Oom Chan, 

Saya juga bingung dengan kebijakan kewarganegaraan yang diterapkan 
oleh RI pasca UU No.3/1946 yang berasas ius soli dan stelsel passif. 

Logikanya, apabila sebuah aturan lama dirasakan tidak akomodatif, 
menimbulkan kekacauan maka aturan baru dibentuk. 

Tetapi nyatanya, pemberlakuan UU No.3/1946 tidak menimbulkan 
masalah, paling tidak sebesar penerapan UU No.62/1958. terlebih lagi 
pada saat orde baru melaksanakan UU No.62/1958 dengan "konsekuen" 
menurut Harry Tjan Silalahi. 

Pemerintah pasca reformasi, terutama pada saat Yusril Izra Mahendra 
menjabat menteri malah menyalahkan Mao Zedong. Sedangkan Yusril ini 
profesor dan ahli hukum. 

Padahal, PM Chou En Lai telah menunjukan itikad baik dan tidak lagi 
mengklaim etnis Tionghoa di Indonesia sebagai warganegara Tiongkok. 
PM Chou menyerahkan seluruh mekanisme dan keinginan dari pemerintah 
RI yang ia kira akomodatif karena pemimpinnya Soekarno. 

Syukur sekarang ini sedang diupayakan pembenahan UU Kewarganegaraan. 
Saya lihat Pak Slamet Efendy Yusuf, Beni H. Karman sangat terbuka. 
Terlebih lagi pada saat Ibu Nursyahbani masuk Panja. Mahfud MD pun 
sangat revolusioner pemikirannya. Mordaya Poo agak bingung. 
Beruntung masih ada Rudyanto Chen, Tionghoa Bangka dari Fraksi PDI-P 
yang jadi anggota Pansus kewarganegaraan. 

Semoga UU Kewarganegaraan kita nanti bisa lebih akomodatif. 
Sekalipun, tampaknya ius sanguinis masih tetap dipegang sebagai asas 
primer. Hanya saja penekanan kategori "asli" dan "tidak asil" akan 
dihapus. Jadi semua orang yang lahir di Indonesia dinyatakan WN 
asli. 

Tapi UU Kewarganegaraan ini belum tentu menyelesaikan semua masalah. 
Kalau aturan pelaksana di tingkat lebih bawah mulai dari PP sampe 
kelurahan tidak diubah. Kalau catatan sipil masih pake UU Belanda 
yang membagi 3 golongan penduduk menurut etnisitas tidak dicabut 
maka problem kewarganegaraan ini masih akan berlanjut. 


