yang gue penasaran, itu yang nagih SBKRI tahu nggak ya sejarahnya surat 
  >ajaib itu? Gue kok agak yakin sebagian dari mereka TIDAK TAHU, dan 
  >barangkali juga tidak bisa menjelaskan kenapa mereka harus menanyakan surat 
  >itu. Kalau ditanya jawabnya hanya "Aturannya begitu sih." Gitu
  > >doank. Sungguh tidak memuaskan.
  > >
  > >Barangkali mereka juga kemakan gossip yang katanyaaaaa surat ajaib itu 
  >begitu disebut tiga kali bisa beranak duit, harap dicatat, 
  >katanyaaaaa,huehehehe.
  > >(emangnya jin aladdin, kalu disebut bisa minta kaya, kyahahaha)
  > >
  > >Tantangan buat kita SEKARANG adalah mempertanyakan apakah SBKRI itu masih 
  >perlu atau tidak Percuma kalau bolak balik mempersalahkan SENGKETA MASA 
  >LALU.
  > >
  > >Kalau SBKRI masih dianggap perlu, apa alasannya?
  > >Kalau bilang tidak perlu, juga harus bisa menjelaskan alasannya.
  > >
  > >Hayo, masih perlu apa nggak coba?
  > >
  > >
  > >-----Original Message-----
  > >From: ChanCT [mailto:[EMAIL PROTECTED]
  > >Sent: Thursday, February 02, 2006 3:23 PM
  > >To: HKSIS-Group; budaya_tionghua@yahoogroups.com
  > >Subject: [t-net] Re: Saat Bela Merah Putih Masih Berstatus Stateless
  > >
  > >
  > >Memang sesuatu yang sangat unik bisa terjadi di Indonesia, mungkin juga 
  >tak ada keduanya didunia ini, dimana bisa terjadi masalah kewarganegaraan 
  >begitu rumitnya khusus terhadap etnis Tionghoa.
  > >
  > >Coba perhatikan, Ivana Lie seorang atlet Bulutangkis yang membela nama 
  >baik Indonesia, tapi masih bisa berstatus stateless, belum mempunyai 
  >kewarganegaraan yang sah. Mengapa? Satu kontradiksi peraturan UU 
  >Kewarga-negaraan yang terjadi di Indonesia. Betul-betul membuat amburadul, 
  >entah disengaja atau kelalaian dari pihak Pemerintah RI.
  > >
  > >Berdasarkan UU Kewarganegaraan yang berasaskan ius Soli, tempat kelahiran 
  >seseorang sebagai syarat menjadi kwarga-negara Indonesia, yang jelas telah 
  >di-Undang-kan pada tahun 1946, maka seharusnya Ivana Lie yang lahir di 
  >Indonesia, sekalipun orang-tuanya berasal dari Tiongkok sana, adalah 
  >seorang warga-negara Indonesia yang sah, selama dia tidak pernah menyatakan 
  >menolak menjadi warga-negara Indonesia untuk tetap menjadi warga-negara 
  >Tiongkok (mengikuti orang-tuanya).
  > >
  > >Tapi, kemudian lupa konkritnya tahun berapa diberlakukan keharusan 
  >seseorang turunan asing (kenyataan hanya khusus diberlakukan untuk etnis 
  >Tionghoa saja), diharuskan memiliki SBKRI (Surat Bukti Kewarga-negaraan 
  >Indonesia), dan, ... karena Ivana Lie tidak pernah berhasil memiliki
  >
  >=== message truncated ===
  >
  >
  >---------------------------------
  >Bring words and photos together (easily) with
  >  PhotoMail  - it's free and works with your Yahoo! Mail.

  _________________________________________________________________
  Don’t just search. Find. Check out the new MSN Search! 
  http://search.msn.click-url.com/go/onm00200636ave/direct/01/


[Non-text portions of this message have been removed]





.: Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :.

.: Kunjungi website global : http://www.budaya-tionghoa.org :.

.: Untuk bergabung : http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua :.

.: Jaringan pertemanan Friendster : [EMAIL PROTECTED] :. 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke