MODUS Senin, 24/7/06 15:30 WIB
Setelah 61 Tahun Merdeka Oleh: Tan Swie Ling*) "Di dalam tahun '33 saya telah menulis satu risalah. Risalah yang bernama "Mencapai Indonesia Merdeka".Maka di dalam risalah tahun '33 itu, telah saya katakan, bahwa kemerdekaan, politike onafhankelijkheid, political independence, ta' lain dan ta' bukan, ialah satu djembatan, satu djembatan emas. Saya katakan di dalam kitab itu bahwa diseberangnya djembatan itulah kita sempurnakan kita punya masyarakat"(Bung Karno, dalam Pidato Lahirnya Pancasila). Kini 61 tahun sudah bangsa Indonesia berada diseberang "Djembatan emas". Coba kita lihat pada satu contoh kecilnya saja yang sehari-hari mudah kita lihat menyuguhkan kenyataan. Bahwa sampai dengan usia 61 tahun kemerdekaan, di Jakarta yang Ibu Kota Negara,pemerintah belum mampu menyediakan angkutan umum yang baik. Maksudnya angkutan umum yang bebas dari pencopet dan penodong. Bebas dari silih bergantinya para pengemis- yang sesungguhnya kewajiban negara untuk mengurusnya-, baik yang bergaya nelangsa maupun yang bergaya preman pemaksa rakyat kecil, leluasa naik ke dalam bus-bus padat penumpang. Para pengemis yang bukan saja mengganggu secara materi, bahkan sekaligus juga menyakiti hati. Mereka meminta-minta. Tapi bahasa mereka selalu membuat perasaan jadi terluka. Betapa tidak, kalau ucapan mengemisnya seperti ini: "Bapak/Ibu. Saya baru keluar dari penjara. Bantulah saya. Uang seribu-duaribu yang tidak ada artinya bagi anda akan mencegah saya kembali masuk penjara karena terpaksa menodong lagi". Atau: "Mohon maaf, kalau kehadiran saya mengganggu. Maksud saya bukan begitu. Saya tidak ingin melakukan sesuatu yang tidak halal. Hanya karena susah mendapat kerja, saya di sini minta bantuan. Jadi, bukan kesombongan atau keangkuhan yang saya harapkan, melainkan bantuan. Dan kata-kata ini justru diulang-ulang. Seperti hasil rekaman yang dihafal oleh komunitas pengemis. Yang membuat pengemis yang berbeda mengucapkan kata-kata yang sama. "Bukan keangkuhan atau kesombongan, melainkan bantuan. Hargailah usaha saya ini." Suatu hal yang membuat masyarakat kecil yang sebelum merdeka, yang kemana saja bepergian menggunakan jasa angkutan yang ada merasa aman-aman saja ternyata, justru di zaman merdeka yang sudah 61 tahun umurnya sekarang ini, sama sekali tidak merasa enak apa lagi nyaman berada di dalam bus-bus kota. Padahal, masyarakat terpaksa bersedia naik angkutan umum yang rawan penodongan/pencopetan, sebab tidak mampu naik taksi. Tapi ternyata, naik Metro Mini atau Kopaja yang jauh dekat taripnya Rp 2.000,- toh akibat terpaksa memberi para pengemis, apalagi kalau ditambah dengan para pengamen dewasa/bergitar ataupun pengamen cilik/berecrek-ecrek dari sejumlah tutup botol yang dipantek pada sebuah tangkai kayu, menyebabkan beaya transportasi masyarakat kecil yang dipikulnya jadi sangat menggerogoti beaya untuk dapurnya. Mengingat dalam satu rute perjalanan Metro Mini atau Kopaja, secara bergantian bisa naik kurang-lebih sepuluh pengamen dan pengemis yang bergaya preman pemaksa. Belum lagi, memberi atau tidak memberi para pengemis tersebut, toh masyarakat pengguna jasa angkutan umum tersebut tetap saja tidak terbebas dari caci-maki dan sumpah serapah para pengemis yang merasa tidak puas terhadap para penumpang. Begini sumpah-serapah mereka: "berjilbab, tapi tidak berperikemanusiaan", atau "diminta baik-baik tidak acuh, rupanya