Pak Putu, saya suka sekali dengan anda.
salam kenal dari saya. kehadiran anda
sungguh menghibur. saya membayangkan
ekspresi Pak Danardono membaca "pencerahan"
ROH anda. pasti beliau terpingkal-pingkal.

anda mengingatkan saya kepada seorang kawan
yang menjadi pedeta kristen betani. sangat
otentik. highly spirited, full of religio
scientific analysis, yet so difficult to believe
and impossible to accept.

oh, anda orang era baru ya? saya berkomunikasi
baik dengan Pak Fadjar. anda kenal? atau
anda ini orang Falun Gong Indonesia? kira-kira
di mana saya bisa belajar Falun Gong?

ini saya kirim artikel saya tentang multikulturalisme.
daripada bergosip tentang tiongkok dan debat
ideologi apalagi omong tentang benda abstrak
spt roh maka ada baiknya omong masalah bagaimana
membangun peradaban multikultural di Indonesia.

agree??

Sub-Rosa II


MULTIKULTURALISME
Oleh: Kenken*

Multikulturalisme, secara singkat, adalah sebuah paradigma tentang
kesetaraan semua ekspresi budaya. Kebudayaan suku "primitif" dan
peradaban masyarakat industri modern memiliki kesetaraan nilai,
sekalipun tidak bermaksud mengabaikan kekhususan peran sosial-
historis masing-masing. Multikulturalisme berkesimpulan bahwa
kebudayaan Barat dan ras Anglo Saxon tidak lebih superior daripada
Tribalis Afrika dan cara hidup para pemburu walrus Eskimo.
Konseptualisasi multikulturalisme menolak metapora `melting pot'
yang hanya berperan sebagai cover konsep asimilasi opresif.

Indonesia merupakan negeri multikultural dengan ribuan pulau, lebih
dari 300 etnisitas, berbagai paham dan aliran kepercayaan serta
ideologi politik, sekaligus pusat "pluralitas konflik". Kesadaran
multikultural telah tertanam sejak Mpu Tantular menuliskan
istilah "bhineka tunggal ika". Bagi Siauw Giok Tjhan, Bhineka
Tunggal Ika merupakan "pencerminan realisasi proses integrasi wajar
dari semua golongan Rakyat, yang menganut berbagai macam pandangan
hidup, agama, kepercayaan, di samping berbeda dalam suku dan asal
keturunan". Saat ini, kesadaran "multikultural" tersebut berhadapan
dengan kebutuhan mendesak untuk merekonstruksi kembali "kebudayaan
nasional Indonesia" yang seharusnya menjadi "integrating force" yang
mengikat seluruh keragaman etnis dan budaya dalam bingkai persatuan
nasional. 

Sejak hari pertama berkuasa, Orde Baru mencoba melakukan
penyeragaman (homogenisasi) kultur secara masif. Kemudian, kekerasan
antar kelompok masyarakat meledak secara sporadis pada akhir tahun
1990-an di berbagai kawasan. Semata-mata hanya untuk memperlihatkan
betapa rentan homogenisasi yang hendak dibangun dalam mozaik Negara-
Bangsa seperti Indonesia, sekaligus sebagai tanda awal kejatuhan
rezim Orde baru. Tentu saja, usaha homogenisasi ini bertentangan
dengan perspektif multikultural yang menolak asumsi adanya sebuah
doktrin politik atau ideologi yang mampu merepresentasikan seluruh
kebenaran. Satu-satunya pencapaian homogenisasi adalah masyarakat
dengan budaya tertutup. Kekerasan adalah titik kulminasinya.

