Bung Chan mungkin terlupa menuliskan judul bukunya? Yg Bung Chan postingkan 
adalah kata pengantar dari Dede Oetomo PhD untuk buku "Komunitas Tionghoa di 
Surabaya (1910-1946)" karya Andjarwati Noordjanah (Penerbit MESIASS Semarang. 
Cetakan Pertama: Maret 2004).

Dalam lingkup kajian Jawa Timur, juga baik untuk ditengok buku karya Thomas 
Santoso berjudul "Orang Madura dan Orang Peranakan Tionghoa: Studi Komparatif 
tentang Perilaku Kerja Pialang Tembakau di Madura", Penerbit Lutfansah 
Mediatama Surabaya, 2002 (117 hlm+vii).

salam,

Eddy Prabowo Witanto foreign expert
Beijing Foreign Studies University (BFSU) - Department of Afro-Asian Studies - 
Indonesian Studies, 
East Campus Academic Building #351. Xisanhuan Beilu no.2, Haidian District, 
Beijing 100089 CHINA


-----------------------------

4. KETIKA KOMUNITAS TIONGHOA MOGOK
    Posted by: "HKSIS" [EMAIL PROTECTED] garudans
    Date: Mon Oct 23, 2006 7:10 pm (PDT)

Secara tidak sengaja terbaca tulisan dibawah yang cukup menarik, ... membuka 
fakta-fakta peranan komunitas Tionghoa dalam sejarah Indonesia, yang selama 
ini ditutup-tutupi, atau sengaja di"hilang"kan dan nyaris tidak diketahui 
atau terlupakan termasuk oleh komunitas Tionghoa sendiri.

Ada yang pernah membaca buku ini dan bisa memberikan komentar-komentar 
berharga agar diketahui dan teringat kembali adanya fakta-fakta sejarah yang 
gelap, dan digelapkan untuk membenarkan stereotip komunitas Tionghoa 
dinegeri ini hanyalah sekumpulan oportunis yang mengejar kekayaan tanpa 
kepedulian terhadap masyarakat di sekitarnya, yang memperlakukan negeri ini 
seperti Hotel dan hengkang begitu ada kesulitan, ...

Salam,

ChanCT



KETIKA KOMUNITAS TIONGHOA MOGOK
Oleh Dede Oetomo, PhD

Penulis : ANDJARWATI NOORDJANAH
Kata Pengantar : DEDE OETOMO
Jumlah halaman : xviii + 140 halaman
Format Buku : 15 x 21 cm
Harga per buku : Rp 25.000,-


Pada tanggal 10-13 Januari 1946, selama 4 hari berturut-turut, terjadi 
pemogokan total oleh pedagang dan pengusaha Tionghoa di Surabaya. Mereka 
memprotes tingkah-laku sewenang-wenang dan pengkambinghitaman dalam kaitan 
dengan penyediaan barang keperluan sehari-hari tentara dan personel 
pemerintahan pendudukan Sekutu yang didasarkan pada diskriminasi rasial. 
Ekonomi Surabaya lumpuh. Keperluan tentara dan personel Sekutu maupun 
komunitas Eropa, juga ekonomi distribusi umumnya, tak terlayani.

Baru sesudah pemimpin tertinggi tentara Sekutu saat itu, Mayor Jenderal 
Mansergh (yang kita kenal dari sejarah peristiwa 10 November 1945), 
mengajukan permohonan maaf dan memenuhi permintaan komunitas Tionghoa, 
perdagangan dan usaha pulih kembali.

Episode singkat ini, yang sempat menggemparkan media dalam maupun luar 
negeri waktu itu, nyaris telah dilupakan orang, termasuk dalam komunitas 
Tionghoa sendiri. Yang masih diingat orang, kiranya karena memang 
disebut-sebut terus oleh kaum rasis anti-Tionghoa, adalah milisi pro-Belanda 
Pao An Tui (Pasukan Pelindung Keamanan) yang reaksioner itu.

Dalam rangka mengingatkan kita kembali militansi komunitas Tionghoa-lah 
pentingnya penerbitan buku Andjarwati Noordjanah ini, yang berasal dari 
skripsinya pada Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada. 
Banyak kenyataan sejarah yang ditutup-tutupi atau secara tak sengaja 
terlupakan masyarakat kita dibuka, dan memang sudah saatnya-lah diingatkan 
kembali kepada masyarakat. Tujuannya sederhana: agar yang buruk tak 
terulang, dan yang baik dapat digunakan sebagai pelajaran.

