Soal Cina dan Tionghoa Pak Tan Swie Ling, apa kabar? ada yang ingin saya tanya lagi soal cina dan Tionghoa. Ini mengenai pendapat Pak Tan soal sebutan China yang baru muncul sejak Inggris mengalahkan Tiongkok di perang candu. Boleh tau sumber yang bapak pakai untuk pendapat ini? Kalau memang demikian, sebelum Inggris menyebut China, sebutan apa yang dipakai? Bukankah pepatah "Tuntutlah ilmu sampai ke negeri China", itu sudah ada sejak dulu kala? Dari mana kata China berasal? Benarkah dari dinasti terakhir, Ching atau Manchu, ataukah dari dinasti Chin yang sebelumnya? Lalu sejak kapan juga istilah Tiongkok dipakai, bukankah RRT baru berdiri tahun 1911? Selain itu apakah orang Tionghoa di Tiongkok menyebut dirinya Tionghoa? Kalau dalam SINERGI November 2006, A. Dahana mengatakan kata Tionghoa tidak bisa berdiri sendiri. mengapa? Selain itu, Pak Tan mengatakan bahwa Tionghoa adalah nama sebuah suku di Indonesia yang tidak ada di negara lainnya yang menyebut Chinese. Kalau memang demikian, seharusnya kita hanya perlu menyebut Tionghoa, tanpa embel-embel Indonesia. Sama seperti kita menyebut Jawa, Sunda, Batak, Bali, Padang dan suku-suku lainnya, tanpa embel-embel Indonesia. Jadi mungkin kita hanya perlu menyebut Tionghoa, bukannya Tionghoa Indonesia, atau Indonesia Tionghoa. Bagaimana menurut bapak? Oh iya, saya juga ingin bertanya soal filosofi hidup dan pandangan hidup orang Tionghoa di Indonesia. Menurut bapak, bagaimana filosofi hidup generasi Tionghoa sekarang? Kalau generasi tua masih memegang budaya dan mungkin filosofi budaya, bagaimana dengan generasi sekarang? baik dalam keluarga, pergaulan hidup sehari-hari ataupun dalam bekerja. Demikian pertanyaan lanjutan saya, yang mungkin jadi panjang. :) Saya harap pertanyaan ini bisa dijawab. Terima kasih sebelumnya,
Deviana ------------------------------------------------------------------------------------------- Tan Swie Ling: Deviana Bertanya, Saya harap pertanyaan ini bisa dijawab Begitulah akhir bunyi email Deviana. Tentu saja saya jawab. Tapi maaf ya, jawabannya memang lambat. Sebelum menjawab rincian pertanyaan saya ingin mengetengahkan terlebih dahulu, bahwa semua masalah berkaitan dengan kehidupan komunitas manusia, saya artikan sebagai masalah sosial. Masalah yang apabila dibahas oleh sejumlah orang, akan menghasilkan sejumlah pendapat yang kadang bukan saja berbeda-beda tapi bahkan tidak tertutup kemungkinan saling bertolak belakang. Bukan seperti masalah matematika, yang berapa kali berapa dihitung oleh siapapun tentu akan memperoleh jumlah yang sama. Tapi bagi saya semua itu tidak menjadi masalah sepanjang berbagai pendapat yang berbeda-beda tersebut secara konsisten dilandasi dengan dasar argumentasi yang jelas, dan sekali-kali bukan berlandaskan perasaan emosional. Begitulah masalah Cina-Tionghoa yang kita percakapkan. Yang dari sudut pandang saya adalah masalah sosial yang sesungguhnya erat bertali-temali dengan masalah politik Karena itu untuk tujuan apa pun termasuk untuk tujuan penulisan sesuatu, agar bisa mendekati titik kebenarannya, maka siapapun yang menghendakinya sebaiknya seminim apapun ybs. perlu tahu/kenal masalah politik. Sebab bagian terbesar dari masalah ini memang masalah politik Sebagai contoh, apakah yang memungkinkan orang ramai mempermasalahkan istilah Cina-Tionghoa kalau bukan peristiwa politik yang muncul terjadi melalui penembakmatian sejumlah mahasiswa Universitas Trisakti oleh pasukan bersenjata yang berlanjut pada kerusuhan rasial anti Tionghoa tahun 1998 yang berujung pada lengsernya Presiden Soeharto dari panggung kekuasaan politik? Dan, bukankah itu peristiwa politik? Apakah masyarakat akan leluasa mempolemikkan istilah Cina-Tionghoa seandainya peristiwa Mei 1998 tidak berujung pada lengsernya Presiden Soeharto, yang berlanjut pada kegiatan reformasi politik, yang membuka peluang terciptanya kondisi politik yang memungkinkan seluruh masyarakat Indonesia yang tentunya termasuk Tionghoa di dalamnya menjadi bebas berekspresi, kalau bukan akibat peristiwa politik? Lagi pula sebutan China/Cina pada kenyataannya memang tidak akan pernah ada seandainya di dunia ini tidak pernah terjadi peristiwa-peristiwa politik besar yang menyeret masyarakat manusia ke dalam berbagai peperangan. Baik Perang Candu, Perang Dunia ke-I, Perang Dunia ke-II, dan Perang Dingin. Terutama, Perang Candu dan Perang Dingin.Tegasnya, Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Tentang Masalah Cina bernomor: SE-06/Pres.Kab/6/1967, yang mengubah sebutan/kata Tiongkok/Tionghoa menjadi Cina tidak akan pernah ada, seandainya saja di negeri ini tidak pernah terjadi peristiwa politik G30S. Demikian pula peristiwa politik G30S itupun tidak mungkin akan pernah terjadi seandainya saja masyarakat manusia tidak dihadapkan pada masalah