Sub-Rosa II


--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "ChanCT" <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
> Kalau boleh saya ikut nimbrung, memberikan sedikit pendapat, ya. 
Untuk dipikirkan bersama:
> 1. Lebih baik kita tidak mempersoalkan munculnya SBKRI ditahun 58 
ada tidak latar belakang CIA. Katakanlah itu muncul dari pemerintah 
RI sendiri saja;
> 
> 2. Bagaimanakah sebaiknya kita memperlakukan jutaan etnis Tionghoa 
yang sudah hidup ratusan tahun di Nusantara ini? Sebanyak mungkin 
bisa diperlakukan sebagai warganegara Indonesia atau sebanyak 
mungkin dijadikan warganegara asing (Tiongkok)? Pertentangan 
pendapat ini, semula pejuang-kemerdekaan RI telah menetapkan jawaban 
pertama, yaitu menghendaki sebanyak mungkin etnis Tionghoa menjadi 
warganegara Indonesia, dengan prosedur yang paling sederhana. UU 
Kewarganegaraan tahun 46 telah menetapkan berasaskan ius Soli, 
tempat kelahiran yang menentukan seseorang sebagai warganegara 
Indonesia. Dan yang dijalankan adalah stelsel pasif, artinya, semua 
etnis Tionghoa yang lahir di Indonesia dinyatakan otomatis menjadi 
warganegara Indonesia, kecuali menggunakan hak repudiatie yang 
diberi waktu 2 tahun untuk menolak warganegara Indonesia dan menjadi 
warganegara Tiongkok, atau setelah dewasa mengajukan penolakan 
warganegara Indonesia dan menyatakan menjadi warganegara Tiongkok.
> 
>     Tapi, pihak pemerintah Tiongkok Nasionalis ketika itu yang 
berasaskan ius Sanguinus, berkeras mengklaim etnis Tionghoa, orang-
orang yang berdarah Tionghoa juga sebagai warganegara Tiongkok. Dan 
adanya sementara pejabat pemerintah RI yang juga berkeinginan lebih 
banyak etnis Tionghoa menjadi nasing, maka keputusan UU No.3 tahun 
46 itu selalu dimentahkan kembali, dan akhirnya dikeluarkan UU No.62 
tahun 58 itu, yang menuntut etnis Tionghoa lebih dahulu memilih 
menjadi warganegara Indonesia, diberlakukan stelsel aktif. Jadi, 
etnis Tionghoa di Indonesia baru menjadi warganegara Indonesia 
setelah maju kedepan pengadilan negeri dan mendapatkan SBKRI!
> 
>     PM Zhou En-lai yang mewakili RRT dalam perundingan Dwi 
Kewarganegaraan RI-RRT, sudah dengan tegas menyatakan: sepenuhnya 
menyerahkan kebijaksanaan pada Pemerintah RI untuk menetapkan siapa 
yang diharuskan memilih kembali kewarganegaraan Indonesia, dan 
sepenuhnya memberikan hak pada setiap etnis Tionghoa untuk 
menentukan pilihannya. Bahkan secara tidak resmi, PM Zhou 
menganjurkan etnis Tionghoa menjadi warganegara Indonesia, yang baik-
baik yang patuh dan mentaati UU pemerintah RI. Jadi, saat itu, 
Pemerintah Tiongkok juga sudah tidak berkeras mengklaim etnis 
Tionghoa sebagai warganegara Tiongkok lagi, sepenuhnya menyerahkan 
kebijaksanaannya pada pemerintah RI!
> 
>     Banyak masalah yang timbul dengan diberlakukannya stelsel 
aktif, diharuskannya etnis Tionghoa lebih dahulu maju kedepan 
pengadilan negeri untuk mendapatkan SBKRI. Karena semua oarang dari 
golongan etnis Tionghoa segera berubah menjadi asing, sebelum 
mendapatkan SBKRI! Pemerintah RI tidak memperhitungkan begitu 
banyaknya, jutaan orang harus maju seketika kedepan pengadilan 
negeri baru bisa jadi warganegara RI, dalam waktu berapa lama baru 
bisa selesai. Dan selama peralihan yang berkepanjangan, tentu bisa 
timbul persoalan seperti hak-milik tanah, dimana sebagai orang asing 
tidak berhak memiliki tanah. Terjadilah persengketaan tanah 
perkebunan kopi di Bali milik etnis Tionghoa yang seketika dianggap 
orang asing. 
> 
> Kedua, tidak memperhitungkan begitu banyaknya, jutaan etnis 
Tionghoa yang tergolong miskin, yang hidup sebagai petani seperti 
dikenal Cina-Bentengdi Tanggerang, diperkebunan Lampung dan 
Kalimantan, yang nelayan di Bagansiapi-api, buruh tambang timah di 
Bangka Belitung, tidak akan mungkin diminta datang kekota mengurus 
SBKRI. Lha, surat lahir, surat kawin saja mereka tidak pernah punya, 
kok! Lalu, orang-orang seperti ini mau diperlakukan sebagai orang 
asing, bukan warganegara Indonesia lagi, sekalipun sudah hidup 
ratusan tahun, turun temurun entah berapa generasi sudah?!
