Soal Cina dan Tionghoa

Pak Tan Swie Ling, apa kabar? ada yang ingin saya tanya lagi soal cina dan 
Tionghoa.
Ini mengenai pendapat Pak Tan soal sebutan China yang baru muncul sejak 
Inggris mengalahkan Tiongkok di perang candu. Boleh tau sumber yang bapak 
pakai untuk pendapat ini?
Kalau memang demikian, sebelum Inggris menyebut China, sebutan apa yang 
dipakai?
Bukankah pepatah "Tuntutlah ilmu sampai ke negeri China", itu sudah ada 
sejak dulu kala?
Dari mana kata China berasal?
Benarkah dari dinasti terakhir, Ching atau Manchu, ataukah dari dinasti Chin 
yang sebelumnya?
Lalu sejak kapan juga istilah Tiongkok dipakai, bukankah RRT baru berdiri 
tahun 1911?
Selain itu apakah orang  Tionghoa di  Tiongkok menyebut dirinya Tionghoa?
Kalau dalam  SINERGI  November 2006,  A. Dahana mengatakan  kata Tionghoa 
tidak bisa berdiri sendiri. mengapa?
Selain itu, Pak Tan mengatakan bahwa Tionghoa adalah nama sebuah suku di 
Indonesia yang tidak ada di negara lainnya yang menyebut Chinese. Kalau 
memang demikian, seharusnya kita hanya perlu menyebut Tionghoa, tanpa 
embel-embel Indonesia. Sama seperti kita menyebut Jawa, Sunda, Batak, Bali, 
Padang dan suku-suku lainnya, tanpa embel-embel Indonesia. Jadi mungkin kita 
hanya perlu menyebut Tionghoa, bukannya Tionghoa Indonesia, atau Indonesia 
Tionghoa. Bagaimana menurut bapak?
Oh iya, saya juga ingin bertanya soal filosofi hidup dan pandangan hidup 
orang Tionghoa di Indonesia. Menurut bapak, bagaimana filosofi hidup 
generasi Tionghoa sekarang? Kalau generasi tua masih memegang budaya dan 
mungkin filosofi budaya, bagaimana dengan generasi sekarang?
baik dalam keluarga, pergaulan hidup sehari-hari ataupun dalam bekerja.
Demikian pertanyaan lanjutan saya, yang mungkin jadi panjang. :)
Saya harap pertanyaan ini bisa dijawab.
Terima kasih sebelumnya,

Deviana

-------------------------------------------------------------------------------------------

Tan Swie Ling:

Deviana Bertanya,
 “Saya harap pertanyaan ini bisa dijawab”  Begitulah  akhir bunyi email 
Deviana.

Tentu saja saya jawab. Tapi maaf ya, jawabannya memang lambat. Sebelum 
menjawab rincian pertanyaan  saya ingin mengetengahkan  terlebih dahulu, 
bahwa semua masalah berkaitan dengan kehidupan komunitas manusia, saya 
artikan sebagai masalah sosial. Masalah yang apabila dibahas oleh sejumlah 
orang, akan menghasilkan sejumlah pendapat yang kadang bukan saja 
berbeda-beda tapi bahkan tidak tertutup kemungkinan saling bertolak 
belakang. Bukan seperti masalah matematika, yang berapa kali berapa dihitung 
oleh siapapun tentu akan memperoleh jumlah yang  sama. Tapi bagi saya semua 
itu tidak menjadi masalah sepanjang berbagai pendapat yang berbeda-beda 
tersebut secara konsisten dilandasi dengan dasar argumentasi yang jelas, dan 
sekali-kali bukan berlandaskan perasaan emosional.

Begitulah masalah Cina-Tionghoa yang kita percakapkan. Yang dari sudut 
pandang saya adalah masalah sosial yang sesungguhnya erat bertali-temali 
dengan masalah politik Karena itu untuk tujuan apa pun termasuk untuk tujuan 
penulisan sesuatu,  agar bisa mendekati titik kebenarannya,  maka  siapapun 
yang menghendakinya   sebaiknya seminim apapun ybs. perlu tahu/kenal masalah 
politik.

Sebab bagian terbesar dari masalah ini memang masalah politik Sebagai 
contoh, apakah  yang memungkinkan orang ramai mempermasalahkan istilah 
“Cina-Tionghoa” kalau bukan peristiwa politik yang muncul terjadi melalui 
penembakmatian sejumlah mahasiswa Universitas Trisakti oleh pasukan 
bersenjata yang berlanjut pada kerusuhan rasial anti Tionghoa tahun 1998 
yang berujung pada lengsernya Presiden Soeharto dari panggung kekuasaan 
politik? Dan, bukankah itu peristiwa politik?

Apakah masyarakat akan leluasa mempolemikkan istilah Cina-Tionghoa 
seandainya peristiwa Mei 1998 tidak berujung pada lengsernya Presiden 
Soeharto, yang berlanjut pada kegiatan reformasi politik, yang membuka 
peluang terciptanya kondisi politik yang memungkinkan seluruh masyarakat 
Indonesia  yang tentunya termasuk Tionghoa di dalamnya menjadi bebas 
berekspresi, kalau bukan  akibat peristiwa politik? Lagi pula sebutan 
China/Cina pada kenyataannya memang  tidak akan pernah ada seandainya di 
dunia ini tidak pernah terjadi peristiwa-peristiwa politik besar yang 
menyeret masyarakat manusia ke dalam berbagai peperangan. Baik Perang Candu, 
Perang Dunia ke-I, Perang Dunia ke-II, dan Perang Dingin.

Terutama, Perang Candu dan Perang Dingin.Tegasnya, Surat Edaran Presidium 
Kabinet Ampera Tentang Masalah  Cina bernomor: SE-06/Pres.Kab/6/1967, yang 
mengubah sebutan/kata Tiongkok/Tionghoa menjadi Cina tidak akan pernah ada, 
seandainya  saja di negeri ini tidak pernah terjadi peristiwa politik G30S. 
Demikian pula peristiwa politik G30S itupun tidak mungkin akan pernah 
terjadi seandainya saja masyarakat manusia tidak dihadapkan pada masalah 
“Perang Dingin.” Karena seandainya tidak terjadi Perang Dingin, maka 
negeri-negeri kapitalis yang dikomandani AS tidak timbul kepentingannya 
untuk melakukan kebijakan penghancuran dan pembendungan pengaruh komunisme.