Perang Dingin. Karena seandainya tidak terjadi Perang Dingin, maka negeri-negeri kapitalis yang dikomandani AS tidak timbul kepentingannya untuk melakukan kebijakan penghancuran dan pembendungan pengaruh komunisme. Di mana dalam kaitan ini malang sekali, mengingat di satu sisi RRT adalah republik yang dipimpin partai komunis, dalam pada itu di sisi yang lain rezim Orba yang sesungguhnya tidak lain adalah rezim kaki-tangan atau rezim pelaksana Perang Dingin di Indonesia ternyata semangat anti Tionghoanya kebablasan. Sehingga beranggapan bahwa oleh faktor kesamaan ketionghoaan antara Tionghoa Tiongkok dengan Tionghoa Indonesia lalu berkesimpulan Tionghoa Indonesia akan mudah menjadi kaki-tangan Tionghoa RRT yang komunis. Karena itu disamakanlah perlakuan terhadap komunitas Tionghoa di negeri ini dengan perlakuan yang diterapkannya terhadap PKI, yang pada tahun 1965 itu, bersama dengan Presiden Soekarno, justru memang menjadi sasaran utama untuk dihancurkan oleh kekuatan politik Perang Dingin yang dikomandani AS dan dilaksanakan oleh kaki-tangannya di Indonesia, yang ketika berhasil berkuasa, kaki-tangan pelaksana Perang Dingin di Indonesia ini menggelari diri sebagai kekuatan politik Orde Baru. Begitulah selanjutnya, Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera tentang masalah Cina bernomor SE-06/Pres.Kab/6/1967, yang merubah sebutan Tionghoa/Tiongkok menjadi Cina pun segera disusul dengan pembentukan lembaga Staf Chusus Urusan Tjina (SCUT) yang dikepalai oleh perwira militer, yang berkedudukan sebagai Ka BAKIN. Sebuah lembaga yang berperan sebagai staf chusus urusan Cina yang bertanggungjawab langsung ke Presiden Soeharto, yang selanjutnya setelah SCUT dibubarkan peran dan tugasnya diambil alih dan terus dikerjakan oleh BAKIN. Di mana dalam rangkaian ini dibentuk pula sebuah lembaga yang diberi nama Badan Komunikasi Masalah Cina (BKMC) yang peranannya persis seperti mikroskop yang selalu mendeteksi Tionghoa sebagai mikroba di bawah lensanya yang membuahkan terbitnya berpuluh-puluh kebijakan/peraturan diskriminatif terhadap warga Tionghoa. Semua itu adalah isi dari masalah Cina-Tionghoa yang sedang kita percakapkan. Dan semua itu tidak akan pernah ada seandainya di Indonesia tidak pernah terjadi peristiwa politik besar yang terkenal dan dikenal dalam sebutan peristiwa G30S 1965. Sebuah peristiwa politik besar yang tidak akan mungkin pernah ada seandainya di dunia ini tidak pernah terjadi Perang Dingin. Jadi, ternyata semua itu adalah masalah politik. Karena itu membahas masalah Cina-Tionghoa sukar dipisahkan dari pembahasan masalah politik. Dari sudut pandang inilah kesependapatan saya pada Pak Prof. Dahana yang mengatakan (masalah) Tionghoa tidak berdiri sendiri. Demikian pula istilah China yang nyata-nyata memang istilah Inggris, bukanlah ihwal yang tiba-tiba saja muncul tanpa kaitan dengan peristiwa apapun. Karena sesungguhnya ia memang tercipta oleh kondisi sebuah proses politik kiprahnya kapitalisme dunia pada masanya yang dikomandani Inggris, yang semasa itu merupakan adi daya pertama di dunia sebelum AS dan Uni Soviet. Deviana, saya percaya hampir rata-rata manusia di zaman sekarang ini niscaya akrab dengan istilah globalisasi/globalisme. Sementara kita yang heboh memperdebatkan istilah China/Cina tidak tahu-menahu, bahwa istilah China/Cina lahir dari perilaku globalisasi/globalisme tersebut. Ibarat tangan, tentunya yang kanan berpasangan dengan yang kiri. Nah secara politis istilah globalisasi/globalisme adalah pasangan dari istilah kapitalisme. Keduanya merupakan pasangan tak ubahnya Kereta Api dengan relnya. Kapitalisme sebagai KA-nya dan globalisme sebagai relnya. Kapitalisme itu tidak akan pernah bisa tumbuh berkembang kalau tidak ada globalisasi. Karena itu globalisasi yang pada masa kini mengambil wujud utamanya dalam rupa upaya terus-menerus mempermudah hubungan antar kepentingan manusia dengan memanfaatkan dukungan teknologi komunikasi dan informasi, dimasa-masa awalnya mengambil bentuk serba kekerasan seperti pendudukan wilayah komunitas lain, penjajahan dan peperangan. Yang semua itu sesungguhnya adalah alat atau perangkat yang tidak bisa dilepaskan dari kebutuhan kapitalisme. Dalam pengertian kepentingan kapitalisme, peran globalisasi adalah mendobrak, membangun dan melapangkan jalan bagi langkah-langkah kapitalisme. Dalam artian inilah sesungguhnya berbagai misi penjelajahan para bahariwan seperti Christopher Columbus dan rekan-rekan pada abad limabelasan yang lalu, harus dilihat. Dan dalam artian ini pula kita harus memandang dan memahami Perang Candu pada pertengahan abad XIX dahulu. Sebelum-sebelumnya, Tiongkok adalah potret/gambar kemapanan hidup sebuah komunitas manusia. Kemapanan hidup masyarakat Tiongkok pada zamannya yang tercermin nyata pada sikap