Kebudayaan yang bersifat tertutup tidak berharap, berkeinginan,
membutuhkan dan memiliki kemampuan untuk berdialog dengan kebudayaan
lain. Komunitas budaya tertutup sangat mudah merasa terancam. Dengan
penuh kecurigaan, ia berusaha keras melindungi dirinya dengan
menolak interaksi dengan kebudayaan lain yang dirasakan
sebagai "pengganggu". Budaya tertutup mengakibatkan banjir darah di
Cekoslovakia, Yugoslavia, Zaire hingga Rwanda dan Indonesia, lebih
dari 38 juta jiwa terusir dari tempat kediaman mereka, paling
sedikit 7 juta orang terbunuh dalam konflik etnis berdarah,
pertikaian abadi dari Barat sampai Timur, dari Utara hingga Selatan.

Pada dasarnya tidak ada satu pun budaya "sui generis". Seluruh
kebudayaan berasal dari interaksi dan proses saling absorbsi dengan
kebudayaan lain dan dibentuk oleh kekuatan hegemonik ekonomi dan
politik. Saat bumi menjadi `desa global'-nya P. Wyndham Lewis dan
peradaban memasuki "gelombang ketiga"-nya Alvin Toffler, interaksi
dengan kebudayaan lain adalah sesuatu yang tak dapat dihindari.
Komunitas dengan budaya tertutup menolak realitas ini. Ia memilih
isolasionisme sebagai solusi dan menjadi komunitas anakronistis.
Dengan kata lain, ia menjadi entitas dengan mentalitas xenophobia
i.e. mentalitas penuh ketakutan atau kebencian terhadap orang asing
atau sesuatu yang dirasakan asing.

Istilah Xenophobic dipergunakan sebagai istilah politik untuk
mendeskripsikan kaum rasis, isolasionis dan fasis. Xenophobia, dalam
prakteknya, sering kali mengacu pada penggunaan "bahasa kekerasan"
untuk menghadapi perbedaan. "Bahasa kekerasan" ini hanya akan
mewariskan memoria passionis—ingatan kolektif atas penderitaan—
kepada generasi yang akan datang. Sejarah kekejaman perbudakan
menyebabkan Kongres USA, semasa Presiden Clinton, mengajukan
proposal permintaan maaf atas nama bangsa dan pemerintah kepada
golongan Afrika-Amerika. Dan, kita pun prihatin atas kecanggungan
generasi muda Jerman saat berbicara mengenai kekejian Hitler dan
kekejaman Nazi.

Menurut Azyumardi Azra, pada level nasional, berakhirnya sentralisme
kekuasan orde baru yang memaksakan keseragaman "monokulturalisme",
memunculkan reaksi balik, yang bukan tidak mengandung implikasi-
implikasi negatif bagi rekonstruksi kebudayaan Indonesia yang
multikultural. Rezim Reformasi tidak semerta-merta mengakhiri
warisan tendensi xenophobia dan homogenisasi kultur, terutama di
tataran psikis. Di tataran praxis, Indonesia belum bebas dari
ancaman bahaya tirani dan anarkisme mayoritas atas nama "demokrasi".
Argumentasi bahwa `masyarakat multikultural hendaknya tidak
melakukan kesalahan seperti yang dilakukan oleh masyarakat
monokultural dengan memaksa seluruh komunitas mengadobsi paham
multikultural' menjadi tantangan akademis yang perlu diperhatikan
dalam rangka menciptakan peradaban multikultural.

PERSATUAN POLITIK-PERBEDAAN KULTUR

Dalam perspektif multikultural, seseorang memiliki kebebasan untuk
mengembangkan hubungan emosional terhadap komunitas etnisnya.
Masyarakat multikultural tidak dapat stabil dan bertahan tanpa
adanya `sense of belonging' terhadap komunitas etnis dan penghargaan
setara terhadap komunitas lain. Komunitas-komunitas etnis secara
alamiah akan membentuk sebuah Komunitas Politik. Faktor sejarah
kolektif dan apa yang disebut Gus Dur sebagai `rasa kesejarahan'
berperan sebagai sentimen integratif yang membangun kehendak untuk
membentuk Komunitas Politik.