Di mana dalam kaitan ini malang sekali, mengingat di satu sisi RRT adalah 
republik yang dipimpin partai komunis, dalam pada itu di sisi yang lain 
rezim Orba yang sesungguhnya tidak lain adalah rezim kaki-tangan atau rezim 
pelaksana Perang Dingin di Indonesia ternyata semangat anti Tionghoanya 
kebablasan. Sehingga beranggapan bahwa oleh faktor kesamaan ketionghoaan 
antara Tionghoa Tiongkok dengan Tionghoa Indonesia lalu berkesimpulan 
Tionghoa Indonesia akan mudah menjadi kaki-tangan Tionghoa RRT yang komunis. 
Karena itu disamakanlah perlakuan terhadap komunitas Tionghoa di negeri ini 
dengan perlakuan yang diterapkannya terhadap PKI, yang pada tahun 1965 itu, 
bersama dengan Presiden Soekarno, justru memang menjadi sasaran utama untuk 
dihancurkan oleh kekuatan politik Perang Dingin yang dikomandani AS dan 
dilaksanakan oleh kaki-tangannya di Indonesia, yang ketika berhasil 
berkuasa, kaki-tangan pelaksana Perang Dingin di Indonesia ini menggelari 
diri sebagai kekuatan politik Orde Baru.

Begitulah selanjutnya,  Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera tentang 
masalah Cina bernomor  SE-06/Pres.Kab/6/1967, yang merubah sebutan 
Tionghoa/Tiongkok menjadi Cina pun segera  disusul dengan pembentukan 
lembaga “Staf Chusus Urusan Tjina” (SCUT) yang dikepalai oleh  perwira 
militer,  yang berkedudukan sebagai Ka BAKIN. Sebuah lembaga yang  berperan 
sebagai staf chusus urusan Cina yang bertanggungjawab langsung ke Presiden 
Soeharto, yang selanjutnya setelah SCUT dibubarkan  peran dan tugasnya 
diambil alih dan  terus dikerjakan oleh BAKIN. Di mana dalam rangkaian ini 
dibentuk pula sebuah lembaga yang diberi nama  Badan Komunikasi Masalah Cina 
(BKMC) yang peranannya persis seperti mikroskop yang selalu mendeteksi 
Tionghoa sebagai mikroba di bawah lensanya yang membuahkan terbitnya 
berpuluh-puluh kebijakan/peraturan diskriminatif terhadap warga Tionghoa. 
Semua itu adalah isi dari masalah Cina-Tionghoa yang sedang kita 
percakapkan.

Dan semua itu tidak akan pernah ada seandainya di Indonesia tidak pernah 
terjadi peristiwa politik besar yang terkenal dan dikenal dalam sebutan 
peristiwa G30S 1965. Sebuah peristiwa politik besar yang tidak akan mungkin 
pernah ada seandainya di dunia ini tidak pernah terjadi Perang Dingin. Jadi, 
ternyata semua itu adalah masalah politik. Karena itu membahas masalah 
Cina-Tionghoa sukar dipisahkan dari pembahasan masalah politik. Dari sudut 
pandang inilah kesependapatan saya pada Pak Prof. Dahana yang mengatakan 
(masalah) Tionghoa tidak berdiri sendiri. Demikian pula istilah China yang 
nyata-nyata memang istilah Inggris, bukanlah ihwal yang tiba-tiba saja 
muncul tanpa kaitan dengan peristiwa apapun. Karena sesungguhnya ia memang 
tercipta oleh kondisi sebuah proses politik kiprahnya kapitalisme dunia 
pada masanya yang dikomandani Inggris, yang semasa itu merupakan adi daya 
pertama di dunia sebelum AS dan Uni Soviet.

Deviana, saya percaya hampir rata-rata manusia di zaman sekarang ini niscaya 
akrab dengan istilah globalisasi/globalisme.  Sementara kita yang heboh 
memperdebatkan istilah China/Cina tidak tahu-menahu, bahwa istilah 
China/Cina lahir dari perilaku globalisasi/globalisme tersebut. Ibarat 
tangan, tentunya yang kanan berpasangan dengan yang kiri. Nah  secara 
politis istilah globalisasi/globalisme adalah pasangan dari istilah 
kapitalisme. Keduanya merupakan pasangan tak ubahnya Kereta Api dengan 
relnya. Kapitalisme  sebagai KA-nya dan globalisme sebagai relnya. 
Kapitalisme itu tidak akan pernah bisa  tumbuh berkembang kalau tidak ada 
globalisasi. Karena itu globalisasi yang pada masa kini mengambil wujud 
utamanya dalam rupa upaya terus-menerus mempermudah hubungan antar 
kepentingan  manusia dengan memanfaatkan dukungan  teknologi komunikasi dan 
informasi, dimasa-masa awalnya mengambil bentuk serba kekerasan seperti 
pendudukan wilayah komunitas lain, penjajahan dan peperangan. Yang semua itu 
sesungguhnya adalah alat atau perangkat yang tidak bisa dilepaskan dari 
kebutuhan kapitalisme. Dalam pengertian kepentingan kapitalisme, peran 
globalisasi adalah mendobrak, membangun dan melapangkan jalan bagi 
langkah-langkah kapitalisme. Dalam artian inilah sesungguhnya berbagai misi 
penjelajahan para bahariwan seperti Christopher Columbus dan rekan-rekan 
pada abad limabelasan yang lalu, harus dilihat. Dan dalam artian ini pula 
kita harus memandang dan memahami Perang Candu pada pertengahan abad XIX 
dahulu.