dan perlakuannya terhadap mesiu yang ditemukannya. Sebuah penemuan maha penting namun diperlakukannya biasa-biasa saja. Dianggapnya tidak lebih sebagai sesuatu yang cukup dimanfaatkan sebagai bahan hiburan saja, seperti dijadikan petasan dan kembang api. Kemapanan hidup masyarakat Tiongkok inilah sesungguhnya yang mendorong rata-rata negeri industri ingin memanfaatkan Tiongkok sebagai wilayah pasarnya. Artinya negeri-negeri industri di Barat menghendaki agar Tiongkok dijamah globalisasi. Didobrak tembok dan pintu-pintu penutupnya. Kemudian dipasang rel-rel agar kereta api kapitalisme dapat leluasa berlalu-lintas di dalamnya. Dan untuk tujuan seperti itulah sesungguhnya mengapa Perang Candu terjadi. Karena itu sebagaimana nyatanya setelah Tiongkok berhasil dikalahkan dalamPerang Candu tersebut, maka seluruh negeri-negeri industri dari Eropa, bahkan Amerika dan Jepang ramai-ramai menjarah dan mengkapling-kapling wilayah Tiongkok menjadi bagiannya. Dan Inggris sebagai adidaya masa itu yang memenangi Perang Candu menyebut lawan perang yang telah dikalahkannya, dengan sebutan China. Inilah kisah perjalanan yang mengantarkan istilah kata C h i n a ke masyarakat dunia. Jadi tidak bisa diragukan lagi, istilah China adalah merupakan hasil kiprahnya kapitalisme semasa itu. Demikian pula istilah Tionghoa. Seandainya di dunia tidak terjadi proses kiprah kapitalisme seperti tersebut di atas, belum tentu komunitas manusia Tiongkok yang terbanyak jumlahnya di dunia itu yang tertindas oleh negara-negara Barat sejak kalah dalam Perang Candu, lalu menyebut diri Tionghoa sebagai lambang hasratnya untuk membebaskan diri dari belenggu penindasan asing. Mungkin mereka akan memilih terus menyebut diri sebagai komunitas Han Sama halnya dengan kita. Seandainya saja bukan karena kiprahnya kapitalisme Belanda, belum tentu kita menyebut diri sebagai Indonesia. Mungkin orang/kawula Sriwijaya, orang Majapahit atau orang Mataram. Begitulah Deviana, dan berikut adalah rincian keterangan seputar pertanyaanmu. Ada yang ingin saya tanya lagi soal Cina dan Tionghoa. Tulisan saya di dalam majalah Sinergi memakai judul CINA TIONGHOA DALAM HIPOTESIS DESKRIPTIF. Jadi walaupun dari sisi saya hal itu saya yakini sebagai satu kebenaran, toh nyatanya tulisan tersebut hanya merupakan salah satu saja dari sekian banyak tulisan/pendapat orang tentang Cina-Tionghoa, yang sifat maupun mutunya tetap hanya sebatas hipotesa saja. Adapun kalau ditanya sumber,sumbernyaya hasil analisa kondisi proses politik kiprahnya kapitalisme dunia yang semasa itu dikomandani oleh Inggris. Sedangkan rujukan tertulis untuk penguat argumentasi, saya banyak merujuk pada Perjanjian Nanking (1842) yang bersama-sama dengan sejumlah perjanjian-perjanjian yang lain seperti Perjanjian Boca Tigris (1843) dll. antara Tiongkok dengan berbagai negeri Industri menyusul dikalahkannya Tiongkok dalam Perang Candu, saya gunakan buku Tiongkok Sepanjang Abad karya Nio Joe Lan. Terjadi ketimpangan kedudukan/posisi yang luar biasa antara Inggris sebagai pemenang Perang Candu dalam perbandingannya dengan kedudukan Tiongkok selaku pihak yang dikalahkannya. Sehingga kalau orang mengatakan dalam kata Cina/China terkandung penghinaan/pelecehan hal tersebut seluruhnya bisa diketemukan dalam sumber rujukan tertulis dimaksud. 2. Sebelum Inggris menyebut China, sebutan apa yang dipakai? Sebelum Belanda memberikan sebutan Inlander untuk saudara-saudara kita yang anak negeri alias bumi putra dan kaula negara bagi komunitas yang dimasukkan sebagai golongan Timur Asing, masyarakat kita ada yang menyebut diri sebagai kawula Sriwijaya, Kawula Majapahit, kawula Demak, Kawula Pajang, atau kawula Mataram Seperti itulah barangkali orang-orang Tiongkok disebut atau menyebut dirinya sendiri sebagai orang Han, orang Tang, orang Goan atau orang Mancu. Warga dinasti A atau warga dinasti B Di samping mengacu adanya jalan Sutera yang menghubungan Romawi ke Tiongkok,dari pihak luar pun ada yang menyebut Tiongkok dengan sebutan Serica (sutera?). Dan kalau kita ingat pesawat terbang Catay Pasific, kata Catay atau Kitay ini rupanya juga pernah menjadi sebutan orang asing bagi Tiongkok. Yang besar kemungkinannya kata tersebut datang dari Marco Polo. Orang asing yang berhasil datang berdiam di Tiongkok dan berhasil keluar kembali meninggalkan Tiongkok, yang mungkin pada masa Marco Polo berdiam di Tiongkok, komunitas Khitan adalah komunitas yang handal di negeri Tiongkok. Catatan Marcopolo mengatakan bahwa penguasa Tiongkok di zaman itu (907-1125) disebutnya sebagai bangsa Khitan. Sehingga Marco Polo menggambarkan Khitan sebagai gambaran Tiongkok. Yang pasti sebelum Tiongkok dikalahkan oleh Inggris dalam Perang Candu, baik anak negeri Tiongkok sendiri maupun orang asing manapun tidak ada yang menyebut mereka