Pertama kali kenalan sama SBKRI, pas saya ngantri
untuk menyerahkan formulir pendaftaran UMPTN (sekarang
SPMB) di jogja. Saya berangkat bareng temen keturunan
tionghoa. Itu hari terakhir batas penyerahan formulir.
kami ngantri di loket terpisah. Begitu kelar, saya
nyari temen saya. Rupanya dia masih ngantri, jadi saya
duduk nunggu dekat pintu keluar. Selang beberapa saat,
saya liat dia berjalan menuju saya. Saya kira dia udah
selesai. Tapi wajahnya suntuk banget. Rupanya
berkas-berkasnya ditolak karena gak ada 'benda
keramat' yang namanya SBKRI itu. Apa itu SBKRI, saya
bingung. Kok tadi panitia gak ada nyebut-nyebut SBKRI
pas ngecek berkas saya. Baru saat itulah saya tau
SBKRI. Temen saya ngomel-ngomel sepanjang perjalanan
pulang. Udah capek-capek ngantri seharian, ditolak,
begitu katanya. Saya juga bingung. Kalo ngurus akte
atau KTP masih ditanyain SBKRI mungkin masih nyambung
ya. Tapi kalo mendaftar ujian negara kan cuma butuh
ijazah sekolah yang sah. Sampe sekarang saya masih
bingung kayak apa sih format SBKRI itu. Apa aja yang
diterakan di dalamnya kok itu surat jadi penting
banget kalo orang Tionghoa mau berurusan dengan
birokrasi. Dan saya juga sampe sekarang belum jelas
konsep SBKRI, apa khusus untuk ket Tionghoa, atau juga
untuk semua warga RI keturunan termasuk India dan
Arab.

Saya lupa kapan tepatnya, saya pernah baca mengenai
penghapusan SBKRI di kaltimpos. Sayang sekali artikel
itu sekarang terselip entah di mana. Kalo memang sudah
dihapuskan, ya seharusnya gak perlu lagi dong orang
keturunan Tionghoa menunjukkan SBKRI. saya rasa
kelemahan sistem pemerintah Indonesia adalah dalam hal
sosialisasi. Kalo ada peraturan baru enggak segera
disosialisasikan. Pemerintah juga milih-milih dalam
melaksanakan ketentuan baru. Contohnya, pas pecahan
uang 50 rb yang ada senyum Pak Harto itu dinyatakan
enggak berlaku lagi, di semua toko, swalayan, bank dll
nempelin pengumuman itu. Sampe warung-warung kecil pun
nempel pengumuman begitu. Cobalah peraturan pencabutan
SBKRI itu juga ditempel di kantor-kantor pemerintah,
termasuk kantor POLISI, biar semua orang baca, gitu
lho!

Ada juga yang pernah bilang SBKRI dicabut kan jamannya
Mega. Sekarang kan bukan jaman Mega lagi, jadi
aturannya gak berlaku dong. Ada-ada saja. Emangnya ada
undang-undang yang berbunyi "kalo presiden RI diganti
maka segala peraturan negara yang dibuat pada masa
kepemimpinannya juga tidak berlaku lagi" ?? Lagian,
kalo emang ada, berarti harusnya SBKRI otomatis gak
berlaku lagi sejak tahun 98, soalnya itu kan peraturan
jaman Soeharto.
Tampaknya pelaksanaan pencabutan SBKRI memang agak
sulit dilakukan, karena kalau dicabut, maka hilanglah
mata pencaharian beberapa pihak.



--- HKSIS <[EMAIL PROTECTED]> wrote:

>             KOMPAS - Sabtu, 18 November 2006
> 
> 
> 
> 
>             SOSOK DAN PEMIKIRAN
>             Menghapus Diskriminasi di Surabaya
> 
> 
>             Nina Susilo dan Try Harijono
> 
>             Menjadi warga negara Indonesia hampir
> seperti mimpi bagi Ong 
> Giok Bie (52). Meski besar di Surabaya dan lahir
> dari seorang ibu suku Jawa, 
> tidak mudah baginya untuk mendapat status warga
> negara Indonesia. 
> Gara-garanya, ayahnya seorang warga keturunan.
> 
>             Ada-ada saja persyaratan yang harus
> dipenuhi sejak dari kantor 
> kelurahan, kantor kecamatan, hingga catatan sipil.
> Satu persyaratan 
> dipenuhi, muncul persyaratan lain yang sulit
> dipenuhi. Misalnya, Surat Bukti 
> Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) yang
> sudah lama dihapuskan, surat 
> ganti nama, dan keharusan mencantumkan nama marga.
> 
>             Kalaupun persyaratan dipenuhi, bukan
> berarti urusan beres untuk 
> mendapatkan status warga negara Indonesia dan
> berbagai dokumen kependudukan. 
> Ada saja hal-hal kecil yang diperumit dan
> dipersulit.
> 
>             Parahnya, bukan hanya Ong Giok Bie yang
> mengalami masalah 
> begitu. Di Surabaya ada sekitar satu juta warga
> keturunan Tionghoa dan 
> sebagian besar menghadapi masalah yang sama.
> 
>             Kekonyolan inilah yang mendorong Prof Dr
> Eko Sugitario berupaya 
> memberantas diskriminasi terhadap warga keturunan
> Tionghoa di Surabaya. Guru 
> Besar Fakultas Hukum Universitas Surabaya ini tanpa
> lelah memberi penjelasan 
> agar masyarakat makin sadar akan hak dan kewajiban
> masing-masing dan berani 
> melawan aturan yang mengada-ada.
> 
>             Kedudukannya sebagai salah satu anggota
> tim penyusunan rancangan 
> undang-undang kewarganegaraan dimanfaatkan betul
> untuk berjuang menghapus 
> perlakuan diskriminasi. Namun, meski menjadi staf
> ahli di DPRD Kota 
> Surabaya, perjuangan menghapus diskriminasi bukan
> berarti mudah dilakukan. 
> Ada saja tantangan dari birokrat. Ada yang berdalih
> belum ada petunjuk 
> pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis)
> aturan kewarganegaraan.
> 
>             Berikut petikan wawancara di
> kediamannya.
> 
>             Sebenarnya seperti apa diskriminasi yang
> terjadi di Surabaya?
> 
>             Warga keturunan Tionghoa untuk menjadi
> WNI sangat sulit serta 
> berbelit-belit, dan ini hanya terjadi di Surabaya.
> Pertama, perlu mengajukan 
> surat pencabutan status warga negara asing di Kantor
> Imigrasi, lalu ke 
> Pengadilan Negeri Surabaya dan ke Kantor Wilayah
> Departemen Hukum dan HAM. 
> Dari sini balik lagi ke Kantor Imigrasi. Ini kan
> aneh dan berbelit. Belum 
> lagi biayanya sangat mahal, sekitar Rp 10 sampai Rp
> 20 juta. Uang sejumlah 
> itu dibayarkan di Kantor Imigrasi, pengadilan
> negeri, Departemen Hukum dan 
> HAM, lalu di administrasi kependudukan dan catatan
> sipil.
> 
>             Kesulitan terutama di mana?
> 
>             Salah satunya Surat Bukti
> Kewarganegaraan Republik Indonesia 
> atau SBKRI. Dokumen ini pernah diberlakukan saat
> diberlakukan Undang-Undang 
> Nomor 62 Tahun 1958. Saat itu warga keturunan
> Tionghoa dipaksa memilih warga 
> negara Tiongkok atau WNI. Dokumen ini merupakan
> tindak lanjut perjanjian 
> Sunario-Chou En Lai untuk mengatasi persoalan
> dwikewarganegaraan. Saat itu 
> warga keturunan kebanyakan memilih menjadi WNI dan
> keluarlah SBKRI. Anaknya 
> otomatis ikut kewarganegaraan orangtuanya.
> 
>             Harus diingat, dokumen ini terbit 48