Sebelum-sebelumnya, Tiongkok adalah potret/gambar kemapanan hidup sebuah 
komunitas manusia. Kemapanan hidup masyarakat Tiongkok pada zamannya yang 
tercermin nyata  pada sikap dan perlakuannya terhadap mesiu yang 
ditemukannya. Sebuah penemuan maha penting namun diperlakukannya biasa-biasa 
saja. Dianggapnya tidak lebih sebagai sesuatu yang cukup dimanfaatkan 
sebagai bahan hiburan saja, seperti dijadikan petasan dan kembang api. 
Kemapanan hidup masyarakat Tiongkok inilah sesungguhnya yang mendorong 
rata-rata negeri industri ingin memanfaatkan Tiongkok sebagai wilayah 
pasarnya. Artinya negeri-negeri industri di Barat menghendaki agar  Tiongkok 
dijamah globalisasi. Didobrak tembok dan pintu-pintu penutupnya. Kemudian 
dipasang rel-rel agar kereta api kapitalisme dapat leluasa berlalu-lintas di 
dalamnya. Dan untuk tujuan  seperti itulah sesungguhnya mengapa Perang Candu 
terjadi.

Karena itu sebagaimana nyatanya setelah Tiongkok berhasil dikalahkan 
dalamPerang Candu tersebut,  maka seluruh negeri-negeri industri dari Eropa, 
bahkan Amerika dan Jepang ramai-ramai menjarah dan mengkapling-kapling 
wilayah Tiongkok menjadi bagiannya. Dan Inggris sebagai adidaya masa itu 
yang memenangi Perang Candu menyebut lawan perang yang telah dikalahkannya, 
dengan sebutan China.  Inilah kisah perjalanan yang mengantarkan  istilah 
kata C h i n a  ke masyarakat dunia. Jadi tidak bisa diragukan lagi, istilah 
China adalah merupakan hasil kiprahnya kapitalisme semasa itu.

Demikian pula istilah Tionghoa. Seandainya di dunia tidak terjadi proses 
kiprah kapitalisme seperti tersebut di atas, belum tentu  komunitas manusia 
Tiongkok yang terbanyak jumlahnya di dunia itu yang tertindas oleh 
negara-negara Barat sejak kalah dalam Perang Candu, lalu menyebut diri 
“Tionghoa” sebagai lambang hasratnya untuk  membebaskan diri dari belenggu 
penindasan asing.   Mungkin mereka akan memilih terus menyebut diri sebagai 
komunitas “Han” Sama halnya dengan kita. Seandainya saja bukan karena 
kiprahnya kapitalisme Belanda, belum tentu kita menyebut diri sebagai 
Indonesia. Mungkin orang/kawula Sriwijaya, orang Majapahit atau orang 
Mataram.

Begitulah Deviana, dan berikut adalah  rincian keterangan seputar 
pertanyaanmu.
“Ada yang ingin saya tanya lagi soal Cina dan Tionghoa”.
Tulisan saya di dalam majalah Sinergi memakai judul “CINA TIONGHOA DALAM 
HIPOTESIS DESKRIPTIF”. Jadi walaupun dari sisi saya hal itu saya yakini 
sebagai satu kebenaran, toh nyatanya tulisan tersebut hanya merupakan salah 
satu saja dari sekian banyak tulisan/pendapat orang tentang Cina-Tionghoa, 
yang sifat maupun mutunya tetap hanya sebatas hipotesa saja.

Adapun  kalau ditanya sumber,sumbernyaya hasil analisa kondisi proses 
politik kiprahnya kapitalisme dunia yang semasa itu dikomandani oleh 
Inggris. Sedangkan   rujukan tertulis untuk penguat argumentasi, saya banyak 
merujuk pada Perjanjian Nanking (1842) yang bersama-sama dengan sejumlah 
perjanjian-perjanjian yang lain seperti Perjanjian Boca Tigris (1843) dll. 
antara Tiongkok dengan berbagai negeri Industri menyusul dikalahkannya 
Tiongkok dalam Perang Candu, saya gunakan buku “Tiongkok Sepanjang Abad” 
karya Nio Joe Lan. Terjadi ketimpangan kedudukan/posisi yang luar biasa 
antara Inggris sebagai pemenang Perang Candu dalam perbandingannya dengan 
kedudukan Tiongkok selaku pihak yang  dikalahkannya.  Sehingga kalau orang 
mengatakan dalam kata Cina/China terkandung penghinaan/pelecehan hal 
tersebut seluruhnya bisa diketemukan dalam sumber rujukan tertulis dimaksud.

2.    Sebelum Inggris menyebut China, sebutan apa yang dipakai?
Sebelum Belanda  memberikan sebutan Inlander untuk saudara-saudara kita yang 
anak negeri alias bumi putra dan kaula negara  bagi komunitas yang 
dimasukkan sebagai golongan Timur  Asing, masyarakat kita ada yang menyebut 
diri sebagai kawula Sriwijaya, Kawula  Majapahit, kawula Demak, Kawula 
Pajang, atau kawula Mataram Seperti itulah  barangkali orang-orang Tiongkok 
disebut atau menyebut dirinya sendiri sebagai  orang Han, orang Tang, orang 
Goan atau orang Mancu. Warga dinasti A atau warga dinasti B Di samping 
mengacu adanya “jalan Sutera” yang menghubungan Romawi ke Tiongkok,dari 
pihak luar pun ada yang menyebut    Tiongkok dengan sebutan Serica 
(sutera?).

Dan kalau kita ingat pesawat terbang Catay Pasific, kata Catay atau Kitay 
ini rupanya juga pernah menjadi sebutan orang asing bagi Tiongkok. Yang 
besar kemungkinannya kata tersebut datang dari Marco Polo. Orang asing yang 
berhasil datang berdiam di Tiongkok dan berhasil keluar kembali meninggalkan 
Tiongkok, yang mungkin pada masa Marco Polo berdiam di Tiongkok, komunitas 
Khitan adalah komunitas yang handal di negeri Tiongkok. Catatan Marcopolo 
mengatakan bahwa penguasa  Tiongkok di zaman itu (907-1125) disebutnya 
sebagai bangsa Khitan. Sehingga Marco Polo menggambarkan  Khitan sebagai 
gambaran Tiongkok.