sebagai China atau Cina. Sebagai contoh, orang Tionghoa yang kini menjadi bagian dari bangsa Indonesia sendiri sebelum mereka disebut/menyebut diri sebagai Cina dan kemudian Tionghoa, lalu pada zaman Pak Harto disebut Cina lagi, sebetulnya komunitas Tionghoa di negeri ini menyebut diri sebagai Teng Lang. Seiring sebutan Teng Lang yang bermakna orang Teng, juga dikenal istilah Teng Shoa yang besar kemungkinan bermakna tanah atau negeri Teng. Lalu, kata Teng itu sendiri apakah tidak sama dengan kata Tong (ahala) atau Tang (dinasti) sehingga kalau orang menyebut diri dengan sebutan Teng Lang artinya yang bersangkutan menerangkan bahwa dirinya adalah orang/warga Tengshoa, atau warga dinasti Tang. Sama seperti kalau orang kita menyebut diri sebagai kawula Majapahit. Maksudnya yang bersangkutan adalah warga Kerajaan Majapahit. Hal ini kemungkinan besar disebabkan karena pengertian dan istilah bangsa pada masa itu belum menjadi pemahaman seperti zaman sekarang. Sehingga untuk kemudahan komunikasi orang membedakan diri sendiri dari orang lain dengan cara menyebut kerajaan/ dinasti dari mana dirinya berasal, atau produk unggulan negeri bersangkutan yang spektakuler seperti sutera. Sehingga demi mendapatkan sutera, orang Romawi menyebut jalan menuju ke negeri penghasilnya sebagai jalan sutera. Bukan jalan China/Cina! 3. Tuntutlah ilmu walau (harus) sampai ke negeri Cina. Ini adalah kalimat yang dibuat oleh sebahagian orang Indonesia untuk menterjemahkan hadist Nabi Mohammad s.a.w. yang tersabdakan pada kurun masa Tiongkok berada di bawah perintah dinasti Tang (618-906M). Saya katakan sebahagian orang Indonesia karena nyatanya sebahagian orang Indonesia lainnya,setidak-tidaknya seperti yang terwakili oleh koran Merdeka atau Indonesia Raya yang masing-masing dipimpin oleh BM Diah dan Moctar Lubis, maka hadist Nabi Mohammad s.a.w. yang dalam bahasa asalnya berbunyi uthlubul ilma walau bishin terjemahannya akan berbunyi tuntutlah ilmu walau (harus) sampai ke negeri Tiongkok Karena sebagaimana nyatanya hadist Nabi Mohammad s.a.w. tersebut berbahasa Arab. Dan agaknya struktur bahasa Arab tidak mengenal bebunyian tajam seperti bunyi ca-ce -ci-co-cu seperti struktur bahasa Indonesia. Sehingga seperti nyatanya, tidak ada bunyi kata Cina di dalam hadist Nabi tersebut. .Maaf mungkin ejaan saya menulis hadist Nabi tidak tepat, tapi bunyi hadist tersebut kurang-lebih memang begitu. 4 Dari mana kata China berasal? Butir 2 SE-06/Pres.Kab/6/1967 yang mengubah kata Tiongkok/Tionghoa menjadi Cina berbunyi: Dilihat dari sudut nilai-nilai ethnologis-politis dan etimologi historis, maka istilah Tionghoa/Tiongkok yang memberi asiosasi-psykopolitis yang negatip bagi rakyat Indonesia, sedang istilah Cina tidak lain hanya mengandung arti nama dari suatu dynasti dari mana ras Cina itu datang,dan bagi kita umumnya kedua istilah itupun tidak lepas dari aspek-aspek psykologis dan emosionil. Jelas, alasan pengubahan sebutan Tionghoa/Tiongkok menjadi Cina adalah dynasti dari mana ras Cina datang. Soalnya dinasti Ching atau Chin? Selain punya duaorang kaisar handal, kaisar pertama, Kang Hi dan kaisar ketiga, Kian Liong, kaisar yang pernah mempermalukan Inggris di bawah perintah Raja George ketiga,dengan menolak seluruh keinginan Inggris untuk melakukan hubungan diplomatik Inggris-Tiongkok, dinasti Ching (1644-1911) tidak memiliki sesuatu yang lain yang bisa dibanggakan untuk diacu dari mana ras Cina berasal. Sedangkan dinasti Chin (220-206 SM), sekalipun dinasti paling singkat, akan tetapi sedikitnya ada dua hal penting yang memungkinkan nama dinasti ini menjadi rujukan. Yang pertama, di bawah kekuasaan dinasti inilah Tembok/Benteng Tiongkok yang kini merupakan salah satu dari 7 keajaiban dunia dituntaskan pembangunannya. Yang kedua, perilaku luar biasa ekstrem dari sang kaisar yang membakari buku-buku pengetahuan yang memuat semua ajaran yang tidak disukainya, termasuk ajaran Konfusianisme. Agaknya dua hal itulah yang menjadi alasan untuk mengatakan asal-muasal kata China/Cina dari dinasti Chin (220-206 SM). Agaknya dalam hati orang Inggris ketika untuk pertama kalinya mengucapkan kata China, berkata: Inilah bangsa besar yang luar biasa yang mampu membangun Tembok/Benteng Tiongkok dan memiliki kaisar brutal yang menghancurkan/membakari buku -buku pengetahuan, tapi, sekarang berhasil aku taklukkan! Ya, begitulah barangkali Inggris berseru ketika menyebut bangsa yang telah ditaklukkannya dengan sebutan C h i n a ! 