memang lebih suka dirampok saja". Itu tadi para pengamen dan pengemis di atas angkutan umum. Kalau ditambah dengan jumlah para pengemis yang mangkal ditiap perapatan jalan, maka mulai mereka yang kakek-kakek-nenek-nenak sampai kepada bayi sendiri maupun bayi sewaan yang digendong-gendongnya untuk mengetuk belas kasihan hati sasaran yang diemisnya, maka luar biasalah banyaknya jumlah pengemis di dalam republik ini. Dan kalau banyaknya jumlah pengemis tersebut dipadukan dengan kualitas sikap-laku dari gaya nelangsa berubah jadi preman pemaksa, maka alangkah menyedihkannya kondisi Republik kita di usianya yang 61 tahun ini. Lalu, dengan kenyataan ini siapa berani menyatakan masyarakat telah tersempurnakan, setelah 61 tahun merdeka? Dan kalau oleh sebab itu timbul celetukan, "terperbaiki saja belum apalagi tersempurnakan", dan seterusnya disusul pertanyaan yang berbunyi "kenapa begitu", kita jadi bingung kan? Karena kondisi kehidupan bangsa kita ini memeng benar-benar membingungkan. Sampai-sampai, untuk menutupi kebingungan, Bapak Wapres kita memilih berkelakar. Dan berkatalah Pak JK dalam kelakarnya: " - Pemerintah seharusnya juga menitipkan promosi pariwisata kepada para TKI di Timur Tengah. -Kalau ada masalah Janda di Puncak itu urusan lain. Jadi orang-orang Arab yang menjadi janda-janda di kawasan puncak bisa memperbaiki keturunan. ..-Nanti mendapat rumah kecil, rumah BTN, ini artinya kan sah-sah saja". (BBC.INDONESIA.COM/2906006). Tentu saja menghadapi kenyataan ini, sebagai bangsa semangat kita tidak boleh runtuh. Andaikan kondisi yang kita hadapi sekarang ini merupakan perahu yang terancam akan karam, persoalannya justru bagaimana sebagai bangsa kita berjuang untuk berbuat mencari cara agar bisa membuat layar biduk Republik Indonesia terkembang kembali mengantarkan bangsa/rakyat Indonesia ke pantai labuh sesuai dengan cita-cita proklamasi 17 Agustus 1945. Dalam rangka mencari cara agar dapat membuat layar biduk RI kembali terkembang sepertinya kita perlu menelusri/melihat kembali tapak perjalanan republik tercinta kita sejak awal diproklamasikannya kemerdekaan bangsa Indonesia s/d sekarang. Sesuatu yang tentunya tidak mungkin dapat diungkapkan oleh sebuah tulisan pendek ini. Karena itu sekiranya kita bagi tapak perjalanan RI ke dalam tahapan-tahapan periodisasi =Masa proklamasi/Perang kemerdekaan s/d masa dekrit kembali ke UUD 1945, masa demokrasi terpimpin s/d tumbangnya kekuasaan Presiden Soekarno, masa berdirinya kekuasaan Orde Baru s/d lengsernya Presiden Soeharto, dan masa era reformasi s/d sekarang= maka yang paling mungkin kita tengok barangkali terbatas hanya secuwil, ya hanya secuwil dari periode masa era reformasi saja. Sejujurnya bangsa dan rakyat Indonesia menaruh harapan besar kepada kekuatan politik reformasi agar bisa memandu mereka kembali menggapai cita-cita proklamasi 17 Agustus 1945. Sayang, RI terlalu lama berada dalam dekapan bidangnya dada Presiden Soeharto, Seorang Jenderal berbintang lima yang dalam upaya melestarikan kekuasaannya sangat piawai menangani para oposannya. Sehingga kalau bisa diibaratkan berbagai gerakan yang beroposisi terhadap kekuasaannya itu biji kedelai, maka sepanjang rentang masa kekuasaannya, kalau toh biji-biji kedelai tersebut pernah sempat bertunas toh tidak mungkin sempat berkecambah walau sekedar untuk jadi toge saja, apalagi tumbuh menjadi pohon kedelai yang batangnya