Yang pasti sebelum  Tiongkok dikalahkan oleh  Inggris dalam Perang Candu, 
baik anak negeri Tiongkok sendiri maupun orang asing manapun  tidak ada yang 
menyebut mereka sebagai China atau Cina. Sebagai contoh, orang Tionghoa yang 
kini menjadi bagian dari bangsa Indonesia sendiri sebelum mereka 
disebut/menyebut diri sebagai  Cina dan kemudian Tionghoa, lalu pada zaman 
Pak Harto disebut Cina lagi, sebetulnya komunitas Tionghoa di negeri ini 
menyebut diri sebagai “Teng Lang”. Seiring sebutan “Teng Lang” yang bermakna 
“orang Teng”, juga dikenal istilah “Teng Shoa” yang besar kemungkinan 
bermakna “tanah atau negeri Teng”.

Lalu, kata “Teng” itu sendiri apakah tidak sama dengan kata “Tong” (ahala) 
atau “Tang” (dinasti) sehingga kalau orang menyebut diri dengan sebutan 
“Teng Lang” artinya yang bersangkutan menerangkan bahwa dirinya adalah 
orang/warga Tengshoa, atau warga dinasti Tang. Sama seperti kalau orang kita 
menyebut diri sebagai kawula Majapahit. Maksudnya yang bersangkutan adalah 
warga Kerajaan Majapahit. Hal ini kemungkinan besar disebabkan karena 
pengertian dan istilah bangsa pada masa itu belum menjadi pemahaman  seperti 
zaman sekarang. Sehingga untuk kemudahan komunikasi orang membedakan diri 
sendiri dari orang lain dengan cara menyebut kerajaan/ dinasti dari mana 
dirinya berasal, atau produk unggulan  negeri bersangkutan yang  spektakuler 
seperti sutera. Sehingga demi mendapatkan sutera, orang Romawi menyebut 
jalan menuju ke negeri penghasilnya sebagai jalan sutera. Bukan jalan 
China/Cina!

3. “Tuntutlah ilmu walau (harus) sampai ke negeri Cina”. 
Ini adalah kalimat yang dibuat oleh  sebahagian orang  Indonesia untuk 
menterjemahkan hadist Nabi Mohammad s.a.w. yang tersabdakan pada kurun masa 
Tiongkok berada  di bawah perintah dinasti Tang (618-906M).  Saya katakan 
sebahagian orang Indonesia karena nyatanya sebahagian orang  Indonesia 
lainnya,setidak-tidaknya seperti yang terwakili oleh koran “Merdeka” atau 
“Indonesia Raya” yang masing-masing dipimpin oleh BM Diah dan Moctar Lubis, 
maka hadist Nabi Mohammad s.a.w. yang dalam bahasa asalnya berbunyi 
“uthlubul ilma walau bishin” terjemahannya akan berbunyi “tuntutlah ilmu 
walau (harus) sampai ke negeri Tiongkok”  Karena  sebagaimana nyatanya 
hadist Nabi Mohammad s.a.w. tersebut berbahasa Arab. Dan  agaknya struktur 
bahasa Arab tidak mengenal bebunyian tajam seperti bunyi “ca-ce -ci-co-cu” 
seperti struktur bahasa Indonesia. Sehingga seperti nyatanya, tidak ada 
bunyi kata Cina di dalam hadist Nabi tersebut.  .Maaf mungkin ejaan saya 
menulis hadist Nabi tidak tepat, tapi bunyi hadist tersebut kurang-lebih 
memang begitu.

4   “Dari mana kata China berasal?”
Butir 2 SE-06/Pres.Kab/6/1967 yang mengubah kata Tiongkok/Tionghoa menjadi 
Cina berbunyi: “Dilihat dari sudut nilai-nilai ethnologis-politis dan 
etimologi historis, maka istilah Tionghoa/Tiongkok yang memberi 
asiosasi-psykopolitis yang negatip bagi rakyat Indonesia, sedang istilah 
Cina tidak lain hanya mengandung arti nama dari suatu dynasti dari mana ras 
Cina itu datang,dan bagi  kita umumnya kedua istilah itupun tidak lepas dari 
aspek-aspek psykologis dan emosionil.”

Jelas, alasan pengubahan sebutan Tionghoa/Tiongkok menjadi Cina adalah 
dynasti dari mana ras Cina datang. Soalnya dinasti “Ching atau Chin”? 
Selain punya duaorang kaisar handal, kaisar pertama, Kang Hi dan kaisar 
ketiga, Kian Liong, kaisar yang pernah mempermalukan Inggris di bawah 
perintah Raja George ketiga,dengan menolak seluruh keinginan Inggris untuk 
melakukan hubungan diplomatik Inggris-Tiongkok, dinasti Ching (1644-1911) 
tidak memiliki sesuatu yang lain yang bisa dibanggakan untuk diacu dari mana 
ras Cina berasal.  Sedangkan dinasti Ch’in (220-206 SM), sekalipun dinasti 
paling singkat, akan tetapi sedikitnya ada dua hal penting yang memungkinkan 
nama dinasti ini menjadi rujukan. Yang pertama, di bawah kekuasaan dinasti 
inilah  “Tembok/Benteng Tiongkok” yang kini merupakan salah satu dari  7 
keajaiban dunia dituntaskan pembangunannya. Yang kedua, perilaku luar biasa 
ekstrem dari sang kaisar yang membakari buku-buku pengetahuan yang memuat 
semua ajaran yang tidak disukainya, termasuk ajaran Konfusianisme. Agaknya 
dua hal itulah yang menjadi alasan untuk mengatakan asal-muasal kata 
China/Cina dari dinasti Ch’in (220-206 SM).  Agaknya dalam hati orang 
Inggris ketika untuk pertama kalinya mengucapkan kata China, berkata: 
“Inilah bangsa besar yang luar biasa yang mampu membangun ‘Tembok/Benteng 
Tiongkok’ dan memiliki kaisar brutal yang menghancurkan/membakari buku -buku 
pengetahuan,  tapi, sekarang berhasil aku taklukkan”!  Ya,  begitulah 
barangkali Inggris berseru ketika menyebut bangsa yang  telah ditaklukkannya 
dengan sebutan C h i n a !