5. Sejak kapan istilah Tiongkok dipakai? RRT berdiri bukan tahun 1911, melainkan tahun 1949. Yang berdiri pada tahun 1911 adalah Republik Tiongkok,sebagai hasil revolusi rakyat Tiongkok membebaskan diri dari kekuasaan/penindasan bangsa-bangsa asing serta kekuasaan monarki (dinasti Ching/Mancu). Sejak tahun 1911 itulah negeri itu menyebut dirinya dalam sebutan Zhong Hua Min Guo yang dalam dialek yang dikenal kebanyakan orang Tionghoa di sini diucapkan sebagai Tiong Hwa Bin Kok. Untuk waktu yang tidak lama awalnya Republik Tiongkok tersebut dipresideni langsung oleh dr Sun Yat Sen, sang pemimpin revolusi Tiongkok yang oleh sebagian rakyatnya disebut juga sebagai pendiri Tiongkok.Berikutnya untuk waktu yang lama sekali dipresideni oleh Chiang Kai Shek, sampai pada 1949. Pada tahun tersebut bersama-sama para pendukungnya Chiang Kai Shek dipaksa hijrah ke Taiwan setelah kalah dalam perang saudara melawa Mao Tse Tung dan anak buahnya, yang lalu pemenang Perang Saudara ini mendirikan RRT. Kalau pada tahun 1911 Republik Tiongkok memakai nama Zhong Hua Min Guo, maka RRT memakai nama Zhong Hua Ren Min Gong He Guo, yang maknanya adalah Republik Demokrasi Rakyat Tiongkok 6. Selain itu apakah orang Tionghoa di Tiongkok menyebut dirinya Tionghoa? Sepengetahuan saya orang Tionghoa di Tiongkok menyebut dirinya dengan sebutan Zhong Guo Ren. 7. A.Dahana mengatakan kata Tionghoa tidak bisa berdiri sendiri, mengapa? Tentu saja saya tidak tahu apa argumentasi beliau. Tapi kalau ini dikaitkan dengan Tionghoa sebagai bagian bangsa Indonesia atau suku di Indonesia,saya sependapat dengan beliau. Selain hal yang saya sebutkan dalam pendahuluan dimuka.Seingat saya kata Tionghoa sebagai suku berawal dari penjelasan Presiden Soekarno kepada Presiden Vietnam, Ho Chin Min pada waktu Paman Ho ini berkunjung ke Indonesia sekitar tahun 1963-an. Ketika itu pada pokoknya Bung Karno menerangkan kepada Paman Ho, bahwa bangsa Indonesia tidak mengenal mayoriteit dan minoriteit. Bangsa Indonesia itu seperti luwing (binatang kecil berbadan panjang berkaki banyak). Kaki itu dalam bahasa Jawa disebut sikil atau suku. Jadi, kata Bung Karno, bangsa Indonesia adalah bangsa yang berdiri di atas banyak kaki atau banyak suku. Ada kaki atau suku Jawa, kaki/suku Sunda, kaki/suku Bali dan lain sebagainya di samping ada kaki/sukuperanakan Tionghoa. Itu terjadi tahun 1960-an. Tapi sebutan Tionghoa itu sendiri sudah dikenal masyarakat di negeri ini setidak-tidaknya pada awal abad XIX. Perkataan Tionghoa ini terdokumentasi dalam akte pendirian rumah perkumpulan Tionghoa yang bertanggal, 17 Maret 1900, dengan nama Tiong Hoa Hwee Koan. Sebuah perkumpulan yang semasa itu cukup modern. Yang kemodernannya menurut Nio Joe Lan, terletak pada digunakannya sebutan kata Tionghoa pada perkumpulan tersebut. Lalu sebelum 17 Maret 1900 sebutan apa yang dikenal masyarakat negeri ini untuk komunitas Tionghoa tersebut? Saya meyakini komunitass ini disebut atau menyebut diri sebagai Tenglang dan Cina. Tenglang mengacu pada pengaruh kebiasaan dari kurun masa dinasti Tang (618-906M), dan Cina, mengacu pada pengaruh kebiasaan kurun masa setelah terjadinya Perang Candu, sekitar pertengahan abad XIX. Sejak tahun 1800 masyarakat negeri ini sepenuhnya merupakan masyarakat jajahan kolonialisme Belanda. Pada dasarnya di mana pun perilaku masyarakat jajahan umumnya sama. Ada yang suka dan karenanya menghamba pada penjajah, dan tentu tidak kurang pula ada yang tidak suka, anti, dan ingin melawan penjajah. Begitulah kurang-lebih perilaku masyarakat Jawa, Sunda, Bali, Melayu dan tentunya juga Tionghoa sebagai masyarakat jajahan Belanda. Wijken & Pasen Stelsel atau peraturan lingkungan tempat tinggal dan Surat Jalan yang dikenakan terhadap komunitas Tionghoa di Hindia Belanda (sebutan negeri Indonesia semasa itu) yang kalau tidak khilaf baru dicabut oleh pemerintah kolonial pada tahun 1917, menerangkan sulitnya posisi hidup komunitas Tionghoa di negeri ini semasa itu. Hal-hal semacam itu yang bagi komunitas Tionghoa yang menghamba pada Belanda tidak dirasakan sebagai sesuatu apa tapi, membuat komunitas Tionghoa yang merasa tertindas oleh penjajah Belanda menjadi gerah dan resah dan berupaya mencari naungan atau senderan yang sekurang-kurangnya dianggapnya bisa membuat berkurangnya beban penderitaan yang dialaminya. Tapi sungguh tidak beruntung. Segenap masyarakat yang menghuni kepulauan Nusantara wilayah Hindia Belanda, semua berkedudukan sama. Sama-sama sebagai masyarakat terjajah. Tentu saja, yang namanya Indonesia jadi janin pun belum. Hindia Belanda masih sunyi senyap, karena gerakan kebangkitan nasional belum tumbuh. Dalam kondisi demikian itulah komunitas Tionghoa yang sedang tengok kanan dan tengok kiri mencari pohon naungan, sayup-sayup mendengar gemuruh genderang kebangkitan semangat nasionalisme di bumi Tiongkok. Oleh akibat kepengapan, kegerahan dan keresahan dari derita ketertindasannya, komunitas Tionghoa di Hindia Belanda semasa itu secara refleks menengok ke arah gemuruh suara kebangkitan nasionalisme di bumi Tiongkok itu dan segera saja terangsang untuk mendukung. Bentuk