> 
> Ketiga, dengan ketentuan stelsel aktif, orang harus maju kedepan 
pengadilan negeri untuk dapat SBKRI lebih dahulu, terjadilah 
kenyataan adanya warganegara Indonesia yang lebih dahulu dan 
belakangan. Padahal, deengan UU tahun 46, setiap orang menjadi 
warganegara Indonesia dalam waktu bersamaan, menghindari adanya 
Indonesia asli dan non-asli. Dan, yang terjadi seharusnya pengalaman 
bung Rinto itu, cukup dengan surat Lahir membuktikan dirinya sebagai 
Warganegara Indonesia, kecuali dia menggunakan hak repudiatie, 
menolak kewarganegaraan Indonesia untuk menjadi warganegara asing. 
Jadi tidak membedakan yang etnis Tionghoa dengan yang 
dikatakan "pribumi", sama-sama dilahirkan di Indonesia dan bersamaan 
waktu menjadi warganegara Indonesia yang sah. Itulah orang Indonesia 
asli!
> 
>     Yah, mudah-mudahan perubahan UU Kewarganegaraan yang anti-
diskriminasi rasial itu bisa cepat menyelesaikan masalah SBKRI yang 
dikriminatif dan sangat tidak menguntungkan persatuan bangsa 
Indonesia itu. 
> 
>     Salam,
>     ChanCT
>   ----- Original Message ----- 
>   From: Nasir Tan 
>   To: budaya_tionghua@yahoogroups.com 
>   Sent: Monday, March 13, 2006 3:05 PM
>   Subject: Re: [budaya_tionghua] SBKRI: Selayang pandang 
(Menyongsong UU Kewarganegaraan yang Baru).....apa kiatnya?
> 
> 
> 
> 
>   Rinto Jiang <[EMAIL PROTECTED]> wrote:    Lucas Ony menulis:
> 
>   Mudah2an ada rencana penghapusan peraturan buatan CIA dalam UU 
No 62 Tahun
>   1958 ini...
>   Saya sudah bosan dengar kata SBKRI... kalau orang yang baru 
datang dari luar
>   negri lalu ganti warga negara di sini, masih cengli pakai SBKRI, 
tapi kalau
>   yang sudah 7 turunan tinggal di sini apa perlu lagi ya pakai 
peraturan
>   buatan CIA ini?
> 
> 
> 
>   Rinto Jiang:
> 
>   Saya ingin meluruskan salah kaprah tentang SBKRI ini. Saya rasa, 
SBKRI 
>   memang mutlak diperlukan buat pemerintah untuk mengatur masalah 
>   kependudukan, dalam hal ini warga negara lain yang menjalani 
naturalisasi.
> 
>   Memang pada dasarnya, keharusan memiliki SBKRI ini cuma pada 
warga 
>   negara lain yang menjalani naturalisasi, jadi tidak ada yang 
salah pada 
>   keharusan ini. Masalahnya yah di situ, penyimpangan yang 
kemudian 
>   terjadi adalah bahwa SBKRI lalu disalahgunakan menjadi objek 
pemerasan, 
>   karena ada peraturan setingkat menteri yang memutuskan anak2 
dari warga 
>   keturunan yang memiliki SBKRI harus membuktikan orang tuanya 
adalah WNI 
>   yang memiliki SBKRI. Mengapa harus ada peraturan seperti ini? 
Ini muncul 
>   karena di Indonesia kira2 ada jutaan orang Tionghoa yang tidak 
memiliki 
>   SBKRI, tidak menjalani naturalisasi sehingga dianggap sebagai WN 
asing, 
>   dalam hal ini Tiongkok. Celakanya, setelah 1966, Tiongkok juga 
tidak 
>   otomatis memberikan kewarganegaraan buat orang asing yang 
diklaim 
>   sebagai WN Tiongkok ini, bila mau, harus mengajukan naturalisasi 
>   kembali, masalahnya, orang Tionghoa di desa2 mana mungkin tahu 
ketentuan 
>   ini, dan bilapun tahu, ke mana mereka harus mengurus? Wong, 
kedubes RRT 
>   sudah ditutup.
> 
>   Kembali kepada ketentuan mengharuskan anak membuktikan orang 
tuanya 
>   punya SBKRI, bayangkan saja, bila saya punya 12 anak, dan tiap2 
anak 
>   sudah tinggal merantau ke mana2, apakah SBKRI saya perlu 
dikoyak2 
>   menjadi 12 bagian dan dibagi2kan ke anak saya, biar mereka tidak 
perlu 
>   meminjam SBKRI ke saya bila ingin mengurus surat2? Tidak mungkin 
bukan, 
>   makanya mereka kemudian terpaksa mengurus sendiri SBKRI sendiri 
walaupun 
>   mereka resmi sudah WNI. Ini penyimpangan terbesar dan yang 
dimaksud oleh 
>   Bung Ony dengan "SBKRI  7 turunan". Celakanya, ini didukung 
>   "legalisasi"-nya oleh para calo2 Pengadilan Negeri yang 
mayoritas juga 
>   orang Tionghoa sendiri. Calo2 ini berkongkalingkong dengan 
oknum2 
>   pengadilan negeri buat bagi hasil uang mengurus SBKRI. Ironis 
bukan, ini 
>   namanya Cina makan Cina. Saya sendiri tidak pernah punya SBKRI, 
ada calo 
>   yang sering "memperingati" orang tua saya agar membuatkan SBKRI 