5.  Sejak kapan istilah Tiongkok dipakai?
RRT berdiri bukan tahun 1911, melainkan tahun 1949. Yang berdiri pada tahun 
1911 adalah Republik Tiongkok,sebagai hasil revolusi rakyat Tiongkok 
membebaskan diri dari kekuasaan/penindasan bangsa-bangsa asing serta 
kekuasaan monarki (dinasti Ching/Mancu). Sejak tahun 1911 itulah negeri itu 
menyebut dirinya dalam sebutan  Zhong Hua Min Guo yang dalam dialek yang 
dikenal kebanyakan  orang Tionghoa di sini diucapkan sebagai  Tiong Hwa Bin 
Kok. Untuk  waktu yang tidak lama  awalnya Republik Tiongkok tersebut 
dipresideni langsung oleh dr Sun Yat Sen, sang pemimpin revolusi Tiongkok 
yang oleh sebagian rakyatnya disebut juga sebagai pendiri 
Tiongkok.Berikutnya untuk waktu yang lama sekali dipresideni oleh Chiang Kai 
Shek, sampai  pada 1949. Pada tahun tersebut bersama-sama para pendukungnya 
Chiang Kai Shek dipaksa hijrah ke Taiwan setelah kalah dalam perang saudara 
melawa Mao Tse Tung dan anak buahnya, yang lalu pemenang Perang Saudara ini 
mendirikan RRT. Kalau pada tahun 1911 Republik Tiongkok memakai nama Zhong 
Hua Min Guo, maka RRT  memakai nama  Zhong Hua Ren Min Gong He Guo, yang 
maknanya adalah  Republik Demokrasi Rakyat Tiongkok

6.  Selain itu apakah orang Tionghoa di Tiongkok menyebut dirinya Tionghoa?
Sepengetahuan saya orang Tionghoa di Tiongkok menyebut dirinya dengan 
sebutan Zhong Guo Ren.

 7.  ”A.Dahana mengatakan kata Tionghoa tidak bisa berdiri sendiri, 
 mengapa?”
Tentu saja saya tidak tahu apa argumentasi beliau. Tapi kalau ini dikaitkan 
dengan Tionghoa sebagai bagian bangsa Indonesia atau suku di Indonesia,saya 
sependapat dengan beliau. Selain hal yang saya sebutkan dalam pendahuluan 
dimuka.Seingat saya kata Tionghoa sebagai suku berawal dari penjelasan 
Presiden Soekarno kepada Presiden Vietnam, Ho Chin Min pada waktu Paman Ho 
ini berkunjung  ke Indonesia sekitar tahun 1963-an. Ketika itu  pada 
pokoknya Bung Karno menerangkan kepada Paman Ho, bahwa bangsa Indonesia 
tidak mengenal mayoriteit dan minoriteit. Bangsa Indonesia itu seperti 
luwing (binatang kecil berbadan panjang berkaki banyak). Kaki itu dalam 
bahasa Jawa disebut “sikil” atau “suku”. Jadi,  kata Bung Karno, bangsa 
Indonesia adalah bangsa yang berdiri di atas banyak kaki atau banyak suku. 
Ada kaki atau suku Jawa, kaki/suku Sunda, kaki/suku Bali dan lain sebagainya 
di samping ada kaki/suku“peranakan Tionghoa”. Itu terjadi tahun 1960-an. 
Tapi sebutan Tionghoa itu sendiri sudah dikenal masyarakat di negeri ini 
setidak-tidaknya pada awal abad XIX. Perkataan Tionghoa ini  terdokumentasi 
dalam akte pendirian rumah perkumpulan Tionghoa yang bertanggal, 17 Maret 
1900, dengan nama “Tiong Hoa Hwee Koan”. Sebuah  perkumpulan yang semasa itu 
cukup modern. Yang kemodernannya menurut Nio Joe Lan, terletak pada 
digunakannya sebutan kata Tionghoa pada perkumpulan tersebut. Lalu sebelum 
17 Maret 1900 sebutan apa yang dikenal masyarakat negeri ini untuk komunitas 
Tionghoa tersebut? Saya meyakini  komunitass ini disebut atau menyebut diri 
sebagai “Tenglang” dan “Cina”. Tenglang mengacu pada  pengaruh kebiasaan 
dari kurun masa dinasti Tang (618-906M), dan Cina, mengacu pada pengaruh 
kebiasaan kurun masa setelah terjadinya Perang Candu, sekitar pertengahan 
abad XIX.

Sejak tahun 1800 masyarakat negeri ini sepenuhnya merupakan masyarakat 
jajahan kolonialisme Belanda. Pada dasarnya di mana pun perilaku masyarakat 
jajahan umumnya sama. Ada yang suka dan karenanya menghamba pada penjajah, 
dan tentu  tidak kurang pula  ada yang tidak suka, anti, dan ingin melawan 
penjajah. Begitulah kurang-lebih perilaku masyarakat Jawa, Sunda, Bali, 
Melayu dan tentunya juga Tionghoa sebagai masyarakat jajahan Belanda. Wijken 
& Pasen Stelsel atau peraturan lingkungan tempat tinggal dan Surat Jalan 
yang dikenakan terhadap komunitas Tionghoa di Hindia Belanda (sebutan negeri 
Indonesia semasa itu) yang  kalau tidak khilaf baru dicabut oleh pemerintah 
kolonial pada tahun 1917, menerangkan sulitnya posisi hidup komunitas 
Tionghoa di negeri ini semasa itu. Hal-hal semacam itu  yang bagi komunitas 
Tionghoa yang menghamba pada Belanda tidak dirasakan sebagai sesuatu apa 
tapi, membuat komunitas Tionghoa yang  merasa tertindas oleh penjajah 
Belanda menjadi gerah dan resah dan berupaya mencari  naungan  atau senderan 
yang sekurang-kurangnya dianggapnya bisa  membuat berkurangnya  beban 
penderitaan yang dialaminya.