keterangsangan serta pendukungan atas segala yang terjadi di bumi Tiongkok semasa itu berawal dalam wujud berdirinya Tiong Hoa Hwee Koan. Berdirinya rumah perkumpulan Tionghoa yang diberinya nama Tiong Hoa Hwee Koan pada awal abad XIX, yang segera disusul dengan berdirinya sekolah-sekolah yang juga bernama Tiong Hoa Hwee Koan adalah bagian dari rangkaian pengaruh perkembangan ini. Tapi harap benar-benar diingat, sekalipun di Tiongkok terjadi hiruk-pikuk gegap gempita oleh gemuruhnya kebangkitan semangat nasionalisme Tionghoa yang meledak-ledak, toh seandainya saja komunitas Tionghoa di Hindia Belanda sebaliknya dari merasa tertindas malah merasa dianakemaskan oleh penjajah Belanda seperti anggapan sebagian masyarakat negeri ini, niscaya Tiong Hoa Hwee Koan tidak akan pernah berdiri. Dan konsekwensinya, seperti yang terjadi di negeri-negeri tetangga kita yang juga memiliki penduduk Tionghoa, kata Tionghoa mungkin tidak dikenal di wilayah Hindia Belanda yang kini jadi Indonesia ini. Mengingat api pendorong berdirinya Tiong Hoa Hwee Koan, selain Gerakan Pembaruan Seratus Hari yang di pimpin Kang Yu Wei Liang Chi Chao, adalah Gerakan Anti Asing Tinju Keadilan (Perang Boxer), dan terutama tentunya Kebangkitan Nasionalisme di bawah kepemimpinan dr Sun Yat Sen. Yang kesemuanya itu seolah memenuhi keinginan komunitas Tionghoa Hindia Belanda yang merasa tertindas oleh kolonialisme Belanda semasa itu untuk bisa melihat bangkitnya sebuah Tiongkok yang kuat agar bisa dijadikan tempat bersender/berlindung sehingga sekalipun tidak sepenuhnya, tapi bisalah sedikit mengurangi penderitaan komunitas Tionghoa di Hindia Belanda dari penindasan kolonialisme Belanda. Pikiran komunitas Tionghoa yang seperti ini, pada masa itu tidak bisa dianggap salah. Mengingat yang ada dalam perasaan komunitas Tionghoa Hindia Belanda semasa itu, hanya satu. Kapan dan bagaimana caranya dirinya bisa terlepas dari belenggu penindasan kolonialisme Belanda. Dalam keadaan meraba-raba mencari jalan keluar, menengok ke kanan dan kiri yang semua ternyata masih serba sepi, di mana yang namanya bangsa Indonesia belum lahir, bahkan jadi janin pun belum, maka gemuruh kebangklitan nasionalisme Tionghoa di Tiongkok membuatnya menengok, menerima dan mendukungnya. Jadi perkataan Tionghoa yang di negeri ini untuk pertama kali dipanggul oleh Tiong Hoa Hwee Koan adalah merupakan lambang semangat komunitas Tionghoa Hindia Belanda yang berjuang membebaskan diri dari ketertindasan kolonialisme Belanda. Jadi berdasarkan uraian tersebut, memang jelas, bahwa perkataan Tionghoa, khususnya di Indonesia, memang lahir dari kait-mengaitnya paling sedikit dua hal. Yaitu semangat ingin membebaskan diri dari ketertindasan belenggu kolonialisme Belanda, dan pengaruh kebangkitan gerakan nasionalisme Tionghoa di Tiongkok. 8. Tionghoa adalah nama sebuah suku di Indonesia Berdasarkan uraian butir 7 di atas semoga menjadi jelas. Bahwa ternyata segala yang terjadi di Tiongkok pada akhir abad XIX dan awal abad XX ternyata tidak memberi pengaruh dan akibat yang sama pada Tionghoa perantauan yang tersebar di berbagai negeri. Hal ini terjadi sebagai akibat kondisi riil negeri di mana komunitas perantau Tionghoa itu berdomisili tidaklah sama. Ada mereka yang berdomisili di negeri yang tidak pernah dijajah bangsa Barat seperti Muangtai, tentu mereka tidak merasakan derita penjajahan. Ada yang berdomisili di Macao, atau Filipina, yang tentunya pekat nuansa kehendak penguasa Portugis. Ada pula yang berdolisili di Hongkong, Singapura, Brunei dan Malaysia yang hidup dibawah kehendak penguasa Inggris, di samping yang berdomisili di Hindia Belanda, yang hidup dibawah tatanan kolonialisme Belanda. Ketidaksamaan kondisi hidup di negeri-negeri yang berada di bawah penguasa penjajah yang berbeda inilah yang memungkinkan terjadinya kenyataan, sesama Tionghoa perantauan yang sama-sama menerima pengaruh kebangkitan nasionalisme Tiongkok yang sama akan tetapi tidak memberi akibat yang sama. Di Indonesia terbentuk Tiong Hoa Hwee Koan, sedang diselebihnya negeri-negeri tersebut diatas tidak. Sebagai akibatnya di Indonesia kata Tionghoa hadir, sedangkan di negeri-negeri lain tersebut diatas, tidak. Jadi tidak keliru bahwa kata Tionghoa adalah kata khusus sebutan komunitas Tionghoa di Indonesia. Yang karena sifatnya yang khusus itu, maka ketika tanggal 28 Oktober 1928 melalui ikrar Sumpah Pemuda bangsa Indonesia terbentuk, jadilah komunitas Tionghoa di Hindia Belanda tersebut menjadi bagian tak terpisahkan dari bangunan tubuh bangsa Indonesia secara keseluruhan, tak ubahnya dengan berbagai komunitas yang lain, yang selama waktu sebelumnya sama-sama menjadi bagian dari masyarakat Nusantara yang tertindas dan terjajah oleh kolonialisme Belanda. 