kokoh, daunya rimbun dan akarnya menghunjam dalam ke perut bumi. Demikianlah kenyataannya, andaikan biji-biji kedelai itu adalah berbagai gerakan rakyat yang bersemangat menentangnya, selekas tampak bertunas, selekas itu pula jari telunjuk pak Harto cepat dan sigap memencet hancur tunas biji kedelai itu Sehingga kalau toh sempat bertunas, gerakan rakyat penentang rezim Sorharto tidak ada yang memiliki kesempatan tumbuh menjadi sebuah gerakan rakyat yang berpengaruh luas serta memiliki konsep perjuangan yang jelas. Akibatnya rata-rata gerakan penentang rezim Soeharto tidak terkecuali, juga gerakan reformasi, sesungguhnya hanya merupakan gerakan-gerakan dadakan saja. Gerakan yang tidak dipandu konsep perjuangan apapun selain hanya sebatas konsep menumbangkan Soeharto dari kursi kepresidenannya. Maka sebagai akibat logis dari kondisi tersebut, ketika Presiden Soeharto berhasil dilengserkan, satu-satunya yang menjadi agenda kekuatan politik reformasi sampai dengan sekarang tidak lain adalah memperebutkan kursi presiden. Hal yang sampai-sampai membuat Mahatir, mantan PM Malaysia, berkomentar: "di Indonesia terlalu banyak orang yang ingin jadi presiden". Demikian memang kenyataannya. Elite-elite politik yang merasa dirinya tokoh reformasi kesibukannya ternyata hanya mengejar-ngejar kursi presiden. Sampai-sampai untuk itu ada tokoh yang gegabah meyakinkan pemilih pemilu bahwa kalau dirinya terpilih menjadi presiden ia cukup membutuhkan waktu satu periode kekuasaan saja (5 tahun?) mampu mengatasi berbagai permasalahan yang dihadapi Republik ini. Tentu saja gerakan reformasi yang ditokohi elite politik yang semangatnya hanya menguber-uber kursi kepresidenan menjadi sangat mustahil bagi terwujudnya harapan terkembang kembalinya layar biduk Republik Indonesia untuk mengantarkan bangsa/rakyat ke pantai labuh seperti yang diarahkan dalam cita-cita proklamasi 17 Agustus 1945. Lalu bagaimana sebaiknya sekarang? Mengingat hanya ada satu cara yang merupakan satu-satunya syarat yang memungkinkan bagi terkembangnya kembali layar bahtera Republik Indonesia, yaitu pembangunan kekuatan politik berdasarkan semangat nasionalisme, maka kita harus melakukannya. Caranya? Caranya semua orang yang merasa memiliki kepedulian terhadap nasib bangsa dan rakyat Indonesia, tentunya tidak terkecuali para tokoh reformasi harus kembali mengingat-ingat, mengapa bangsa Indonesia lahir, bagaimana proses terbentuknya bangsa Indonesiatersebut, apa pula tugas sejarahnya serta apa yang paling pertama harus dikerjakan untuk maksud melaksanakan tugas sejarah bangsa dimaksud. Hanya apabila semua pihak yang berkepedulian terhadap nasib Republik Indonesia berhasil membangun kekuatan politik dimaksud, barulah terbuka peluang bagi terkembangnya kembali layar bahtera RI. Dirgahayu Republik Indonesia. *)Penulis adalah Ketua Umum LKSI [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Yahoo! Groups gets a make over. See the new email design. http://us.click.yahoo.com/WktRrD/lOaOAA/yQLSAA/BRUplB/TM --------------------------------------------------------------------~-> .: Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :. .: Kunjungi website global : http://www.budaya-tionghoa.org :. .: Untuk bergabung : http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua :. .: Jaringan pertemanan Friendster : [EMAIL PROTECTED] :. Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/