Tapi sungguh tidak beruntung. Segenap masyarakat yang menghuni kepulauan 
Nusantara wilayah Hindia Belanda, semua berkedudukan sama. Sama-sama sebagai 
masyarakat terjajah. Tentu saja, yang  namanya Indonesia  jadi janin pun 
belum. Hindia Belanda masih sunyi senyap, karena gerakan kebangkitan 
nasional  belum tumbuh. Dalam kondisi demikian itulah komunitas Tionghoa 
yang sedang tengok kanan dan tengok kiri  mencari pohon naungan, sayup-sayup 
mendengar gemuruh genderang kebangkitan semangat nasionalisme di bumi 
Tiongkok. Oleh akibat kepengapan, kegerahan dan keresahan dari derita 
ketertindasannya, komunitas Tionghoa  di Hindia Belanda  semasa itu secara 
refleks menengok ke arah gemuruh suara kebangkitan  nasionalisme di bumi 
Tiongkok itu dan segera saja terangsang untuk mendukung. Bentuk 
keterangsangan serta pendukungan atas segala yang terjadi di bumi Tiongkok 
semasa itu berawal dalam wujud berdirinya Tiong Hoa Hwee Koan.

Berdirinya  rumah perkumpulan Tionghoa  yang diberinya nama Tiong Hoa Hwee 
Koan pada awal abad XIX, yang segera disusul dengan berdirinya 
sekolah-sekolah yang juga bernama Tiong Hoa Hwee Koan adalah bagian  dari 
rangkaian pengaruh perkembangan ini.  Tapi harap benar-benar diingat, 
sekalipun di  Tiongkok terjadi hiruk-pikuk gegap gempita oleh gemuruhnya 
kebangkitan semangat nasionalisme Tionghoa yang meledak-ledak, toh 
seandainya saja komunitas Tionghoa di Hindia Belanda sebaliknya dari merasa 
tertindas malah merasa dianakemaskan oleh penjajah Belanda seperti anggapan 
sebagian masyarakat negeri ini, niscaya Tiong Hoa Hwee Koan tidak akan 
pernah berdiri.

Dan konsekwensinya, seperti yang terjadi di negeri-negeri tetangga kita yang 
juga memiliki penduduk Tionghoa,  kata Tionghoa mungkin tidak dikenal di 
wilayah  Hindia Belanda yang kini jadi Indonesia ini. Mengingat api 
pendorong berdirinya Tiong Hoa Hwee Koan, selain “Gerakan Pembaruan  Seratus 
Hari” yang di pimpin Kang Yu Wei – Liang Chi Chao, adalah  “Gerakan Anti 
Asing Tinju Keadilan” (Perang Boxer), dan terutama  tentunya Kebangkitan 
Nasionalisme di bawah kepemimpinan dr Sun Yat Sen. Yang kesemuanya itu 
seolah memenuhi  keinginan komunitas Tionghoa Hindia Belanda yang merasa 
tertindas oleh  kolonialisme Belanda semasa itu untuk bisa  melihat 
bangkitnya sebuah Tiongkok yang kuat agar bisa dijadikan tempat 
bersender/berlindung sehingga sekalipun tidak sepenuhnya, tapi bisalah 
sedikit  mengurangi penderitaan komunitas Tionghoa di Hindia  Belanda dari 
penindasan kolonialisme Belanda.

Pikiran  komunitas Tionghoa yang seperti ini, pada masa itu tidak bisa 
dianggap salah. Mengingat yang ada dalam perasaan komunitas Tionghoa Hindia 
Belanda semasa itu, hanya satu.  Kapan dan bagaimana caranya  dirinya bisa 
terlepas dari belenggu penindasan kolonialisme Belanda. Dalam keadaan 
meraba-raba  mencari jalan keluar, menengok ke kanan dan kiri yang semua 
ternyata masih serba sepi, di mana yang namanya bangsa Indonesia belum 
lahir, bahkan jadi janin pun belum, maka gemuruh kebangklitan nasionalisme 
Tionghoa di Tiongkok membuatnya menengok, menerima dan mendukungnya.

Jadi perkataan Tionghoa yang di negeri ini untuk pertama kali dipanggul oleh 
Tiong Hoa Hwee Koan adalah  merupakan lambang semangat komunitas Tionghoa 
Hindia Belanda yang berjuang membebaskan diri dari ketertindasan 
kolonialisme Belanda. Jadi  berdasarkan uraian tersebut, memang jelas, bahwa 
perkataan Tionghoa, khususnya di Indonesia, memang lahir dari 
kait-mengaitnya paling sedikit dua hal. Yaitu  semangat ingin membebaskan 
diri dari ketertindasan belenggu kolonialisme Belanda, dan pengaruh 
kebangkitan gerakan nasionalisme Tionghoa di Tiongkok.

8.  “Tionghoa adalah nama sebuah  suku di Indonesia”
Berdasarkan uraian butir 7 di atas semoga menjadi jelas. Bahwa ternyata 
segala yang terjadi di Tiongkok pada akhir abad XIX dan awal abad XX 
ternyata tidak memberi pengaruh dan akibat yang sama pada Tionghoa 
perantauan yang tersebar di berbagai negeri. Hal ini terjadi sebagai akibat 
kondisi riil negeri di mana komunitas perantau Tionghoa itu berdomisili 
tidaklah sama. Ada mereka yang berdomisili  di negeri yang tidak pernah 
dijajah bangsa Barat seperti Muangtai, tentu mereka tidak merasakan derita 
penjajahan. Ada yang berdomisili di Macao, atau Filipina, yang tentunya 
pekat nuansa kehendak penguasa Portugis. Ada pula yang berdolisili di 
Hongkong, Singapura, Brunei dan Malaysia yang hidup dibawah kehendak 
penguasa Inggris, di samping yang berdomisili di Hindia Belanda, yang hidup 
dibawah tatanan kolonialisme Belanda.

Ketidaksamaan kondisi hidup di negeri-negeri yang berada di bawah penguasa 
penjajah yang berbeda inilah yang memungkinkan terjadinya kenyataan, sesama 
Tionghoa perantauan yang sama-sama menerima pengaruh kebangkitan 
nasionalisme Tiongkok yang sama akan tetapi tidak memberi akibat yang sama. 
Di Indonesia terbentuk Tiong Hoa Hwee Koan, sedang diselebihnya 
negeri-negeri tersebut diatas tidak. Sebagai akibatnya di Indonesia kata 
Tionghoa hadir, sedangkan di negeri-negeri lain tersebut diatas, tidak.