9. Kalau memang demikian kita hanya perlu menyebut Tionghoa, tanpa embel-embel Seandainya sejak terbentuknya bangsa Indonesia iklim kehidupan keberbangsaan kita serba baik, niscaya begitulah tentunya yang terjadi. Sayangnya iklim kehidupan keberbangsaan Indonesia makin lama makin tercemari polusi. Kenyataannya kita masih butuh waktu untuk bisa leluasa menyebut diri sebagai Tionghoa saja, tanpa embel-embel. 10. Bagaimana filosofi dan pandangan hidup Generasi Tionghoa sekarang? Pandangan/filosofi hidup manusia niscaya terbentuk oleh kondisi hidup yang dihayatinya. Sedangkan kondisi hidup bukanlah suatu ihkwal yang mandeg, statis, melainkan dinamis. Konsekwensinya pandangan/filosofi hidup pada umumnya maupun budaya pada khususnya tentu dengan sendirinya akan terus terseret berubah dan berubah selaras dengan perubahan yang terjadi pada kondisi hidup yang mendasarinya. Ambil contoh. Kong Hucu, ketika ayah atau ibunya meninggal dunia, beliau membangun gubuk perkabungan di dekat makam orang tuanya. Selama tiga bulan penuh beliau tidak meninggalkan gubuk perkabungannya itu. Hal tersebut berhasil dilakukannya bukan semata-mata oleh sebab kadar ketingian rasa berbakti beliau terhadap orang tuanya yang telah meninggal saja, melainkan juga oleh sebab kondisi hidup semasa itu memungkinkannya. Paling tidak misalnya, Kong Hucu sudah tidak perlu bingung-bingung harus bekerja mencari nafkah untuk memenuhi segala perbekalan yang diperlukan untuk keperluan itu, baik sebelum maupun sesudah selesainya ritual tersebut. Di samping itu tidak kalah pentingnya, adalah kondisi obyektif seperti tatanan sosial politik semasa itu, memungkinkan orang melakukan ritual semacam itu. Suatu hal seandainya ---ngomong sintingnya--- Kong Hucu yang sama masih hidup di zaman ini, pasti beliau tidak akan mungkin bisa melakukan upacara ritual semacam itu. Katakan kondisi subyektif berupa kemampuan ekonomi tidak ada persoalan, toh beliau tidak akan mungkin memiliki kemampuan mengatasi kondidi obyektif berupa sistem tatanan sosial-politik masyarakat yang telah berubah sedemikian rupa. Di mana toleransi masyarakat terhadap hal-hal seperti dilakukan oleh Kong Hucu, sudah hilang. Hilangnya toleransi, yang membuat keluarga yang ditinggalkan oleh almarhum yang telah berada dalam makam, selalu merasa was-was setiap kali tiba masanya melaksanakan kewajiban berbakti harus datang menegok kuburan. Apa lagi di masa-masa Orde Baru. Karena setiap ada anggota keluarga datang menziarahi kubur sanaknya yang telah almarhum, selalu digerumut kawanan lelaki yang rata-rata menuntut diberi uang. Dan hal demikian tidak jarang dilakukan melalui penampilan wajah-wajah yang sangar. Hal yang membuat anak-cucu yang meninggal selalu merasa was-was dan tersiksa dalam menjalankan kewajiban tradisi budayanya. Bayangkan, masih adakah orang di zaman ini yang sanggup ditengah-tengah kondisi sospol semacam itu menemani jazad yang berada dalam makam selama berpuluh-puluh hari, betapapun tingginya kadar rasa berkbakti yang bersangkutan terhadap orang tuanya? Kondisi sosial-politik yang sama sekali tidak kondusif semacam itu, ditambah lagi oleh pengaruh pembangunan yang mutlak bernafaskan hedonisme yang membuat kota-kota yang sudah padat oleh faktor peningkatan jumlah penduduk menjadi lebih padat lagi oleh urbanisasi para pencari kerja di kota-kota besar, telah mengakibatkan makin sempitnya tempat untuk pemukiman. Nah, oleh sebab itu sebagaimana nyatanya telah membuat manusia terpaksa hidup dalam pemukiman yang bersusun-susun tinggi serasa ingin menggapai langit, lalu apakah masih tersedia tanah bagi mereka yang telah meninggal dunia untuk tenteram beristirahat? Tentu tempat peristirahatan oang-orang yang telah meninggal itupun akan terganggu. Misalnya seperti kenyataan dengan terbitnya peraturan, bahwa orang yang meninggal ada batas waktunya untuk dapat mendiami liang kuburnya, katakan untuk tiga tahun lamanya, seolah manusia hidup yang ngontrak apartemen atau rumah-rumah kontrakan lainnya. Lewat batas waktu tertentu yang diizinkan, keluarga yang meninggal harus membuat perpanjangan izin kubur tersebut. Kalau tidak, kuburan akan dibongkar. Maksudnya agar tempatnya bisa dipergunakan bagi orang yang menyusul meninggal dunia. Tentu saja akibat perkembangan perubahan kondisi hidup yang seperti itu mendorong masyarakat berpikir mencari solusi. Bagaimana baiknya agar tulang-belulang emak-engkongnya atau papa-mamanya yang telah meninggal, baik oleh sebab kelalaian memperpanjang izin kubur atau oleh sebab anak keturununan yang dikubur itu sendiri juga telah meninggal, tidak menjadi berantakan tercecer kemana-mana, bahkan mungkin diseret-seret anjing liar sehingga menyebabkan gagal beristirahat dengan baik dalam liang kuburnya sendiri. Sebuah kondisi hidup riil yang menumbuhkan kesadaran pertimbangan bahwa mendingan orang yang