> tahun lalu. Aturan soal 
> SBKRI sudah dicabut. Namun, kenyataannya sampai
> sekarang anak-anak warga 
> keturunan Tionghoa di Surabaya tetap dimintai SBKRI.
> Saya jadi pegawai 
> negeri 30 tahun, tapi anak saya masih diminta SBKRI.
> SBKRI- nya siapa? Itu 
> diterbitkan zaman kakeknya dulu.
> 
>             Begitu merepotkankah?
> 
>             Tidak cuma sangat merepotkan, tetapi
> merugikan secara materiil 
> dan menyakitkan. Rasa nasionalisme warga keturunan
> seperti diamputasi. 
> Kecintaan dan kesetiaan kepada Tanah Air seperti tak
> ada artinya.
> 
>             Bagaimana daerah lain?
> 
>             Administrasi kependudukan paling buruk
> Surabaya. Sikapnya rasis. 
> Gresik dan Sidoarjo tidak begitu. Di Surabaya memang
> sekitar 26 persen 
> penduduknya keturunan Tionghoa, di daerah lain lebih
> kecil. Saya tidak tahu 
> apakah ada unsur politis dari sikap ini. Yang jelas,
> perlakuan diskriminatif 
> ini sistematis dan melibatkan banyak institusi.
> 
>             Bagaimana mengatasinya?
> 
>             Harus dilakukan semua pihak secara
> bersamaan. Warga keturunan 
> Tionghoa harus menunjukkan bahwa dirinya bangsa
> Indonesia dan tidak perlu 
> menutup-nutupi persoalan. Warga keturunan Tionghoa
> yang kaya tidak perlu 
> mengatakan persoalan diskriminasi ini tidak ada.
> Karena memang mereka bisa 
> menyelesaikannya dengan uang. Cukup menyuruh calo,
> berbagai dokumen sudah 
> bisa diperoleh, bahkan diantar ke rumah.
> 
>             Tetapi, banyak warga keturunan Tionghoa
> yang tidak mampu. Lihat 
> saja di Kampung Seng dan Pegirian, Surabaya.
> Penghasilan mereka yang hanya 
> Rp 700.000 sebulan tidak cukup untuk membuat dokumen
> yang harganya bisa 
> sampai Rp 20 juta. Mereka sangat sulit mendapatkan
> status WNI. Sebaliknya, 
> aparat pemerintah juga harus jujur, transparan, dan
> terbuka. Melakukan 
> diskriminasi terhadap warga keturunan sudah bukan
> zamannya lagi.
> 
>             Apa yang perlu dibenahi?
> 
>             Sebenarnya, dari tataran horizontal
> tidak ada masalah. Yang 
> selalu membuat masalah kan tataran vertikal. Pejabat
> birokrasi membuat 
> aturan yang tidak sesuai dengan reformasi dan
> melakukan diskriminasi. 
> Padahal, setelah amandemen UUD 45 Pasal 28 ada pasal
> tambahannya yang 
> menyatakan sama sekali tidak boleh melakukan
> diskriminasi. Bahkan, 
> sebelumnya, ada Keppres No 56 Tahun 1996 yang
> menghapus SBKRI.
> 
>             Sekarang, adanya Undang- Undang
> Kewarganegaraan sebenarnya 
> merupakan momentum yang baik untuk menghapus
> diskriminasi. Untuk membuktikan 
> status kewarganegaraan cukup akta kelahiran dan
> kartu keluarga. Jika sudah 
> dewasa ditambah kartu tanda penduduk.
> 
>             Mungkinkah aparat birokrasi mempunyai
> kendala?
> 
>             Memang, pembenahan di kalangan birokrasi
> harus dimulai dari 
> pemerintah pusat sampai tingkat pelaksana di bawah.
> Namun, pelaksana sering 
> berdalih tidak ada juklak dan tidak ada juknis.
> Sampai saya bilang UUD 45 
> saja tidak ada juklak dan juknis, apa tidak
> dilaksanakan?
> 
>             Soal surat ganti nama, misalnya, sudah
> ada aturan dari menteri 
> dan dirjen yang menghapus ketentuan itu. Tapi,
> aparat pelaksana berdalih 
> 
=== message truncated ===



 
____________________________________________________________________________________
Sponsored Link

Mortgage rates near 39yr lows. 
$510k for $1,698/mo. Calculate new payment! 
www.LowerMyBills.com/lre

Kirim email ke