Jadi tidak keliru bahwa kata Tionghoa adalah kata khusus sebutan komunitas 
Tionghoa di Indonesia. Yang karena sifatnya yang khusus itu, maka ketika 
tanggal 28 Oktober 1928 melalui ikrar Sumpah Pemuda bangsa Indonesia 
terbentuk, jadilah komunitas Tionghoa di Hindia Belanda tersebut menjadi 
bagian tak terpisahkan dari bangunan tubuh bangsa Indonesia secara 
keseluruhan, tak ubahnya dengan berbagai komunitas yang lain, yang selama 
waktu sebelumnya sama-sama menjadi bagian dari masyarakat Nusantara yang 
tertindas dan terjajah oleh kolonialisme Belanda.

9.  “Kalau memang demikian kita hanya perlu menyebut Tionghoa, tanpa 
embel-embel”
Seandainya sejak terbentuknya bangsa Indonesia iklim kehidupan keberbangsaan 
kita serba baik, niscaya begitulah tentunya yang terjadi. Sayangnya iklim 
kehidupan keberbangsaan Indonesia makin lama makin tercemari polusi. 
Kenyataannya kita masih butuh waktu untuk bisa leluasa menyebut diri sebagai 
Tionghoa saja, tanpa embel-embel.

10.  “Bagaimana filosofi dan pandangan hidup Generasi Tionghoa sekarang?”
Pandangan/filosofi hidup manusia niscaya terbentuk oleh kondisi hidup yang 
dihayatinya. Sedangkan kondisi hidup bukanlah suatu ihkwal yang mandeg, 
statis, melainkan dinamis.

Konsekwensinya pandangan/filosofi hidup pada umumnya maupun budaya pada 
khususnya tentu dengan sendirinya akan terus terseret berubah dan berubah 
selaras dengan perubahan yang terjadi pada kondisi hidup yang mendasarinya. 
Ambil contoh. Kong Hucu, ketika ayah atau ibunya meninggal dunia, beliau 
membangun gubuk perkabungan di dekat makam orang tuanya. Selama tiga bulan 
penuh beliau tidak meninggalkan gubuk perkabungannya itu. Hal tersebut 
berhasil dilakukannya bukan semata-mata oleh sebab kadar ketingian rasa 
berbakti beliau terhadap orang tuanya yang telah meninggal saja, melainkan 
juga oleh sebab kondisi hidup semasa itu memungkinkannya. Paling tidak 
misalnya, Kong Hucu sudah tidak perlu bingung-bingung harus bekerja mencari 
nafkah untuk memenuhi segala perbekalan yang diperlukan untuk keperluan itu, 
baik sebelum maupun sesudah selesainya ritual tersebut.

Di samping itu tidak kalah pentingnya, adalah kondisi obyektif seperti 
tatanan sosial politik semasa itu, memungkinkan orang melakukan ritual 
semacam itu. Suatu hal seandainya  ---ngomong “sintingnya”--- Kong Hucu yang 
sama masih hidup di zaman ini, pasti beliau tidak akan mungkin bisa 
melakukan upacara ritual semacam itu. Katakan kondisi subyektif berupa 
kemampuan ekonomi tidak ada persoalan, toh beliau tidak akan mungkin 
memiliki kemampuan mengatasi  kondidi obyektif berupa sistem tatanan 
sosial-politik masyarakat yang telah berubah sedemikian rupa. Di mana 
toleransi masyarakat terhadap hal-hal seperti dilakukan oleh Kong Hucu, 
sudah hilang. Hilangnya toleransi, yang membuat keluarga yang ditinggalkan 
oleh almarhum yang telah berada dalam makam, selalu merasa was-was setiap 
kali tiba masanya melaksanakan kewajiban berbakti harus datang menegok 
kuburan.

Apa lagi di masa-masa Orde Baru. Karena setiap ada anggota keluarga datang 
menziarahi kubur sanaknya yang telah almarhum, selalu digerumut kawanan 
lelaki yang rata-rata menuntut diberi uang. Dan hal demikian tidak jarang 
dilakukan melalui penampilan wajah-wajah yang sangar. Hal yang membuat 
anak-cucu yang meninggal selalu merasa was-was dan tersiksa dalam 
menjalankan kewajiban tradisi budayanya.

Bayangkan,  masih adakah orang di zaman ini yang sanggup ditengah-tengah 
kondisi sospol semacam itu menemani jazad yang berada dalam makam selama 
berpuluh-puluh hari, betapapun tingginya kadar rasa berkbakti yang 
bersangkutan terhadap orang tuanya? Kondisi sosial-politik yang sama sekali 
tidak kondusif semacam itu, ditambah lagi oleh pengaruh  pembangunan yang 
mutlak bernafaskan hedonisme yang membuat kota-kota yang sudah padat oleh 
faktor peningkatan jumlah penduduk menjadi lebih padat lagi oleh urbanisasi 
para pencari kerja di kota-kota besar, telah mengakibatkan makin sempitnya 
tempat untuk pemukiman.

Nah, oleh sebab itu sebagaimana nyatanya telah membuat manusia terpaksa 
hidup dalam pemukiman yang bersusun-susun tinggi serasa ingin menggapai 
langit,  lalu apakah masih tersedia tanah bagi mereka yang telah meninggal 
dunia untuk tenteram beristirahat? Tentu tempat peristirahatan oang-orang 
yang telah meninggal itupun akan terganggu.

Misalnya seperti  kenyataan dengan terbitnya peraturan, bahwa orang yang 
meninggal ada batas waktunya untuk dapat mendiami liang kuburnya, katakan 
untuk tiga tahun lamanya, seolah manusia hidup yang ngontrak apartemen atau 
rumah-rumah kontrakan lainnya. Lewat batas waktu tertentu yang diizinkan, 
keluarga yang meninggal harus membuat perpanjangan izin kubur tersebut. 
Kalau tidak, kuburan akan dibongkar. Maksudnya agar tempatnya bisa 
dipergunakan bagi orang yang  menyusul meninggal dunia.

Tentu saja akibat perkembangan perubahan kondisi hidup yang seperti itu 
mendorong masyarakat berpikir mencari solusi. Bagaimana baiknya agar 
tulang-belulang  emak-engkongnya atau papa-mamanya yang telah meninggal, 
baik oleh sebab kelalaian memperpanjang izin kubur atau oleh sebab anak 
keturununan yang dikubur itu sendiri juga telah meninggal,  tidak menjadi 
berantakan tercecer kemana-mana, bahkan mungkin diseret-seret anjing liar 
sehingga menyebabkan gagal beristirahat dengan baik dalam liang kuburnya 
sendiri. Sebuah kondisi hidup riil yang menumbuhkan kesadaran pertimbangan 
bahwa mendingan orang yang meninggal tidak dikuburkan, melainkan dikremasi. 
Abunya ditebar kelaut. Sehingga yang meningal secara sempurna kembali 
menyatu dengan bumi tanah airnya yang tenang, damai dan bebas dari gangguan.

Sedang bagi keluarga yang ditinggal mati tidak lagi terbebani perasaan 
bersalah karena gagal merawat kubur leluhurnya dengan baik. Maka jadilah 
bentuk atau wujud ungkapan bakti kepada leluhur mengalami perubahan. Kalau 
sebelumnya setidaknya setiap harian Cengbeng, anak-cucu yang ditinggal mati 
berkewajiban datang ke kuburan untuk melakukan upacara ritual tertentu, lalu 
oleh sebab semua itu, berubah menjadi  pergi ke tepian  atau berperahu untuk 
menebar kembang di permukaan air laut.

Nah nyatalah, bahwa pandangan/filosofi hidup dan khususnya budaya masyarakat 
Tionghoa di Indonesia, tidak bisa diam statis tidak berubah. Hanya saja 
betapapun pandangan/filosofi hidup dan budaya Tionghoa terus mengalami 
perubahan, toh perubahan itu tidak sama sekali mempersetankan sosok atau 
pola dasar pandangan/filosofi dan budaya Tionghoa itu sendiri. Nyatanya 
dengan segala perubahan yang terjadi, sosok atau pola budaya Tionghoa sampai 
sekarang masih eksis.

Karena itu menurut saya, kita ikuti saja arus perubahan itu bergerak, karena 
toh tak seorang pun ada manusia yang mampu menghentikan perubahan itu. 
Karena itu obyektifnya siapapun agaknya sukar bisa berhasil memprediksi 
apalagi memastikan bagaimana dan seperti apa seharusnya nanti 
pandangan/filosofi hidup serta budaya Tionghoa akan mengambil wujud/bentuk. 
Sekalipun kita menyadari adanya bagian dari komunitas Tionghoa di Indonesia 
yang demikian ekstrem ingin mengubah atau bahkan memusnahkan filosofi dan 
tradisi budaya Tionghoa.

Seperti yang dengan mata dan kepala sendiri pernah saya saksikan. Ada 
perilaku anak-cucu yang memperlakukan kakek/neneknya yang meninggal dunia 
seperti layaknya menyambut kelahiran seseorang bayi yang telah lama 
dinantikan. Sebaliknya dari ucapan “duka cita”  pada sehelai spanduk yang 
menyambut pelayat tertera kalimat yang berbunyi “Selamat Berbahagia kembali 
ke sisi Yang Maha Kuasa” Sementara lantunan kidung-kidung sambung-menyambung 
bersusulan ditengah iringan suara gitar dan tepuk tangan yang tak kenal 
lelah. Adalah masih mending kalau semua itu dilakukan dengan tujuan untuk 
membebaskan diri para anak-cucu dari lelap larut dalam kedukaan. Tapi kalau 
ucapan “Selamat Berbahagia” dari sebaliknya  ucapan “ Berduka Cita” atau 
ucapan “Rest In Peace” yang lazim diucapkan  untuk memperlakukan/mengiringi 
orang yang meninggal dunia ternyata berlanjut pada sikap memperlakukan 
jenazah orang tuanya yang telah  dikubur, dan selanjutnya  sejak setelah 
liang kuburnya ditutup timbunan tanah, tidak sekalipun pernah mau menengok 
apalagi mengurusnya.

Dan semua itu dilakukan berdasarkan alasan bahwa almarhum sudah kembali ke 
sisi Yang Maha Kuasa, dan karenanya segala masalah selanjutnya sepenuhnya 
telah  menjadi  urusan dan tanggungjawab Pemiliknya yang di surga.  Inilah 
rupanya wujud ekstremisme yang luar biasa. Sebuah ekstremesme yang di satu 
sisi secara brutal melakukan perkosaan dan penghancuran suatu 
pandangan/filosofi dan budaya.

Dalam pada itu di sisi yang lain sepertinya dengan itu ingin menyatakan 
bahwa antara diri sang anak-cucu dengan mereka yang telah meninggal dunia 
telah putus atau habis hubungan sama sekali. Tak ada lagi urusan 
kenang-mengenang budi jasa antara diri sang anak-cucu dengan kedua orang tua 
yang telah berperan sebagai perantara bagi keberadaan mereka di dunia. 
Tegasnya justru dengan sepenuh kesadaran melucuti diri sendiri dari citra 
kemanusiaannya. Mengingat lazimnya hanya marga-satwa sajalah yang tidak 
mengenal kenangan terhadap pasangan mahluk yang memperantarai keberadaan 
dirinya di dunia sebagaimana lazimnya terjadi pada manusia, yang oleh sebab 
itu timbullah budaya manusia. Budaya mengenang perantara yang menghadirkan 
dirinya ke dunia yang tidak lain adalah kedua orang tuanya sendiri dengan 
cara datang ke pemakaman yang lazimnya dengan cara  tradisi kepercayaanya 
sendiri mengucapkan doa verbal atau dalam hati, sebagai cara mengenang 
jasa-budi kedua orang tuanya almarhum.



 


[Non-text portions of this message have been removed]



.: Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :.

.: Website global http://www.budaya-tionghoa.org :.

.: Pertanyaan? Ajukan di http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua :.

.: Arsip di Blog Forum Budaya Tionghua http://iccsg.wordpress.com :.

 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:[EMAIL PROTECTED] 
    mailto:[EMAIL PROTECTED]

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 

Kirim email ke