Bersama penerbitan ulang buku Indonesia dalem Api dan Bara karangan Tjamboek 
Berdoeri (Kwee Thiam Tjing), yang menggambarkan keadaan di Malang dari tahun 
1939 hingga 1947,[1] buku ini mengingatkan kembali kerumitan pengalaman 
komunitas Tionghoa di dua kota utama Jawa Timur; Malang dan Surabaya. Dan 
memang kajian-kajian lokal seperti inilah yang kita perlukan untuk memahami 
sejarah hubungan interaktif komunitas Tionghoa dengan komunitas lainnya di 
Hindia Belanda/Indonesia.

Andjarwati dengan cermat dan teliti menggali berbagai sumber dalam literatur 
maupun ingatan seorang informan serta berita-berita surat kabar dan majalah 
masa itu, sehingga muncul suatu kisah yang hidup mengenai zaman awal 
republik kita dan peran golongan Tionghoa yang tidak kecil.

Ini penting, karena stereotip di masyarakat, terutama setelah depolitisasi 
licik rezim Orde Baru sejak 1966, seakan mengatakan bahwa golongan Tionghoa, 
sebagaimana dicitrakan oleh mesin propaganda Orde Baru,[2] hanyalah 
sekumpulan oportunis yang menginginkan kekayaan tanpa prinsip dan tidak 
punya kepedulian apa pun terhadap masyarakat dan politik di sekitarnya.

Banyak orang Tionghoa maupun lainnya di masyarakat kita saat ini hanya tahu 
stereotip itu, karena kajian-kajian mengenai masyarakat Tionghoa lokal 
kontemporer kurang sekali. Akibatnya pandangan mereka tentang posisi 
ketionghoaan dalam masyarakat cenderung sempit dan salah. Apalagi pandangan 
tentang sejarah ketionghoaan di masa lampau.

Sesudah membaca buku ini kita akan makin yakin bahwa dalam perjuangan 
mempertahankan kemerdekaan Indonesia, berbagai golongan ikut serta secara 
heroik dan militan, sementara ada juga golongan yang lebih mempertaruhkan 
nasibnya pada kembalinya rezim kolonial, termasuk golongan bumiputra. 
Nasionalisme yang kompleks dan inklusif kiranya dapat memproses kerumitan 
kenyataan ini.

Dari sini kita juga belajar bahwa kaum pedagang dan pengusaha tidaklah 
selalu apolitis dan cari amannya melulu, melainkan apabila diperlakukan 
dengan tidak adil akan melawan dengan militan.

Dalam kebangkitan kembali aktivisme golongan Tionghoa di Indonesia sesudah 
1998, materi seperti yang diuraikan dalam buku ini niscaya bermanfaat, 
karena dapat memberikan pelajaran keberhasilan masyarakat kewargaan 
menghadapi kezaliman penguasa.

Leidschendam, 21 Agustus 2003


Catatan Akhir:

Dede Oetomo adalah dosen Program Pascasarjana Universitas Surabaya dan 
Koordinator Kelompok Kerja Pengkajian Tionghoa Indonesia.

[1] Lihat rubrik Iqra dalam Tempo No. 14/XXXII/2?8 Juni 2003.

[2] Untuk uraian komprehensif mengenai konstruksi citra orang Tionghoa di 
bawah rezim Orde Baru, baca Ariel Heryanto, Chinese Identities and Erasure: 
Chinese Indonesians in Public Culture,? in Joel S. Kahn (ed.), Southeast 
Asian Identities>/I>, London, Tauris, & Singapore, Institute of Southeast 
Asian Studies, 1998, pp. 95?114.


[Non-text portions of this message have been removed]




Messages in this topic (1)
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________

5. Re: Pahlawan dari etnis Tionghoa
    Posted by: "ChanCT" [EMAIL PROTECTED] garudans
    Date: Mon Oct 23, 2006 7:42 pm (PDT)

Hallo May,

    Sungguh menarik problem yang diajukan "Pahlawan yang terlupakan". 
Kenyataan yang terjadi selama ini, Siauw Giok Tjhan sekalipun tidak dapat 
disangkal termasuk salah seorang pejuang gigih Kemerdekaan Republik 
Indonesia, khususnya dalam membangkitkan, mengorganisasi pemuda-pemuda 
Tionghoa dalam perjuangan Kemerdekaan RI, dan setelah tercapai Kemerdekaan 
tetap aktif bergulat memecahkan masalah Kewarganegaraan RI dan usaha 
mencapai masyarakat adil dan makmur dinegeri ini, tapi tidak dinyatakan 
sebagai seorang Pahlawan Nasional, segala kegiatan termasuk gerakan 
komunitas Tionghoa dinegeri ini juga tidak lagi tercatat dalam pelajaran 
sejarah, bahkan selama Orba berkuasa harus meringkuk belasan tahun dalam 
penjara deengan tidak pernah dibuktikan kesalahan atas tuduhan didepan 
pengadilan, dan, ... sampai sekarang, hari ini setelah lewat lebih 40 tahun, 
tidak juga pernah direhabilitasi oleh Pemerintah yang berkuasa!

