--- In [EMAIL PROTECTED], "odeon_cafe" <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
KEWARGA-NEGARAAN Oleh: Kenken Warga negara adalah salah satu komponen penting dalam sebuah negara selain batas-batas wilayah, struktur pemerintahan, pengakuan internasional dsb. Berbeda dengan status "penduduk" negara, status "warga-negara" memiliki implikasi politis. Sekalipun keduanya memiliki batasan hak dan kewajiban masing-masing, tetapi status "warga-negara" memiliki keistimewaan tertentu yang tidak dimiliki oleh status "penduduk" seperti hak memilih dan dipilih, mendapat perlindungan negara atas hidup dan perikehidupan, akses pelayanan publik dan akses ekonomi dsb. Di dalam sebuah negara modern, hak-hak warga-negara ini dijamin tanpa membedakan golongan (ras, etnis, gender dan agama) termasuk penyandang cacat, dan tanpa perkecualian selain yang dibenarkan dalam suatu masyarakat yang bebas dan bersifat demokratis. Hal ini merupakan penerapan asas persamaan dan kesetaraan warga-negara. Jumlah warga-negara mempengaruhi banyak sendi kehidupan sebuah negara. Dalam sudut pandang positif, warga-negara dalam kuantitas besar merupakan modal potensial pembangunan sebuah negara. Jumlah warga-negara menentukan tersedianya sumber daya manusia untuk kegiatan produktif ekonomi, kekuatan pertahanan dan politik dll. Penduduk berstatus non warga-negara atau stateless dalam jumlah besar di sebuah negeri merupakan kondisi yang tidak sehat. Menurut Siauw Giok Tjhan, penduduk asing atau stateless yang telah menetap secara turun-menurun dalam suatu negeri dengan jumlah besar dapat menciptakan instabilitas dalam negeri itu apabila status kewarga- negaraan mereka dengan sengaja diabaikan. Pengabaian tersebut berdampak pada tidak maksimalnya pengerahan potensi SDM penduduk non warga-negara dan stateless hanya karena status politik-yuridis kewarga-negaraan mereka terabaikan. Kepastian hukum (rechtszekerheid) mengenai status kewarga-negaraan setiap penduduk sangat dibutuhkan. Kepastian hukum ini dapat dituangkan dalam UU Kewarga-negaraan yang memberi akses seluas- luasnya untuk proses pewarga-negaraan. Sehingga UU Kewarga-negaraan ini selayaknya memiliki arti yang sangat penting untuk diperhatikan agar dapat menjamin penegakkan prinsip kesetaraan kedudukan hukum seorang manusia. UU Kewarga-negaraan biasanya tetap menganut prinsip umum dan universal yang diakui keberadaannya oleh negara-negara di dunia. Prinsip tersebut menyatakan bahwa (1) sebuah negara berhak menetapkan siapa-siapa yang dapat memperoleh kewarga-negaraan dan siapa-siapa yang dapat kehilangan kewarga-negaraan; (2) bahwa suatu negara tidak dapat mencampuri peraturan kewarga-negaraan negara lain; (3) untuk menganggap seseorang menjadi anggota suatu negara (kewarga-negaraan) harus ada dasar ikatan tertentu. Proses pembentukan UU Kewarga-negaraan biasanya ditentukan oleh dua jenis paradigma yang melatar-belakangi butir-butir pasal UU Kewarga- negaraan i.e. paradigma "kehati-hatian" dan itikad "mempermudah" pewarga-negaraan. Keduanya ditentukan oleh "political will" dari para pembuat legislasi. Dengan demikian, sebuah UU Kewarga-negaraan bukan hanya sekedar produk hukum an sich melainkan juga merupakan produk politik. Sehingga usaha untuk memperbaiki atau mengubah sebuah UU Kewarga-negaraan, terutama UU Kewarga-negaraan yang membuka celah bagi praktek segregasi dan diskriminasi, tidak dapat hanya berkutat pada masalah hukum an sich tanpa mengaitkan faktor politik. Paradigma "kehati-hatian" (yang berlebihan) cenderung mempersulit akses pewarga-negaraan thus memperkecil jumlah warga-negara baru. Penjabarannya adalah dengan memperketat syarat-syarat seleksi dan memperumit proses pewarga-negaraan. UU Kewarga-negaraan yang didasari prinsip "kehati-hatian" merupakan UU Kewarga-negaraan yang bersifat `tertutup'. Paradigma "kehati-hatian" ini tidak memiliki kaitan, baik secara langsung maupun tidak, dengan semangat nasionalisme dan sudah tidak relevan untuk diterapkan pada saat ini. Menurut Sosiolog Paulus Wirutomo, di tengah-tengah konstelasi dunia modern saat ini diperlukan sebuah UU Kewarga-negaraan yang bersifat "terbuka" dan multikultural. IUS SOLI dan IUS SANGUINIS Sebuah negara biasanya mengadobsi salah satu dari kedua asas kewarga- negaraan i.e. ius soli dan ius sanguinis sebagai asas primer peraturan kewarga-negaraan yang dipegang. Sekalipun, pada prakteknya banyak negara menggunakan kombinasi kedua sistem kewarga-negaraan tersebut dengan kombinasi satu asas menjadi asas primer dan asas yang lain sebagai asas sekunder. Ius Soli (Law of the soil) adalah kewarga-negaraan berdasarkan tempat kelahiran seseorang. Contoh negara yang menerapkan prinsip ius soli sebagai