Komunitas etnis bersandar pada nilai patriotisme sebagai komitmen
terhadap Komunitas Politik. Patriotisme—dan ekspresinya—tidak dapat
dimonopoli golongan konservatis, nasionalis, radikal atau sosialis.
Ekspresi patriotisme itu dapat diartikulasikan dalam bentuk kritik
konstruktif dan mengambil sikap oposisi. Protes sosial (tanpa
kekerasan) merupakan dinamika kehidupan masyarakat multikultural
dalam proses membangun Komunitas Politik dengan landasan komitmen
bersama. Tanpa kritik, perbedaan antara masyarakat multikultural dan
otokratik menjadi hilang. Tanpa komitment dan rasa memiliki, kritik
hanya akan bersifat destruktif. 

Komitment dan rasa memiliki bersifat reciprocal. Komunitas etnis
tidak dapat memiliki komitment terhadap Komunitas Politik apabila
Komunitas Politik tidak memiliki komitment terhadap komunitas etnis,
dan komunitas etnis tidak dapat menjadi bagian dari komunitas
politik apabila Komunitas Politik tidak menerima dan mengakui
komunitas etnis sebagai bagian dari Komunitas Politik. Komunitas
Politik tidak dapat memaksa komunitas etnis untuk memiliki `sense of
belonging' apabila komunitas etnis tidak diberi keleluasan menjadi
pemilik Komunitas Politik.

`Sense of belonging' terhadap Komunitas Politik tidak dapat dibangun
hanya dengan kesetaraan status kewarga-negaraan. Kewarga-negaraan
adalah masalah status dan hak; `menjadi bagian' adalah masalah
penerimaan, perasaan diterima; sebagai pernyataan identifikasi diri.
Seseorang dapat merasa sebagai seorang warga-negara sekaligus merasa
tidak diterima oleh Komunitas Politik dan menjadi `orang asing'. Apa
yang dialami oleh komunitas Afrika-Amerika, Afro-Caribeans dan orang-
orang Asia di Inggris atau etnis Arab di Perancis dan Israel
merupakan penjelasan gamblang tentang paradox ini.

Perasaan sebagai `warga-negara' sekaligus menjadi `orang asing'
sulit untuk dianalisa dan dijelaskan tetapi dapat menurunkan
kualitas kontribusi dan `sense of belonging' terhadap Komunitas
Politik. Prinsip demokrasi memberi dan menjamin kebebasan
partisipatif dalam kehidupan publik. Namun seringkali komunitas
etnis—terutama etnis minoritas—terpinggirkan dan tersingkir dari
kehidupan publik dan arena sosial-politik karena perasaan takut
tidak diterima atau semata-mata karena merasa `terasing', terlepas
adanya `politik pengasingan' tersistematis oleh kekuasaan. Bertambah
rumit, pada saat `keterasingan' itu diidentikan dengan (dan
seringkali menjadi tudingan) `ekslusifisme'.

Masyarakat multikultural memiliki tugas teoritis dan politis untuk
mengatasi masalah-masalah ini. Ia harus mampu memetakan metode untuk
mensinergikan tuntutan akan persatuan dan realitas perbedaan. Dengan
kata lain, mencapai persatuan politik tanpa penyeragaman kultur.
Sehingga `sense of belonging', kesediaan menghormati dan merayakan
perbedaan akan tumbuh dengan sendirinya. Perjuangan
multikulturalisme dalam masyarakat madani memiliki kompleksitas
setara dengan perjuangan demokrasi untuk sebuah negeri dan bagi
sebuah bangsa. Seperti kata Gus Dur, "memang mudah dikatakan tetapi
sulit diwujudkan dalam kenyataan, bukan?".










.: Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :.

.: Kunjungi website global : http://www.budaya-tionghoa.org :.

.: Untuk bergabung : http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua :.

.: Jaringan pertemanan Friendster : [EMAIL PROTECTED] :.




SPONSORED LINKS
Indonesia Culture Chinese


YAHOO! GROUPS LINKS




Kirim email ke