    Tapi, ... benar seperti apa yang dikatakan May, sekalipun Siauw tidak 
tercatat sebagai Pahlawan, diakui atau tidak, kenyataan jasa dan kebesaran 
Siauw tetap bersenyam dan tidak terlupakan didalam lubuk hati rakyat 
Indonesia, khususnya komunitas Tionghoa.

    Bung Asvi, ahli sejarah kita, 3 tahun yl. pernah mengajukan tiada-nya 
Pahlawan Nasional Etnis Tionghoa, seolah-olah komunitas Tionghoa tidak ada 
peran dalam sejarah di nusantara ini, ... tiada etnis Tionghoa dalam melawan 
penjajah Belanda, dalam Gerakan Kemerdekaan, ... oleh Rezim Soeharto semua 
itu digelapkan, dihapus dari catatan sejarah hanya untuk membenarkan 
stereotip bahwa Tionghoa di Indonesia adaalah hewan ekonomi, kaum oportunis 
yang mengejar keuntungan tanpa mempedulikan kepentingan rakyat disekitarnya, 
yang memperlakukan negeri ini seperti Hotel dan hengkang begitu ada 
kesulitan, ...

    Bangkit dan berdirilah muda-mudi anak bangsa, menegakkan kebenaran dan 
keadilan, ... berani mengungkap fakta-fakta sejarah yang selama ini 
digelapkan, dipelintir hanya untuk kepentingan rezim Soeharto yg berkuasa. 
Mengajukan kenyataan-kenyataan sejarah sebagaimana apa adanya yang terjadi, 
bukan hasil manipulasi seseorang sesuai dengan kehendak dan kepentingan 
penguasa.

Salam,
ChanCT

Asvi Warman Adam
Pahlawan Nasional Etnis Tionghoa

MESKI Indonesia telah merdeka tahun 1945, pengangkatan pahlawan nasional 
baru dimulai sejak tahun 1959. Sampai sekarang tercatat lebih dari 100 
pahlawan yang berasal dari berbagai daerah di seluruh Indonesia.

Tahun lalu, Pong Tiku masuk jajaran tokoh terhormat ini. Ia adalah pejuang 
dari Tanah Toraja yang berperang melawan Belanda tahun 1905-1907. Deretan 
pahlawan nasional itu bagai album perjuangan. Masing-masing daerah berusaha 
memasukkan "foto"-nya ke album bersama ini. Pada akhir pemerintahan 
Soeharto, dirasa tidak cukup bila provinsi diwakili seorang tokoh, 
sampai-sampai ada kabupaten yang ingin memperjuangkan pahlawan yang berasal 
dari wilayah mereka sendiri (daerah tingkat II).

Selama Orde Baru, ada dua pahlawan nasional yang dicekal. Maksudnya nama 
mereka tidak tercantum dalam buku pelajaran sejarah sekolah meski surat 
pengangkatan sebagai pahlawan nasional tidak dicabut. Keduanya adalah tokoh 
dari golongan kiri, yakni Tan Malaka (diangkat tahun 1963) dan Alimin 
(1964).

Dalam waktu lebih 30 tahun, etnis Tionghoa tidak disebut dalam pelajaran 
sejarah Indonesia. Aneka peringatan atau pertunjukan kultural yang berbau 
Tionghoa tidak pernah ditampilkan di depan umum. Buku Slamet Mulyana yang 
memuat pendapat kontroversial bahwa Wali Songo berasal dari etnis Tionghoa 
tidak dibahas secara ilmiah, tetapi langsung dilarang Kejaksaan Agung.

Baru pada era reformasi keadaannya berangsur berubah. Perayaan Imlek, 
misalnya, diakui sebagai hari libur fakultatif (masa Presiden Abdurrahman 
Wahid) dan libur resmi (era kepemimpinan Mega). Barongsai dipertunjukkan di 
mana-mana. Sejarah kelenteng diulas di televisi.