prinsip primer adalah Amerika, Argentina, Bangladesh, Brazil dll. Asas ini lebih sesuai dengan kondisi global saat ini di mana status kebangsaan dan kewarga-negaraan seseorang tidak ditentukan oleh dasar etnis, ras atau agama. Asas ini memungkinkan terciptanya UU Kewarga-negaraan yang bersifat "terbuka" dan multikultural. Ius Sanguinis (Law of the blood) adalah penentuan kewarga-negaraan berdasarkan keturunan. Asas ini menetapkan kewarga-negaraan seseorang berdasarkan kewarga-negaraan orang tuanya, tanpa mengindahkan di mana ia dilahirkan. Contoh negara yang menggunakan prinsip ius sanguinis adalah Brunai, Jordania, Malaysia, Belanda dll. Penentuan kewarga-negaraan berdasarkan atas hubungan darah ini tampaknya sudah tidak terlalu relevan karena memiliki kecenderung yang amat sempit dan membatasi diri. Terutama pada saat `garis orang tua' itu seringkali identik dengan `garis ras/etnis'. Contohnya Amerika Serikat menggunakan ius soli sebagai asas primer yaitu berdasarkan klausul "semua anak yang lahir di wilayah Amerika Serikat adalah Warga-Negara Amerika". Klausul ini jelas merupakan penerapan prinsip ius soli sebagai landasan utama aturan kewarga- negaraan Amerika. Di sisi lain, Amerika Serikat juga menggunakan asas ius sanguinis sebagai prinsip sekunder untuk mengakomodir kasus- kasus khusus seperti yang dapat dilihat dari pernyataan "anak yang lahir di luar wilayah Amerika dari pasangan warga-negara Amerika yang salah satu orang tuanya bertempat tinggal di Amerika sebelum anak itu lahir". STELSEL PASIF dan STELSEL AKTIF Di samping itu, teori pewarga-negaraan mengenal dua mekanisme sistem pewarga-negaraan yang biasa dibedakan menjadi stelsel pasif dan stelsel aktif. Menurut Siauw Giok Tjhan, negara-negara Eropa pada umumnya menganut sistim stelsel aktif, sedangkan negara-negara Asia seperti Arab, Tiongkok dll cenderung menerapkan sistem stelsel pasif. Stelsel aktif berarti secara aktif menyatakan kewarga-negaraan. Penjabaran sistem stelsel aktif adalah seseorang harus secara aktif mengajukan pewarga-negaraan dan secara aktif membuktikan status kewarga-negaraannya. Adanya penyertaan SBKRI untuk golongan Tionghoa secara menyeluruh berdasarkan ras criterium di Indonesia merupakan salah satu contoh praktek turunan dari penerapan sistem stelsel aktif. Sedangkan stelsel pasif berarti secara otomatis menjadi warga-negara dan baru secara aktif apabila mengajukan hak repudiasi. Jika yang bersangkutan tidak secara aktif mengajukan penolakan kewarga- negaraan maka secara otomatis ia dianggap sebagai warga-negara. Stelsel pasif juga berarti negara atau instansi pemerintah adalah pihak yang aktif untuk membuktikan status kewarga-negaraan asing seseorang apabila terdapat keraguan terhadap status kewarga-negaraan orang tersebut. Pada awalnya, Indonesia menganut asas Ius Soli/Stelsel pasif dalam UU Kewarga-negaraan No. 3/1946 yang dikeluarkan pada tanggal 10 April 1946. UU No.3/1946 ini menyatakan bahwa setiap orang yang lahir di dalam daerah Negara Indonesia dan sudah dewasa pada saat proklamasi adalah warga-negara Indonesia. Sebelum proklamasi kemerdekaan, petisi Soetarjo mengajukan syarat-syarat kewarga- negaraan yang bersifat uis soli yang berbunyi "syarat-syarat untuk diakui sebagai warga-negara dapat ditentukan antara lain: lahir di Indonesia, asal keturunan, orientasi hidup kemudian hari". Pernyataan ini mengarah kepada cita-cita membentuk satu macam warga- negara dengan hak dan kewajiban sama tanpa pembedaan latar belakang golongan etnis, agama dan gender. Asas ius soli dan stelsel pasif juga didukung oleh banyak golongan, termasuk golongan keturunan Arab. Hal ini dapat kita temukan pada lampiran pidato Mahmud L. Latjuba B.A di hadapan parlement tahun 1951 dengan menyatakan bahwa "...turunan Arab Â… menuntut adanya perundang-undangan kewarga-negaraan dengan sistem passiefÂ…". Pergantian asas dan sistem kewarga-negaraan terjadi pada saat pemberlakuan UU No. 62/1958 yang berdasarkan UUDS tahun 1950. Sekalipun, pemberlakuan ini tidak diikuti dengan pembatalan UU No. 3/1946 secara tegas. Hal ini dibuktikan dengan digunakannya UU No. 3/1946 untuk mengatur kewarga-negaraan penduduk Papua Barat berdasarkan Keputusan Presiden No. 7 tahun 1971. Pemberlakuan UU No. 62/1958 mengubah asas ius soli/stelsel pasif yang dianut oleh UU No. 3/1946 menjadi ius sangunis/stelsel aktif. --- End forwarded message --- .: Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :. .: Kunjungi website global : http://www.budaya-tionghoa.org :. .: Untuk bergabung : http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua :. .: Jaringan pertemanan Friendster : [EMAIL PROTECTED] :. Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/