meninggal tidak dikuburkan, melainkan dikremasi. Abunya ditebar kelaut. Sehingga yang meningal secara sempurna kembali menyatu dengan bumi tanah airnya yang tenang, damai dan bebas dari gangguan. Sedang bagi keluarga yang ditinggal mati tidak lagi terbebani perasaan bersalah karena gagal merawat kubur leluhurnya dengan baik. Maka jadilah bentuk atau wujud ungkapan bakti kepada leluhur mengalami perubahan. Kalau sebelumnya setidaknya setiap harian Cengbeng, anak-cucu yang ditinggal mati berkewajiban datang ke kuburan untuk melakukan upacara ritual tertentu, lalu oleh sebab semua itu, berubah menjadi pergi ke tepian atau berperahu untuk menebar kembang di permukaan air laut. Nah nyatalah, bahwa pandangan/filosofi hidup dan khususnya budaya masyarakat Tionghoa di Indonesia, tidak bisa diam statis tidak berubah. Hanya saja betapapun pandangan/filosofi hidup dan budaya Tionghoa terus mengalami perubahan, toh perubahan itu tidak sama sekali mempersetankan sosok atau pola dasar pandangan/filosofi dan budaya Tionghoa itu sendiri. Nyatanya dengan segala perubahan yang terjadi, sosok atau pola budaya Tionghoa sampai sekarang masih eksis. Karena itu menurut saya, kita ikuti saja arus perubahan itu bergerak, karena toh tak seorang pun ada manusia yang mampu menghentikan perubahan itu. Karena itu obyektifnya siapapun agaknya sukar bisa berhasil memprediksi apalagi memastikan bagaimana dan seperti apa seharusnya nanti pandangan/filosofi hidup serta budaya Tionghoa akan mengambil wujud/bentuk. Sekalipun kita menyadari adanya bagian dari komunitas Tionghoa di Indonesia yang demikian ekstrem ingin mengubah atau bahkan memusnahkan filosofi dan tradisi budaya Tionghoa. Seperti yang dengan mata dan kepala sendiri pernah saya saksikan. Ada perilaku anak-cucu yang memperlakukan kakek/neneknya yang meninggal dunia seperti layaknya menyambut kelahiran seseorang bayi yang telah lama dinantikan. Sebaliknya dari ucapan duka cita pada sehelai spanduk yang menyambut pelayat tertera kalimat yang berbunyi Selamat Berbahagia kembali ke sisi Yang Maha Kuasa Sementara lantunan kidung-kidung sambung-menyambung bersusulan ditengah iringan suara gitar dan tepuk tangan yang tak kenal lelah. Adalah masih mending kalau semua itu dilakukan dengan tujuan untuk membebaskan diri para anak-cucu dari lelap larut dalam kedukaan. Tapi kalau ucapan Selamat Berbahagia dari sebaliknya ucapan Berduka Cita atau ucapan Rest In Peace yang lazim diucapkan untuk memperlakukan/mengiringi orang yang meninggal dunia ternyata berlanjut pada sikap memperlakukan jenazah orang tuanya yang telah dikubur, dan selanjutnya sejak setelah liang kuburnya ditutup timbunan tanah, tidak sekalipun pernah mau menengok apalagi mengurusnya. Dan semua itu dilakukan berdasarkan alasan bahwa almarhum sudah kembali ke sisi Yang Maha Kuasa, dan karenanya segala masalah selanjutnya sepenuhnya telah menjadi urusan dan tanggungjawab Pemiliknya yang di surga. Inilah rupanya wujud ekstremisme yang luar biasa. Sebuah ekstremesme yang di satu sisi secara brutal melakukan perkosaan dan penghancuran suatu pandangan/filosofi dan budaya. Dalam pada itu di sisi yang lain sepertinya dengan itu ingin menyatakan bahwa antara diri sang anak-cucu dengan mereka yang telah meninggal dunia telah putus atau habis hubungan sama sekali. Tak ada lagi urusan kenang-mengenang budi jasa antara diri sang anak-cucu dengan kedua orang tua yang telah berperan sebagai perantara bagi keberadaan mereka di dunia. Tegasnya justru dengan sepenuh kesadaran melucuti diri sendiri dari citra kemanusiaannya. Mengingat lazimnya hanya marga-satwa sajalah yang tidak mengenal kenangan terhadap pasangan mahluk yang memperantarai keberadaan dirinya di dunia sebagaimana lazimnya terjadi pada manusia, yang oleh sebab itu timbullah budaya manusia. Budaya mengenang perantara yang menghadirkan dirinya ke dunia yang tidak lain adalah kedua orang tuanya sendiri dengan cara datang ke pemakaman yang lazimnya dengan cara tradisi kepercayaanya sendiri mengucapkan doa verbal atau dalam hati, sebagai cara mengenang jasa-budi kedua orang tuanya almarhum. [Non-text portions of this message have been removed] .: Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :. .: Website global http://www.budaya-tionghoa.org :. .: Pertanyaan? Ajukan di http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua :. .: Arsip di Blog Forum Budaya Tionghua http://iccsg.wordpress.com :. Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/ <*> Your email settings: Individual Email | Traditional <*> To change settings online go to: http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/join (Yahoo! ID required) <*> To change settings via email: mailto:[EMAIL PROTECTED] mailto:[EMAIL PROTECTED] <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/