Tampaknya, perjalanan warga Tionghoa masih panjang untuk mendapatkan 
kedudukan yang sederajat dengan etnis lain di Tanah Air. Diskriminasi di 
bidang hukum masih berlaku terhadap etnis Tionghoa. Tidak kalah, 
diskriminasi di bidang sejarah. Sumbangan amat besar etnis Tionghoa dalam 
ilmu pengetahuan dan teknologi selama berabad-abad di Nusantara tidak pernah 
diajarkan kepada siswa. Perlu dicatat, etnis Tionghoa berjuang melawan 
Belanda. Di Kalimantan Barat, seperti diteliti sejarawan UGM Harlem Siahaan, 
kongsi Tionghoa pernah mengangkat senjata terhadap Belanda.

Major John Lie

Salah seorang tokoh etnis Tionghoa yang berjasa kepada Republik ini adalah 
Mayor John Lie. Ia adalah mualim kapal pelayaran niaga milik Belanda KPM 
yang lalu bergabung dengan Angkatan Laut RI. Semula ia bertugas di Cilacap 
dengan pangkat kapten. Di pelabuhan ini selama beberapa bulan ia berhasil 
membersihkan ranjau yang ditanam Jepang untuk menghadapi pasukan Sekutu. 
Atas jasanya, pangkatnya dinaikkan menjadi mayor.

Ia lalu ditugaskan mengamankan pelayaran kapal yang mengangkut komoditas 
ekspor Indonesia untuk diperdagangkan di luar negeri dalam rangka mengisi 
kas negara yang saat itu masih tipis. Pada masa awal (tahun 1947), ia pernah 
mengawal kapal yang membawa karet 800 ton untuk diserahkan kepada Kepala 
Perwakilan RI di Singapura, Utoyo Ramelan. Sejak itu, ia secara rutin 
melakukan operasi menembus blokade Belanda. Karet atau hasil bumi lain 
dibawa ke Singapura untuk dibarter dengan senjata. Senjata yang mereka 
peroleh lalu diserahkan kepada pejabat Republik yang ada di Sumatera seperti 
Bupati Riau sebagai sarana perjuangan melawan Belanda. Perjuangan mereka 
tidak ringan karena selain menghindari patroli Belanda, juga harus 
menghadang gelombang samudera yang relatif besar untuk ukuran kapal yang 
mereka gunakan.

Untuk keperluan operasi ini, John Lie memiliki kapal kecil cepat, dinamakan 
the Outlaw.

Seperti dituturkan dalam buku yang disunting Kustiniyati Mochtar (1992), 
paling sedikit sebanyak 15 kali ia melakukan operasi "penyelundupan". Pernah 
saat membawa 18 drum minyak kelapa sawit, ia ditangkap perwira Inggris. Di 
pengadilan di Singapura ia dibebaskan karena tidak terbukti melanggar hukum. 
Ia juga mengalami peristiwa menegangkan saat membawa senjata semiotomatis 
dari Johor ke Sumatera, dihadang pesawat terbang patroli Belanda. John Lie 
mengatakan, kapalnya sedang kandas. Dua penembak, seorang berkulit putih dan 
seorang lagi berkulit gelap tampaknya berasal dari Maluku, mengarahkan 
senjata ke kapal mereka. Entah mengapa, komandan tidak mengeluarkan perintah 
tembak. Pesawat itu lalu meninggalkan the Outlaw tanpa insiden, mungkin 
persediaan bahan bakar menipis sehingga mereka buru-buru pergi.

Setelah menyerahkan senjata kepada Bupati Usman Effendi dan komandan 
batalyon Abusamah, mereka lalu mendapat surat resmi dari syahbandar bahwa 
kapal the Outlaw adalah milik Republik Indonesia dan diberi nama resmi PPB 
58 LB. Seminggu kemudian John Lie kembali ke Port Swettenham di Malaya untuk 
mendirikan naval base yang menyuplai bahan bakar, bensin, makanan, senjata, 
dan keperluan lain bagi perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Pada awal 1950 ketika ada di Bangkok, ia dipanggil pulang ke Surabaya oleh 
KSAL Subiyakto dan ditugaskan menjadi komandan kapal perang Rajawali. Pada 
masa berikut ia aktif dalam penumpasan RMS di Maluku lalu PPRI/Permesta. 
John Lie yang juga dikenal dengan nama Jahya Daniel Dharma tetap berdinas di 
Angkatan Laut, terakhir berpangkat laksamana muda. Ia layak diusulkan 
sebagai pahlawan nasional.

Asvi Warman Adam, peneliti LIPI, doktor sejarah dari Ecole des Hautes Etudes 
en Sciences Sociales, Paris.

Sumber: Kompas, Jumat, 31 Januari 2003

----- Original Message ----- 
From: May Teo
To: [EMAIL PROTECTED]
Cc: ChanCT
Sent: Monday, 23 October, 2006 13:14
Subject: [HKSIS] Fw: sajak: Genggam Persahabatan




Amboi indahnya sajakmu  Bung Chalik! Bergegar rasa hati terharu dengan 
persahabatan kekal abadi.

Tapi kenapa Bung Chalik kata Siauw Giok Tjhan adalah pahlawan yang 
terlupakan? Saya rasa tidak. Sama sekali tidak. Ide yng dibawakan oleh Siauw 
tetap hidup dibenak kita yang ditinggalkan. Masih merajalela dalam jiwa 
semangat menuntut keadilan, kesetiaan dan kebersamaan.

Adanya sajak Bung Chalik sendiri, adanya moderator yang mengelola HKSIS, dan 
tentunya banyak lagi  pihak lain yang tersentuh, searah dengan jalan pikiran 
Siauw. Maka di sini aku serukan:, Pahlawan, namamu tak terlupakan.

Salam persahabatan

May Teo
Singapura ( yg sedang dilanda asap Kalimantan.)


  ----- Original Message ----- 
  From: HKSIS
  To: HKSIS-Group
  Sent: Monday, October 23, 2006 10:44 AM
  Subject: [HKSIS] Fw: sajak: Genggam Persahabatan



  ----- Original Message ----- 
  From: Chalik Hamid
  To: Persaudaraan ; Nasional-list
  Cc: ChanCT
  Sent: Monday, 23 October, 2006 5:53
  Subject: [nasional-list] sajak: Genggam Persahabatan
  Chalik Hamid:



                          Genggam Persahabatan

                                                   bagi: Maylan





  Beijing bermandikan cahaya gemilang warna-warni

  ketika kami berpelukan dengan genggam persahabatan

  jantung berdetak kencang oleh haru tak tertahankan.



  ku tatap wajah tua oleh himpitan zaman ke zaman

  ternyata kami masih bisa  hidup dibawah berbagai tekanan

  ditindih ribuan siksa dan  setumpuk kekejaman

  ia masih terus bertahan di tanah ini

  sedangkan kami sudah tercampak ke negeri seberang.



  tak kuasa bintang di langit menatap persahabatan ini

  walau empat puluh tahun dibungkam ia masih tetap abadi.



  setelah makan malam diselingi kisah lama tak terlupakan

  lampu-lampu masih terus menerangi jabat tangan perpisahan

  masing-masing kami merenung jalan yang masih panjang

  kami lambaikan tangan baginya hingga lenyap ditelan malam

  ia anak seorang pejuang yang dicampakkan

  ia anak seorang pahlawan yang dilupakan*



  Beijing masih  terus semarak hingga pagi

  semoga persahabatan ini tetap terjalin abadi.





                    Beijing, 31 Agustus 2006.



  * pahlawan yg dilupakan: Siauw Giok Chan.














[Non-text portions of this message have been removed]




Messages in this topic (1)
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________

6. Happy Idul Fitri 1427H, Minal Aidin Wal Faidzin, Mohon Ma'af Jasmani
    Posted by: "Liquid Google" [EMAIL PROTECTED] liquidha
    Date: Tue Oct 24, 2006 2:30 am (PDT)

Dear Netter; 
    Bagi Sodara Muslimin & Muslimat, Minal Aidin Wal Faidzin, Mohon Ma'af Body 
& Soul, Semoga kehidupan di-hari2 selanjutnye kita semua makin baik!

    Mari berkumpul bersama dimillis ini sambil makan ketupat & jangan lupa main 
kembang api lagi ntar malam!


[Non-text portions of this message have been removed]




Messages in this topic (1)
________________________________________________________________________
________________________________________________________________________

.: Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :.

.: Website global http://www.budaya-tionghoa.org :.

.: Pertanyaan? Ajukan di http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua :.

.: Arsip di Blog Forum Budaya Tionghua http://iccsg.wordpress.com :.



------------------------------------------------------------------------
Yahoo! Groups Links



------------------------------------------------------------------------



[Non-text portions of this message have been removed]



.: Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :.

.: Website global http://www.budaya-tionghoa.org :.

.: Pertanyaan? Ajukan di http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua :.

.: Arsip di Blog Forum Budaya Tionghua http://iccsg.wordpress.com :.

 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:[EMAIL PROTECTED] 
    mailto:[EMAIL PROTECTED]

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 

Kirim email ke