untuk 
>   saya, artinya saya punya SBKRI terpisah dari orang tua, namun 
saya 
>   berkeras tidak mau, karena akte kelahiran saya sudah seperti 
halnya WNI 
>   biasa, tidak seperti akte kelahiran orang tua saya yang masih 
ada 
>   tulisan besar2 "Catatan Besar Kelahiran Orang Tionghoa", artinya 
>   pemerintah Indonesia cuma membantu mencatat, namun tidak 
otomatis 
>   memberikan status kewarganegaraan. Cuma SBKRI-lah yang 
membuktikan bahwa 
>   mereka telah menjadi WNI.
> 
>   Jadi, tidak ada yang salah dengan peraturan "diskrimintatif" 
ini, yang 
>   salah itu pelaksanaannya di lapangan juga oknum2 yang berusaha 
>   melestarikannya.
> 
>   Terus, kalau mau ditarik kembali mengapa SBKRI cuma dikenakan 
pada orang 
>   Tionghoa, ini yah dikarenakan klaim Tiongkok atas status 
kewarganegaraan 
>   orang Tionghoa di Indonesia. Arab, India dan Belanda tidak 
mengklaim, 
>   maka tidak ada masalah dengan kewarganegaraan mereka. Makanya, 
saya 
>   sangat mendukung kebijakan Deng Xiaoping meng-amandemen UU 
>   kewarganegaraan mereka pada tahun 1980, yang tidak serta merta 
mengklaim 
>   status seorang anak dari keturunan Tionghoa.
> 
>   Sebenarnya, kebijakan Tiongkok untuk mengklaim status orang 
Tionghoa di 
>   Indonesia ini juga bersumber dari duta besar RRT untuk Indonesia 
saat 
>   itu (saya lupa namanya), yang bersikeras mengklaim status 
>   kewarganegaraan orang Tionghoa di Indonesia. Setahu saya, Zhou 
Enlai 
>   memarahi duta besar mereka ini setelah persetujuan ditetapkan 
antara RRT 
>   dan Indonesia. Kemarahan Zhou Enlai ini wajar, karena klaim RRT 
ini 
>   dapat menjadikan orang Tionghoa di Indonesia macam buah 
simalakama, maju 
>   tak bisa mundur tak mampu karena terjepit di tengah. Terus 
terang saja, 
>   RRT juga tidak sepenuhnya mempercayai orang Tionghoa di 
Indonesia, 
>   karena Mao pernah melontarkan ucapan bahwa orang Tionghoa yang 
merantau 
>   di LN perlu dicurigai karena dapat membahayakan ideologi 
komunisme 
>   mereka. Juga karena mayoritas orang Tionghoa di LN adalah 
pendukung KMT 
>   nasionalis yang waktu itu sudah mundur ke Taiwan.
> 
>   Bayangkan saja, bila RRT dari dulu tidak mengklaim ini dan itu, 
saya 
>   rasa, SBKRI pasti bukan masalah pelik dan utama buat isu 
Tionghoa di 
>   Indonesia sekarang ini. Untung saja, mulai 1980, RRT sudah 
mengganti 
>   kebijakannya. Makanya, beberapa waktu lalu, saya sangat2 tidak 
setuju 
>   dengan pendapat Bung Li Tianci yang masih merasa bangga dengan 
klaim 
>   kewarganegaraan RRT itu.
> 
>   Demikian dulu penjelasan saya.
> 
> 
>   Rinto Jiang
> 
>     hehehe....:-))
>     Jadi persoalannya adalah karena penyimpangan dari pelaksanaan 
SKBI nya toh....berarti SKBI sendiri bukan masalah yah..!! Nah 
sekarang "wa" mau nanya sama Ko Rinto nih, : Apa kira-kira kita yang 
kami harus upayakan agar penyalahgunaan dilapangan tidak terjadi 
lagi ( minimal menimize)sehingga kalaupun kita2 ini harus mengurus 
SKBI tidak bertele-tele atau dipersulit lagi?
>      
>      
>     salam,
>      
>     Nasir Tan
>     
>    
> 
>   __________________________________________________
>   Do You Yahoo!?
>   Tired of spam?  Yahoo! Mail has the best spam protection around 
>   http://mail.yahoo.com 
> 
>   [Non-text portions of this message have been removed]
> 
> 
> 
> 
> 
>   .: Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :.
> 
>   .: Kunjungi website global : http://www.budaya-tionghoa.org :.
> 
>   .: Untuk bergabung : 
http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua :.
> 
>   .: Jaringan pertemanan Friendster : [EMAIL PROTECTED] :. 
>   Yahoo! Groups Links
> 
> 
> 
>    
> 
> 
> 
> 
> [Non-text portions of this message have been removed]
>









.: Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :.

.: Kunjungi website global : http://www.budaya-tionghoa.org :.

.: Untuk bergabung : http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua :.

.: Jaringan pertemanan Friendster : [EMAIL PROTECTED] :. 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke